Senin, 28 Mei 2012

Cerpen : Abang Pulang

“Dik, besok malam Abang pulang…”

Tepukan di lututku langsung mengembalikanku ke dunia setelah berkelana cukup lama di alam khayal. Aku segera bergeser memberi tempat untuk perempuan setengah baya itu duduk lalu angkot kembali melaju. Bukan sepenuhnya mengkhayal sih, aku hanya mengingat kembali mimpiku tadi malam. Mimpi yang tidak bisa kuingat dengan jelas selain kalimat terakhir yang begitu nyata dan terus menerus terngiang di telingaku.

Aku melemparkan pandangan ke luar jendela. Deretan pertokoan di sepanjang jalan mulai menyesaki trotoar dengan barang-barang dagangan mereka yang tidak tertampung lagi di dalam. Teriakan klakson pengguna jalanan yang saling bersahutan. Cahaya matahari mulai menyengat. Beberapa orang di angkot mulai mengusap dahi mereka yang berkeringat.

Pikiranku kembali dipenuhi mimpi itu lalu segaris senyum menghiasi bibirku. Tidak terasa sudah hampir dua tahun dia merantau ke negeri jiran. Benakku langsung dipenuhi rencana. Semangat langsung mengalir deras ke sekujur tubuhku. Kalau memang benar Abang pulang hari ini, nanti sepulang kerja aku akan singgah dulu membeli makanan kesukaannya. Martabak Mesir Jumbo di tempat langganannya. Dia pasti sangat senang.

Aku melirik jari manisku yang berhiaskan cincin pertunangan kami. Cincin sederhana yang dia sematkan sehari sebelum keberangkatannya. Cincin berisi cinta dan harapannya. Harapan yang hingga sekarang masih kujaga, tidak peduli cibiran dan godaan yang menghampiri. Karena aku yakin Abang pasti pulang dan memenuhi janjinya. Keyakinan yang sempat luntur ketika komunikasi kami terputus hampir setahun yang lalu, namun kemunculan suratnya langsung melunasi kerinduanku. Dia menjelaskan sudah berpindah pekerjaan dan tidak bisa sering-sering lagi menghubungiku. Dan sebagai kekasihnya aku hanya bisa mengerti dan mendoakannya.

Mendoakannya agar selalu dalam lindungan Yang Kuasa hingga akhirnya pulang kembali ke sisiku. Senyumku semakin merekah. Mungkin mimpi semalam itu adalah pertanda setelah puluhan suratku seolah raib ditelah kabut tanpa balasan darinya.

”Hei, Lis... Ceria amat. Daritadi senyum-senyum sendiri.” Teguran Galih langsung menyadarkanku. Ternyata lamunanku terus berlanjut hingga ke kantorku. Pipiku pun merona. ”Emang ada apa sih? Bulan tua gini senyam-senyum. Blom gajian juga.” sambungnya.

Ingin rasanya aku menceritakan mimpiku, tapi aku langsung menahan diri. Mendadak teringat cerita orang, bahwa jika mimpi diceritakan maka jadi batal. Atau kebalikannya yang terjadi. Aku tidak ingin yang lain selain Abang benar-benar pulang seperti janjinya di mimpi.

”Nggak apa-apa kok. Mau tau aja.” sahutku asal. Dia masih memandangku penuh selidik, tapi aku langsung menyibukkan diri. Hari ini semua pekerjaan harus kelar supaya tidak perlu lembur dan keburu membeli martabak langganan Abang.

Aku barusan menyelesaikan laporan terakhir hari ini lalu menatap jam dinding dan langsung mendesah. Kenapa hari ini rasanya lamban sekali? Semua pekerjaanku hari ini sudah selesai, tapi kenapa jarum itu tidak juga bergerak? Padahal tinggal satu jam lagi. Aku pun mulai mengerjakan beberapa pekerjaan yang tidak terlalu mendesak untuk menghabiskan waktu sambil sesekali melirik jam yang sedang mencibir penuh kemenangan di atas sana.

Dentang jam terdengar lima kali dan aku langsung memadamkan komputer dan bergegas merapikan meja kerja di kubikelku. Galih bangkit mengamatiku. Aku hanya melemparkan senyum termanisku lalu bergegas meninggalkan ruangan bersama beberapa orang lainnya. Masuk ke dalam lift langsung menuju ke lobi utama. Berjalan buru-buru lalu menyetop taksi kosong yang lewat.

Pembeli di penjual martabak langganan Abang ternyata sudah mulai ramai. Aku buru-buru mengambil antre-an. Menanti dengan tidak sabar hingga giliranku tiba dan Martabak Mesir Jumbo pesananku sudah diangsurkan ke arahku. Uapnya yang mengepul menguarkan aroma lezat. Aku segera menyetop angkot langsung pulang ke rumah.

Setibanya di rumah aku langsung menyusun martabak itu di piring lalu menghidangkannya di meja makan. Dan saat itu bel pintu berdentang. Itu pasti Abang! Maka aku langsung bergegas setengah berlari menuju ke pintu lalu membukanya. Tatapan kami bertemu, tapi meski penampilannya berbeda dengan saat akan berangkat aku langsung bisa mengenalinya. Abang benar-benar pulang. Tangannya menenteng tas yang lusuh. Aku langsung menghambur ke pelukannya.

”Abang benar-benar pulang!” seruku diikuti isak di pelukannya.

Dia balas memelukku. Mengusap punggungku. Selama beberapa saat kami hanya berpelukan di sana hingga akhirnya dia yang lebih dulu melerai pelukannya. Mengusap lembut air mataku yang berurai. Bibirnya mengulas senyum. Senyum yang sangat kukenal. Senyum Abang yang kucintai.

”Adik terus menunggu Abang...” sambungku.
”Iya. Abang tau.” balasnya lembut lalu meraih tanganku. Kami sama-sama memandang cincin yang masih setia melingkar di sana. Tangannya dingin. Di langit terdengar gemuruh.
”Kita masuk dulu, Bang.” Abang mengangguk lalu mengangkat tasnya. Aku menutup pintu lalu menyusulnya. Langkahnya terhenti di depan meja makan mungilku. Aku langsung menghampirinya lalu berkata dengan penuh semangat, ”Adik beli untuk Abang.”

Kami lalu duduk berdua di meja makan. Sama-sama menikmati martabak yang masih hangat. Kehangatan mengisi relungku yang hampir kosong selama dua tahun belakangan ini tatkala menyaksikannya menyantap martabak itu dengan lahap hingga tandas. Aku mendengarkan kisahnya selama di perantauan. Betapa berat dan sulit hidup yang dia jalani selama di sana. Semua terlihat di dirinya. Abang sekarang makin kurus. Matanya juga lebih cekung. Pipinya tirus. Kulitnya juga lebih gelap.

”Tapi sekarang Abang udah pulang. Adik udah tenang.” Dia mengangguk. Matanya yang sayu menatapku lembut.
”Makasih Adik tetap setia nungguin Abang.” Mataku kembali berkaca-kaca. Tidak perlu kuceritakan perjuanganku selama penantian. Semua karena harapan tulus yang dia titipkan kepadaku.
”Adik nggak mau ditinggal lagi.” Untuk sesaat dia tercenung sebelum akhirnya mengangguk.
”Abang nggak akan kemana-mana.” Aku mengangguk.

Setelahnya kami ngobrol berdua di ruang tengah sembari menonton televisi. Sesekali aku tertawa mendengar kisah konyolnya bersama teman-temannya di sana. Rasanya seperti mimpi bisa bersamanya sekarang. Mendengar suaranya lagi. Menatap sosoknya lagi. Entah kenapa pikiran aneh muncul di benakku, seandainya pun ini mimpi biarlah aku tidak terbangun.

***
Belaian angin dingin di wajahku membangunkanku. Ah, aku ketiduran di sofa rupanya. Televisi masih menyala menayangkan berita tengah malam dengan suara keras. Hanya aku sendirian di sini. Abang kemana? Aku segera bangkit dan mulai memanggil-manggilnya. Tidak ada sahutan. Mungkin dia keluar sebentar membeli rokok di warung depan gang? Tapi kenapa tasnya juga tidak kelihatan? Masa Abang membawa tas segala? Aku kembali ke ruang tengah melewati meja makan dan langsung terbelalak tidak percaya ketika melihat meja makan. Martabaknya...

’Dua orang TKI ilegal tewas ditembak petugas saat akan melarikan diri...’

Refleks aku menoleh ke arah berita yang ditayangkan dan langsung membeku. Mataku bertemu dengan sepasang mata di foto yang lumayan buram itu. Mata yang cekung dan sayu itu. Mata yang begitu akrab. Mata milik Abang.

“Dik, besok malam Abang pulang…”

Kata-kata itu kembali terngiang.

Flash : Hanya Ingin Setia


Di ruangan yang remang ini, udara dan kesibukan di sekitar kami mendadak lenyap, seolah terhisap habis oleh keterkejutan yang disusul kekecewaan di rautnya. Untuk beberapa saat kami sama-sama mematung.

“Jadi itu keputusan kamu?” Suara baritonnya yang berusaha mengalun tenang tetap tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Ya. Maafkan aku…” cetusku. Lebih hanya untuk sopan santun.

Sebenarnya aku tidak perlu menunggu sampai sekarang untuk menyampaikan jawabanku. Aku bahkan bisa langsung menjawab saat dia menyatakan perasaannya. Toh jawabanku pasti tetap sama. Tapi dia seolah tidak ingin membiarkanku terbebas dari beban yang dia tumpukan.

‘Aku nggak butuh jawaban kamu sekarang. Kamu boleh mempertimbangkannya dulu.’ ujarnya waktu itu, sekaligus menjatuhkan beban itu di pundakku tanpa sempat aku menghindar.

Ah, seandainya saja dia tahu aku tidaklah sama seperti perempuan kebanyakan yang doyan tarik ulur jual mahal. Seandainya dia tahu aku sudah punya dan bisa langsung menjawabnya saat itu juga, agar aku tidak perlu menahan diri hingga sekarang. Seandainya saja dia tahu getaran di hatinya tidak berbalas, kami tidak akan buang-buang waktu di sini sekarang dan dia tidak perlu menelan rasa kecewanya sendirian.

“Kenapa?” tanyanya lagi. Sepertinya dia tidak mau langsung menyerah. Aku yang sedang memandang hidangan di piringku tanpa selera sekarang menatapnya lurus.

”Aku hanya ingin setia.” pungkasku. Dia hanya membalas dengan senyum getir. Atau sinis? Terserahlah. Apa pun tidak akan mengubah keputusanku. Keputusanku yang sudah bulat.

Ya. Aku. Hanya. Ingin. Setia. Menjomblo.

Sabtu, 26 Mei 2012

Flash : Balada si Ulat

Aku mengerahkan seluruh tenagaku, namun jarak yang kutempuh sepertinya tidak bertambah. Ah, mungkin aku memang makin gendut? Aku seolah bisa merasakan titik-titik keringat perlahan keluar dari pori-pori mikro-ku. Setelah beberapa kali merenggang dan mengkerut akhirnya aku berhenti beristirahat.

Saat itulah aku bisa mendengar samar kepak sayapnya. Aku langsung mendongak dan benar saja. Sayap warna-warni itu langsung memenuhi pandanganku. Aku beringsut ke tepi, ingin melihat lebih jelas dirinya yang melayang menari-nari di antara guci aneka warna berisi zat manis yang harum.

Aku masih asik mengamatinya ketika mendadak perutku keroncongan. Aku menghela napas. Padahal sudah segendut ini, kenapa terus-terusan lapar sih? Aku pun meraih makanan yang terdekat. Makan dengan malas-malasan. Mataku tidak teralih darinya yang masih asik bertengger di salah satu guci berwarna jingga tidak jauh dariku.

Ingin rasanya aku menyapa dirinya yang cantik warna-warni. Sepertinya dia cukup ramah karena tidak jarang aku mendengarnya bersenandung lembut sembari berkeliling di antara guci itu. Tapi apa dia mau berteman denganku? Aku yang seperti ini. Aku yang gendut dengan perut berlipat-lipat ini.

”Hati-hati!” Aku kaget dan buru-buru mengeratkan peganganku. Wah, hampir saja aku terjatuh. Dan suara indah barusan itu. Tidak salah lagi. Itu miliknya. Dia lalu melayang menghampiriku yang ngos-ngosan kembali ke posisi aman.

”Kamu nggak apa-apa?” tanyanya ramah. Untuk sesaat aku seperti tersihir sebelum buru-buru mengangguk. Matanya dibingkai oleh bulu mata yang begitu lentik. Dan rautnya begitu cantik.
”Iya. Nggak apa-apa.” sahutku malu-malu. Langsung minder.
”Sebaiknya kamu lebih ke tengah. Jangan terlalu ke pinggir. Bahaya.” ujarnya lagi.
”Oh iya.” Dengan susah payah tubuhku yang gendut pun beringsut. Dia masih bertengger di sana seolah ingin memastikan aku sudah aman sebelum akhirnya melayang menjauh lagi. Meninggalkanku ditemani deburan di sekujurku.

Berhari-hari setelahnya kami jadi sering bertemu dan dia memang ramah. Tidak meremehkan fisikku yang tidak seindah dirinya ini. Dan aku juga jadi tidak terlalu merasa tertekan karena rasa laparku semakin menjadi-jadi belakangan ini.
”Tidak apa-apa. Kamu memang harus makan yang banyak.” ujarnya.
”Tapi aku udah terlalu gendut. Bukannya udah waktunya diet?” Dia hanya tertawa. Tangannya yang lentik menyentuh pipiku yang bulat.
”Kamu juga bisa cakep kok. Akan ada waktunya.” ujarnya sungguh-sungguh. Pipiku langsung menghangat.

