Berkas-berkas
cahaya Sang Surya dengan garang menerobos sela-sela tirai yang sepertinya lupa
merapat menaungiku. Aku berguling sembari mendecak berusaha mencari tempat yang
lebih tersembunyi, ditonton tirai yang terlalu sopan dalam kebisuannya sehingga tidak lancang
melakukan apa pun sebelum kuminta.
Putus asa karena tidak
jua menemukan tempat persembunyian dari sundutan pandangannya yang tajam
menyilaukan, akhirnya aku menyerah. Duduk di tengah ranjang yang acak-acakan.
Mataku perih. Tanpa perlu memastikan lewat cermin aku tahu bagaimana rupaku
sekarang.
Aku terlonjak
oleh getaran ponsel yang ternyata tertimpa pahaku. Nama Indy berkedip-kedip di
sana. Aku malas menjawab, tapi sadar itu tidak akan menghentikan terornya. Maka
aku mengambil keputusan yang lebih bijak dan menekan tombol untuk menjawabnya,
”Halo...”
”Kamu gak ngantor
hari ini?”serbunya.
”Nggak. Aku rada
kurang enak badan, Ndy... Tolong mintakan izin ke Bu Jeanne yah.” sahutku
serak.
”Kamu nggap
apa-apa, Dan?” tanyanya setelah jeda sesaat.
”Iya. Cuma gejala
flu kayaknya. Gak apa-apa, kok.”
”Oh ok. Pantes
suara kamu serak. Istirahat aja hari ini. Lekas sembuh, yah...” Aku mengangguk
meski sadar dia tidak akan melihatnya lalu mengakhiri pembicaraan kami.
Setelahnya aku
kembali bergelung di ranjangku. Diam di sana. Menatap kosong ke satu titik
dengan pikiran mengawang tanpa sanggup kucegah. Dengan mudahnya menghadirkan
kembali kejadian semalam diikuti pertanyaan-pertanyaan tentangnya yang
merongrongku. Dan itu hanya memicu perih yang menularkan rasa panas di kedua
sudut mataku. Meleleh serupa lahar panas membakar permukaan yang dilewatinya.
Aku hanya pasrah membiarkannya, berharap dengan demikian maka rasa perih ini
akan berkurang.
Tapi yang terjadi
hanyalah gelombang besar yang tercipta, dengan ganas meraupku ke dalam
pusarannya. Mengombang-ambingkanku sekena hati, tanpa sedikit pun usahaku
melawan kehendaknya. Hal yang sudah begitu fasih kulakukan ketika merelakan
hatiku untuk dipenuhi olehnya.
Bella.
***
Sejak di hari
pertama mengenalnya, Bella sudah menarik hatiku. Sorot matanya yang lembut,
suaranya yang senantiasa mengalun lembut saat dia berbicara, dan tawanya yang
manis hanyalah segelintir mantera dari keseluruhan sihir berujud dirinya. Sihir
maha dahsyat yang tanpa kesulitan berarti langsung menjeratku di dalam
labirinnya. Bertekuk lutut tanpa perlawanan apa-apa di hadapannya. Lalu
bermimpi tentang segala keindahannya yang hanya akan jadi milikku. Terlalu buta
atau terlalu tolol untuk sadar bahwa sudah ada yang lebih dulu memilikinya. Bahwa
segala pendar miliknya tidak akan dibagi-bagikannya selain hanya kepada orang yang
sudah dia pilih.
Aku serupa
prajurit garis depan yang hanya bermodalkan keyakinan tanpa senjata dan
perlengkapan perang yang memadai. Aku hanya prajurit ingusan yang terlanjur
mabuk oleh mimpi-mimpi untuk bisa meraih kemenangan, berhadapan dengan musuh
yang lebih mapan dan matang persiapannya. Aku hanya prajurit lugu tak berharga
yang hanya layak dijadikan umpan untuk mengecoh lawan.
Aku hanya...
Terlanjur jatuh cinta padanya.
Dan dia tahu.
Dengan. Sangat. Jelas. Semua. Perasaanku.
