Rabu, 14 November 2012

Dua Kupu


“Mama nggak pulang malam ini, abis arisan kami langsung nginep di rumah Tante Ratri.” ujar Mama setengah tergesa. Aku mengiyakan lalu pembicaraan pun berakhir.

Setelahnya aku menghenyakkan diri di sofa. Melirik waktu yang terpampang sempurna di dinding. Sesaat sebelum klakson mobil menjerit di depan pagar. Aku langsung menyambar tasku, menghampiri mobil hitam metalik yang akan mengantarku bertugas malam ini.

“Pelanggan kali ini sangat istimewa meski maunya terkadang aneh-aneh. Meski biasanya paling suka yang seger-seger kayak kamu, kali ini dia malah pengen diladeni dua perempuan beda generasi.” cerocos Boy lancar ketika aku sudah masuk di dalam mobilnya. Perjalanan kami berakhir di pelataran hotel mewah. Aku turun dan seperti biasa langsung menemui tamuku itu di kamarnya.

Pria itu terlihat sumringah melihatku. Matanya pun tidak segan-segan langsung menjilati sekujurku dengan rakusnya. Mengajakku masuk. ”Angela, ini dia partnermu malam ini...” ujarnya pada perempuan lain yang ternyata sudah tiba lebih dulu. Aku mengikutinya dan langkahku mendadak terhenti ketika Angela muncul di hadapanku lengkap dengan matanya yang terbelalak.

Mama...

Selasa, 04 September 2012

Bayang Samar di Hatimu


Berkas-berkas cahaya Sang Surya dengan garang menerobos sela-sela tirai yang sepertinya lupa merapat menaungiku. Aku berguling sembari mendecak berusaha mencari tempat yang lebih tersembunyi, ditonton tirai yang terlalu sopan dalam kebisuannya sehingga tidak lancang melakukan apa pun sebelum kuminta.

Putus asa karena tidak jua menemukan tempat persembunyian dari sundutan pandangannya yang tajam menyilaukan, akhirnya aku menyerah. Duduk di tengah ranjang yang acak-acakan. Mataku perih. Tanpa perlu memastikan lewat cermin aku tahu bagaimana rupaku sekarang.

Aku terlonjak oleh getaran ponsel yang ternyata tertimpa pahaku. Nama Indy berkedip-kedip di sana. Aku malas menjawab, tapi sadar itu tidak akan menghentikan terornya. Maka aku mengambil keputusan yang lebih bijak dan menekan tombol untuk menjawabnya, ”Halo...”
”Kamu gak ngantor hari ini?”serbunya.
”Nggak. Aku rada kurang enak badan, Ndy... Tolong mintakan izin ke Bu Jeanne yah.” sahutku serak.
”Kamu nggap apa-apa, Dan?” tanyanya setelah jeda sesaat.
”Iya. Cuma gejala flu kayaknya. Gak apa-apa, kok.”
”Oh ok. Pantes suara kamu serak. Istirahat aja hari ini. Lekas sembuh, yah...” Aku mengangguk meski sadar dia tidak akan melihatnya lalu mengakhiri pembicaraan kami.

Setelahnya aku kembali bergelung di ranjangku. Diam di sana. Menatap kosong ke satu titik dengan pikiran mengawang tanpa sanggup kucegah. Dengan mudahnya menghadirkan kembali kejadian semalam diikuti pertanyaan-pertanyaan tentangnya yang merongrongku. Dan itu hanya memicu perih yang menularkan rasa panas di kedua sudut mataku. Meleleh serupa lahar panas membakar permukaan yang dilewatinya. Aku hanya pasrah membiarkannya, berharap dengan demikian maka rasa perih ini akan berkurang.

Tapi yang terjadi hanyalah gelombang besar yang tercipta, dengan ganas meraupku ke dalam pusarannya. Mengombang-ambingkanku sekena hati, tanpa sedikit pun usahaku melawan kehendaknya. Hal yang sudah begitu fasih kulakukan ketika merelakan hatiku untuk dipenuhi olehnya.

Bella.

***
Sejak di hari pertama mengenalnya, Bella sudah menarik hatiku. Sorot matanya yang lembut, suaranya yang senantiasa mengalun lembut saat dia berbicara, dan tawanya yang manis hanyalah segelintir mantera dari keseluruhan sihir berujud dirinya. Sihir maha dahsyat yang tanpa kesulitan berarti langsung menjeratku di dalam labirinnya. Bertekuk lutut tanpa perlawanan apa-apa di hadapannya. Lalu bermimpi tentang segala keindahannya yang hanya akan jadi milikku. Terlalu buta atau terlalu tolol untuk sadar bahwa sudah ada yang lebih dulu memilikinya. Bahwa segala pendar miliknya tidak akan dibagi-bagikannya selain hanya kepada orang yang sudah dia pilih.

Aku serupa prajurit garis depan yang hanya bermodalkan keyakinan tanpa senjata dan perlengkapan perang yang memadai. Aku hanya prajurit ingusan yang terlanjur mabuk oleh mimpi-mimpi untuk bisa meraih kemenangan, berhadapan dengan musuh yang lebih mapan dan matang persiapannya. Aku hanya prajurit lugu tak berharga yang hanya layak dijadikan umpan untuk mengecoh lawan.

Aku hanya... Terlanjur jatuh cinta padanya.

Dan dia tahu. Dengan. Sangat. Jelas. Semua. Perasaanku.

Lalu berenang-renang dengan tenang di sana. Berkecipak menghasilkan riak di sekelilingnya. Mengaduk-aduk seisinya. Menciptakan ombak, gelombang bahkan pusaran. Apa pun yang dia inginkan. Dialah ratu yang menguasai tempat itu sepenuhnya.

“Aku mendadak diundang makan malam bareng keluarga Hans besok. Gak apa-apa, yah?” ujarnya  dengan tampang bersalah.
”Gak apa-apa dong. Lain kali masih bisa kok.” ujarku.
”Beneran? Kamu nggak marah, kan?” Aku menggeleng kuat-kuat.
”Gak kok. Undangan itu lebih penting. Kita nontonnya kapan-kapan ajah.” Dia menatap mataku lekat selama beberapa saat seolah ingin memastikan sebelum akhirnya mengangguk lega. Dia kembali berbinar. Relungku kembali hangat.

Ya. Hanya itu yang kubutuhkan. Binar di rautnya dan aku pun kembali bernapas.

