Rabu, 27 Juni 2012

Flash : XY


Aku membuka kelopak mataku. Tatapanku langsung bertemu dengan sosok asing yang bayangannya terpantul di cermin besar di hadapanku. Tanganku terangkat menyusuri wajahku perlahan. Rahangku sekarang terlihat lebih tegas. Tulang hidungku juga lurus menjulang. Aku menggerakkan kepalaku sedikit ke samping dan melihat semburat gelap kebiruan serupa jambang.

Pandanganku sekarang beralih ke dadaku yang sekarang sudah datar. Tidak ada lagi gumpalan kenyal yang selama hampir tiga puluh tahun ini bertengger di sana. Gumpalan yang serba nanggung karena tidak cukup layak ditampung sepasang mangkuk berwarna-warni beraneka model yang hanya bisa kupandang penuh rasa ingin dan iri. Tapi sudahlah. Sekarang masalah itu sudah usai. Aku tidak perlu lagi merasa iri karena sekarang aku tidak membutuhkannya lagi. Aku sudah terbebas!

Aku mengamati postur sosok di cermin. Hm, aku harus lebih banyak berlatih untuk membentuk otot di lengan dan pundakku yang masih terlalu kurus. Perutku juga harus dilatih lebih keras lagi.

Dan jantungku berdebar ketika pandanganku bergerak turun lebih ke bawah dan menemukan alat pelengkap yang juga menegaskan siapa diriku sekarang. Sekarang aku bisa bercinta total dengan kekasihku. Aku bisa benar-benar memasukinya. Memberinya kenikmatan tanpa harus merendahkan diri dengan segala alat pengganti itu. Dan jariku yang sudah lama gagal memuaskannya meski tidak pernah dia ungkapkan.

Akhirnya aku tersenyum yang langsung dibalas olehnya. Senyuman yang kumiliki masih sama. Demikian juga sorot mata hangat yang sedang menatapku. Tanganku terulur menyentuhnya. Ujung-ujung jari kami bertemu. Ya. Dia adalah aku.

Terdengar ketukan di pintu. Aku segera mengenakan kembali jubahku lalu membuka pintu. Dokter dan perawat sudah berdiri di hadapanku. Mereka memang sudah ada di sana sedari tadi menantiku. Mereka pun tidak mau kalah mengagumi sosok baruku. Membuat sekujur tubuhku menghangat oleh kebahagiaan.

”Terima kasih, Dok. Sekarang saya merasa lengkap. Tidak lagi terombang-ambing. Inilag saya.” ujarku. Dia mengangguk. Senyum masih menghiasi rautnya. Kami bersalaman.
”Sudah tidak ada masalah, namun sebaiknya Anda menginap dulu hingga lusa. Kami masih butuh pengamatan lebih lanjut.” Aku mengangguk.
”Baik, Dok.” sahutku. Kami berjalan bersama menuju ke kamarku. Aku melonjak girang ketika melihatnya berdiri di depan pintu dengan buket mawar yang indah. Dia menyapa dokter dan perawat sebelum akhirnya masuk bersamaku.

Begitu pintu ditutup aku langsung memeluknya mengabaikan buket bunga yang tergolek pasrah di lantai. Aku menghirup aromanya dalam-dalam sekedar untuk mengisi kekosongan di relungku selama hampir sebulan ini. Lengan-lenganku memeluknya erat ingin menyalurkan kehangatannya menghapus dingin yang kurasakan tanpanya. Ketika akhirnya kami berpisah tatapan kami masih bertemu, saling mengabarkan kerinduan yang dirasa selama ini.

”Aku kangen...” ujarku terbata yang langsung dikunci oleh ciumannya. Bibir-bibir kami bertemu saling melepas kerinduan yang rasanya tidak pernah surut. Lidah-lidah kami saling berpilin dan menari geregetan menghisap semua oksigen, mengabaikan paru-paru kami yang mengempis.

