Selasa, 04 September 2012

Bayang Samar di Hatimu


Berkas-berkas cahaya Sang Surya dengan garang menerobos sela-sela tirai yang sepertinya lupa merapat menaungiku. Aku berguling sembari mendecak berusaha mencari tempat yang lebih tersembunyi, ditonton tirai yang terlalu sopan dalam kebisuannya sehingga tidak lancang melakukan apa pun sebelum kuminta.

Putus asa karena tidak jua menemukan tempat persembunyian dari sundutan pandangannya yang tajam menyilaukan, akhirnya aku menyerah. Duduk di tengah ranjang yang acak-acakan. Mataku perih. Tanpa perlu memastikan lewat cermin aku tahu bagaimana rupaku sekarang.

Aku terlonjak oleh getaran ponsel yang ternyata tertimpa pahaku. Nama Indy berkedip-kedip di sana. Aku malas menjawab, tapi sadar itu tidak akan menghentikan terornya. Maka aku mengambil keputusan yang lebih bijak dan menekan tombol untuk menjawabnya, ”Halo...”
”Kamu gak ngantor hari ini?”serbunya.
”Nggak. Aku rada kurang enak badan, Ndy... Tolong mintakan izin ke Bu Jeanne yah.” sahutku serak.
”Kamu nggap apa-apa, Dan?” tanyanya setelah jeda sesaat.
”Iya. Cuma gejala flu kayaknya. Gak apa-apa, kok.”
”Oh ok. Pantes suara kamu serak. Istirahat aja hari ini. Lekas sembuh, yah...” Aku mengangguk meski sadar dia tidak akan melihatnya lalu mengakhiri pembicaraan kami.

Setelahnya aku kembali bergelung di ranjangku. Diam di sana. Menatap kosong ke satu titik dengan pikiran mengawang tanpa sanggup kucegah. Dengan mudahnya menghadirkan kembali kejadian semalam diikuti pertanyaan-pertanyaan tentangnya yang merongrongku. Dan itu hanya memicu perih yang menularkan rasa panas di kedua sudut mataku. Meleleh serupa lahar panas membakar permukaan yang dilewatinya. Aku hanya pasrah membiarkannya, berharap dengan demikian maka rasa perih ini akan berkurang.

Tapi yang terjadi hanyalah gelombang besar yang tercipta, dengan ganas meraupku ke dalam pusarannya. Mengombang-ambingkanku sekena hati, tanpa sedikit pun usahaku melawan kehendaknya. Hal yang sudah begitu fasih kulakukan ketika merelakan hatiku untuk dipenuhi olehnya.

Bella.

***
Sejak di hari pertama mengenalnya, Bella sudah menarik hatiku. Sorot matanya yang lembut, suaranya yang senantiasa mengalun lembut saat dia berbicara, dan tawanya yang manis hanyalah segelintir mantera dari keseluruhan sihir berujud dirinya. Sihir maha dahsyat yang tanpa kesulitan berarti langsung menjeratku di dalam labirinnya. Bertekuk lutut tanpa perlawanan apa-apa di hadapannya. Lalu bermimpi tentang segala keindahannya yang hanya akan jadi milikku. Terlalu buta atau terlalu tolol untuk sadar bahwa sudah ada yang lebih dulu memilikinya. Bahwa segala pendar miliknya tidak akan dibagi-bagikannya selain hanya kepada orang yang sudah dia pilih.

Aku serupa prajurit garis depan yang hanya bermodalkan keyakinan tanpa senjata dan perlengkapan perang yang memadai. Aku hanya prajurit ingusan yang terlanjur mabuk oleh mimpi-mimpi untuk bisa meraih kemenangan, berhadapan dengan musuh yang lebih mapan dan matang persiapannya. Aku hanya prajurit lugu tak berharga yang hanya layak dijadikan umpan untuk mengecoh lawan.

Aku hanya... Terlanjur jatuh cinta padanya.