Aku menatap dua lembar tiket yang baru bisa kuraih setelah antre berjam-jam hanya karena dia sangat suka dengan aktor yang menjadi bintang utamanya, sekarang tidak ada bedanya dengan kertas bekas memo yang tidak terpakai lagi. Dan satu-satunya tempat yang layak buatnya sekarang hanya di tong sampah.

Ya, tidak mengapa. Seberapa banyak janji yang akhirnya harus dibatalkan hanya karena mendadak Hans punya rencana untuk mereka berdua. Seberapa banyak rasa kecewa yang menggunung ketika semangat yang berkobar hanya bisa pasrah tersiram air sedingin es, menyisakan desis dan gigil di relungku. Tidak mengapa. Aku rela.

”Setelah segala kekecewaan itu, kenapa sih kamu masih tetap ngotot masuk di antara mereka? Emangnya kamu gak liat Bella sangat mencintai Hans? Seluruh dunia tau itu.” cetus Indy suatu ketika saat kami makan siang bersama.

Bukan kali ini saja dia melontarkan pernyataan itu sekedar untuk mengingatkan posisiku. Tapi semua nesehatnya hanya nangkring sejenak, mengusap permukaanku yang keras lalu lenyap tak berbekas. Kalau aku diumpamakan bongkahan batu dan nasehatnya adalah air yang meski bisa melubangiku, maka butuh berapa abad hingga hal itu terjadi? 

Lagipula tidak tepat jika dia menuduhku yang terlalu ngotot masuk di antara mereka. Karena jika Hans adalah cahaya di hatinya, maka aku hanyalah bayang-bayang. Dan letak bayang-bayang tak lain hanyalah di belakang. Tersembunyi dan diabaikan. Terlalu samar untuk dianggap ada. Lihatlah. Aku bahkan tidak cukup terhormat untuk berada di antara mereka. Sedikit pun. Tapi meskipun demikian tidak mengapa. Aku rela.

Namun kesabaran selalu berbuah manis. Aku telah membuktikannya sendiri. Seperti hari itu saat Bella mendadak muncul di depan rumahku, lalu tanpa aba-aba menghambur ke dalam pelukanku menumpahkan tangis sekaligus lukanya di dadaku. Hans telah meninggalkannya.

”Dia pasti sedang mempermainkan kamu, Dan. Masa kamu gak sadar? Dia cuma sedang sakit hati karena Hans meninggalkannya.” Aku hanya mendecak tak sabar ketika Indy lagi-lagi menghujaniku dengan kata-kata bijaknya.
”Ndy, dulu waktu aku masih berusaha mengejar kamu bilang ngotot menyelinap di antara mereka. Sekarang setelah aku akhirnya bisa bersamanya, kamu malah menuduh dia sedang mempermainkan aku? Harusnya kamu ngasih selamat.”
”Dan, dengerin aku dulu...” Aku menggeleng.
”Apa sih susahnya ikut berbahagia saat sahabat kita sedang berbahagia juga?” tandasku membungkamnya.

Setelah itu Indy memang tidak lagi mengungkit-ungkit tentang aku dan Bella. Dia memang sahabatku, tapi rasanya keterlaluan jika dia terus-terusan berprasangka buruk terhadap perempuan yang kucintai. Setelah sekian lama aku hanya menjadi bayang-bayang samar di relungnya, sekarang tatapannya benar-benar tertuju padaku. Setelah sekian lama hanya bisa memimpikannya, sekarang dia begitu nyata di dalam pelukanku. Setidaknya hingga saat aku melihat nama Hans berkedip-kedip di ponselnya.

Bella memang tidak mengelak masih sesekali berhubungan dengan Hans, namun menurutnya hubungan mereka sekarang hanyalah sebatas teman. Dan apakah aku sudah berhak marah atau cemburu? Dan jika memang sudah, apakah aku bebas menggunakan hak untuk itu? Setidaknya Bella jujur padaku. Itu sudah cukup. Benarkah?
”Aku memang berjanji akan belajar mencintaimu, Dan. Tapi aku masih butuh waktu dan kuharap kau mengerti. Hubungan kita sekarang ini...” Dia tidak meneruskan kalimatnya seolah kebingungan mencari-cari kata yang sepadan untuk 'hal' itu.

Dan detik itu juga aku sadar bahwa ternyata aku masih berupa bayang-bayang samar di relungnya yang masih dipenuhi cahaya bernama Hans. Meski dia memang telah mempersilahkanku masuk, namun itu hanya basa-basi kesopanan terhadap tamu. Tamu yang tidak menetap selamanya. Tamu yang harus dengan sukarela dipersilakan pergi kapan pun tuan rumah menghendaki. Namun lagi-lagi meskipun dengan segala kesadaran yang memerihkan itu. Aku rela.

***
Aku berdiri di depan pagar rumahnya, menunggu dibukakan. Hal yang nekad kulakukan setelah selama hampir sebulan belakangan dia menghindariku. Hal yang mungkin dia rasa demi kebaikanku, namun ternyata itu membuatku semakin lemah. Ketiadaannya seolah merenggut kehidupanku. Keacuhannya membuat keberadaanku menjadi tak berarti. Sebut aku tolol, gila, atau entah apa pun, tapi setelah semua yang terjadi di antara kami perasaanku padanya tidak berkurang.

Aku akhirnya melihatnya menghampiri lalu membuka pagar dengan raut datar. Seberapa dingin sikapnya tidak menyurutkan niatku. Setelah aku masuk, dia pun menutup pintu lalu berjalan mendahuluiku. Aku menahan tangannya.
”Bella, aku nggak akan lama-lama.” ujarku.
”Apalagi yang mau diomongin, Dan? Setelah semuanya…” Aku menelan ludah.

”Aku sadar sampai kapan pun aku nggak akan cukup pantas buatmu. Tak berhak mendapatkan cintamu. Tapi aku merasa tetap berhak mencinta kamu.” kataku memulai. Dia menatapku dengan pandangan yang tak mau repot-repot kuterjemahkan.

”Meski mungkin di hatimu aku bahkan tidak masuk hitungan yang kesekian. Meski mungkin segala perasaanku ini tidak ada nilainya di matamu. Terserah kamu mau menyebutku apa. Aku rela.” lanjutku. Tak sedetik pun aku memalingkan pandangan darinya. Sekilas aku melihat riak halus di matanya.

”Cinta ini masih milikmu.”

Dia tidak mengatakan apa-apa hingga aku berlalu dari hadapannya. Melangkah gagah penuh kemenangan menghampiri mobilku. Masuk ke dalam dan selama beberapa saat hanya duduk diam. Hingga akhirnya kehangatan kembali mengisi relungku dan seluruh organku kembali bekerja.