Ketika ciuman itu harus berakhir, tatapan kami tetap bertautan. Tanganku membelai bingkai wajahnya. Mengusap pipinya. Membelai hidungnya. Memijit bibirnya. Dan akhirnya mengecup dagunya yang kasar oleh janggut yang baru tumbuh.

Flash : Duri


Aku melipat koran lalu meletaknya sembarangan di atas meja sementara tidak jauh dariku Della sedang asik bersamanya. Aku menatap tajam ke punggungnya, tapi akhirnya menyerah lalu bangkit dan bergegas melewatinya.

”Mau kemana?” tegurnya. Oh, jadi dia masih bisa melihat sosokku?
”Taman.” sahutku tanpa menoleh lalu membuka pintu langsung ke taman. Semilir angin menyambutku, namun gagal meredakan panas yang semakin menggelora di dadaku. Dari pintu transparan itu aku melirik ke dalam. Mereka berdua masih di posisi yang sama, begitu asik menikmati waktu menyenangkan minus aku. Aku menghela napas lagi lalu duduk di bangku sendirian sembari merutuk dalam hati.

Salahku sendiri membiarkannya muncul di antara kami. Menjadi duri di antara kami. Duri yang menyakitiku. Aku hanya ingin Della bahagia dan waktuku yang semakin tersita dengan kesibukan di kantor belakangan ini membuatku bersedia melakukan apa pun untuk itu, tapi kenapa sekarang kebahagiaanku juga harus terenggut? Semua yang kumaksudkan untuk kebahagiaannya hanya menyisakan sesal.

”Apa salahnya kamu juga berusaha mendekatkan diri? Bukannya menjauh begitu.” cetus Trish waktu itu.
”Entahlah. Della seperti orang lain sejak kehadirannya. Di matanya yang ada hanya dia. Padahal aku juga sudah berusaha meluangkan lebih banyak waktu untuknya.” sahutku yang langsung disambut gelengan tidak setuju.
”Della sudah lama kesepian jadi wajar kalau dia senang sekali dengan kehadiran Brandon.” Trish menyentuh tanganku lalu melanjutkan, ”Jangan biarkan ego kamu merusak segalanya.”

Aku menghela napas lagi. Apakah salah jika menginginkan orang yang kucintai tetap memiliki cinta yang sama seperti yang sudah-sudah buatku? Apakah salah jika aku mengharapkan perhatian penuh darinya seperti dulu? Apakah salah jika aku cemburu melihat kedekatan mereka?

Sudah cukup semuanya. Aku tidak ingin meneruskan siksaan ini lagi. Aku harus mencabut duri yang tertanam di antara kami. Melenyapkannya. Selamanya.

Della milikku. Hanya aku.

Aku bangkit lalu melangkah menghampiri kandang mungil tidak jauh dari bangku taman. Kandang itu kosong melompong. Tempat makannya juga sudah kosong. Kedua sudut bibirku tertarik. Aku tersenyum puas setengah menyeringai.

”Kris! Kriiisss!!” Aku mendengar teriakan panik Della di ambang pintu. Wajahnya terlihat pucat pasi. Brandon tidak bergerak di gendongannya. Aku segera menghampirinya. ”Brandon! Dia tiba-tiba...” Kalimatnya terpotong tangis. Aku menyentuh sosok di gendongan itu. Meraihnya. Membaringkannya di tanah lalu merengkuh Della yang terisak. Mengusap-usap punggungnya.
”Sshhh... Nggak apa-apa. Ada aku... Ssshhh....” ujarku menenangkannya.

Ahhh... Akhirnya aku bisa bernapas lega. Duri itu akhirnya tercabut. Della kembali ke pelukanku. Milikku. Hanya aku.

Jumat, 22 Juni 2012

Flash : Pembebasan

Aku berdiri di pojok kamar. Mataku tidak lepas dari ranjangmu, mengawasi mereka yang sibuk menyentuh sekujur tubuhmu. Aku tidak ingin pergi. Aku harus tetap berada di sini. Aku harus yakin mereka tidak akan menyakitimu dengan tangan-tangan mereka yang bergerak cepat dan kasar.