Dan dia tahu. Dengan. Sangat. Jelas. Semua. Perasaanku.

Lalu berenang-renang dengan tenang di sana. Berkecipak menghasilkan riak di sekelilingnya. Mengaduk-aduk seisinya. Menciptakan ombak, gelombang bahkan pusaran. Apa pun yang dia inginkan. Dialah ratu yang menguasai tempat itu sepenuhnya.

“Aku mendadak diundang makan malam bareng keluarga Hans besok. Gak apa-apa, yah?” ujarnya  dengan tampang bersalah.
”Gak apa-apa dong. Lain kali masih bisa kok.” ujarku.
”Beneran? Kamu nggak marah, kan?” Aku menggeleng kuat-kuat.
”Gak kok. Undangan itu lebih penting. Kita nontonnya kapan-kapan ajah.” Dia menatap mataku lekat selama beberapa saat seolah ingin memastikan sebelum akhirnya mengangguk lega. Dia kembali berbinar. Relungku kembali hangat.

Ya. Hanya itu yang kubutuhkan. Binar di rautnya dan aku pun kembali bernapas.

Aku menatap dua lembar tiket yang baru bisa kuraih setelah antre berjam-jam hanya karena dia sangat suka dengan aktor yang menjadi bintang utamanya, sekarang tidak ada bedanya dengan kertas bekas memo yang tidak terpakai lagi. Dan satu-satunya tempat yang layak buatnya sekarang hanya di tong sampah.

Ya, tidak mengapa. Seberapa banyak janji yang akhirnya harus dibatalkan hanya karena mendadak Hans punya rencana untuk mereka berdua. Seberapa banyak rasa kecewa yang menggunung ketika semangat yang berkobar hanya bisa pasrah tersiram air sedingin es, menyisakan desis dan gigil di relungku. Tidak mengapa. Aku rela.

”Setelah segala kekecewaan itu, kenapa sih kamu masih tetap ngotot masuk di antara mereka? Emangnya kamu gak liat Bella sangat mencintai Hans? Seluruh dunia tau itu.” cetus Indy suatu ketika saat kami makan siang bersama.

Bukan kali ini saja dia melontarkan pernyataan itu sekedar untuk mengingatkan posisiku. Tapi semua nesehatnya hanya nangkring sejenak, mengusap permukaanku yang keras lalu lenyap tak berbekas. Kalau aku diumpamakan bongkahan batu dan nasehatnya adalah air yang meski bisa melubangiku, maka butuh berapa abad hingga hal itu terjadi? 

Lagipula tidak tepat jika dia menuduhku yang terlalu ngotot masuk di antara mereka. Karena jika Hans adalah cahaya di hatinya, maka aku hanyalah bayang-bayang. Dan letak bayang-bayang tak lain hanyalah di belakang. Tersembunyi dan diabaikan. Terlalu samar untuk dianggap ada. Lihatlah. Aku bahkan tidak cukup terhormat untuk berada di antara mereka. Sedikit pun. Tapi meskipun demikian tidak mengapa. Aku rela.

Namun kesabaran selalu berbuah manis. Aku telah membuktikannya sendiri. Seperti hari itu saat Bella mendadak muncul di depan rumahku, lalu tanpa aba-aba menghambur ke dalam pelukanku menumpahkan tangis sekaligus lukanya di dadaku. Hans telah meninggalkannya.

”Dia pasti sedang mempermainkan kamu, Dan. Masa kamu gak sadar? Dia cuma sedang sakit hati karena Hans meninggalkannya.” Aku hanya mendecak tak sabar ketika Indy lagi-lagi menghujaniku dengan kata-kata bijaknya.
”Ndy, dulu waktu aku masih berusaha mengejar kamu bilang ngotot menyelinap di antara mereka. Sekarang setelah aku akhirnya bisa bersamanya, kamu malah menuduh dia sedang mempermainkan aku? Harusnya kamu ngasih selamat.”
”Dan, dengerin aku dulu...” Aku menggeleng.
”Apa sih susahnya ikut berbahagia saat sahabat kita sedang berbahagia juga?” tandasku membungkamnya.