Aku menyalakan radio. Musik pun mengalun mengiringi perjalananku.

♪ Aku rela ooo aku rela
Bila aku hanya menjadi
Selir hatimu untuk selamanya
Ooo aku rela ku rela
Ooo aku rela ku rela ♫

Senyumku mengembang.
Asin dan basah...

Sabtu, 01 September 2012

Sang Algojo


“Kamu tidak lupa rencana kita malam ini, kan?”
Aku menghela napas. Jadi sepagi ini dia menelepon cuma untuk mengingatkan hal itu? ”Ya. Aku tidak lupa.” sahutku.
”Ok. Setelah urusanmu kelar aku jemput.” ujarnya lagi.
”Iya... Iya...” sahutku rada kesal. Dia tertawa lalu membujukku sebelum akhirnya telepon kami akhiri dengan senyum menghiasi bibirku.

Aku merebahkan diri di ranjang. Setelah sebulan belakangan dirundung gelisah bercampur ragu sehingga mengulur-ulur waktu, saatnya pun tiba. Malam ini. Apakah kali ini aku benar-benar sudah siap? Tapi siapa sih yang bisa benar-benar siap? Ah, sudahlah. Siap tidak siap malam ini aku akan menuntaskan semuanya.

***
Sapu tangan yang menutupi sepasang mataku sudah dilepas, tapi mataku masih terpejam menunggu instruksinya. Napasnya menyapu hangat telinga kiriku, “Buka matamu…”

Mataku perlahan terbuka dan untuk sesaat napasku tertahan. Di hadapanku sudah menanti sebentuk keik ulang tahun yang indah lengkap dengan lilin yang menyala. Mataku langsung berkaca-kaca. Dengan lembut dia menggenggam jemariku. ”Selamat ulang tahun, Bella... I love you.”

Aku seolah kehilangan kata-kata. Hanya mengangguk lalu mengecup pipinya. Setelahnya dia menyemangatiku untuk berdoa. Aku pun kembali memejamkan mata. Berdoa sekaligus menyebutkan harapanku. Satu-satunya harapan yang kuinginkan sekarang hanyalah agar semuanya bisa tuntas malam ini. Setelahnya dengan sekali tiup lilin yang tadinya menyala pun padam sudah, menyisakan asap tipis di ujung-ujungnya.

”Wah, harapanmu bakal terkabul tuh!” cetusnya penuh semangat.
”Amin...” sahutku.
”Sekarang waktunya makan malam. Keik menyusul belakangan, ya? Aku juga sudah nyiapin film yang bagus. Kita bisa makan keik sambil nonton bareng...”

Tanpa buang waktu dia segera menyisihkan keik, lalu dengan trampil membentangkan serbet di pahaku dan kami pun menikmati makan malam yang sudah dia siapkan. Dia terlihat sangat bersemangat malam ini. Wajahnya berpendar tersaput bahagia yang tak repot-repot dia tahan. Suaranya yang ceria mengisi ruangan yang hanya berisi kami berdua serupa letupan-letupan kembang api, berlomba-lomba dengan kebisingan yang memenuhi kepalaku.

Seusai makan malam, aku tidak kuasa menolak ajakannya untuk berdansa diiringi musik syahdu yang sayup-sayup. Tubuh-tubuh kami menempel dekat. Lekat di dalam pelukan yang merekat erat. Tidak ada kata-kata. Tidak perlu kata-kata. Degub jantungnya yang menempel di telingaku sudah cukup. Degub yang begitu tenang melenakan, namun tetap tidak dapat menenangkan sesuatu di dadaku yang terus saja meruyak ingin keluar.

Aku mendongak menatap matanya. Mata coklatnya yang hangat. Menimbang-nimbang lagi dalam hati. Apakah sekarang saatnya? Atau bukan? Menangkap keraguanku, gerakan kami pun terhenti. Selama beberapa saat kami hanya diam, sementara musik syahdu masih terus mengalun.
”Kamu nggak apa-apa, Bell?” tanyanya lembut. Ditanya begitu aku hanya sanggup menggeleng meski langsung melerai pelukannya. Berjalan menjauh lalu menghenyakkan diri ke sofa. Dia mengikutiku.

”Bella...”
”Maaf, aku tidak bermaksud... Danny, aku senang dengan semua yang kaulakukan untukku malam ini, tapi...” Kata-kataku masih tercekat sementara dengan sabar dia menantiku yang masih kerepotan mengurai kalimat. Padahal sudah berkali-kali aku melatihnya, tapi tetap saja...
Dia berlutut lalu meraih tanganku. Meremasnya lembut. ”Katakanlah...”

Aku kembali menatapnya. Apakah memang sekarang saatnya? Apakah...
”Hans mengajakku untuk memulai lagi...” Sepasang alisnya langsung bertaut dan binar yang semula mengisi matanya pun mulai redup. Meskipun genggamannya masih bertahan, seolah memberiku kekuatan untuk melanjutkan atau dia terlalu tak bertenaga untuk memindahkannya.

”Dan aku bersedia untuk memulai lagi dengannya... Aku masih dan mungkin memang akan terus mencintainya...”

Palu diketukkan sudah. Kata-kata itu meluncur sudah dari sela bibirku dan tak akan kutarik lagi. Seperti tebasan sang algojo yang tanpa belas kasihan mengakhiri kehidupan dengan sekali ayunan. Meskipun aku tahu dengan pasti melukainya seperti ini adalah hal yang sebenarnya sangat kubenci. Dia yang sudah begitu sepenuh hati menjagaku selama masa-masa keterpurukanku.

Tapi bukankah selama ini aku juga sedang membunuhnya perlahan dengan terus-terusan membohonginya? Berpura-pura menerima cintanya padahal dengan sadar hanya memperalatnya untuk melipur perih dari luka yang digoreskan laki-laki itu. Dengan berdarah dingin memanfaatkannya hanya untuk mengisi kekosongan sementara hingga tiba waktunya sang pemilik yang sah menempatinya kembali.

Apapun itu. Keadaan tidak akan berbeda baginya. Dia tetap menjadi pihak yang terluka.

”Maafkan aku...” Dia menggeleng.
”Aku sadar selama ini hanya menumpang sementara di hatimu. Cintamu masih begitu besar untuknya. Jadi... Aku memang harus siap kapan pun dia muncul dan mendepakku keluar dari hidupmu.” Senyum pahit menggores bibirnya. ”Dan sepertinya sekaranglah waktunya.”