Malam ini entah kenapa sekujur tubuhku rasanya panas sekali. Jangan-jangan aku keracunan makanan? Aku berguling-guling lemah. Bergelantungan tak berdaya ketika selaput aneh mulai melingkupiku. Menghilangkan cahaya dan semilir angin di sekitarku. Yang tersisa hanya gelap.

Aku tidak ingat sudah berapa lama, tapi hari ini kesadaran baru mengisiku. Seolah diisi kekuatan yang baru aku pun mendorong diriku keluar menemui cahaya. Tapi ada yang berbeda. Tubuhku tidak lagi gendut berlipat-lipat. Tubuhku sekarang begitu ringan dan sepasang sayap warna-warni muncul di punggungku.

Aku nyaris pingsan karena terlalu bahagia. Perlahan aku mengepakkan sayapku dan bisa mengenali sekitarku. Aku harus mencari sahabatku yang indah warna-warni. Maka aku pun melayang ke tempat pertemuan kami. Tapi di tempat itu yang ada hanya serpihan yang masih bisa kukenali sebagai miliknya dan sesosok makhluk gendut berwarna hijau.

Amarahku memuncak. Apa yang sudah dia lakukan pada sahabatku?! Dengan tenaga baruku, aku pun mengguncang tempat makhluk itu berdiri. Membiarkannya jatuh terguling ke bawah.

Flash : Dor!!!

Dor!!!

Suara itu mengoyak keheningan yang dingin membekukan. Bulan sudah merangkak semakin jauh, memudar oleh berkas cahaya matahari yang samar mulai terlihat. Terdengar kepakan sayap burung yang pasti juga terkejut dengan suara itu. Aku bisa membayangkan mereka sedang asik dibuai mimpi. Sayang sekali harus berakhir mendadak.

Aku menatap sekelilingku. Gedung yang muram. Tembok-tembok tinggi bermahkotakan kawat duri yang sudah mengawalku selama beberapa tahun belakangan ini. Entah kenapa sekarang kawat-kawat yang sudah berkarat itu terlihat berkilau indah.

Dor!!!

Ah, suara itu lagi. Kali ini tidak diikuti alam yang terkejut. Cukup sekali untuk mengejutkan semuanya. Di kejauhan rambut-rambut matahari yang panjang mulai berserakan memenuhi langit. Seperti tarian magis yang mengerikan. Menyilaukan mataku.

Akhirnya mataku menatap lurus ke depan. Sepuluh kilauan yang angkuh itu masih di sana. Kilauan yang masih membara, ditunjukkan samar asap halus di ujungnya. Aku tersenyum. Kenapa tadi mereka malah menyarankan agar aku menutup mataku? Apa mereka ingin aku melewatkan pemandangan yang menakjubkan ini?

Dor!!!

Kepalaku tersentak. Kedua belah tanganku sekarang terentang. Tubuhku terayun lembut ke belakang. Matahari yang angkuh sudah menjejakkan kakinya. Sudut-sudut bibirku tertarik ke kiri dan kanan membentuk senyuman. Dibalas oleh gedung yang sekarang tidak terlihat muram lagi.

Indahnya hari ini akan tersimpan selamanya di mataku. Yang tidak akan berkedip lagi melewatkan gurat apa pun yang ditampilkan di hadapannya.

Cerpen : Hadiah dari Jane

Pagi masih jauh, tapi sesosok laki-laki bergerak diam-diam di antara deretan meja dan lemari pasar yang masih gelap dan sepi. Dia mencari-cari beberapa saat sebelum akhirnya berhenti seraya menyeringai senang ketika menemukan yang dicari-carinya dari tadi. Di kolong itu tergolek sembarangan seorang perempuan.

Tangannya terulur dan yang disentuh pun terperanjat bangun, tapi tidak seperti yang sudah-sudah ketika dia harus berjuang keras mengunci gerakan melawan dan meredam suara penolakan yang dilancarkan objeknya. Sekarang perempuan itu tidak menolak sedikitpun, bahkan terlihat tidak sabar dengan yang akan terjadi selanjutnya. Di relungnya yang gelap, instingnya seolah berkata bahwa inilah yang dia tunggu-tunggu.

Laki-laki itu tidak buang waktu lagi. Dengan cepat dia melucuti diri dan calon pemuas birahinya. Tidak lama kemudian gerakan menghentak dan lenguhan saling bersahutan di kolong meja pasar yang sepi. Setelahnya dia pun beranjak pergi meninggalkan objeknya yang masih tergolek dengan sisa-sisa kenikmatan di sekujurnya. Kenikmatan dari insting yang tetap dia miliki. Insting yang tidak butuh pengarahan karena sudah ada jalan setapak mungil abadi menuju kenikmatan birahi.

***
Aku barusan kelar mencatat data para tuna wisma dan pengemis yang hari ini kami tampung ketika sebuah becak berhenti di depan pagar yayasan kami. Seorang laki-laki setengah baya dibantu oleh tukang becak, menurunkan seorang perempuan. Perempuan itu berpenampilan acak-acakan dengan perut yang membuncit.

Aku langsung meninggalkan papan catatanku di meja lalu buru-buru menghampiri mereka yang terlihat kepayahan.
”Bu Lis, kami temukan dia luntang-lantung di pasar. Karena kasihan jadi kami bawa kemari.” ujar si Bapak.
”Entah siapa yang begitu tega menghamilinya...” timpal tukang becak itu.
”Oh, bawa kemari Pak. Dudukkan di bangku itu.” ujarku. Fiona yang kebetulan turun langsung menghampiri. ”Perempuan ini sedang hamil, jadi daripada luntang-lantung di pasar mereka mau menitipkannya ke sini.” jelasku lagi. Dia mengangguk paham lalu mengucapkan terima kasih kepada dua laki-laki yang sudah membawa perempuan itu untuk dititipkan ke tempat ini.

Sepeninggal mereka, kami masih berdiri di sana mengamati penghuni baru yayasan kami. Perempuan itu masih muda. Dia terlihat begitu tenang. Tidak liar dan memberontak. Hanya asik dengan pikirannya sendiri.

”Kita bersihkan dulu dia.” cetus Fiona. Aku mengangguk. Kami lalu memapah perempuan itu ke kamar mandi. Menyiramkan air dengan hati-hati ke sekujurnya. Mencuci rambutnya yang mulai gimbal dengan lembut agar tidak menyakitinya. Menyabuninya berkali-kali hingga akhirnya dia benar-benar bersih. Tidak lupa memotong kuku-kukunya yang sudah mulai panjang dan kotor dengan hati-hati. Aku lalu mengambil daster untuk dia kenakan. Setelahnya kami terkagum-kagum dalam hati. Setelah dibersihkan dan mengenakan pakaian yang layak, perempuan muda itu terlihat cukup cantik sekarang.

Fiona melirik jam dinding. Sudah waktunya dia bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Dia segera bergegas mandi, sementara aku  menyiapkan pakaian kerjanya. Sarapan sudah sedari tadi aku hidangkan di meja makan untuknya. Setelah selesai, dia mengecup keningku sembari berpamitan. Aku mengantarnya hingga ke depan pintu. Setelahnya aku pun menyuapi perempuan itu makan berlanjut dengan beres-beres rumah. Masih cukup pagi sebelum sukarelawan yang lain berdatangan.

Sudah hampir tiga tahun aku menjalankan yayasan nirlaba yang menampung para tuna wisma dan pengemis di rumah yang sudah hampir delapan tahun kami tempati bersama. Memberi mereka tempat bernaung sementara sembari mengajari beberapa keterampilan hingga setelah tidak tinggal di sini, mereka diharapkan bisa bertahan. Beberapa dari mereka cukup berhasil dan sekarang ikut membantu menjadi sukarelawan di sini. Menurunkan ilmu yang sudah mereka miliki kepada teman-teman yang senasib.

Dan baru kali ini kami menampung pesakitan yang tidak waras. Tapi tidak mengapalah. Dititipkan di sini pastinya jauh lebih baik daripada membiarkannya berkeliaran di jalanan, apalagi dia sekarang sedang hamil. Setelah melakukan serah terima tugas kepada relawan yang sudah berdatangan, aku kembali ke atas. Perempuan itu masih duduk di tempat yang sama saat aku tinggalkan tadi.

”Entah aku harus memanggilmu apa?” cetusku. Dia hanya acuh.

Tanganku perlahan terulur menyentuh perutnya yang membuncit. Hm, mungkin sudah lima bulan. Jika besok ada waktu aku akan membawanya ke dokter kandungan untuk memeriksakan kandungannya. Tanganku yang masih bertengger di perutnya sekarang bergerak-gerak, mengusap-usap. Dia sekarang menatapku. Tatapan yang tidak kumengerti namun entah kenapa membuat sesuatu bergerak di dalam diriku. Aku langsung memeluknya.

***
Aku merebahkan kepalaku ke dada kekasihku yang masih menyisakan peluh. Dia balas membelai punggungku yang masih telanjang. Untuk sesaat kami hanya berdiam diri dalam posisi itu sebelum akhirnya aku bergerak untuk lebih merapatkan diri di dalam dekapannya yang hangat.

”Fi, aku tadi udah ke dokter kandungan. Syukurlah kandungannya baik-baik saja. Udah jalan enam bulan.” cetusku.
”Oh. Ya syukurlah... Membayangkan apa yang sudah dia makan selama hamil. Suatu keajaiban jika kandungannya normal.” Aku mengangguk setuju.
”Aku suka bingung mau memanggilnya apa. Kita juga tidak tahu namanya.”
”Hm... Trus mau kita panggil apa? Mau dinamai siapa?”
”Jane aja yah? Dari Jane Doe.” Dia langsung menjawil hidungku. Aku hanya nyengir.
”Boleh deh. Kita panggil Jane ajah.”

Aku menatap kekasihku. Menimbang-nimbang untuk menyampaikan perasaan yang sempat kurasakan waktu itu. Perasaan yang mungkin dimiliki oleh semua perempuan. Rasa sayang dan jalinan yang seolah mendadak muncul antara aku dan janin di dalam kandungan Jane. Rasa keibuan.

”Ada yang mau kamu omongin?” bisiknya lembut. Untuk sesaat aku ragu, sebelum akhirnya menggeleng.
”Nggak kok. Kita bobo ajah yah...” ujarku akhirnya sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh kami berdua. Biarlah hanya aku yang tahu. Karena aku tidak yakin dia akan bisa mengerti. Dia yang sangat tidak menyukai anak-anak, pastinya tidak akan mengerti. Dan aku tidak ingin merusak malam ini.
”I love you...” bisiknya. Aku membalas dengan pelukan erat.

***
”Jadi kamu belum ngomong apa-apa ke Fiona?” Alis Beth naik sebelah. Aku menggeleng. Menyeruput jusku. Aku sengaja meminta bertemu dengannya, sekedar meminta pandangan tentang perasaan yang muncul belakangan ini sejak kehadiran Jane di rumah kami.
”Aku gak berani. Gak yakin juga. Kamu kan udah tahu seberapa anti-nya dia terhadap anak-anak. Membayangkan reaksinya saat tahu rencanaku pun aku nggak berani.” Beth hanya tersenyum. Meremas tanganku.
”Kalian udah hampir sepuluh tahun barengan. Bahkan waktu mendengar rencana gilamu yang mau keluar dari kerjaan bonafid untuk ngurusin yayasan itu dia sanggup kok. Malah mendukung. Kenapa malah takut menyampaikan yang ini?”
”Yah tetap aja beda... Yang ini menyangkut hal yang amat sangat dijauhinya. Anak-anak.” ujarku lagi ngotot.

Aku memang tidak bisa memungkiri perasaanku yang timbul seiring waktu terhadap makhluk yang sekarang masih berdiam, berdenyut lembut di dalam perut Jane. Setiap hari saat memandikannya dan melihat buncitnya yang semakin membesar, aku seolah merasa itu adalah perutku. Dan yang bersemayam di sana adalah janinku. Aku bahkan bisa merasakan denyutannya yang lembut beradu dengan nadiku.

Sementara Jane hanya terlihat pasrah dan acuh asik di dunianya sendiri, aku seolah menggantikan dia untuk merasakan setiap gerakan makhluk di dalam rahimnya itu. Betapa kerinduanku semakin memuncak. Tidak sabar untuk segera bertemu dengannya. Ingin merasakan jari-jari mungilnya menggenggam jemariku. Mendengar tangisnya. Ingin menyusuinya...

”Apa pun itu. Kamu tetap harus ngomong ke Fiona, Lis. Bagaimana pun reaksinya nanti, yang penting kamu sudah menyampaikan semua. Plong. Tidak harus menyimpan dan mereka-reka sendiri.” ujar Beth lagi.
”Entahlah, Beth...” sahutku pasrah. Betapa pun inginnya aku, lagi-lagi akan terpatahkan. Fiona tidak suka anak-anak. Itu kenyataan. Aku tidak mau jika harus dihadapkan pada pilihan antara si bayi dan dirinya.
”Yakinlah... Kalau kalian ini pasangan suami istri, sepuluh tahun rasanya sudah layak jika rumah kalian diributkan tangisan dan tawa si kecil...” Aku hanya melotot sementara Beth hanya cengengesan. Dasar, paling senang kalo melihat orang menderita.

***
Aku menutup pintu kamar yang sekarang ditempati Jane. Baru saja aku meminumkannya susu untuk ibu hamil agar janin di kandungannya tetap sehat. Tidak lama lagi dia akan menjalani persalinan dan seiring waktu aku ikut-ikutan merasa ketar-ketir seolah itu persalinanku sendiri.