Lalu
berenang-renang dengan tenang di sana. Berkecipak menghasilkan riak di
sekelilingnya. Mengaduk-aduk seisinya. Menciptakan ombak, gelombang bahkan
pusaran. Apa pun yang dia inginkan. Dialah ratu yang menguasai tempat itu
sepenuhnya.
“Aku mendadak diundang
makan malam bareng keluarga Hans besok. Gak apa-apa, yah?” ujarnya dengan tampang bersalah.
”Gak apa-apa
dong. Lain kali masih bisa kok.” ujarku.
”Beneran? Kamu
nggak marah, kan?” Aku menggeleng kuat-kuat.
”Gak kok.
Undangan itu lebih penting. Kita nontonnya kapan-kapan ajah.” Dia menatap
mataku lekat selama beberapa saat seolah ingin memastikan sebelum akhirnya
mengangguk lega. Dia kembali berbinar. Relungku kembali hangat.
Ya. Hanya itu yang
kubutuhkan. Binar di rautnya dan aku pun kembali bernapas.
Aku menatap dua
lembar tiket yang baru bisa kuraih setelah antre berjam-jam hanya karena dia
sangat suka dengan aktor yang menjadi bintang utamanya, sekarang tidak ada
bedanya dengan kertas bekas memo yang tidak terpakai lagi. Dan satu-satunya
tempat yang layak buatnya sekarang hanya di tong sampah.
Ya, tidak
mengapa. Seberapa banyak janji yang akhirnya harus dibatalkan hanya karena
mendadak Hans punya rencana untuk mereka berdua. Seberapa banyak rasa kecewa
yang menggunung ketika semangat yang berkobar hanya bisa pasrah tersiram air
sedingin es, menyisakan desis dan gigil di relungku. Tidak mengapa. Aku rela.
”Setelah segala
kekecewaan itu, kenapa sih kamu masih tetap ngotot masuk di antara mereka?
Emangnya kamu gak liat Bella sangat mencintai Hans? Seluruh dunia tau itu.”
cetus Indy suatu ketika saat kami makan siang bersama.
Bukan kali ini
saja dia melontarkan pernyataan itu sekedar untuk mengingatkan posisiku. Tapi semua
nesehatnya hanya nangkring sejenak, mengusap permukaanku yang keras lalu lenyap
tak berbekas. Kalau aku diumpamakan bongkahan batu dan nasehatnya adalah air
yang meski bisa melubangiku, maka butuh berapa abad hingga hal itu terjadi?
Lagipula tidak
tepat jika dia menuduhku yang terlalu ngotot masuk di antara mereka. Karena jika
Hans adalah cahaya di hatinya, maka aku hanyalah bayang-bayang. Dan letak
bayang-bayang tak lain hanyalah di belakang. Tersembunyi dan diabaikan. Terlalu
samar untuk dianggap ada. Lihatlah. Aku bahkan tidak cukup terhormat untuk
berada di antara mereka. Sedikit pun. Tapi meskipun demikian tidak mengapa. Aku
rela.
Namun kesabaran
selalu berbuah manis. Aku telah membuktikannya sendiri. Seperti hari itu saat Bella
mendadak muncul di depan rumahku, lalu tanpa aba-aba menghambur ke dalam
pelukanku menumpahkan tangis sekaligus lukanya di dadaku. Hans telah
meninggalkannya.
”Dia pasti sedang
mempermainkan kamu, Dan. Masa kamu gak sadar? Dia cuma sedang sakit hati karena
Hans meninggalkannya.” Aku hanya mendecak tak sabar ketika Indy lagi-lagi
menghujaniku dengan kata-kata bijaknya.
”Ndy, dulu waktu
aku masih berusaha mengejar kamu bilang ngotot menyelinap di antara mereka.
Sekarang setelah aku akhirnya bisa bersamanya, kamu malah menuduh dia sedang
mempermainkan aku? Harusnya kamu ngasih selamat.”
”Dan, dengerin
aku dulu...” Aku menggeleng.
”Apa sih susahnya
ikut berbahagia saat sahabat kita sedang berbahagia juga?” tandasku
membungkamnya.