Aku selalu menepati janji untuk terus mendampingimu. Tak peduli apakah kau sedang gembira, sedih, sakit atau sehat. Aku akan terus berada di sisimu. Aku selalu sigap kapanpun kau butuhkan. Menghapus air mata di pipimu saat semua beban itu semakin terasa menghimpitmu. Menghibur di saat kau putus asa. Aku akan terus mendampingimu seperti yang sudah-sudah. Seperti yang selalu kau ingin kulakukan untukmu. Aku tetap memegang teguh janji itu dengan setia. Untukmu.

”Aku tidak kuat lagi. Aku ingin mengakhiri semua ini.” ujarmu dengan air mata bercucuran. Suaramu tercekat di tenggorokan menahan sakit yang bisa kurasakan juga di sekujurku. Bukan sekali ini saja kau berkata demikian dan sebanyak itu pula aku berusaha menguatkanmu. Meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja.

”Aku nggak bisa lagi. Aku mohon... Jangan biarkan aku tersiksa lebih lama lagi...” Kau ngotot. Ingusmu berleleran bercampur dengan air mata yang semakin membanjir di pipimu. Tanganmu yang pucat mencengkeram lenganku. Begitu kuat namun aku tidak bisa merasakannya.

”Aku mohon... Tolong aku mengakhiri semuanya... Bebaskan aku!” ratapmu semakin pilu. Aku menatapmu. Punggungku meremang.

Klik!

Aku bisa merasakan rasa dingin logam yang melingkari kedua pergelangan tanganku. Tidak juga menolak ketika dua laki-laki menggamitku di kiri dan kananku. Sebelum pintu kamarmu tertutup aku masih sempat melihat mereka menarik kain putih menutupi sekujur tubuhmu yang diam di sana hingga ke atas kepala. Seulas senyum tersungging di bibirku. Kau akhirnya bebas sekarang.

Rabu, 20 Juni 2012

Flash : Mencari Istri

“Trus maunya kamu yang gimana kriterianya?” Bella bertanya penasaran setengah menggoda setelah menyeruput jus jeruknya dengan cepat untuk menghilangkan rasa pedas yang membuatnya mendesis.

Warung bakso ini tidak terlalu ramai sehingga kami pun tidak segan untuk berlama-lama, meskipun sebelumnya dia berpesan agar tidak terlalu lama nongkrong karena harus segera pulang menggantikan ibunya menjaga putri semata wayangnya di rumah. Peninggalan dari mantan suaminya.

”Yah aku pengennya yang pinter masak, telaten ngurus rumah, humoris, dan smart. Soal fisik kan relatif yang penting nyaman ajah.” sahutku sembari menatap mangkuk kosong di hadapanku.
”Pinter masak? Telaten ngurus rumah? Ya ampun, Dilla... Kamu kayak lagi nyari istri deh...” Dia menanggapi disusul tawa cerianya.  Aku juga ikut-ikutan tertawa. Garing. Mataku sekarang lekat di bibirnya yang masih tersungging. Menggoyang ranting di relungku, membuat ratusan kupu-kupu di sana beterbangan ke segala penjuru.

”Satu lagi yang penting. Dia tidak harus lajang. Aku bersedia kok meskipun dia itu berstatus janda.. eh duda...” tambahku yang langsung disambut tawanya lagi. Ya, malah aku akan sangat bersedia mendampingi janda yang sekarang sedang tertawa kenes di hadapanku ini. Biarlah... Aku akan sabar menunggunya menjadi istriku.

Selasa, 19 Juni 2012

Flash : Tabrak Lari


“Kasian banget korban tabrak lari di persimpangan sana. Nggak ada yang peduli.” Istriku memulai pembicaraan sembari mencari posisi yang nyaman di pelukanku yang sedang asik menonton berita. Aroma tubuhnya yang segarr menyapa hidungku. ”Nggak tau udah berapa lama dia di sana. Jadi aku yang berinisiatif mengantar ke klinik terdekat. Syukurlah lukanya nggak terlalu parah. Besok udah bisa keluar.” sambungnya lagi.