Aku balas meremas tangannya, seolah dengan begitu luka yang kugoreskan akan sedikit membaik. ”Kau berhak mendapatkan yang lebih baik, Dan. Suatu hari kau akan bertemu dengannya.” hiburku.
”Benarkah?” Mata coklatnya menembus tatapanku. Dengan yakin aku mengangguk. Dia mengangguk tapi tanpa keyakinan.

Klakson mobil yang menjerit dua kali di depan rumah seolah menjadi penanda waktuku dengannya benar-benar sudah usai. Hans sudah tiba sesuai janjinya. Tanpa buang waktu aku segera berkemas diikuti pandangannya.
”Aku harus pergi sekarang...” ujarku. Dia mengangguk tapi tidak bergerak dari posisinya hingga akhirnya aku menutup pintu yang memisahkan kami. Menghampiri Hans yang dengan senyum terkembang menyambutku.

Aku menyambut senyumnya. Mencium pipinya.
”Aku sudah reservasi restoran untuk merayakan malam yang istimewa ini.” Aku hanya mengangguk. Ya. Rayakanlah. Malam ini pasti terlalu istimewa, sayang dilewatkan begitu saja.

Sekilas bayangan asap tipis di atas lilin muncul di benakku.
Harapanku benar-benar terkabul.

Jumat, 31 Agustus 2012

Puisi : Tabir


Tabir
putih keabuan
bertumpuk,
bergumul di pelupuk
bergelayut, berarak perlahan

Tabur
dengan hanya sekali sentakan
meninggalkan jejak halus tak kasat mata
menyisakan tanya minus jawaban
serupa pucuk meronta tertimbun tanah

Tebar
jauh menguar
melebar
dan terus menerus diumbar
diikuti puluhan pasang mata di sekeliling mimbar

Tabir
perlahan satu per satu
membebaskan diri dari ikatan
yang sedari tadi sudah bermandi peluh
bertahan menutupi menghalau godaan

Tabur
mengoles hasrat
setipis mungkin di sekujur perawan
diikuti sungging sekelompok aurat
merasa menang setelah begitu lama dalam penantian

Tebar
keluar
menyusuri selasar
yang sekarang berpijar
diikuti desah tertahan dan mata-mata nyalang nan liar

Melipir
setengah mencibir
menawarkan madu dunia di ujung bibir
dari sekujur yang mendadak nyinyir
merangsek bebas tanpa tabir

Kamis, 30 Agustus 2012

Flash : Cintaku Hening


“Kayaknya cintamu tidak sebesar cintaku padamu,” rajukmu. Sore itu kita duduk berdua di beranda belakang rumah, mengawasi jarum-jarum terjun bebas dari langit membasahi rerumputan. Aku hanya tersenyum. Kau langsung membuang muka.

“Kau hampir tidak pernah lagi bilang cinta ke aku. Kamu gak kayak pacar Irene yang rajin menghujaninya dengan ucapan dan rayuan cinta.” keluhmu lagi malam ini saat kita duduk berhadapan di meja makan. Sup buatanmu masih mengepul di antara kita. Malam ini kita merayakan satu dasawarsa kebersamaan kita.

Apakah kau lupa? Aku selalu suka dengan parasmu yang sedang merajuk. Bibir ranum yang sedikit mengerucut saat menyendokkan sup ke dalam mangkuk-mangkuk kita. Kerling kesal yang menurutku semakin menambah kilau mata indahmu.

Dalam hening kita menyendok sup lalu menyuapkannya ke dalam mulut. Rasa asin yang teramat sangat menyapa kuncup perasa di lidahku. Membuat mereka seketika blingsatan.
”Supnya keasinan banget, yah? Pasti tadi aku kelupaan jadi masukin garam lagi.” Rasa bersalah meredupkan matamu. Kau buru-buru bangkit untuk menyingkirkan sup itu, tapi aku menahanmu.
The soup is fine... I like it.” kataku lalu menambahkan, “Aku ingin meminum sup yang sama satu dasawarsa lagi. Seperti sekarang. Bersamamu.”

Apakah kau lupa? Titik-titik air mata yang menggenangi pelupuk matamu jauh lebih indah daripada kilau berlian yang melingkari jemari kita. Dan keheningan saat kau terbenam di dalam pelukku bernilai jutaan kali kata dan rayuan cinta.

Cintaku hening.
Tanpa gemerlap apalagi hingar bingar.
Dan kau tahu itu.

Selasa, 28 Agustus 2012

Flash : Ngidam


Aku mengelus-elus perutku yang mulai membusung sembari dengan santai menusuk-nusuk potongan hati di piringku, menyuapkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya perlahan sebelum menelannya. Begitu terus berulang-ulang satu per satu, hingga akhirnya piring di hadapanku kosong.

Aku membersihkan mulutku, lalu membereskan piring di hadapanku. Setelahnya kembali lagi menemuimu yang masih duduk bersandar di tembok dengan perut menganga. Aku membungkuk.

”Semua demi anak kita. Dia pengen mencicipi hati bapaknya...” bisikku di telingamu sembari membelai perutku. Setidaknya kelak anak kita tidak akan terus-terusan berliur.

Flash : Kleptorella


Entah kenapa ketika menatap rautnya aku merasa kami pernah bertemu. Tapi bagaimana mungkin? Dia tidak mengenaliku, dan perasaan tidak asing yang kurasakan pasti bukan apa-apa. Aku berdansa dengan tetamu lain, dia juga begitu. Tapi rasa penasaran yang besar akhirnya menuntunku menghampirinya, mengulurkan tangan, mengajaknya berdansa.

Kami berdansa hingga lagu usai dimainkan, berlanjut ke lagu berikutnya. Dia memang sangat menawan. Tawanya juga sangat merdu. Beberapa pria lain pasti hanya bisa mendongkol karena aku telah memonopoli perempuan tercantik di pesta ini.

Teng... Teng.. Teng...

Jam di tengah aula berdentang dan dia pun mendadak panik. Aku hanya tertawa ketika dia ngotot harus segera meninggalkan pesta, teringat pada dongeng tentang Cinderella yang harus pulang sebelum jam dua belas malam. Tapi toh akhirnya aku tidak bisa menahannya lebih lama. Tapi ketika aku sadar belum menanyakan nomor teleponnya, maka aku segera menyusulnya.

Koridor itu sudah kosong. Sosoknya tak terlihat lagi. Aku menyumpahi ketololanku dan saat itu mataku menangkap sesuatu. Aku menghampirinya dengan rasa takjub. Jadi dongeng Cinderella itu nyata? Aku meraih sebelah sepatu itu. Bukan sepatu kaca seperti di dongeng.