Fiona sedang duduk membaca di ranjang saat aku masuk. Dia langsung menutup bukunya dan menepuk ranjang di sisinya untuk kutempati. Aku beringsut ke sisinya lalu mengecup pipinya.
”Gimana Jane?” cetusnya seraya merangkulku.
”Baik kok. Kalau gak ada masalah dia bisa lahiran normal.” sahutku se-biasa mungkin.
”Udah USG? Anaknya laki atau perempuan?” Telingaku tegak. Kenapa mendadak dia bertanya sedetil itu?
”Udah. Tempo hari, tapi belum kelihatan jelas. Tertutup arinya. Tapi kayaknya sih perempuan.” sahutku sembari menjaga agar suaraku tetap terdengar datar. Dia manggut-manggut lalu memadamkan lampu bacanya. Menarikku lebih mendekat.

Kami berpagutan lama dan dalam. Menikmati setiap detik yang seolah bergerak lambat di sekujur tubuhku. Di setiap inci kulitku ciumannya memecah, menguarkan cinta yang memenuhi seisi kamar. Aku tidak menyebut ranjang kami mendingin setelah sepuluh tahun, tapi entah kenapa malam ini kami seolah kembali lagi ke masa sepuluh tahun yang lalu. Saat semuanya masih begitu bergelora dan berapi-api.

***
Fiona berjalan setengah berlari menghampiriku yang sudah lebih dulu sedari tadi menunggu di klinik persalinan ini. Dia sedang di kantornya ketika kuhubungi. Jane sedang menjalani persalinan di dalam sana. Fiona menggenggam tanganku seolah ingin menguatkan.

”Jane akan baik-baik saja. Jane dan bayinya...” bisiknya. Aku mengangguk, tapi tidak sanggup berkata-kata. Kami lalu duduk berdampingan di bangku panjang yang ada di koridor, menanti kabar baik.
”Aku sedang pergi belanja. Pas pulang sukarelawan yang lain udah heboh membantunya turun. Ketubannya udah pecah...” sahutku akhirnya gemetar.

Fiona meremas tanganku yang dingin lebih keras. Ingin mengalirkan kehangatannya ke sana. Waktu seolah merambat. Begitu kejam merenggut ketenanganku. Merangkak sembari menyeringai menertawaiku yang panik. Bulir-bulir keringat membanjiri keningku. Menghalangi kehangatan apa pun untuk masuk.

Pintu ruang persalinan akhirnya terbuka dan kakiku mendadak lumpuh. Fiona yang bangkit menghampiri, bertanya tentang kondisi Jane. Aku tidak mendengar. Tidak berani mendengar. Hanya bisa merasakan kehangatan perlahan menjalari sekujurku ketika dia kembali dengan senyum mengembang di bibirnya. ”Dua-duanya selamat. Anaknya perempuan, Lis.” ujarnya bersemangat. Semangat yang langsung menulariku. Kami langsung berpelukan erat. Rasa lega mengaliri sekujur kami.

Jane masih belum sadar ketika dipindahkan ke ruang pemulihan. Fiona mendampinginya sekaligus mengurus administrasi  sementara aku memilih untuk ke ruang bayi. Ingin melihat sosok yang sudah kunanti-nantikan sejak tiga bulan yang lalu. Sosok yang sudah bisa kurasakan keberadaannya bahkan sebelum kemunculannya. Aku memandangnya dari balik kaca. Dia terlihat begitu indah. Tertidur damai di peraduannya.

Tanganku menyentuh kaca yang menghalangi kami. Dan saat itu aku dialiri jutaan perasaan yang tidak bisa kujelaskan satu per satu. Perasaan yang entah bagaimana menghubungkan kami berdua.

***
Aku bergegas kembali setelah mengurus administrasi untuk menemui Lilis dan saat itu aku melihatnya. Menatap penuh kerinduan ke makhluk mungil di balik kaca tebal yang memisahkan mereka. Tatapan yang semakin kuat kutangkap sejak kemunculan Jane di rumah kami. Tatapan yang membuatku tidak tega untuk tidak memenuhi apa pun keinginannya, seperti saat dia ingin berhenti bekerja dan fokus di yayasannya.

Sejak kehadiran Jane aku sudah memutuskan untuk memberikan satu hal yang selama ini sangat dia idam-idamkan. Hal yang begitu dia inginkan namun terus berusaha ditahannya demi diriku. Perempuan yang begitu mencintaiku. Tidak ada hal lain yang ingin kuberikan selain senyum bahagia di wajahnya setiap hari.

”Lis!” panggilku. Dia yang selama beberapa saat terhanyut di dunianya sendiri seolah tertangkap basah. Berusaha bersikap biasa lagi. Usaha yang hanya memancing senyumku.

Aku memang belum mengatakan apa-apa kepadanya. Tidak juga tentang selembar sertifikat adopsi yang sudah disetujui pihak berwenang. Biarlah itu menjadi kejutan manis di hari jadi ke sepuluh kami minggu depan. Saat yang tepat untuk membawa serta hadiahnya. Sosok makhluk mungil yang dia idamkan. Malaikat kecil kami berdua.

Cerpen : Udara

Langit sepertinya sedang sangat marah. Dengan garang menuangkan amarahnya tanpa ampun ke bumi dalam ujud jutaan tombak yang meluncur kencang, sebagian menampar-nampar keras kaca tebal jendelaku diselingi kilatan cahaya dan raung menggelegar.

Aku merapatkan dekapanku. Menarik selimut lebih tinggi. Dia sudah pulas. Setelah hujan air mata dan emosi yang tumpah ruah, akhirnya dia terlelap. Aku menatapnya lekat. Matanya yang terpejam masih tampak sembab karena dipaksa sedemikian rupa untuk mengeluarkan air mata. Air mata yang kupikir sudah kering sekarang. Mataku nyalang menatap langit-langit kamarku. Mendesah pelan. Mau sampai kapan aku begini?

Entah sudah kali ke berapa dia muncul ke hadapanku, mengadu dengan bilur luka yang baru. Bilur luka yang akan berusaha kuobati meski semakin sulit belakangan ini karena entah sejak kapan aku baru tersadar bahwa yang kulakukan bukanlah mengobati lukanya. Aku hanya memindahkan luka itu ke tubuhku. Aku baru tersadar beberapa waktu yang lalu ketika sekujur tubuhku mendadak sakit dan nyeri. Dan hanya bisa menahan napas ketika menyaksikan sekujur tubuhku yang penuh goresan luka. Luka yang semula ada di dirinya.

Bukan pertama kalinya aku menasehati bahkan mengemis agar dia berhenti. Berhenti mencari luka baru setiap kali luka lamanya mulai mengering. Jika dia tidak peduli denganku, setidaknya dia bisa peduli pada dirinya. Dirinya yang seiring waktu pasti semakin rapuh karena luka-luka yang tak terhitung lagi.

”Tinggallah denganku di sini. Aku akan menghilangkan semua lukamu. Kau tidak akan terluka lagi. Aku janji.” ujarku suatu ketika ketika dia muncul dengan luka yang cukup parah sehingga membuatnya kesulitan bernapas.

Tapi dia hanya menatapku seolah aku ini alien. Menggeleng lalu berlalu untuk merajut luka yang baru. Meninggalkan lukanya yang lama bersemayam di tubuhku. Meninggalkan aku kesakitan, bersusah payah mengobatinya sendiri.

”Aku nggak bisa, Ndra...” ujarnya suatu ketika. Mungkin dia sudah bosan mendengar rengekanku yang terus memintanya untuk berhenti. Untuk tinggal.
”Kenapa? Aku akan jadi orang yang jauh lebih baik buatmu dibanding mereka, Nda.” ujarku lagi setengah ngotot. Aku meraih tangannya. Meremasnya penuh harap. Harapan yang lagi-lagi harus pupus ketika dengan mantap dia menggeleng.
”Sori, Ndra. Aku memang nggak bisa.”

Ada kejujuran yang begitu nyata di matanya yang bening. Mata yang selalu tidak pernah puas kupandangi. Seperti telaga yang tersembunyi dari dunia. Betapa inginnya aku menjadi satu-satunya orang yang bisa menikmatinya. Tanpa segala gangguan itu. Tapi itu hanyalah karena aku terlalu egois. Bukankah seharusnya aku sudah puas dengan posisiku di hidupnya seperti sekarang?

Setelahnya aku pun menyerah. Tidak lagi mencoba menahannya. Tidak juga menolak ketika dia muncul dengan guratan luka lain. Hanya bisa meringis menahan sakit sendirian ketika akhirnya semua luka itu berpindah. Bergabung dengan luka-luka lama miliknya yang bersemayam di sekujur tubuhku.

”Mau sampai kapan kamu begitu?” Tito, sahabatku mucul suatu waktu. Aku memilih untuk tidak menggubrisnya, meski dalam hati aku juga selalu mempertanyakan hal yang sama kepada diriku. Mau sampai kapan?

”Aku paham kamu merasa tidak tega. Tak kuasa menolak setiap dia datang mengadu padamu. Tapi hanya itu artimu di matanya, Ndra. Tong sampah yang selalu siap sedia menampung semua sampahnya. Sampah yang sangat tidak pantas buatmu.” Aku hanya tersenyum pasrah.
”Mau gimana lagi, To?”
”Mau bilang karena kamu cinta mati ke dia? Apa gak salah? Udah dibegitukan masih juga mau mengemis-ngemis. Udah bertahun-tahun, Ndra. Apa benar ungkapan perempuan cuma bisa jatuh cinta sekali seumur hidupnya? Tapi itu pastinya tidak termasuk jatuh cinta dengan orang yang salah!”
Aku kali ini tersenyum lucu melihat tampang sahabatku yang sekarang merah padam karena kesal. Atau miris?

”Dia dengan pasrah begitu rela dilukai. Kecanduan dilukai, menurutku. Kamu lihat sendiri semua laki-laki brengsek yang didekatinya? Dan setelah sekarat dia akan merangkak kembali kepadamu. Tong sampahnya.” Dia menatapku, seolah kehabisan kata-kata untuk melanjutkan.
”Makasih.” ucapku singkat setelah menelan ludah.
Dia akhirnya hanya bisa menggeleng sembari menghela napas. Dia tidak akan pernah mengerti dan aku tidak ingin memaksanya untuk mengerti. Karena aku juga semakin tidak mengerti kenapa aku masih mau terus bertahan dengan semua ini.

Apakah memang sebegitu besar aku mencintainya? Entahlah.

Dia bergerak di dekapanku. Aku tersadar lalu buru-buru menyelimutinya lagi. Membuatnya lebih nyaman. Di luar hujan mulai reda meskipun sesekali kilat dan guruh masih mengisi langit malam.
”Kamu blom tidur?” ujarnya.
”Iya bentar lagi. Kamu terusin bobo ajah...” sahutku setengah berbisik. Mengusap-usap punggungnya. Bukannya langsung tidur, dia masih menatapku.
”Ndra, makasih...” Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan terima kasihnya yang sudah terhitung lagi.
”Gak apa-apa...”

Dan darahku berdesir ketika bibirnya yang lembut menyentuh pelan bibirku. Untuk beberapa saat kami tidak bergerak, seolah ingin memastikan langkah selanjutnya. Aku memberanikan diri memagut bibirnya sedikit lebih jauh dan dia tidak menolak. Setelahnya kami berpagutan dalam. Aku tidak ingat berada di mana hingga akhirnya ketika bibir-bibir kami terpisah aku kembali menemukan matanya.

Tangannya membelai wajahku. Mataku terpejam menikmati setiap sentuhannya. Ingin mengingat semuanya dalam hati.
”Makasih...” bisiknya lagi lalu menyurukkan tubuhnya lebih dalam ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya lebih erat. Dia terlelap kembali. Meninggalkanku yang masih menerawang menatap kosong ke langit-langit dengan rembesan luka di sekujur tubuhku yang semakin rapuh.

Mau sampai kapan aku begini?

Dua bulir air mata menetes pelan dari sudut-sudut mataku. Disusul aliran sungai kecil yang tidak berusaha kubendung lagi. Setelah sekian lama menanggung rasa sakit akibat luka-lukanya, baru kali ini aku menitikkan air mata. Setelah sekian lama aku menguatkan dan menabahkan diri, akhirnya aku menyerah kalah. Sekalah-kalahnya.

Yah, mungkin memang sudah waktunya...

***
Matahari menyapaku dengan cahayanya yang menyilaukan. Aku berusaha menghalangi pancaran cahayanya. Usaha yang sia-sia. Akhirnya aku menyerah dan mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih sakit karena sembab sebelum mulai mengamati sekelilingku. Cuma ada aku sendiri di ranjang. Kemana Diandra? Hm, mungkin dia sudah duluan berangkat kerja.

Aku duduk di ranjang dan langsung merasakan keanehan. Kamar itu kosong. Tidak ada yang tersisa selain tasku dan selimut yang masih menutupi tubuhku. Perasaan aneh merayapi tubuhku. Aku bergegas bangkit dan membuka lemari. Tercenung berdiri di depan lemari yang sekarang kosong. Bergegas keluar dan menemui induk semang-nya.

”Nak Dian? Oh dia udah pergi ke stasiun sejam yang lalu. Katanya dia dipindah tugaskan, jadi nggak nge-kost di sini lagi.” ujar induk semangnya.
”Oh begitu?” Hanya itu yang bisa terucap dari mulutku. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa soal itu kepadaku.

Perasaan aneh menjalariku. Aku kembali berlari ke kamar lalu menyambar ponselku lalu menghubunginya. Tidak bisa dihubungi. Aku bergegas merapikan diri. Mungkin aku masih keburu. Dengan panik menyambar tasku dan saat itu aku melihat sebuah kertas berwarna gading.

’Dinda,
Setelah beberapa waktu ini
aku berpikir tidak ada salahnya menjadi udara
yang memang tidak pernah kau sadari keberadaannya
tapi tetap kau butuhkan.

Tapi aku salah
ternyata aku tidak sekuat dugaanku
atau dugaanmu

Maafkan aku
Aku juga butuh udara...’

Cerpen : Hari ini tepat setahun yang lalu...