Setelah itu Indy
memang tidak lagi mengungkit-ungkit tentang aku dan Bella. Dia memang
sahabatku, tapi rasanya keterlaluan jika dia terus-terusan berprasangka buruk
terhadap perempuan yang kucintai. Setelah sekian lama aku hanya menjadi
bayang-bayang samar di relungnya, sekarang tatapannya benar-benar tertuju
padaku. Setelah sekian lama hanya bisa memimpikannya, sekarang dia begitu nyata
di dalam pelukanku. Setidaknya hingga saat aku melihat nama Hans berkedip-kedip
di ponselnya.
Bella memang tidak
mengelak masih sesekali berhubungan dengan Hans, namun menurutnya hubungan mereka
sekarang hanyalah sebatas teman. Dan apakah aku sudah berhak marah atau
cemburu? Dan jika memang sudah, apakah aku bebas menggunakan hak untuk itu?
Setidaknya Bella jujur padaku. Itu sudah cukup. Benarkah?
”Aku memang
berjanji akan belajar mencintaimu, Dan. Tapi aku masih butuh waktu dan kuharap
kau mengerti. Hubungan kita sekarang ini...” Dia tidak meneruskan kalimatnya
seolah kebingungan mencari-cari kata yang sepadan untuk 'hal' itu.
Dan detik itu
juga aku sadar bahwa ternyata aku masih berupa bayang-bayang samar di relungnya
yang masih dipenuhi cahaya bernama Hans. Meski dia memang telah
mempersilahkanku masuk, namun itu hanya basa-basi kesopanan terhadap tamu. Tamu
yang tidak menetap selamanya. Tamu yang harus dengan sukarela dipersilakan
pergi kapan pun tuan rumah menghendaki. Namun lagi-lagi meskipun dengan segala kesadaran yang memerihkan itu. Aku rela.
***
Aku berdiri di
depan pagar rumahnya, menunggu dibukakan. Hal yang nekad kulakukan setelah
selama hampir sebulan belakangan dia menghindariku. Hal yang mungkin dia rasa
demi kebaikanku, namun ternyata itu membuatku semakin lemah. Ketiadaannya
seolah merenggut kehidupanku. Keacuhannya membuat keberadaanku menjadi tak
berarti. Sebut aku tolol, gila, atau entah apa pun, tapi setelah semua yang
terjadi di antara kami perasaanku padanya tidak berkurang.
Aku akhirnya melihatnya
menghampiri lalu membuka pagar dengan raut datar. Seberapa dingin sikapnya
tidak menyurutkan niatku. Setelah aku masuk, dia pun menutup pintu lalu
berjalan mendahuluiku. Aku menahan tangannya.
”Bella, aku nggak
akan lama-lama.” ujarku.
”Apalagi yang mau
diomongin, Dan? Setelah
semuanya…” Aku menelan ludah.
”Aku sadar sampai
kapan pun aku nggak akan cukup pantas buatmu. Tak berhak mendapatkan cintamu.
Tapi aku merasa tetap berhak mencinta kamu.” kataku memulai. Dia menatapku
dengan pandangan yang tak mau repot-repot kuterjemahkan.
”Meski mungkin di
hatimu aku bahkan tidak masuk hitungan yang kesekian. Meski mungkin segala
perasaanku ini tidak ada nilainya di matamu. Terserah kamu mau menyebutku apa.
Aku rela.” lanjutku. Tak sedetik pun aku memalingkan pandangan darinya. Sekilas
aku melihat riak halus di matanya.
”Cinta ini masih
milikmu.”
Dia tidak
mengatakan apa-apa hingga aku berlalu dari hadapannya. Melangkah gagah penuh
kemenangan menghampiri mobilku. Masuk ke dalam dan selama beberapa saat hanya
duduk diam. Hingga akhirnya kehangatan kembali mengisi relungku dan seluruh
organku kembali bekerja.
Aku menyalakan
radio. Musik pun mengalun mengiringi perjalananku.
♪ Aku rela ooo aku rela
Bila aku hanya menjadi
Selir hatimu untuk selamanya
Ooo aku rela ku rela
Ooo aku rela ku rela ♫
Senyumku
mengembang.
Asin dan basah...