Aku mengenalinya mirip dengan sepatu yang raib dua hari yang lalu ketika serombongan perempuan masuk menyibukkan seisi toko, dan pertanyaan tentang pertemuan kami sebelum ini pun terjawab bersamaan dengan ingatanku ketika dengan manis dia meminta diambilkan sepasang sepatu. 

Yang tak pernah dibayarnya. 

Flash : PiƱata


Udara terik membakar sekujurku yang sudah sedari tadi tergantung di tengah keriuhan. Dengan mata lelah kupandangi mereka yang asik mengobrol sembari meminum isi gelas mereka yang warna warni. Anak-anak berlarian hilir mudik. Suasana sedikit hening ketika seorang perempuan tambun dengan baju menyala naik ke pentas mungil sembari menggandeng putranya. Dia menyampaikan pidato singkat yang ditutup dengan tepuk tangan riuh para tamunya.

Sekarang sekujur tubuhku sudah sangat nyeri dan aku bahkan sudah tidak bisa merasakan beberapa bagiannya. Dan dengan mata nanar aku melihat putranya turun dengan sebilah tongkat, menghampiriku. Aku diserang panik. Apa yang akan dia lakukan terhadapku dengan tongkat itu?

Aku hanya bisa berteriak dan meringis ketika tongkat itu dengan keras dipukul-pukulkan ke sekujurku. Tidak ada belas kasihan di wajah mereka. Yang ada malah rasa puas diiringi tepuk tangan dan teriakan untuk menyemangatinya. Pukulan demi pukulan mendarat di sekujurku, tanpa dayaku menghentikan mereka.

Aku semakin lemah dan ketika akhirnya tubuhku terbelah, mereka semakin bernafsu. Anak-anak itu berjongkok di bawahku, berebutan. Ada yang mengambil jantung, hati, lambung, dan segala isi tubuhku yang terburai. Hingga ketika akhirnya tak ada lagi yang tersisa, mereka tetap membiarkanku tergantung. Seperti monumen. Untuk pesta putra mereka tercinta.

Minggu, 26 Agustus 2012

Flash : Di balik Topeng


Aku lega karena akhirnya pesta usai dan tetamu sudah meninggalkan rumahku. Dengan gontai aku masuk ke kamarku lalu duduk di depan cermin. Menatap pantulan di sana. Raut wajah ramah. Wajah yang membuat orang-orang betah berlama-lama. Wajah yang begitu bersahabat.

”Topeng yang bagus.” Kau bersandar di pintu kamar yang terbuka. Dengan tidak sabar aku langsung menarik helaian tipis di bawah daguku, melepasnya.

Wajah ramah pun hilang, berganti dengan raut kecut.
”Memang bagus, tapi sangat melelahkan. Lihat saja mereka. Tamu-tamu yang memuakkan itu. Untung saja aku tidak perlu mengenakan topeng ini sepanjang waktu. Bisa-bisa aku mati!” tukasku. Kau tersenyum. Aku menatapmu dari cermin.

”Aku lebih suka rautmu yang sebenarnya. Di balik topeng itu.” ujarku. Ketus.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Puisi : Biru


Biru.
Matamu. Serupa warna langit di suatu hari yang cerah. Saat awan-awan yang genit hanya bisa berdiri di sudut menahan keras jemari mereka yang genit ingin menyentuh permukaannya yang bening. Bahkan di keremangan, aku bisa melihat warnanya yang tetap cemerlang.

Biru.
Gaun mini yang melekat indah di tubuh mungilmu. Berayun-ayun gemulai dipermainkan angin yang berhembus pelan, tidak ingin buru-buru berlalu meninggalkan kulitmu yang serupa pualam. Yang tak kaupedulikan bahkan ketika bibir-bibirnya berlabuh mendarat, dengan rakus menyelusup ke dalam.

Biru.
Kau hanya tersenyum malu-malu ketika gaunmu tersingkap memperlihatkan mangkuk dan segitiga berwarna senada. Renda-renda saling bertaut rumit, yang begitu tipis dan terlihat kewalahan menahan gumpalan dan gairah yang terpancar dari sekujurmu. Menanti dengan tak sabar. Menggeliat kepanasan hanya dengan belaian lembut dan samar di kulitmu.

Biru.
Warna seprei satin yang melapisi ranjang, membuatmu terlihat seperti lukisan. Lukisan patah-patah yang samar bercerita tentang haru biru perasaan yang mungkin sedang menggeliat di seluruh relungmu sekarang. Begitu liar karena terusik di dalam tidur panjangnya.

Biru.
Karet tipis yang kaupilih buatku malam ini. Tak perlu kutanya kenapa. Aku tak berminat. Tapi dengan duri-duri mungil di sekujurnya membuat penampilanku sangat gahar malam ini. Tapi tak mengapa, kau yang mengingininya. Kau yang bergairah dengan segala bayangan liar di kepalamu.

Biru
Sebutir benda mungil memisahkan bibir-bibir kita dengan manis. Sebelum akhirnya lenyap ke dalam mulut kita masing-masing setengah. Katamu benda mungil itu akan memastikan perjalanan kita ke surga malam ini. Lebih dahsyat dari yang sudah-sudah. Dan apa perkataanmu yang tidak kupercaya?

Biru.

Peluhmu.
Desahmu.
Gairahmu.
Surgamu.

Tanpaku.

Flash : Setali Tiga Uang


Aku menjinjing plastik berisi belanjaanku, berjalan menyusuri pelataran parkir saat dari balik kacamata hitam aku menangkap pemandangan itu.

Sepasang manusia, mungkin mereka suami istri atau masih sebagai kekasih. Si perempuan menangkupkan kedua telapak tangan di wajahnya. Sepasang bahunya bergetar. Jelas terlihat di mataku dia sedang menangis. Sementara si laki-laki berdiri di hadapannya, berkacak pinggang, dengan wajah merah padam diiringi teriakan berisi makian yang bahkan membuat dadaku ngilu.

Sadar ada yang sedang menonton, laki-laki itu dengan tidak sabar langsung menarik lengan perempuan itu menjauh meninggalkan tempat itu. Sekilas aku bisa melihat memar di sudut bibirnya. Memar berwarna keunguan.

Sama seperti yang melingkari mata kananku.

Flash : Jaminan


“Papa pergi dulu, yah.”