Malam masih muda dengan sisa-sisa semburat senja yang dengan berat hati melangkah pergi untuk digantikan dengan rembulan dan gemintang. Aku memacu motorku meliuk-liuk di antara mobil dan motor yang juga berpacu mengejar waktu. Di perempatan aku berhenti sembari menunggu detik-detik yang semakin berkurang untuk bisa bergerak kembali. Aku sempatkan melirik arlojiku. Tersenyum tipis. Hm, sepertinya aku tidak terlambat.

Aku akhirnya tiba dan langsung menemukanmu duduk manis di meja favorit kita. Meja yang sama, yang selalu menjadi saksi kebersamaan kita. Aku melambai dan kau balas dengan senyum lega. Aku menghampirimu yang berdiri menyambutku. Mencium pipimu sebelum duduk. Kita segera memesan dan sembari menunggu menghabiskan waktu dengan obrolan seperti biasa. Meski kita sama-sama tidak bisa memungkiri hari ini tidak biasa.

Hari ini tepat setahun yang lalu...

Ketika menciummu untuk pertama kalinya, aku tahu, bibirku telah menemukan sajak baru yang takkan letih-letihnya dia bacakan yang bahkan akan melebihi keabadian di mata dewa-dewa Olimpus. Di kamar remang dan syahdu yang sama, untuk pertama kalinya, bibir-bibir kita saling menemukan satu sama lain. Membuat kita terhanyut dalam luapan rasa yang tidak merangkai dirinya dalam kata. Tidak buru-buru memasrahkan diri ke dalam gelombang kerinduan yang memecah buih birahi.

Sejak itu selalu akan ada yang berdenyut dalam sajakku selalu, ciumanmu. Mengalun lembut berkejar-kejaran dengan desiran di sekujur pembuluhku. Menguasai relungku yang sudah kupasrahkan sejak awal untuk kau tempati. Sepenuhnya.

Aku mengusap titik mungil berkilau di dahimu yang langsung pecah menguarkan aroma cinta. Jemari kita masih bertautan. Kau tersenyum. Menatapku syahdu. Bibirku kembali menemukan belahan jiwanya. Menciummu adalah cara terbaik mengatakan betapa aku merindumu, tanpa harus berucap. Cara terbaik untuk mendengar bisikan cintamu, tanpa harus terpisah oleh jarak.

Happy Anniversary, Love...” bisikku lirih seolah takut sedikit saja suaraku lebih keras maka segala kesyahduan ini akan berantakan. Kau tidak berkata-kata, hal yang memang tidak kubutuhkan sekarang. Kita kembali berpagutan. Menyatu dalam deburan. Menyatu dalam nyanyian malam yang merangkak semakin jauh. Dan itu sudah cukup.

Malam itu aku bergadang karena terlalu sibuk mengagumi betapa hebatnya bibirku yang menyatu sempurna dengan bibirmu. Mengamati dalam kedamaian rautmu yang lelap tak berdosa. Tak bercela. Dengan kemilau berlian mungil di logam yang melingkar manis di jarimu, yang tidak ingin berjauhan dengan kembarannya yang bertengger di jariku.


***
Aku tidak bisa mengingat sudah berapa hari sekarang. Mungkin aku terlalu lelah menghitung sehingga memutuskan berhenti menghitung dan melupakannya. Meski orang-orang selalu berkata jangan pernah berhenti berharap. Pengharapan akan tetap memastikan kita hidup. Harapan akan hari esok membuat kita kuat melalui hari ini.

Tapi aku tidak kuat lagi. Pengharapan itu semakin hari terasa semakin berat. Harapan akan hari esok malah menyedot habis kekuatanku. Karena selalu ada yang tertinggal hari ini, yaitu gumam rinduku yang lupa kuselipkan di bibirmu. Entah sudah untuk kali yang ke berapa. Apakah aku masih harus berharap? Apakah aku masih harus memasrahkan diriku ke dalam pengharapan tak berujung ini?

Aku masih bisa mengingat dengan jelas, seolah baru saja terucap. Ketika kau mencandaiku akan membayar setiap rindumu padaku dengan ribuan ciuman. Memandikanku dengan hujan ciumanmu. Aku tidak ingat sejak kapan, kau tak pernah memintanya lagi. Mungkin sudah lunas. Entah aku harus bersyukur atau menekur.

Hari ini tepat setahun yang lalu...

Setelah ribuan hari yang kita lalui, kau akhirnya memutuskan untuk menarik diri dari relungku. Setelah hujan dan badai yang membuncah akhirnya kau benar-benar berlalu tanpa sanggup kutahan. Kembali ke dunia yang hiruk pikuk. Dunia mereka yang tidak sama seperti kita. Menyisakan sedikit pengharapan sia-sia yang semakin hari semakin berkurang. Menguap oleh luka yang kian merajai tempat yang sebelumnya berpendar penuh kehidupan. Berdenyut oleh cintamu.

Kafe ini tetap sama. Tidak ada yang berubah. Meja yang kutempati juga sama. Makanan yang kupesan juga sama. Namun aku sudah tidak sama lagi. Aku yang dulu selalu berpendar warna warni penuh dengan kehidupan yang kau alirkan, sekarang kelabu. Menatap lunglai ke titik di hadapanku, yang sekarang hanya digantikan lingkaran mungil bermahkota berlian sebagai pengganti wujudmu.

Apakah kau sudah lupa? Dari sembilan nyawa yang kupunya, isinya satu cintamu, dua pelukanmu, dan sisanya adalah ciumanmu. Apakah dari ribuan bahkan jutaan ciumanku, kau tidak bisa membacanya? Tidak bisa mendengarnya? Tidak bisa mengingatnya? Sehingga begitu teguh kau menarik semua itu, meninggalkanku kosong tak bernyawa.

”Maaf, Bu... Sebentar lagi kami tutup...”

Teguran itu menyadarkanku. Aku mengangguk lalu meminta tagihan. Setelahnya melangkah keluar disambut rintik lembut. Setengah berlari, aku menghampiri mobilku yang terparkir tidak jauh. Masuk dan tidak langsung beranjak pergi. Mengamati sekelilingku mobilku. Bayanganmu perlahan sudah mulai memudar di sana. Yang tersisa hanya rasa perih. Rasa perih yang begitu ingin kuakrabi, namun tetap terasa berat.

Mataku menatap kilau mungil yang masih bertengger diam di jariku. Kilauan yang semakin memudar sejak kehilangan kembarannya. Tanganku mengepal kuat. Buku-bukunya memutih. Apa aku masih butuh segala pengharapan ini? Semakin aku berharap, semakin tidak ada harapan yang tersisa. Dan seiring dengan buliran yang semakin deras menerpa mobilku. Air mataku mengalir. Air mata yang sudah sekian lama berusaha kutahan. Air mata yang masih berisi bulir-bulir cintaku untukmu. Cinta yang ingin kusimpan sampai tiba harinya kau kembali lagi.

***
”Hati-hati, Felix..!” ujarku memperingatkan ketika jagoan kecil itu mulai berlarian mengejar kelinci yang memang sengaja kupelihara di kebun belakang rumahku, sebagai teman bermainnya sekaligus temannya belajar.

Aku lalu menghampiri bangku kayu di dekatku, sembari mataku tetap mengawasi Felix yang sedang tekun mengangsurkan potongan-potongan wortel dengan sabar kepada kelinci-kelinci yang mengerumuninya. Dia jadi terlihat seperti sedang jongkok di atas awan. Kau menyusul tidak lama kemudian. Menikmati senja ditemani sepoci teh dan sepiring biskuit berdua denganmu. Tidak ada kemewahan lain yang kuharapkan. Tanganmu meraihku. Jemari kita kembali bertautan.

Hari ini tepat setahun yang lalu...

Kau muncul begitu saja bagai kilau mentari sehabis badai di hadapanku. Meski tidak lagi sendirian. Kau membawa serta pengawal mungilmu. Hadiah terindah hidupmu selama tidak bersamaku. Oleh-oleh dari dunia lain yang sempat kau jelajahi dan diami. Bukti keindahanmu yang baru. Tapi di mataku kau masih tetap sama, berhadapan denganku yang juga masih sama. Diriku yang kosong sebelum bertemu denganmu. Diriku yang kosong setelah kepergianmu.

Diriku yang setelah sekian lama. Dengan sisa luka-luka yang masih tergurat, sadar bahwa ada satu hal yang tetap tidak berubah. Bahwa kebahagiaanku, berada tepat di bibirmu, sehingga ciumanmulah yang paling kuburu, bukan yang lain. Gagas kata-kataku dalam sajak, takkan pernah membuat rindu terbebas, namun tegas ciumanmu selalu bisa membuatnya pulas. Ciumanmu langsung membuatku memaafkan segalanya. Membuka relungku lebih lebar untuk kembali kau huni. Ciumanmu mengoles obat yang langsung menyembuhkan relungku.

Mataku menemukan kilau yang sama di jemari kita. Kilauan yang kembali setelah yang lain kembali. Kali ini berpijar dengan penuh percaya diri. Mata kita bertemu. Matamu yang tetap syahdu. Ada kelegaan di sana. Bibir kita bertemu. Memagut sedikit demi sedikit asa yang masih tersisa di sana. Aku dan sajak, saling berlomba untuk menyatakan rindu padamu, dan yang menang ternyata tetap ciumanku.

Bibir-bibir kita berpisah. Untuk kembali bertemu. Kali ini lebih dalam dan kuat. Menghayati tiap denyut penuh nyawa yang kembali menghubungkan kita. Mengikat lebih erat. Menyatu. Karena ciuman kita kasih, serupa tasbih yang takkan sempurna hanya dengan sekali putaran.

Cerpen : Memar

“Memar kenapa lagi tuh?” Dia mengangkat lengannya lalu memperhatikan pergelangan tangannya yang sebelah dalam. Sama terkejutnya dengan diriku.
”Wah, iyah... Kok bisa yah?” tanyanya. Tampangnya malah lebih bengong dariku.

Aku hanya menggeleng dibalas cengirannya. Seharusnya aku tidak perlu heran lagi dengan reaksinya itu. Bukan kali ini saja kami sama-sama menemukan memar di tubuhnya. Memar yang entah bagaimana sepertinya muncul begitu saja, karena dia sendiri tidak tahu pasti.

Aneh? Awalnya aku juga berpikir demikian. Aneh rasanya jika sebagai yang dititipi raga ini, kita malah tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Seolah setelah dititipi, kita hanya meletakkan titipan itu dengan sembarangan di sudut gudang dan hanya akan memeriksanya saat butuh. Atau saat ada inspeksi mendadak yang seringnya hanya bisa dijawab dengan cengiran tak berdosa.

Tapi begitulah. Keanehan itu aku jumpai sendiri wujudnya setiap hari. Keanehan yang berwujud dirinya. Keanehan yang awalnya terasa kental begitu kental tapi semakin hari semakin biasa. Keanehan yang sekarang berubah menjadi rutinitas bagiku. Rutinitas yang tidak membosankan. Rutinitas yang selalu kutunggu-tunggu.

Aku langsung mengulurkan obat memar yang akhir-akhir ini selalu kubawa ke arahnya. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya akan selalu ditolaknya. Aku sudah tahu, tapi tetap saja aku mengulangi hal yang sama untuk lagi-lagi menerima hasil yang sama. Penolakan yang sama. Penolakan yang selalu dilontarkannya dengan manis. Semanis senyum yang menghiasi bibirnya yang tipis dan basah berwarna merah muda. Membuatku selalu tidak mampu menolak penolakannya.

”Gak perlu lah. Ntar juga sembuh sendiri.” Selalu begitu jawabnya. Dan lucunya sedari awal aku tidak memaksa untuk mengobatinya. Karena seperti ucapannya, memar itu memang akhirnya sembuh dan kulitnya yang seputih susu itu kembali mulus tanpa noda.
”Lain kali lebih hati-hati yah.” ujarku akhirnya. Mengalah. Dia mengangguk. Masih dengan cengirannya.

Kami menyeberangi jalan. Agak tergesa karena meskipun sudah di jalur penyeberangan yang benar, kendaraan-kendaraan itu tetap saja menganggap kami gangguan yang menghalangi perjalanan mereka. Terlebih di jam pulang kantor seperti sekarang. Sesampainya di seberang kami setengah tersengal namun tidak kesal. Genggamanku di pergelangan tangannya pun berakhir. Menyisakan rasa hangat yang segera memudar. Ah, andai memarnya juga bisa secepat itu memudar.

Aku lebih dulu duduk di bangku warung bakso yang kebetulan tidak terlalu ramai sementara dia berdiri di sisi gerobak memesan untuk kami berdua. Setelahnya dia pun menyusulku duduk di bangku, seperti biasa diikuti mata-mata mendamba. Tatapan yang seringkali membuatku kesal karena tidak pernah kenal tempat dan waktu.

Dia menyibak rambut panjangnya yang dipermainkan angin. Mengeluarkan karet gelang lalu mengikatnya. Mata-mata itu terus mengikuti geraknya. Mata yang ingin rasanya kucongkel menyisakan lubang kosong gelap di kepala mereka. Aku tidak akan peduli jika saat itu dia tidak sedang bersamaku, tapi bukan sekarang. Ada aku di sisinya. Apa mereka tidak bisa melihat? Apa mereka tidak bisa berpikir?

Ah, kenapa denganku? Setelah sekian lama mengenalnya, rasanya wajar jika aku sudah membiasakan diri dengan situasi itu. Tidak seharusnya menyalahkan atau menggerutu lagi. Semua perhatian itu adalah hal yang wajar, terlebih jika ditujukan buat makhluk seindah dirinya. Makhluk indah yang tidak pernah melebih-lebihkan keindahannya. Makhluk indah yang kadang seolah tidak sadar dengan keindahannya. Atau tidak peduli?

Entahlah. Tapi segala ketidak peduliannya itu, justru membuatku semakin peduli. Segala kelengahannya itu justru membuatku semakin awas. Segala kekurangannya membuatku semakin lebih. Dan lebih setiap harinya. Setiap waktu hingga sekarang. Seluruh relung ini seolah tersedia hanya untuk diisi olehnya.