Setelah itu Indy memang tidak lagi mengungkit-ungkit tentang aku dan Bella. Dia memang sahabatku, tapi rasanya keterlaluan jika dia terus-terusan berprasangka buruk terhadap perempuan yang kucintai. Setelah sekian lama aku hanya menjadi bayang-bayang samar di relungnya, sekarang tatapannya benar-benar tertuju padaku. Setelah sekian lama hanya bisa memimpikannya, sekarang dia begitu nyata di dalam pelukanku. Setidaknya hingga saat aku melihat nama Hans berkedip-kedip di ponselnya.

Bella memang tidak mengelak masih sesekali berhubungan dengan Hans, namun menurutnya hubungan mereka sekarang hanyalah sebatas teman. Dan apakah aku sudah berhak marah atau cemburu? Dan jika memang sudah, apakah aku bebas menggunakan hak untuk itu? Setidaknya Bella jujur padaku. Itu sudah cukup. Benarkah?
”Aku memang berjanji akan belajar mencintaimu, Dan. Tapi aku masih butuh waktu dan kuharap kau mengerti. Hubungan kita sekarang ini...” Dia tidak meneruskan kalimatnya seolah kebingungan mencari-cari kata yang sepadan untuk 'hal' itu.

Dan detik itu juga aku sadar bahwa ternyata aku masih berupa bayang-bayang samar di relungnya yang masih dipenuhi cahaya bernama Hans. Meski dia memang telah mempersilahkanku masuk, namun itu hanya basa-basi kesopanan terhadap tamu. Tamu yang tidak menetap selamanya. Tamu yang harus dengan sukarela dipersilakan pergi kapan pun tuan rumah menghendaki. Namun lagi-lagi meskipun dengan segala kesadaran yang memerihkan itu. Aku rela.

***
Aku berdiri di depan pagar rumahnya, menunggu dibukakan. Hal yang nekad kulakukan setelah selama hampir sebulan belakangan dia menghindariku. Hal yang mungkin dia rasa demi kebaikanku, namun ternyata itu membuatku semakin lemah. Ketiadaannya seolah merenggut kehidupanku. Keacuhannya membuat keberadaanku menjadi tak berarti. Sebut aku tolol, gila, atau entah apa pun, tapi setelah semua yang terjadi di antara kami perasaanku padanya tidak berkurang.

Aku akhirnya melihatnya menghampiri lalu membuka pagar dengan raut datar. Seberapa dingin sikapnya tidak menyurutkan niatku. Setelah aku masuk, dia pun menutup pintu lalu berjalan mendahuluiku. Aku menahan tangannya.
”Bella, aku nggak akan lama-lama.” ujarku.
”Apalagi yang mau diomongin, Dan? Setelah semuanya…” Aku menelan ludah.

”Aku sadar sampai kapan pun aku nggak akan cukup pantas buatmu. Tak berhak mendapatkan cintamu. Tapi aku merasa tetap berhak mencinta kamu.” kataku memulai. Dia menatapku dengan pandangan yang tak mau repot-repot kuterjemahkan.

”Meski mungkin di hatimu aku bahkan tidak masuk hitungan yang kesekian. Meski mungkin segala perasaanku ini tidak ada nilainya di matamu. Terserah kamu mau menyebutku apa. Aku rela.” lanjutku. Tak sedetik pun aku memalingkan pandangan darinya. Sekilas aku melihat riak halus di matanya.

”Cinta ini masih milikmu.”

Dia tidak mengatakan apa-apa hingga aku berlalu dari hadapannya. Melangkah gagah penuh kemenangan menghampiri mobilku. Masuk ke dalam dan selama beberapa saat hanya duduk diam. Hingga akhirnya kehangatan kembali mengisi relungku dan seluruh organku kembali bekerja.