”Oh, pantesan agak telat nyampe rumah.” ujarku lalu mengusap-usap pundaknya.
”Sayangnya nggak ada yang ngeliat kejadian itu. Lagi sepi jam segini sih...” Aku tidak menanggapi. Aku memandang lurus ke layar elektronik yang menampilkan gambar berganti-ganti dalam diam.

”Di kantor nggak kenapa-kenapa, Pa?” cetusnya lagi memecah keheningan sembari tangannya sibuk memijat-mijat lenganku. Aku hanya mengecup dahinya. Otakku sekarang tidak bisa lagi menangkap dengan jelas. Pikiranku dipenuhi hal-hal lain yang begitu cepat seperti kilatan-kilatan cahaya berganti-ganti.

Diakhiri decitan rem dan suara tumbukan di depan mobilku sebelum melaju kembali meninggalkan sosok itu tergeletak sendirian di sana. Tepat di persimpangan.

Senin, 18 Juni 2012

Flash : Burung Dara

Aku menebarkan remah roti ke tanah dan sekelompok burung Dara langsung berkerumun di sana. Saling bertekur riuh. Kepala mereka bergerak lincah mencari dan meraih remah yang tersebar. Aku tidak menunggu hingga mereka menagih, langsung menebarkan kembali genggamanku yang terakhir.

Taman masih sepi sehabis hujan sepanjang siang menjelang sore. Mendung masih bergelayut di langit, malas-malasan beranjak pergi. Aku melirik arlojiku lalu merapatkan syal dan kardigan yang kukenakan untuk menghalau dingin. Syal berwarna peach pemberiannya. Dia pasti akan senang melihat aku mengenakan syal ini. Aku bisa membayangkan senyum girang memenuhi rautnya.

Pertemuan kami terjadi tidak sengaja. Saat itu aku sedang di sini asik memberi makan burung Dara tanpa sadar sepasang mata setajam elang sudah membidikku sebelum akhirnya dia menghampiri dengan penuh percaya diri. Suaranya yang ramah dengan lincah nyelonong di antara aku dan tekuran burung Dara.

”Namaku Anton.” Senyumnya yang ramah bersahabat membuatku tidak bisa menolak uluran tangannya.
”Dara.” sahutku singkat lalu membetulkan syal yang kukenakan hanya untuk mengurangi rasa gugup karena sengatan kulitnya.
”Nama yang indah. Pas buat kamu...” Pipiku hanya menghangat menyahut pujiannya.

Setelahnya kami sering bertemu hanya untuk bercakap-cakap meskipun tanpa membuat janji temu. Duduk berdua di bangku yang sama. Sesekali dia akan membantuku menebarkan remah roti untuk burung Dara. Aku lebih banyak diam karena senang mendengar suaranya yang lembut mengalirkan kehangatan di relungku. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan itu. Apakah ini artinya aku akhirnya berhasil menemukan?

”Ini buat kamu, Ra.”

Saat itu kami sedang berdua di ruang tamu rumahku yang kosong. Aku menerima kantungan berwarna metalik yang dia angsurkan. Langsung mengeluarkan isinya. Sebuah syal berwarna peach yang langsung dia bantu kenakan di leherku. Aku hanya menunduk malu tidak sanggup menantang tatapannya. Tidak juga menolak ketika dia mengangkat daguku dan mendaratkan bibirnya di bibirku. Sekujur tubuhku bergetar hebat. Relungku bergolak. Ketika tangannya yang besar mendarat di gumpalan kenyal di dadaku, tanganku menahannya. Belum saatnya. Betapa pun aku juga sangat menginginkannya.