”Tuh satu lagi.” Mataku yang sedari tadi menjelajah menyapu tengkuk jenjangnya menemukan memar lain. Ukurannya memang jauh lebih kecil dari yang tadi, tapi tetap saja namanya memar.
”Dimana? Ya ampuuunnn...” Dia malah lebih panik dariku. Tanganku bergetar ketika menunjukkan letak memar itu. Merasakan setitik kehangatannya di ujung telunjukku.
”Bisa-bisa kamu jadi dalmatian, lho...” ujarku setengah bercanda sekedar untuk menetralisir getaran itu. Dia langsung mengeluh tidak jelas tentang kemunculan memar itu. Keluhan yang lagi-lagi hanya membuatku tersenyum maklum. Sudah biasa...

Pesanan kami tiba. Dengan penuh semangat dia langsung meraih saos dan kecap. Menghiasi baksonya yang semua kuahnya bening, menjadi merah bata dengan aksen hijau cabe rawit. Hobinya yang satu itu sering membuatku bergidik, tapi sekarang aku justru selalu menanti-nanti. Dengan tidak sabar ingin menonton. Menonton bibirnya yang akan semakin merah diikuti desis pedas dan keringat yang menitik halus di keningnya. Dengan senang hati aku aku menghapus keringatnya dan dia lagi-lagi hanya akan berterima kasih lewat cengirannya.

”Pelan-pelan dong...” tegurku ketika pipinya terlihat semakin merona, langsung mengangsurkan minumannya. Dia lagi-lagi hanya nyengir. Menontonnya melahap bakso itu sudah cukup mengenyangkanku tanpa harus menghabiskan porsiku. Yah lagipula aku memang tidak terlalu suka bakso. Aku hanya suka ke tempat ini karena dia sangat suka bakso. Pecandu bakso.
”Bakso kamu blom abis tuh... Shh... Shhh...” sahutnya ditingkahi desis.
”Kalo kamu masih sanggup, untuk kamu ajah...” Dia mengangguk lalu bola-bola itu pun berpindah ke mangkuknya. Terjun bebas ke lautan saus. Aku seolah bisa mendengar mereka berteriak kepanasan namun akhirnya hanya bisa pasrah.

Kami tidak langsung beranjak setelah menghabiskan pesanan kami. Ya tidak mengapa toh mungkin dia juga tidak sedang buru-buru. Dia lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah katalog belanja kosmetik, membentangkannya di atas meja. Aku ikut melihat-lihat tanpa minat, hanya mendengarkannya yang sembari menunjuk-nunjuk produk yang dia minati.

Lipstick ini bagus. Kayaknya cocok deh buat kamu.” cetusnya menunjukkan sebuah gambar lipstick berwarna merah bata. Aku meliriknya tanpa minat.
”Jarang juga pake lipstick. Untuk apa? Yang kemarin-kemarin masih belom abis...” Dia terkekeh. Telunjuknya yang lentik mengacung lalu bergerak ke kiri dan kanan.
No.. No... No... Dari mana prinsip beli lipstick kalo udah abis? Kalo semua berprinsip kayak gituh, dijamin perusahaan kosmetik pada bangkrut...” Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
”Yah gak terlalu minat sih. Gak terlalu penting juga...”
”Sapa bilang? Harus punya minimal beberapa warna dasar. Kan banyak acara yang kita datangi. Masa lipstick-nya itu-itu mulu. Apalagi sampe gak pake. Secara cewek gituh. Kalo gak dandan aneh kan? Kayak teman kantor yang lain. Pada matching gituh bagus, kan?” ujarnya lagi masih belum mau menyerah.
”Biasa ajah...” sahutku cuek. Dia akhirnya menyerah. Sekarang dia lebih memusatkan perhatian dan menandai produk-produk yang lain.

Dia melepas sepatu yang dikenakannya. Mungkin kegerahan. Dan lagi-lagi mataku menangkap sosok lingkaran mungil di tumitnya. Memar yang lain. Aku baru akan menyampaikan kabar itu ketika mendadak ponselnya berdering. Dia menjawabnya lalu segera merapikan tasnya. Mengenakan kembali sepatunya. Menyimpan kembali memar itu dari dunia. Biarlah aku memberitahunya nanti, kalau memar itu masih nekad tetap bertahan di sana. Kalau aku melihatnya lagi.

Tidak lama kemudian sebuah sepeda motor mendekat dan berhenti di tepi jalan. Kami segera bangkit. Si pengendara motor itu tersenyum ke arah kami yang sekarang sudah di dekatnya. Setelah berbasa-basi sejenak, dia pun melambai dan berlalu dengan manis di boncengan. Memeluk erat suaminya. Tinggal aku yang masih berdiri sendirian di tepi jalan. Beberapa taksi yang lewat kubiarkan berlalu. Tidak peduli meski langit sudah merambat gelap. Tak peduli meski sudah sejak lama harapan itu pupus. Diam-diam luruh dari relungku.

Dan mendadak mataku melihatnya. Begitu jelas sekarang. Sebuah bundaran berwarna gelap. Bundaran itu sepertinya sudah ada selama beberapa waktu sekarang. Bundaran yang kupikir bisa kuabaikan. Bundaran yang kupikir bisa menghilang sendiri, seperti bundaran lain di tubuhnya. Tapi bukannya menghilang, dia malah semakin membesar seiring waktu. Sekarang sudah hampir menutupi seluruh permukaan.

Memar. Di hatiku.

Cerpen : Minggat

Langit masih gelap. Semburat matahari masih malu-malu merangkak naik, tapi kesibukan dan keributan di desa itu langsung membawa siang lebih awal. Beberapa laki-laki hilir mudik dan kasak kusuk ke rumah-rumah lain.

Sementara itu di sebuah rumah yang cukup megah, sebuah tenda biru sudah terpancang kokoh. Kursi-kursi juga sudah ditumpuk rapi di pojokan dan sebuah panggung sudah didirikan di depan. Orang-orang ramai di sana, tapi bukan untuk antre di meja prasmanan. Beberapa perempuan terlihat sedang menghibur seorang perempuan setengah baya yang terlihat lemas putus asa.

”Udah kami tanya ke penjuru desa, nggak ada yang ngeliat Non Dian.” lapor seorang laki-laki yang menjadi pimpinan rombongan pencari. Mendengar laporan itu, perempuan setengah baya tadi semakin lemas. Kali ini isaknya berloncatan keluar sembari menyebut-nyebut nama putrinya.

”Kawinannya lusa. Setidaknya kita harus sudah ngasih kabar ke besan paling lambat besok. Sekarang kita masih harus mencari. Kalo Dian nggak ada di desa ini, kita cari ke desa-desa sebelah. Pokoknya harus nemu. Nggak mungkin lenyap tanpa jejak.” Seorang laki-laki paruh baya yang terlihat sangat berwibawa akhirnya angkat bicara. Setelah mendengar perintah itu, rombongan pencari pun berlalu. Mereka kembali memulai pencarian.

Laki-laki itu menepuk lembut pundak istrinya yang sekarang sesunggukan seolah ingin menularkan kekuatannya. Bohong besar jika dia tidak risau. Bukan hanya merisaukan keselamatan putrinya semata wayang. Dia juga merisaukan hal yang lebih besar. Nama baik keluarganya. Bahkan nama baik desanya, karena dia juga adalah pemimpin di desa itu. Apa kata orang jika pernikahan ini batal? Mau ditaruh dimana mukanya?

Di rumah lain tidak jauh dari sana, seorang perempuan masih berdiri di depan pagar rumahnya. Matanya masih agak sembab karena baru dibangunkan dari tidurnya. Dia baru saja ditanyai oleh rombongan pencari tentang calon pengantin yang mendadak lenyap. Setelah rombongan itu berlalu dia pun masuk kembali ke dalam. Harus bersiap-siap berangkat kerja.

”Mereka nanya soal orang hilang.” ujarnya ketika melihat kekasihnya yang masih mengenakan daster meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan. Dia mengurungkan niatnya untuk langsung mandi.
”Pantesan heboh pagi-pagi buta.” Dia mengangguk. Mereka duduk berdua lalu mulai menikmati sarapan berdua dalam diam.
”Iya tuh. Padahal masih enak-enakan tidur yah.” sahutnya asal. Padahal setelah keributan itu dia langsung kehilangan kantuknya.
”Ya nggak apa-apa. Toh kamu juga harus lekas beres-beres.” Dia mengangguk.
”Siapa sih yang ngilang?” Ternyata topik masih berlanjut.
”Anak gadis Pak Kades. Yang mau kawinan lusa.”
”Wah... Kacau tuh. Nggak kebayang deh.”

Mereka sudah selesai sarapan, tapi kekasihnya tidak langsung membereskan piring-piring yang kotor. Dia juga tidak langsung mandi dan bersiap-siap. Hanya pasrah mengikuti ajakan untuk kembali bergelung di kasur yang masih hangat.
”Ntar aku kesiangan lho...” godanya.
”Alarm kamu belum nyala kok... Jadi masih ada waktu.” bisik kekasihnya yang langsung menghadiahinya kecupan mesra di bibirnya. Bibir yang rasanya masih seperti nasi goreng. Nasi goreng hangat mengepul yang akan selalu dinikmatinya dengan lahap.

Siangnya di kantor, pikirannya masih mengingat kejadian pagi buta tadi. Anak gadis Pak Kades yang kabur menjelang pernikahannya. Wajar saja terjadi keributan yang sedemikan besar karena sebagai putri semata wayang, maka pesta pernikahan itu rencananya akan dilangsungkan dengan megah dan meriah. Terlebih lagi calon suaminya juga tidak berlatar belakang sembarangan. Maka tidak heran jika acara pernikahan itu bahkan sudah menjadi perbincangan dan kehebohan jauh hari. Betapa pasangan pengantin itu amat sangat serasi dan lain-lainnya.

Dia dan kekasihnya juga diundang. Kekasih yang sudah hampir tujuh tahun ini menemaninya. Kekasih yang sampai sekarang hanya bisa diakui sebagai sepupu jauh kepada orang-orang. Kekasih yang setelah sekian lama begitu ingin dia nikahi. Meski tidak perlu semegah atau semeriah pernikahan putri Pak Kades. Cita-cita yang masih berujud mimpi karena siapa yang bersedia menikahkan mereka berdua? Hanya bintang dan desau angin yang sepertinya tidak keberatan.

Tapi benarkah pernikahan itu sebegitu pentingnya? Bukti nyata bahkan sudah muncul di depan hidungnya. Seorang perempuan yang nekad kabur menjelang pernikahan. Apakah baginya pernikahan itu penting? Apakah dia benar-benar menginginkan pernikahan itu? Jika memang demikian, maka tidak akan ada keributan ini. Jadi jika yang sudah jelas diberi keleluasaan untuk mengecap pernikahan malah menganggapnya tidak penting, kenapa dia malah begitu menginginkannya? Jika cinta yang mereka punya begitu kuat, apa masih butuh bukti? Entahlah. Dia tidak mengerti alasannya, tapi yang dia tahu itulah keinginannya.

Dia membuka laci kerjanya. Merogoh lebih dalam dan menemukan kotak mungil berbalut beludru lalu mengeluarkannya. Setelah memastikan hanya ada dirinya sendiri di ruangan itu, dia menekan tombol mungil dan kotak mungil itu pun terbuka. Sepasang cincin mengisi pandangannya. Rasa haru menyeruak cepat membuatnya buru-buru menghapus titik yang mengintip di sudut matanya.

Akhirnya dia menggenggam kotak mungil itu dengan penuh keyakinan dan tekad. Menguatkan dirinya dan semburat senyum sekarang menghiasi bibirnya. Biarlah jika hanya disaksikan desau angin dan bintang-bintang. Biarlah alam mencibir, tapi dia sudah membulatkan tekad. Dia tidak menginginkan yang lain. Hanya menghabiskan sisa hidupnya yang ada bersama perempuan yang dicintainya.

***
Setelah membereskan dapur dan meja makan, dia pun membersihkan seluruh penjuru rumah mungil itu. Rumah yang sudah selama tujuh tahun ini menjadi tempat mereka bernaung berdua. Rumah yang awalnya begitu dingin dan sepi, namun terasa begitu hangat sekarang. Hangat yang sama. Tanpa percikan-percikan seperti saat di awal-awal dulu. Kehangatan yang sekarang terasa hambar.

”Mereka masih berkeliling mencarimu. Sebaiknya kamu jangan berkeliaran dulu.” ujarnya ketika menyadari kehadiran seseorang.
”Ya. Hanya sebentar. Bosan sendirian di dalam sana. Ingin melihatmu yang sedang sibuk.” Dia tersenyum mendengar jawaban itu. Begitu kekanakan.
”Pantas saja kamu minggat. Masih anak-anak kok disuruh kawin, yah? Begitu pikirmu?” godanya lagi. Yang digoda hanya memberengut.
”Aku udah bilang dengan jelas, tapi mereka tidak mau mendengar. Apalagi yang bisa dilakukan anak-anak sepertiku selain minggat?”
”Orang tuamu akan sangat kecewa.”
”Mereka hanya kecewa karena tidak bisa menyombongkan diri di pestaku nanti. Apa yang kuinginkan tidak penting. Kekecewaanku tidak penting...”

Mereka lalu terdiam. Ruangan sudah bersih dan rapi.

”Barang-barang sudah kusiapkan. Aku sudah menghubungi. Nanti akan ada mobil yang menjemput. Hari ini Hani lembur di kantor, jadi tidak masalah...”
”Kamu yakin ini keputusanmu?” Dia terdiam sebelum akhirnya mengangguk yakin.
”Ya. Ini yang terbaik buat kami. Dia tidak harus terus-terusan berbohong tentang aku. Dan aku juga tidak harus terus-terusan berbohong tentang perasaanku. Ini yang terbaik.”