Dia berbisik di perutku yang membusung. Membelai lalu mengecupnya penuh sayang sebelum mencium keningku. Aku melambai mengantarnya berlalu. Itu adalah ritual yang setiap pagi kami lakukan belakangan ini, sejak aku akhirnya berhasil hamil. Buah hati yang sudah sangat dia nanti-nantikan bahkan sejak pernikahannya yang pertama dulu.

Ya, aku adalah istrinya yang keempat. Istri yang sangat dia harapkan bisa memberi keturunan yang gagal dia dapatkan di pernikahan sebelumnya. Dan demi jaminan hidup keluargaku, maka aku juga sama berambisi dengan dirinya untuk bisa memiliki keturunan. Tanpa anak maka aku hanya akan bernasib serupa dengan mantan-mantan istrinya. Terbuang.

Aku terlonjak ketika seseorang menyentuh lenganku. Membelai tepatnya. Ternyata Joko, tukang kebun yang sudah dua tahun ini bekerja di rumah kami. Dia menatapku lekat sembari menyeringai. ”Kau makin cantik. Montok!” pujinya sembari menelanjangiku dengan tatapannya.
“Jaga omonganmu, Ko!” Dia hanya terkekeh.
”Iya... Iya... Kok langsung sewot. Bawaan orok, ya?” Aku mengacuhkannya dan ingin kembali ke dalam rumah, namun dia langsung menahanku. ”Jangan lupa perjanjian kita.” bisiknya sembari menatap tajam ke arah perutku lalu beranjak.

Flash : Padam


Malam. Kelam. Tenggelam. Padam

Bibirku sudah mati rasa. Lidahku kelu dan pegal luar biasa. Setelah pergumulan yang harusnya menghadirkan jutaan rasa. Yang selama ini selalu kita cecap tanpa setitik pun merasa dipaksa. Seperti yang sekarang kurasa.

Aku seolah terseret ke dalam pusaran. Megap-megap berusaha keluar dengan segala daya yang tersisa. Seperti ikan-ikan Salmon yang berenang menantang arus, begitulah aku. Begitu keras berusaha melawan arus yang menyeretku menjauh. Darimu. Dari manis madu gairah.

Aku tak rela melepas lalu pasrah membiarkan diriku terhisap habis. Aku yakin masih ada yang tersisa jauh di sana, di relungku. Seperti nyala lilin mungil yang bertahan sendiri di tengah hembusan angin kencang di sekeliling, berusaha memadamkan nyalanya.

Kau menatapku. Tak perlu kau katakan pun aku sudah tahu. Semua putus asa yang terpancar jelas di rautmu. Karena setelah semua yang kau lakukan. Aku tetap layu. Mengkerut kuyu. Serupa lintah yang berpuasa berwindu-windu.

”Padahal katanya itu Viagra yang asli.” keluhku. Hanya asap samar tersisa di atas lilin mungil. Nyalanya sudah padam.

Kamis, 23 Agustus 2012

Flash : Tuba


Matamu mengerjap beberapa kali seolah berusaha mengusir kabut tebal yang mendadak memburamkan pandanganmu. Setelahnya mulutmu bergerak-gerak tapi tidak ada suara yang merambat keluar. Seolah dalam gerakan lambat aku bisa membaca semua gurat di rautmu dengan sempurna. Segala rasa yang menguar dari sana.

Tanganmu mencengkeram taplak meja hingga buku-buku jarimu memutih. Betapa ingin aku mengenggamnya, sekedar untuk mengurai ketegangan yang mengurungmu seperti yang selalu kulakukan lebih dari satu dasawarsa belakangan ini sebagai sahabat yang paling mengerti kamu.

”Bagaimana mungkin? Kenapa kau...” Suaramu muncul tersendat, tercekik di tenggorokanmu. Bersamaan dengan genangan yang tidak lagi samar di matamu. ”Kupikir kita bersahabat...” sambungmu lagi. Ada luka di sana.
”Aku akan tetap menjadi sahabatmu...” sahutku dengan lidah kelu. Terlebih lagi ketika luka sudah menjalar ke sekujurmu tanpa menyisakan ruang kosong berisi maaf. Alangkah leganya aku jika kau memaki dan menamparku sekarang, namun kau hanya menatapku dengan matamu yang berleleran oleh luka sebelum bergegas pergi meninggalkan aku sendiri.

Setelahnya aku mengeluarkan dompet lalu menatap foto yang mengisi bingkai mungil di sana. Foto kita di hari pernikahanmu. Senyum mengembang di bibirku yang berdiri di antara kamu dan suamimu. Senyum miris menoreh rautku diikuti panas menyesak di mataku. Andai saja kita tahu itu adalah pertanda...

Tanganku bergerak lirih, membelai perutku yang membuncit.

Rabu, 22 Agustus 2012

Flash : Pengantin


Aku menatapnya. Pengantinku yang gemulai mempesona. Senyum mengembang di bibirnya yang berwarna merah muda. Aku meraih tangannya, menggenggamnya lembut. Kami saling menatap penuh cinta, mengacuhkan tatapan iri orang-orang di hadapan kami.

Musik dinyalakan dan kami mulai berdansa. Berputar mesra. Gaun putihnya yang bertaburan bunga warna-warni berkibar lembut. Tanganku memeluk pinggangnya dengan mantap. Bersama-sama kami menari berayun di pentas kami berdua diikuti tatapan takjub dan terpesona. Ketika musik berhenti kami kembali berdiri berdampingan dengan tangan tetap bertaut. Membungkuk sopan sebagai ungkapan terima kasih pada gemerlap di mata dan senyum yang memenuhi wajah mereka.

Itu adalah hadiah yang lebih berharga dari apa pun juga. Hadiah yang sudah tak terhitung berapa kali kami terima sejak kemunculan kami di sini. Di dalam sebuah bangunan serupa istana mungil bersama-sama puluhan pasangan pengantin di singgasana masing-masing dengan label indah bertuliskan angka di depannya. 

Sepasang kekasih sedang berdiri di depan singgasana kami. Aku bisa merasakan cinta yang begitu kuat mengikat mereka. Seperti cintaku dan pengantinku. Seorang perempuan berpenampilan rapi menghampiri mereka. Dia kukenali sebagai pemilik istana mungil ini.
”Yang ini produk terbaru kami, Mbak. Boneka pengantinnya bisa menari mengikuti irama musik. Kuenya juga bisa dimodifikasi berapa tingkat sesuai selera...” ujarnya semanis gula. Pasangan kekasih itu mendengarkan dengan penuh minat.

Musik kembali dinyalakan dan kami mulai berdansa.