Aku menyalakan radio. Musik pun mengalun mengiringi perjalananku.

♪ Aku rela ooo aku rela
Bila aku hanya menjadi
Selir hatimu untuk selamanya
Ooo aku rela ku rela
Ooo aku rela ku rela ♫

Senyumku mengembang.
Asin dan basah...

Sabtu, 01 September 2012

Sang Algojo


“Kamu tidak lupa rencana kita malam ini, kan?”
Aku menghela napas. Jadi sepagi ini dia menelepon cuma untuk mengingatkan hal itu? ”Ya. Aku tidak lupa.” sahutku.
”Ok. Setelah urusanmu kelar aku jemput.” ujarnya lagi.
”Iya... Iya...” sahutku rada kesal. Dia tertawa lalu membujukku sebelum akhirnya telepon kami akhiri dengan senyum menghiasi bibirku.

Aku merebahkan diri di ranjang. Setelah sebulan belakangan dirundung gelisah bercampur ragu sehingga mengulur-ulur waktu, saatnya pun tiba. Malam ini. Apakah kali ini aku benar-benar sudah siap? Tapi siapa sih yang bisa benar-benar siap? Ah, sudahlah. Siap tidak siap malam ini aku akan menuntaskan semuanya.

***
Sapu tangan yang menutupi sepasang mataku sudah dilepas, tapi mataku masih terpejam menunggu instruksinya. Napasnya menyapu hangat telinga kiriku, “Buka matamu…”

Mataku perlahan terbuka dan untuk sesaat napasku tertahan. Di hadapanku sudah menanti sebentuk keik ulang tahun yang indah lengkap dengan lilin yang menyala. Mataku langsung berkaca-kaca. Dengan lembut dia menggenggam jemariku. ”Selamat ulang tahun, Bella... I love you.”

Aku seolah kehilangan kata-kata. Hanya mengangguk lalu mengecup pipinya. Setelahnya dia menyemangatiku untuk berdoa. Aku pun kembali memejamkan mata. Berdoa sekaligus menyebutkan harapanku. Satu-satunya harapan yang kuinginkan sekarang hanyalah agar semuanya bisa tuntas malam ini. Setelahnya dengan sekali tiup lilin yang tadinya menyala pun padam sudah, menyisakan asap tipis di ujung-ujungnya.

”Wah, harapanmu bakal terkabul tuh!” cetusnya penuh semangat.
”Amin...” sahutku.
”Sekarang waktunya makan malam. Keik menyusul belakangan, ya? Aku juga sudah nyiapin film yang bagus. Kita bisa makan keik sambil nonton bareng...”

Tanpa buang waktu dia segera menyisihkan keik, lalu dengan trampil membentangkan serbet di pahaku dan kami pun menikmati makan malam yang sudah dia siapkan. Dia terlihat sangat bersemangat malam ini. Wajahnya berpendar tersaput bahagia yang tak repot-repot dia tahan. Suaranya yang ceria mengisi ruangan yang hanya berisi kami berdua serupa letupan-letupan kembang api, berlomba-lomba dengan kebisingan yang memenuhi kepalaku.

Seusai makan malam, aku tidak kuasa menolak ajakannya untuk berdansa diiringi musik syahdu yang sayup-sayup. Tubuh-tubuh kami menempel dekat. Lekat di dalam pelukan yang merekat erat. Tidak ada kata-kata. Tidak perlu kata-kata. Degub jantungnya yang menempel di telingaku sudah cukup. Degub yang begitu tenang melenakan, namun tetap tidak dapat menenangkan sesuatu di dadaku yang terus saja meruyak ingin keluar.