Dia tidak menolak ketika sepasang lengan itu merengkuhnya. Dia tidak lagi dilanda kebingungan dan keraguan. Semua terlihat begitu jelas di matanya. Begitu jernih tanpa menyisakan sesal setitik pun di relungnya. Ini yang dia inginkan.

***
Rumah gelap ketika dia tiba. Mungkin kekasihnya sudah tidur lebih dulu. Tidak mengapa. Justru itu lebih bagus untuk rencananya. Kejutannya. Maka dia pun masuk, melepas sepatunya, mengeluarkan kotak mungil beludru lalu langsung menuju ke kamarnya. Membuka pintunya dan disambut keheningan. Tidak ada desah napas teratur yang samar selalu bisa didengarnya. Tidak ada kehidupan di sana.

Dia langsung menyalakan semua lampu. Rumah itu sekarang benderang. Dia berkeliling mencari-cari, memanggil-manggil, tapi tidak juga menemukannya. Dia sudah mulai putus asa ketika akhirnya menemukan carikan kertas yang terselip asal-asalan di nampan meja makan. Pesan dari kekasihnya. Sekujur tubuhnya langsung lunglai.

Kekasihnya. Pengantinnya. Minggat.

Cerpen : Terbakar

‘Apakah yang kulakukan sekarang ini termasuk main api?’

Aku tercenung membaca pesan singkat yang baru tiba. Darinya. Ibu jariku bergerak menuju ke tombol ’Reply’, tapi terhenti dan setelahnya aku tepekur. Hari sudah berganti satu jam yang lalu dan lajunya seolah terhenti dengan kemunculan pesan singkat itu. Pesan singkat yang memotong aliran waktuku. Membuatku terhenti.

Suara hembusan napas teratur perlahan menyapa telingaku. Betapa ingin aku menyusulnya segera, napasku yang teratur beradu mesra dengannya. Tapi aku hanya bisa ingin, tanpa bisa memilikinya. Kedamaian serupa yang tergambar di wajahnya sekarang. Entah dimana dia saat ini, sementara aku masih tertahan.

Tanganku terulur. Menyibak helaian rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Menatapnya lekat. Kekasihku yang sedang berada di antah berantah. Kekasihku yang sekarang menyerahkan dirinya penuh kepada penguasa mimpi. Kekasihku yang dingin betapapun hangat yang menjalar dari kulitnya menyapa jariku. Kekasihku yang entah sudah sejak kapan sudah bukan kekasihku lagi.

Kulitnya masih berpendar lembut sisa percintaan kami tadi. Percintaan yang akhir-akhir ini tidak lebih baik dari masturbasi yang sekarang lebih sering kulakukan. Masturbasi yang membuatku orgasme berkali-kali tanpa usaha keras seperti saat kami bergumul bermandi keringat. Aku bahkan melakukannya sepanjang hari, dimana pun tanpa rasa malu menjadi tontonan orang lain. Masturbasi yang begitu memuaskan meski aku hanya memikirkannya sedetik. Memikirkannya yang bukan kekasihku.

Ya. Kalian pasti jijik mengetahui kebenaran itu, kan? Tapi apa yang kalian pikirkan tidak penting buatku. Karena kalian tidak berada di posisiku sekarang. Karena kalian tidak mengalaminya seperti aku. Atau karena kalian lebih cerdas daripada aku? Entahlah.

Pertemuanku dengannya terjadi tidak sengaja bahkan terlalu picisan untuk dimasukkan ke dalam risalah kisah cinta romantis sepanjang sejarah. Aku bahkan tidak ingat pernah berkenalan dengannya. Suatu hari dia muncul di kotak pesanku sebagai sosok asing tidak penting yang entah kenapa jadi kuanggap penting ketika dengan kesadaran penuh aku melepas selubung itu, menguaknya dan masuk menemuinya. Sosok yang sama denganku namun tidak sedingin aku.

Setelahnya aku jadi rajin menemuinya. Setiap hari kami bertemu di depan pagar rumahnya, berbincang tentang apa pun. Hal-hal tak penting yang mendadak menjadi begitu penting dan menggairahkan buat dibicarakan. Tidak ada hari yang berlalu tanpa aku sempatkan untuk menyapanya. Kadang dia sedang memotong rumput, menyiram bunga atau hanya sedang duduk di sore yang indah di beranda bersama teman-temannya yang lain.

Semakin hari, aku tidak lagi ingin sekedar lewat menyapanya. Aku ingin masuk. Ingin menghabiskan waktu minum teh atau sekedar duduk diam bersamanya. Di berandanya. Beranda yang indah dan hangat berhiaskan bunga-bunga. Pasti sangat syahdu saat matahari terbenam di sana dan aku ingin menikmati pemandangan itu berdua dengannya di beranda. Tapi kami masih belum cukup mengenal, atau sudah? Yang pasti hatiku berlonjak kegirangan saat akhirnya dengan ramah dia membuka pagar dan mengajakku ke berandanya. Dan aku langsung betah di sana.

Setiap hari aku seolah mendapat semburan semangat baru karena sekarang ada dia yang ganti rajin menyapaku. Meski terkadang aku tidak bisa singgah di berandanya karena kesibukan yang berlipat-lipat, tapi membayangkan esok bisa menemuinya lagi membuatku lebih kuat menjalani hari. Orang-orang bahkan menyadarinya juga ketika mereka terlihat heran dengan semangatku yang menggebu-gebu entah mendapat suntikan vitamin apa. Orang-orang juga menyadari wajahku yang sekarang kembali berbinar seperti matahari.

Bahkan kekasihku. Kekasihku yang selama beberapa waktu ini seolah menghilang meskipun kami berdiam di rumah yang sama. Rumah yang mungkin sudah sebegitu dinginnya sehingga meredam segala kehangatan dan keberadaan apa pun di dalamnya. Dia juga menyadari dan turut menikmati pendaran sinarku yang hangat. Aku tidak bisa mencegahnya karena pendaran itu ruah kemana-mana. Siapapun akan terkena rambatan hangatnya.

Rumah kami kembali hangat. Tempat tidur kami juga meski perlahan mulai menghangat kembali. Kekasihku mulai terlihat kembali dan sedikit demi sedikit aku kembali bisa merasakan kehadirannya. Tapi dengan segala kehangatan itu kenapa sekarang rasanya kami butuh usaha lebih keras untuk bisa menyatu kembali? Kenapa malam-malam hangat yang kami lalui malah terasa hambar? Dan semakin parah sehingga akhirnya aku memutuskan untuk masturbasi.

Jika orang lain cemas ketika sudah tidak bisa lagi mendapat kepuasan dari kebersamaan sehingga memutuskan untuk meraihnya dari masturbasi, entah kenapa aku malah merasa lega. Jika orang lain mungkin butuh usaha keras untuk mendapat kepuasan dari masturbasi, entah kenapa aku bisa meraih kepuasan itu kapan pun aku mau seolah sekarang di hadapanku terbentang samudera kepuasan yang bisa kureguk airnya kapan pun. Karena ada dia di sana. Di tengah-tengah samudera. Segala kepuasan yang kureguk berasal dari keringatnya yang menyatu dengan samudera. Memberi rasa kepada samuderaku yang hambar.

Rumahku hangat, namun kekasihku memang tetap dingin, betapapun keras usahaku untuk ikut menghangatkannya hanya akan berhasil di kulitnya saja. Kehangatanku mungkin memang tidak akan pernah bisa menembusnya, masuk ke dalam relungnya. Jika aku bisa meraih kepuasan lewat masturbasi, maka darimana dia mendapatkannya? Apakah usahanya yang keras untuk selalu tampak puas itu bisa benar-benar memuaskannya? Entahlah, tapi yang pasti usahanya itu sudah membunuh kepuasanku bersamanya.

Sore ini aku tidak langsung pulang. Aku tidak tahan lagi jika harus berlama-lama di rumah itu. Maka aku kembali menyapanya. Sore itu dia sedang merapikan bunga-bunga di kebun mungilnya. Dia langsung menyuruhku masuk, dan kami sama-sama melangkah ke berandanya. Sepiring biskuit dan sepoci teh sudah menanti. Dia basa basi bertanya kabarku karena sudah beberapa waktu ini aku memang tidak singgah untuk menyapanya. Aku hanya menjawab sibuk di kantor betapapun ingin aku mengaku bahwa selama beberapa waktu ini aku sedang berusaha menghidupkan kembali rumahku. Menghangatkan kembali relung kekasihku.

Dia tidak bertanya lagi dan entah kenapa aku merasa seperti tertangkap basah. Selanjutnya kami mulai berbincang, tapi tidak seperti biasanya kali ini dia menatapku dengan matanya yang bening keemasan oleh cahaya senja. Tatapan yang sedemikian syahdu tapi mampu merobek-robek pertahananku. Membuat tsunami di setiap relungku. Suatu perasaan yang sudah lama terkubur mendadak bermunculan kembali. Musim dingin di hatiku langsung lumer berganti musim semi.

Saat berpamitan pulang, rasanya jiwaku sudah habis meninggalkan ragaku. Memutuskan untuk menikmati senja bersamanya di beranda itu. Di tempat yang begitu jauh, meninggalkan ragaku yang sekarang kosong dan dingin.

Setibanya di rumah aku melepas pakaian yang kukenakan. Menghapus riasan di wajahku. Kekasihku tiba tidak lama setelahnya. Kami hanya saling tersenyum. Senyum formal seperti yang selalu kulontarkan kepada mitra dan klien bisnis. Senyum yang begitu mudahnya sekarang kulontarkan juga kepadanya. Dia melepas stiletonya, menyampirkan tasnya di ranjang lalu masuk ke kamar mandi. Aku tidak berniat mengikutinya seperti sebelum-sebelumnya, berharap bisa mengobarkan asa di bawah kucuran shower.

Setelah makan malam aku langsung mengeluarkan laptop. Menghubungkannya ke dunia dan tersenyum ketika melihatnya. Aku menyapanya kembali dan lagi-lagi hanyut tanpa peduli waktu yang merayap semakin larut. Dia pernah bertanya apakah kekasihku tidak marah karena aku lebih suka menghabiskan waktu di depan laptop ketimbang bersamanya. Pertanyaan yang ingin rasanya kujawab asal, bahwa laptop seiring waktu akan menghangat dan memanas sementara kekasihku tidak dan aku lebih suka yang hangat. Jawaban yang pastinya hanya akan dijawab dengan icon ngakak olehnya.

Menghabiskan waktu di depan laptop lebih menyenangkan karena bisa bertemu dengannya. Itulah sebenarnya yang ingin kujawab, tapi aku ragu. Aku takut jika setelahnya, kehangatannya akan berakhir dan aku tidak akan punya kesempatan untuk menghabiskan waktu di berandanya lagi.

Dia       : Minggu depan aku akan ke kotamu. Mau ketemuan?
Aku      : Wah, aku lagi di kota lain.
Dia       : Hm, ya udah gak apa-apa. Lain kali ajah...
Aku      : Ok. Lain kali...

Sangat berat ketika raga harus berjauhan dengan jiwa yang begitu kuat memanggil-manggil. Dengan jarak yang begitu jauh saja sudah membuatku kehabisan napas. Bagaimana lagi jika jarak kami menjadi lebih dekat? Bisa-bisa aku hancur berkeping. Dan seiring waktu hingga ketibaannya aku semakin kelimpungan.

”Hm, kayaknya aku gak bisa nemani kamu besok. Mendadak ada urusan penting di kantor.” ujarku saat makan malam. Kekasihku diam sejenak.
”Kan udah minta izin?”
”Emang, tapi urusan yang ini mendadak dan aku harus ada juga... Lain kali ya?” Dia tidak menjawab. Aku tahu dia merajuk, tapi biarlah. Urusan yang ini memang lebih penting. Urusan ini menyangkut hidup dan matiku.

Aku tidak butuh waktu lama untuk mencari-carinya di tengah keramaian bandara. Ragaku seolah dituntun dan dipandu jiwanya hingga akirnya untuk pertama kali aku bisa melihat langsung sosoknya. Sosok yang langsung mengisiku dengan kelegaan atas kerinduan ragaku pada jiwanya yang sudah berlari lebih dulu kepadanya. Kerinduan yang membuat mataku panas oleh desakan air mata. Dan saat kami akhirnya saling menatap, aku tahu akhirnya sekarang aku menemukannya. Rumahku. Di matanya.

Ting Ting Ting...!!!

Sudah pukul tiga pagi. Sudah dari tadi dan aku masih tepekur memandang ponselku yang sudah gelap diiringi hembusan napas lelap di sisiku. Akhirnya aku bisa bergerak lagi ketika ibu jariku menekan tombol ’Reply’ lalu jari-jariku yang lain mulai menyusul menekan tombol-tombolnya.

’Mungkin. Karena aku sudah terbakar. Olehmu.’

Lalu setelahnya ibu jariku langsung menekan ’Send’.

Cerpen : mantan Mantan

Ruangan minimalis modern itu terlihat kosong. Hanya ada dua buah kursi di tengah ruangan yang dipisahkan oleh sebuah meja mungil. Seorang perempuan sudah duduk di salah satunya. Sesekali dia melirik arloji di pergelangan tangannya sementara jarinya sesekali mengetuk cepat lengan kursi yang didudukinya.

Pintu di sisinya terbuka dan seorang perempuan lain masuk. Mengenakan setelan pantalon yang dijahit rapi. Perempuan pertama tadi langsung bangkit dan mereka bersalaman. Saling melempar senyum formal lalu keduanya duduk berhadapan. Perempuan yang terakhir masuk membuka-buka map yang sedari tadi tergeletak di meja.