Puisi : Dalam Dekapan Sepi


Pintu terbanting
lalu hening

Tiada lagi letupan memekakkan telinga
serupa mercon yang meluncur dari sela-sela bibir kita
dengan hujan ludah berisi serapah
serta mata yang panas akan pecah

Hanya aku sendirian di sini sekarang
meski sisa-sisa pertarungan belum total terbuang
beberapa sisa letusan masing terngiang
membuat dua sungai menggenang

Berisi benci,
sakit hati,
dan entah apa lagi

Yang perlahan menghilang
memudar dari sekujurku yang terasa gamang
lemas karena tenaga mendadak menghilang
menjauh tak menyisakan bayang

Dan saat itu kau datang menghampiri
melingkarkan lenganmu yang hangat
menentramkan aku yang merasa begitu sendiri
meredakan segala rasa yang tadi menyengat

Mataku terpejam
di dalam kedamaian yang begitu jernih
yang membuat segala rasa teredam
terhisap habis di balik sunyi

Kau yang kunamai Sepi
di dalam dekapanmu kurasakan
ketenangan yang begitu murni
yang hanya akan menghadirkan

Kerinduan yang begitu dalam
pada sosok tersayang
yang barusan menghilang
di balik pintu yang berdentam

Tapi tidak mengapa
di sini di dalam dekapan sepi
aku akan terus menanti
dia menyambutku kembali ke dalam peluknya...

Seperti yang sudah-sudah

Flash : Kejar Setoran


Langit sore dihiasi awan hitam yang bergulung-gulung. Sebuah metromini yang setengah penuh melaju ugal-ugalan menembus jalan yang macet dengan kesibukan jam bubar kantor. Di persimpangan seorang pelajar SMP menjulurkan tangan menyetopnya, namun sopir mengacuhkannya dan metromini pun terus melaju menjauh.

“Bang, yang tadi itu…” tegur penumpang yang duduk tepat di belakangnya.
“Halah, jam segini rugi ngangkut anak sekolah. Ongkos tak seberapa. Setoranku hari ini masih belum dapat. Nanti di simpang depan bakal banyak sewa karyawan yang baru pulang.” sahut sopir.
”Tapi kasian dia. Udah mau hujan...” timpal penumpang lainnya yang tak digubris sopir.

Namun ketika tiba di persimpangan yang dimaksud, ternyata suasana lengang. Maka metromini pun meneruskan  perjalanannya menyusuri rute dengan penumpang yang semakin berkurang. Langit mulai mencurahkan tangisnya. Jalan yang dilalui pun banjir dan mesin kendaraan itu mendadak mati tepat di depan halte.

Sopir berusaha menyalakan mesin yang hanya berakhir sia-sia. Tidak juga kuasa mencegah ketika para penumpang memutuskan keluar dan hanya membayar ongkos setengah perjalanan lalu menyetop metromini dengan rute serupa yang lewat tidak lama setelahnya. Meninggalkan sopir yang putus asa di dalam metromininya yang mogok. Memikirkan setorannya hari itu. Dan saat itu tatapannya bertemu dengan pelajar SMP di metromini yang menjauh.

”Ah, andai saja...” keluhnya penuh sesal teringat pada pelajar SMP yang dia acuhkan.

Selasa, 21 Agustus 2012

Flash : Maaf


“Maaf…” bisikku saat logam tipis berkilau itu dengan mudah menembus kulitmu yang sehalus bayi. Kau hanya menatapku dengan sorot terperangah, mungkin terlalu terkejut untuk menyadari semuanya.

”Maaf...” bisikku sekali lagi saat perlahan aku menarik logam itu keluar menjauh darimu. Tanpa perlu melihat aku tahu apa warnanya sekarang. Bisa kurasakan darah segarmu melapisinya. Dan sekarang matamu perlahan mulai terpejam dan tubuhmu begitu goyah untuk bisa berdiri.

Aku merengkuhmu bertepatan dengan dentingan logam menghantam lantai. Memelukmu erat seolah dengan begitu kita bisa langsung menyatukan tubuh-tubuh kita. Merasakan lembab di perutku. Kelembaban yang hangat dan lengket. Bisa kurasakan nafasmu yang terakhir tertinggal sedikit lagi di tenggorokanmu.

”Maaf... Aku harus melakukan ini...” bisikku saat napas terakhirmu menguap, menyisakan rongga kosong di paru-parumu. Aku memelukmu lebih erat. Menahan sesak yang semakin keras membuncah di dadaku, memaksa bulir-bulir air mata perlahan meninggalkan mataku seolah kepanasan berada di dalam sana. Kepanasan oleh perasaan yang meronta berusaha melepaskan diri dari kungkunganku.

”Sudah kaubereskan perempuan itu?” Aku hanya mengangguk lalu melepas tubuhmu yang sudah beku dengan perlahan di lantai. Tidak membantah atau mengeluh ketika lenganku ditarik sedikit paksa menjauh olehnya.

Suamiku.

Flash : The New ‘ME’

Aku mengamati rambut yang sedikit demi sedikit mulai terbabat habis. Menghela napas panjang berusaha menguatkan diri, mengabaikan decak stylist yang seolah menyesalkan keputusanku dan suara gunting yang begitu tajam seolah menyayat telingaku. Ya. Aku harus kuat. Tegar. Itu hanya rambut. Rambut yang sudah bertahun-tahun selalu kujaga dan kusayang layaknya benda paling berharga.

Semua demi dirinya yang sangat suka dengan rambut panjang hitam berkilau nan indah seperti milikku yang katanya sangat lembut saat dibelai. Tapi betapa naifnya aku yang begitu mudahnya percaya begitu saja pada setiap perkataannya yang manis. Sehingga akhirnya hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat menahan sakit hati ketika akhirnya dia berpindah kepada perempuan pemilik rambut panjang hitam berkilau indah lainnya.

Dasar laki-laki brengsek! Makiku dalam hati.

”Yak, sudah selesai. Wah! Mas jadi kelihatan beda deh dengan rambut cepak begini... Jadi macho gituh...” ujar stylist ramah. Aku mengamati sosokku yang terpantul di cermin lalu tersenyum puas. Ya. Inilah aku yang baru.