Aku mendongak menatap matanya. Mata coklatnya yang hangat. Menimbang-nimbang lagi dalam hati. Apakah sekarang saatnya? Atau bukan? Menangkap keraguanku, gerakan kami pun terhenti. Selama beberapa saat kami hanya diam, sementara musik syahdu masih terus mengalun.
”Kamu nggak apa-apa, Bell?” tanyanya lembut. Ditanya begitu aku hanya sanggup menggeleng meski langsung melerai pelukannya. Berjalan menjauh lalu menghenyakkan diri ke sofa. Dia mengikutiku.

”Bella...”
”Maaf, aku tidak bermaksud... Danny, aku senang dengan semua yang kaulakukan untukku malam ini, tapi...” Kata-kataku masih tercekat sementara dengan sabar dia menantiku yang masih kerepotan mengurai kalimat. Padahal sudah berkali-kali aku melatihnya, tapi tetap saja...
Dia berlutut lalu meraih tanganku. Meremasnya lembut. ”Katakanlah...”

Aku kembali menatapnya. Apakah memang sekarang saatnya? Apakah...
”Hans mengajakku untuk memulai lagi...” Sepasang alisnya langsung bertaut dan binar yang semula mengisi matanya pun mulai redup. Meskipun genggamannya masih bertahan, seolah memberiku kekuatan untuk melanjutkan atau dia terlalu tak bertenaga untuk memindahkannya.

”Dan aku bersedia untuk memulai lagi dengannya... Aku masih dan mungkin memang akan terus mencintainya...”

Palu diketukkan sudah. Kata-kata itu meluncur sudah dari sela bibirku dan tak akan kutarik lagi. Seperti tebasan sang algojo yang tanpa belas kasihan mengakhiri kehidupan dengan sekali ayunan. Meskipun aku tahu dengan pasti melukainya seperti ini adalah hal yang sebenarnya sangat kubenci. Dia yang sudah begitu sepenuh hati menjagaku selama masa-masa keterpurukanku.

Tapi bukankah selama ini aku juga sedang membunuhnya perlahan dengan terus-terusan membohonginya? Berpura-pura menerima cintanya padahal dengan sadar hanya memperalatnya untuk melipur perih dari luka yang digoreskan laki-laki itu. Dengan berdarah dingin memanfaatkannya hanya untuk mengisi kekosongan sementara hingga tiba waktunya sang pemilik yang sah menempatinya kembali.

Apapun itu. Keadaan tidak akan berbeda baginya. Dia tetap menjadi pihak yang terluka.

”Maafkan aku...” Dia menggeleng.
”Aku sadar selama ini hanya menumpang sementara di hatimu. Cintamu masih begitu besar untuknya. Jadi... Aku memang harus siap kapan pun dia muncul dan mendepakku keluar dari hidupmu.” Senyum pahit menggores bibirnya. ”Dan sepertinya sekaranglah waktunya.”

Aku balas meremas tangannya, seolah dengan begitu luka yang kugoreskan akan sedikit membaik. ”Kau berhak mendapatkan yang lebih baik, Dan. Suatu hari kau akan bertemu dengannya.” hiburku.
”Benarkah?” Mata coklatnya menembus tatapanku. Dengan yakin aku mengangguk. Dia mengangguk tapi tanpa keyakinan.

Klakson mobil yang menjerit dua kali di depan rumah seolah menjadi penanda waktuku dengannya benar-benar sudah usai. Hans sudah tiba sesuai janjinya. Tanpa buang waktu aku segera berkemas diikuti pandangannya.
”Aku harus pergi sekarang...” ujarku. Dia mengangguk tapi tidak bergerak dari posisinya hingga akhirnya aku menutup pintu yang memisahkan kami. Menghampiri Hans yang dengan senyum terkembang menyambutku.

Aku menyambut senyumnya. Mencium pipinya.
”Aku sudah reservasi restoran untuk merayakan malam yang istimewa ini.” Aku hanya mengangguk. Ya. Rayakanlah. Malam ini pasti terlalu istimewa, sayang dilewatkan begitu saja.

Sekilas bayangan asap tipis di atas lilin muncul di benakku.
Harapanku benar-benar terkabul.