”Saya sudah mempelajari kasus Anda. Sekarang tinggal keputusan final dari anda.” ucapnya tenang seraya membenarkan posisi kaca matanya. Karena yang ditanya tidak langsung menjawab dia melanjutkan, ”Saya tidak keberatan jika anda masih butuh waktu...”

Perempuan pertama tadi langsung menggeleng cepat. ”Keputusan saya sudah final. Saya hanya ingin mengakhiri semuanya, tapi tidak ingin jadi penjahatnya.” ujarnya tegas yang disambut anggukan mengerti. Setelahnya mereka kembali berdiri, bersalaman, dan sekarang yang tinggal di ruangan hanya perempuan berpantalon. Setelahnya dia menekan tombol di meja dan sebuah kertas muncul dengan tulisan di atasnya.

'Assigned to Dian'

***
Ruby mengedarkan pandangan. Hm, dia memang datang terlalu awal. Dan saat itu dia melihat Dian melambai di kejauhan. Dia balas melambai seraya tersenyum. Dian berlari kecil menghampirinya. Baru mereka berdua yang tiba di bioskop. Siska dan partnernya masih belum kelihatan.

”Udah lama?” tanya Dian. Ruby menggeleng. ”Mau minum? Aku beliin yah?” Sebelum dijawab dia sudah langsung bergegas ke stand makanan. Membeli dua botol air mineral dan sekantung popcorn. Ruby menerima minumannya. Masih belum ada tanda-tanda kehadiran Siska dan partnernya.
”Siska...” Belum sempat Ruby menyelesaikan kalimat, ponselnya bergetar. Dari Siska. Dia segera menjawab, ”Sis, kami udah di bioskop. Kalian...”
”Ruby, maaf banget. Kayaknya kami gak bisa nonton. Ponakanku mendadak demam, jadi harus nganter ke klinik. Maaf yah...” Panggilan diakhiri dan Ruby hanya bisa mendongkol.
”Mereka gak datang?” Ruby menggeleng. ”Trus gimana? Masih mau nonton?” Entah kenapa dia mengangguk.

Acara nonton berlangsung menyenangkan. Ruby yang semula kesal akhirnya juga menikmati. Dian juga cukup menyenangkan meskipun belum lama Ruby mengenalnya. Mereka memutuskan mampir di food court untuk mengisi perut sebelum pulang. Mereka sedang asik tertawa-tawa ketika Ruby bisa merasakan hunjaman tidak jauh dari tempat duduk mereka dan tawanya langsung sirna.

Manda.

***
Manda menghela napas lalu menghenyakkan tubuhnya lebih dalam ke kursi bacanya. Sendirian di rumahnya. Masih jelas tergambar di matanya kejadian sebulan yang lalu. Air mata yang meleleh membanjiri wajah Ruby diikuti kata-kata penjelasan yang tersendat oleh tangis.

Setelahnya Ruby masih berusaha menghubunginya hingga seminggu sesudahnya, tapi dia tetap mengeraskan hati untuk menolak keinginannya kembali. Keputusannya sudah bulat dan final. Hubungan mereka memang harus berakhir. Dia masih bisa mengingat sosok perempuan yang sedang bersama Ruby saat itu. Pastilah dia orang yang dikirim untuk tugas itu karena seseorang dari agensi itu menghubunginya. Bukan kebetulan dia ada di food court saat itu.

Ah, andai saja dia punya keberanian lebih, dia tidak perlu menggunakan orang lain untuk menyampaikan keinginannya untuk mengakhiri semuanya. Andai saja dia masih bisa bersabar untuk menunggu tunas-tunas cinta yang baru muncul kembali. Tapi dia sudah cukup bersabar. Lima tahun bukan waktu yang singkat dan semakin hari dia merasa semakin jahat karena tidak kunjung mengambil sikap. Dan sikap yang dipilih ternyata adalah menjadi seorang pengecut.

Tapi hanya itu pilihannya. Dia tidak punya cara lain. Ruby tidak akan menginginkan perpisahan ini. Dan dia sadar tidak punya kemampuan untuk menolak keinginannya. Apa dia harus terus bertahan sementara hatinya sudah sangat tidak rela? Sudahlah, ini yang terbaik buat mereka. Setidaknya buat dirinya.

Manda menghenyakkan tubuhnya lebih dalam lagi.

***
Dian menarik kursi dan mempersilakan Ruby duduk. Setelah hampir sebulan memutuskan untuk mengurung diri di rumah, akhirnya Ruby memutuskan untuk menghirup udara segar. Selain itu dia sudah sangat tidak enak jika harus menolak ajakan Dian untuk yang kesekian kalinya. Dian yang bukan siapa-siapanya, malah rela menghabiskan begitu banyak waktu untuk mendampinginya.

”Aku yang pesan untuk kamu ya? Kamu rada kurusan, jadi harus makan yang banyak. Kangen ama pipi bulat kamu.” Ruby hanya tersenyum tipis menanggapi. Dian lalu memanggil waiter lalu menyebutkan pesanan mereka berdua. Dia terlihat segar, berbeda dengan Ruby yang masih agak kuyu. Setelah menerima pesanan waiter pun berlalu.
”Terima kasih.” ujarnya pelan. Dian mengulurkan tangannya. Meremas tangannya lembut dan Ruby tidak melarangnya. Kenapa harus melarangnya? Dian bisa melakukan itu sekarang. Setelah...
”Masih mikirin mantan kamu?” cetus Dian memecah lamunannya. Ruby buru-buru menggeleng pelan. ”Baguslah. Berarti sudah waktunya kamu move on.”
”Entahlah...” Dian meremas tangannya lebih keras.
”Kamu masih punya aku, By... Ada aku di sini.”

Ruby menatap mata perempuan di hadapannya. Perempuan yang sudah menemaninya melewati saat-saat beratnya hampir sebulan ini. Ya, masih ada Dian...

***
Manda tercekat lalu buru-buru memalingkan wajahnya. Pertemuan ini begitu tiba-tiba dan dia tidak mempersiapkan dirinya. Ruby dan perempuan itu duduk di sudut kafe. Mereka terlihat... Bahagia. Ruby terlihat begitu berbinar dan serasi dengan perempuan itu. Perempuan yang waktu itu. Jika memang demikian, apa itu artinya perempuan itu bukan utusan agensi itu? Jika memang demikian, kenapa dia masih bersama Ruby meski tugasnya sudah usai? Jangan-jangan...

Ruby dan perempuan itu sudah selesai lalu keluar sembari bergandengan tangan. Manda hanya bisa menyaksikan semua itu dengan perasaan berkecamuk. Ruby. Ruby-nya. Sekarang terlihat begitu menawan bersama perempuan lain? Dan kenapa sekarang dia merasa sangat tidak nyaman? Apa sekarang dia sedang cemburu? Bukankah mereka sudah bukan siapa-siapa lagi? Hubungan mereka sudah usai. Itu kan kemauannya sendiri? Tapi kenapa sekarang...

”Bu Amanda, lalu bagaimana dengan pembahasan proyek yang tadi ingin Anda kemukakan?” Manda tersadar kembali menemukan tatapan heran kedua klien yang duduk di hadapannya.

Lunch-meeting berlangsung sangat lambat dan Manda merasa tercekik di setiap detiknya. Otaknya terus berkecamuk tentang Ruby dan perempuan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang terus bermunculan dan jawabannya yang berputar-putar membuat kepalanya akan segera pecah. Jika memang akhirnya Ruby bersama perempuan itu, lalu apa artinya air mata, rengekan dan penjelasan-penjelasan itu? Apakah sebenarnya bukan hanya dia yang menginginkan hubungan ini berakhir? Dan Ruby melakukannya dengan begitu indah. Mencampakkannya tanpa dia sadari.

Meeting akhirnya usai dan dengan penuh emosi Manda memacu mobilnya langsung menuju ke rumah mantannya itu. Sebelum mendapatkan penjelasan yang jujur, dia tidak akan puas. Dia akan terus penasaran. Ketika tiba di rumah yang pernah mereka tempati berdua, Manda tercekat ketika melihat mobil lain terparkir di sana. Tanpa buang waktu dia langsung menepikan mobilnya dan dengan kunci duplikat yang masih dimilikinya dia membuka pagar lalu menghambur masuk.

”Apa yang kau lakukan?!” pekiknya. Ruby dan Dian yang sedang duduk berdampingan melihat-lihat album foto terdiam sebelum akhirnya memandang heran ke arah Manda.
”Kamu sendiri? Ada apa datang kemari? Bukankah barang-barangmu sudah tidak ada lagi di sini?” tantang Ruby yang sekarang bangkit sehingga mereka berhadap-hadapan. Manda bisa merasakan pembuluh darah di sekujur tubuhnya akan pecah dan amarahnya akan berhamburan.
”Kau...” Dia menunjuk Dian dengan amarah tertahan. ”Keluar... Keluar!!” Dian yang memang tidak ingin memancing amarahnya pun bangkit dari sofa lalu berjalan melewatinya langsung keluar.

Sepeninggalnya, hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Manda berusaha bernapas. Dia tidak ingin mati sesak oleh kemarahannya sementara Ruby masih berdiri menantang di hadapannya.

”Katakan apa maumu.” cetus Ruby tenang. ”Apa yang membuatmu nekad menerobos ke rumah ini? Kau yang sudah memutuskan keluar, bukan aku yang mengusirmu.” Manda hanya diam. Matanya terpejam. Ruby benar. Dia yang ingin keluar, bahkan dengan cara yang sangat pengecut. Tapi bukan berarti harus secepat ini dia...
”Jadi kau dan perempuan itu... Kalian...”
”Bukan urusanmu.” tukas Ruby lagi. Kali ini hatinya berkeping. Kakinya goyah dan Ruby sigap menahannya. Sentuhan yang tidak diduganya itu malah menghancurkan benteng pertahanannya.
”Jangan lakukan itu, By... Aku... Aku...”

Ruby hanya terdiam terpana menyaksikan pemandangan di depannya. Manda terlihat bagitu rapuh di dalam kekalahannya. Dia menghela napas lalu menarik lembut tubuh yang gemetar oleh tangis itu ke dalam pelukannya. Air matanya ikut menitik, tapi kali ini diiringi perasaan lega. Manda akhirnya kembali.

”Selamat pulang kembali...” bisiknya dan Manda mempererat pelukannya. Album foto yang menampilkan kenangan manis mereka berdua masih terpampang di sofa.

***
Ruby melipat jemarinya dengan rapi mendengarkan perempuan di hadapannya bicara. Membacakan beberapa klausul dari map di hadapannya Dia datang ke tempat ini untuk menutup kesepakatan yang sudah mereka lakukan. Kontrak kerja sudah berakhir. Perempuan itu akhirnya selesai lalu menyerahkan pena kepadanya. Ruby menerima lalu membubuhkan tanda tangan di tempat yang tersedia.

”Terima kasih.” ujarnya. Perempuan di hadapannya hanya tersenyum.
”Bukan masalah. Sudah tugas kami untuk melakukan sesuai yang diinginkan klien. Dan semoga anda puas dengan hasilnya.” Ruby mengangguk. Setelahnya mereka menyudahi pertemuan. Perempuan itu membetulkan letak kaca matanya lalu menekan tombol dan pintu lain terbuka. Perempuan lain muncul. Berjalan tenang ke arahnya.

”Kerja bagus.” ujarnya puas. Tidak menolak ketika kedua lengan itu merangkulnya diikuti kecupan di tengkuk.
”Bukan masalah. Hanya sebuah tugas kecil untuk masalah kecil. Yang satu ingin putus, yang satu tidak ingin. What’s the big deal?” sahutnya. Sekarang mereka berhadapan. Begitu dekat.
”ID Dian sudah dihapus...”
Approved. Setelah ini ada proyek apa lagi?”

Pertanyaannya dijawab dengan kerling singkat, diakhiri kecupan di bibirnya.

Puisi : Sindoor

*cring cring*
Gemerincing gelang kaki yang kau kenakan
mengiringi langkahmu
Menghampiriku yang sudah lebih dulu
di sini menantimu

*cring cring*
Sari merah berkibar lembut menyapu lantai yang kau lalui
seperti sayap kupu-kupu
Kerudungnya yang bersulam benang emas
menutupi rambut hitammu

*cring cring*
Jari-jari kakimu yang mungil berukir namaku
yang melekat sempurna di setiap lekuknya
Tanganmu yang tertangkup di depan dada
berukir doa dan harapan

*cring cring*
Perutmu yang lentur
yang tidak pernah puas kuciumi
menari-nari mendekat
berkilauan oleh binar cinta

Tanganku terulur dan kau menyambutnya
Menatapmu sedekat ini
dengan bindi berkilauan di dahimu
Pengantinku...
bahkan kilau gemintang menunduk kalah padamu

Kujumput serbuk merah serupa darah
kuoleskan dengan lembut di dahimu
memanjang membelah rambutmu yang harum
Setelahnya kau melakukan yang sama
Kau sekarang menjadi pengantinku
dan aku pengantinmu

Aku mengikat ujung kerudungmu
sekarang kita sudah bertautan
Tiba saatnya kita mengelilingi api suci
hanya kita disaksikan alam yang syahdu
Berdampingan
Bergandengan tangan

*cring cring*
Gelang-gelang di kaki kita bergemerincing bersahutan...
Sari sewarna yang kita kenakan bergemerisik
berbisik betapa bahagianya mereka
karena tidak harus mengikuti di belakang
mereka sekarang bisa berdampingan

Matamu yang berbinar sekarang berkaca-kaca
atau mungkin itu mataku
Dengan sindoor di dahi
Kau istriku
Aku istrimu

*Sindoor = hiasan merah memanjang membelah rambut penanda seorang perempuan sudah menikah (adat hindu)

Cerpen : Nol Delapan

Triiing…

“Nol delapan!”