Jumat, 17 Agustus 2012

Puisi : Gerimis di Sore yang Manis


Di suatu sore yang manis
langit mendadak meringis
menghantarkan gerimis
yang mengalun lembut melankolis

Sore itu memang sangat manis
kucecap sudah rasanya yang tak habis-habis
berharap bisa menemukan rasa lain walau hanya seiris
tapi yang menyapa lidahku hanya manis

Betapa ingin aku tularkan rasa manis
ke mata indahmu yang dirundung tangis
tak sudah-sudah oleh ulah si Bengis
demikian aku selalu menyebutnya dengan sinis

Pertanyaan muncul tak berhenti mengais
rasa penasaranku tentangmu dan si Bengis
hubungan istimewa yang di mataku hanya berupa garis
yang dari hari ke hari semakin samar menipis

Aku tidak sama dengannya yang bengis
merobek hati dan relungmu tanpa sanggup kautepis
kaubiarkan dia bermain meski perasaanmu teriris
rasa perih, kecut dan asam yang kaunyatakan manis

Sore yang begitu manis
tak hanya ditemani langit yang meringis
namun juga harus menyaksikan tangis
yang dimataku tak lagi manis

Segala dayaku perlahan habis
nyaris tak bersisa lagi untuk meneteskan manis
yang langsung kering terhisap hubunganmu dengan si Bengis
menyisakan relungku sendiri yang ikut teriris

Gerimis di sore yang manis
biarlah hanya untukmu dan si Bengis
nikmatilah berdua sampai habis
aku sudah bosan dengan yang manis-manis

Menurutmu aku sinis?
Yo wis...

Kamis, 16 Agustus 2012

Flash : THR


“Pak, Weni udah punya baju baru…” Lastri, putri semata wayangku  mengabarkan setengah merengek. Weni adalah teman mainnya. Istriku yang sedang memotong-motong tempe sekarang menatapku. Aku mengusap kepala putriku.
”Iya. Hari ini Bapak dapat THR kok. Jadi bisa beli baju baru buat kamu.”
”Asiiikkk... Jadi punya baju baru...!!” Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Lalu bangkit, meraih jaketku, menatap istriku sejenak lalu keluar.

Namun yang kutemui hanya teman-teman dengan raut yang tak kalah lemasnya dari aku. Bersama-sama mereka aku berdiri di depan pintu besi yang tertutup. Lusa sudah Hari Raya, jika hari ini kami masih belum mendapatkan THR, maka itu artinya kami harus melalui hari dengan tangan kosong.

Sudah lewat tengah hari, kami pun meninggalkan tempat itu satu per satu. Aku yang paling belakangan berangkat dengan langkah kaki berat. Kata-kata Lastri dan raut wajah istriku berganti-ganti mengisi benakku, mengoyak-ngoyak harga diriku sebagai ayah dan suami.

Hingga saat itu mataku mendadak tertumbuk kepada dompet yang mengintip malu-malu dari tas perempuan di hadapanku dan bayangan baju baru buat Lastri langsung memenuhi pandanganku.

Puisi : Daftar Nama


Aku mengamati daftar
berisi nama-nama
yang sudah selesai kutata
berdasar inisial huruf di awalnya

Ada banyak nama
wajar saja aku sudah begitu jauh melanglang buana
ujung ke ujung di negeri antah barantah
meninggalkan jejak panjang di sana

Mereka semua yang tertera di sana
adalah orang-orang yang sangat istimewa
membawa warna-warni segala rupa
menghiasi duniaku menjadi begitu indah

Aku menggenggam pena
yang terindah dari semua yang kupunya
dan dengan lembut mengguratkan harap dan doa
teruntuk mereka yang ada di daftar nama

Tapi namamu tak ada di sana
bukan karena kau tak cukup istimewa
aku hanya merasa
kau terlalu indah disandingkan bersama-sama mereka
dan segala harap dan doa untukmu yang kupunya
tak cukup punya makna
jika hanya dengan guratan kata-kata
yang begitu indah namun terlalu biasa

Flash : Orok


Perempuan itu mengusap peluh yang mengembun di keningnya. Pasien terakhirnya baru saja berlalu. Dia lalu berbenah, membereskan ruang prakteknya sebelum menutup pintu tanpa jam kunjungan sudah usai. Setelahnya dia langsung ke ruang makan yang bersebelahan dengan dapur yang masih mengepul. Di meja makan sederhana dia melihat semangkuk sup yang masih beruap.

”Bentar lagi kelar, Bu.” kata putrinya yang masih sibuk di dapur. Dia mengangguk lalu menuangkan segelas air. ”Belakangan ini pasien makin rame.” sambung putrinya lagi.
”Iya. Semakin banyak yang ngerasa gampang. Kalo mau yah disimpen, kalo gak yah tinggal kemari. Dibuang.” sahutnya lebih mirip keluhan. Putrinya muncul tidak lama kemudian dengan sepinggan tumis.

Dia menciduk sup dengan perlahan. Gumpalan serupa daging itu mengingatkannya pada orok yang dia pijat keluarkan dari rahim pasien pertamanya hari ini. Orok yang masih berumur empat bulan.

Puisi : Kaset Rusak


Kau masih mencintaiku?

Kau bergeming, seolah pertanyaan itu bukan ditujukan buatmu
atau malah sama sekali tak tertangkap telingamu.
Aku tak bisa menyalahkanmu.
Mungkin kau sudah muak dengan pertanyaan yang itu-itu saja.
Pertanyaan yang begitu sering kuulang,
kutanyakan kepadamu
seperti kaset rusak
yang akan memutar bagian yang itu-itu saja.

Pertanyaan yang seringkali disusul
oleh kalimat dan kata-kata yang pecah seperti beling
menggelinding ke sekeliling.
Beling tajam yang dengan mudahnya
menyayat perasaan kita yang setipis kulit ari.
Mengucurkan luka,
menguarkan anyir darah
yang bebas mengudara
menyesakkan paru-paru kita.
Begitu seringnya adegan itu terekam di otakku
seperti kaset rusak,
mengulang adegan yang itu-itu saja.

Tapi aku merasa selalu butuh.
Kau tidak bisa menyalahkanku.
Meskipun memang sudah tidak terhitung berapa kali
kau mengulang-ulang jawaban yang sama,
dan aku akan acuh seolah deretan kata-kata itu
hanyalah bagian kaset rusak yang macet
sehingga mengulang yang itu-itu saja.

Padahal aku hanya sedang menanti saat itu
seperti pelangi yang muncul dengan anggun
setelah langit puas meraung.
Seperti kupu-kupu yang dengan hati-hati
menjejakkan kaki di bunga pertamanya,
menyesapi madu pertamanya dan terlena.
Seperti kecupan pertama kita
yang malu-malu layaknya perawan yang baru mengenal cinta.
Betapa ingin aku merekam adegan itu,
berharap kasetnya segera rusak dan macet
sehingga akan terus mengulang adegan yang itu-itu saja.

Kau masih mencintaiku?