Aku bergegas menghampiri counter lalu memindahkan hidangan di piring itu ke nampan. Tanpa buang waktu langsung melaju menuju ke meja nol delapan. Langkah-langkahku ringan seperti terbang, sesekali berselisih dengan food runner lain. Suasana memang lumayan ramai malam ini. Aku bahkan harus lembur. Maklum saja, hari ini sabtu. Hari wajib untuk para pasangan. Terbukti, tamu malam ini rata-rata pasangan.

Kecuali di sana. Hanya di satu tempat itu saja yang lain suasananya. Tempat yang menjadi koordinat pendaratanku. Aku mendarat mulus di lokasi tujuan. Meletakkan pesanan di nampanku dengan mulus dan sempurna.
”Fetucinni spesial extra jamur satu porsi...” ucapku. Sedikit bergetar tapi aku langsung menutupinya dengan senyum ramah.
”Terima kasih...” sahutnya. Tersenyum. Kakiku rasanya lumer seketika.

Bibir tipis yang basah itu.
Mata yang berkilau itu.
Gigi putih yang berbaris rapi itu.
Lesung pipi itu...

Oh, gosh... Lembur bukan masalah lagi.

Triiiinggg....

Radarku kembali menangkap sinyal darurat. Maka dengan sangat berat hati aku pun berlalu meninggalkan makhluk berkilauan itu. Dengan langkah yang terasa jauh lebih ringan sekarang. Seringan kupu-kupu.

Nol delapan.

Aku meletakkan nampan lalu melirik ke koordinat itu. Sepasang muda mudi sedang cekikikan berdua. Yah, pastinya bukan dia. Dia tidak pernah muncul di jam-jam seperti ini. Dia biasanya akan muncul kira-kira satu jam lagi. Tapi tidak mengapalah. Aku toh tidak sedang terburu-buru.

”Shift malem lagi?” tegur Heru. Dia juga sedang beristirahat menunggu pesanan. Aku mengangguk.
”Iya nih. Lagi pengen ajah.” sahutku.
”Lagi pengen? Tapi keseringan malem gituh. Emang pagi lagi sibuk apa?” Duh, cerewet amat sih nih anak.
”Ya gak kenapa-kenapa. Partnerku pengen masuk pagi ya gak apa-apa aku ngalah.” tandasku. Dia ber-oh singkat. Suara bel menyelamatkanku. Aku bergegas menghampiri counter dan mengambil pesanan yang tersedia.

Entah sejak kapan. Aku juga tidak bisa mengingat dengan pasti. Dia muncul tiba-tiba di suatu malam. Di luar sedang hujan dan dia berlari kecil berteduh di depan kafe kami. Waktu itu suasana di dalam tidak terlalu ramai dan aku belum memenuhi service target hari itu. Aku lihat dia sesekali melirik ke dalam kafe dan entah didorong oleh kekuatan apa aku nekad keluar menghampirinya. Mengajaknya masuk ke dalam kafe dan dia mendarat di koordinat itu.

Nol Delapan.

Dan sejak saat itu aku selalu menanti-nantinya. Hatiku pasti kebat-kebit kecewa jika ternyata dia tidak muncul. Dan selalu melonjak seperti anak-anak yang dikasih balon gratis ketika dia muncul dan mengerling ke arahku untuk memesan. Seolah ada perjanjian aneh yang tidak diucapkan di antara kami. Dan lucunya seisi kafe juga tahu hal itu.

”Fans kamu nongol.” tegur Siska. Aku tersadar dan benar saja. Dia mengerling ke arahku, yang langsung membawa buku menu ke koordinatnya.
”Selamat malam, Mbak...” sapaku seraya menyerahkan buku menu.
”Malam.” sahutnya ramah. ”Gimana hari ini? Udah target?”
Aku mengangguk dengan penuh semangat.
”Wah, hebat. Hm... Kalo gituh aku pesen apa yah...” Dia membolak-balik buku menu itu lalu kembali menutupnya. ”Pesankan apa ajah deh. Terserah kamu.”

Aku berguling gelisah di ranjang. Pagi sudah mulai merayap menghampiri, tapi mataku seperti tidak mau terpejam. Jantungku bergemuruh seolah habis sprint. Ranjangku yang sempit juga mulai membuatku gerah. Akhirnya aku bangkit dari ranjang. Berjalan menghampiri meja tulisku lalu meraih botol minuman yang selalu kusediakan. Meneguk isinya setengah lalu duduk diam di kursi.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas pembicaraan singkat di kafe enam jam yang lalu. Setelah selesai dia memintaku untuk menemuinya. Teman-temanku langsung kasak-kusuk soal tips yang besar. Tapi bukan tips. Ini bahkan lebih bagus dari tips sebesar apa pun. Dia menanyakan kapan aku off-duty karena dia ingin mengajakku pergi makan siang.

Hah... Aku memang tidak bisa melihat tampangku saat itu, tapi yang pasti bukan paras yang normal karena dia bahkan tertawa melihatnya. Tawa lepas yang membuat seisi perutku menari-nari kegirangan.

Besok. Eit, nanti siang. Dia mengajakku makan siang bersama. Aku sudah menyiapkan pakaian yang akan kukenakan. Semuanya sudah siap. Tinggal mata ini saja yang terus memberontak tidak mau terpejam. Tapi tidak mengapa. Semua akan baik-baik saja. Kami akan menikmati waktu yang menyenangkan bersama. Ber du a.

Aku berdiri manis di depan kafe tempat kami akan bertemu. Aku sudah mengenakan gaunku yang paling manis. Berdandan dengan manis. Diriku yang sekarang pastinya mengalahkan manisnya keik warna-warni yang terpajang rapi di etalase itu. Aku melirik arloji. Aku memang terlalu awal. Masih lima belas menit lagi. Tapi tidak mengapa. Akhirnya aku melihatnya. Dia melambai ramah. Aku membalas lambaiannya.

Dia... datang... berdua?

Mereka menghampiriku. Aku mengamati temannya yang juga tersenyum ke arahku.
”Hei, sudah lama nungguin?” sapanya ramah.
”Nggak kok, mbak. Aku ajah yang datang lebih awal.” sahutku.
”Kenalin. Ini temenku Biyan. Biyan, ini nih Beth yang sering aku ceritain.” Aku dan Biyan bersalaman. Dan entah kenapa sekarang aku tidak merasa manis lagi. Sekarang aku sudah berubah menjadi kecut, pahit, asam. Ah entah apa.

Bukankan makan siang ini harusnya menjadi saat-saat yang menyenangkan? Bukankah seharusnya hanya ada aku dan dia? Kenapa harus ada orang lain? Yang dengan kehadirannya membuat perhatiannya tidak lagi tertuju kepadaku sedikit pun. Aku menjadi orang luar di sini. Aku hanya penonton canggung di pojok panggung sekarang.

Aku menatap kosong ke koordinat itu. Dia memang tetap setia di sana. Tetap setia dengan perjanjian itu. Meski kali ini ada sedikit perubahan di salah satu ayatnya. Aku sekarang tidak lagi hanya melayaninya. Aku juga harus melayani orang yang sedang bersamanya.

Triiinggg....

Aku tahu itu pasti menu pesanan mereka. Tapi tidak seperti sebelum-sebelumnya. Kakiku terasa amat sangat berat. Seberat jantungku yang perlahan tapi pasti merobek dadaku. Jatuh berkeping ke lantai.

”Nol delapan...!”

Cerpen : Surat Cinta Andrea

Aku melangkah masuk, lamat-lamat mengamati sekeliling ruangan seolah mencoba merekam ulang semua kejadian yang pernah berlangsung di sini. Ada tempat tidur tua dengan sprei berwarna ungu yang sudah pudar. Tempat tidur itu terlihat rapi dengan bantal, guling dan selimut yang diam di atasnya. Aku menghampirinya. Duduk. Memecah keheningan mereka.

Sayup aku bisa mendengar suara langkah kaki hilir mudik di luar sana ditingkahi suara-suara yang tidak mau kalah cepatnya. Aku menghela napas, berharap gumpalan di dadaku bisa mengempis sedikit, agar aku bisa kembali bernapas. Aku kembali mengamati ruangan ini. Foto-foto kenangan yang tergantung rapi. Lemari yang tadi sudah dikosongkan. Mataku berhenti di laci mungil yang masih tertutup di bagian bawah lemari. Tinggal itu saja.

Setelah menghimpun kekuatan aku bangkit diiringi derit lega ranjang lalu berjongkok di depan laci. Menariknya lalu perlahan mengeluarkan isinya. Ada album foto usang. Aku membuka-bukanya. Tersenyum ketika melihat diriku yang terlihat canggung dan ketakutan di sana. Tanganku memeluk erat lengan nenek terkasih yang tersenyum lembut seperti malaikat ke arah kamera. Senyum yang mampu memompa semangat ke dalam nadiku. Bahkan aku bisa merasakannya sekarang. Senyum yang seolah berkata, ”Jangan takut, Nenek ada di sini.”

Aku meletakkan album usang itu ke tepi lalu mulai mengeluarkan isi lainnya. Sebuah kotak musik mungil. Aku membukanya. Sudah tidak bersuara lagi. Lalu ada kotak beludru yang ketika kubuka ternyata berisi surat cinta kakek buat nenek. Kertasnya sudah kekuningan, tapi tetap indah kupandang. Iseng aku membuka-buka beberapa amplop dan membaca suratnya. Tersenyum haru membaca kata-kata yang terparkir indah di sana. Aku segera mengumpulkan semuanya ke tepi. Laci itu sudah kosong. Akhirnya...

Aku mendorong laci itu kembali, namun tersangkut. Yah, lemari ini memang sudah sangat tua. Aku berkutat berusaha memperbaikinya ketika mendadak saja bagian bawa laci itu runtuh. Aku memekik pelan karena kaget. Laci itu sekarang bolong dan bagian dasarnya tergeletak di lantai bermandikan kertas-kertas usang. Debu-debu beterbangan di sekitarnya.

Sembari mengibas-ngibaskan tangan, aku mulai meraih bagian yang runtuh tadi. Meraih kertas-kertas yang terlipas rapi itu satu per satu. Memisahkan mereka dari serpihan dan debu. Setelah mengumpulkan semuanya, lagi-lagi rasa ingin tahuku menggerakkan tanganku untuk membuka salah satu surat lalu mulai membacanya. Tulisan tangan yang tergores indah menyambutku.

’Malaikat kecilku...
Masihkah kau ingat kaktus yang kaubelikan untukku sebulan yang lalu? Kaktus mungil yang sangat mirip dirimu. Dia sudah berbunga. Bunganya bahkan lebih indah dari bayanganku karena dia adalah dirimu. Dirimu yang juga berbunga-bunga hari ini di altar itu...’
Andrea

Dahiku mengerut. Andrea? Siapa Andrea? Seolah diperintah aku pun langsung membuka lipatan kertas yang berikutnya.

’Malaikat kecilku...
Hari ini aku sakit. Seulas kecupanmu pasti sudah cukup untuk menyembuhkanku...’
Andrea

Lalu yang berikutnya.

’Malaikat kecilku...
Rasanya baru semenit yang lalu kau pergi. Ranjang ini langsung membeku. Entah apakah kehangatanmu yang tersisa di relungku masih bisa bertahan sampai nanti saat kau kembali?’
Andrea

Dan seterusnya aku membaca habis seluruh surat itu. Semuanya berisi kata-kata cinta dari Andrea yang ditujukan entah kepada siapa. Siapa malaikat kecilnya? Apakah nenek atau kakek tahu tentang surat-surat itu? Surat-surat yang tersembunyi entah sudah berapa lama di sana.

Entah kenapa mataku tertumbuk kepada foto nenek dan kakek saat mereka masih muda. Lalu terhenyak. Nenekku, tersenyum ramah ke arah kamera di sisi kakekku yang tingginya hanya sepundak.

***
Aku berdiri di sisi nenek yang sekarang sudah terbaring diam. Matanya terpejam, seperti saat sedang tertidur pulas. Perlahan tanganku terulur, membelai dahinya yang dingin. Barang-barang peninggalan nenek sudah kuserahkan seluruhnya kepada keluarga yang lain. Kecuali kumpulan surat dari Andrea. Biarlah hanya aku yang tahu. Tidak penting juga aku  mengungkapkan semuanya. Biarlah kakek dan nenek bersatu dengan tenang di sana.

Seorang perempuan tua didampingi kakakku mendekati peti jenazah. Pasti teman nenek yang lainnya. Dia sepertinya seumuran dengan nenek, tapi posturnya masih terlihat tegap. Sorot matanya juga masih terlihat penuh percaya diri. Aku menepi memberinya ruang. Dia berdiri sesaat di sisi peti, menghela napas, menahan tangisnya. Aku dan kakak hanya diam menonton tidak jauh darinya.

Dia mengeluarkan sapu tangan, mengusap air matanya, lalu tangannya terulur membelai dahi dan pipi nenek sembari mulutnya komat-kamit, tapi kami tidak bisa mendengar kata-katanya. Setelahnya dia mengeluarkan sepucuk kertas yang terlipat rapi dari sakunya lalu meletakkannya ke dalam genggaman tangan nenek sebelum meninggalkan peti dan ruangan didampingi kembali oleh kakakku.

Aku masih berdiri di tempatku. Cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri peti dan mencari tahu apa yang ditinggalkan perempuan tadi di sana. Aku bisa dengan mudah menemukan kertas itu. Aku yang berniat mengambil kertas itu langsung mengurungkan niatku. Tanpa perlu bersusah payah aku bisa langsung mengenali tulisan itu karena baru beberapa jam yang lalu aku mengenalinya.

Maka aku mengulurkan tanganku. Memperbaiki posisi surat itu agar tidak terlalu mencolok. Karena aku yakin, itu juga yang dikehendaki nenek karena setelahnya sekilas aku seolah melihatnya tersenyum sembari berkata, ”Terima kasih...”

Ya, Nek. Surat-surat yang lain akan kukirimkan belakangan...