Sepasang tangan menutup mataku. Aku terpekik terkejut namun langsung menyebutkan namanya. Sesaat kemudian wajahnya yang sumringah sudah memenuhi pandanganku.
”Sori, ya aku telat. Tadi mendadak ada tugas...” ujarnya.
”Iya nggak apa-apa.” sahutku menyunggingkan senyum.
”Selamat ulang tahun, Cantik...” ujarnya masih berlutut di hadapanku. Aku hanya mengangguk dengan pipi menghangat. ”Sekarang kita mau jalan ke mana?” sambungnya. Sekarang kami sudah berjalan meninggalkan taman menuju sepeda motornya. Aku bergelayut di lengannya.
”Ke rumah ajah...” sahutku. Entah kenapa suaraku serak.

Aku sudah siap. Sangat siap untuk semua ini. Berkali-kali aku mengucapkan kalimat itu seperti mendaraskan mantera saat bersiap-siap di kamar mandi. Aku memandang sosok menawan di hadapanku. Babydoll seksi berwarna hitam membalut tubuhnya. Kontras dengan kulitnya yang putih. Memamerkan gumpalan kenyal yang menyembul indah. Aku melilitkan syal peach di leherku. Pandanganku terus menyapu pemandangan di hadapanku terus ke bawah dan tersenyum.

”Dara sayang... Buruan dong...” panggilnya membuat senyumku lebih lebar setengah menyeringai. Tanganku membelai sekilas gundukan keras yang menyembul sebagian dari balik thong yang kukenakan memamerkan puncaknya yang kemerahan dengan liur membayang.


Ya, aku sudah siap.

Burungku juga.

Minggu, 17 Juni 2012

Flash : Copet


“COPEEEETTTT…!!!”

Bruk!

Aku terpekik tertahan ketika tiba-tiba tubuhku ditubruk keras. Aku terhuyung, tapi beruntung tanganku berhasil menggapai kayu penyangga gerobak yang berdiri di dekatku. Kejadian itu hanya sedetik dan detik berikutnya dia sudah raib di keramaian pasar. Tiga orang laki-laki menghampiriku yang masih kesusahan, ”Mbak, kemana arah copet tadi?!” Aku langsung mengacungkan telunjukku menunjuk ke arah mana sosok yang menabrakku tadi menghilang.

Setelahnya aku meneruskan perjalananku bergabung ke dalam keramaian sembari menarik resleting tasku yang tadi terbuka. Melirik sekilas dompet kulit berwarna coklat yang barusan dijatuhkan ke sana bergabung dengan beberapa handphone dan dompet lainnya. Hasil kerja kami sedari pagi.

Yah, kali ini aku harus berjalan agak jauh memutar ke tempat pertemuan kami di luar pasar ini. Semoga dia berhasil mengelabui orang-orang yang mengejarnya.

Sabtu, 16 Juni 2012

Cerpen : Senja di Makam

Dia masih bersujud di tempat yang sama hampir sepuluh tahun yang lalu. Aku juga menyusuri jalan yang sama. Jalan setapak yang sudah begitu kuingat hingga bisa melaluinya meski dengan mata tertutup. Aku menyisakan sepuluh langkah di belakangnya. Berdiri di sana. Semilir angin menghantarkan wangi rambutnya yang bercampur dengan aroma dupa ke hidungku.

”Aku kira tidak akan pernah kembali ke kota ini lagi.” cetusnya lalu berbalik ke arahku. Kami sekarang bertatapan. Tatapannya tidak lagi dingin.
”Aku senang kau kembali lagi, Mei.” ujarku dengan perasaan yang membuncah penuh harap. Sudah lama sekali sejak kami berbicara berdua. Betapa banyak yang ingin kukatakan, tapi semua tercekat di tenggorokanku.
”Sudah sepuluh tahun...” ujarnya seolah tidak yakin. Keraguan mencuat di matanya.
”Kau tetap Mei-ku.” sambungku. ”Atau tidak lagi?” tanyaku was-was. Dia hanya tersenyum tipis. Senyum yang memberiku kekuatan baru. Aku meraih tangannya. Meremasnya lembut ketika dia tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan.

***
Aku dan Mei sudah saling kenal sejak masih kecil. Rumah kami lumayan berdekatan. Kami bersekolah di sekolah yang sama, sekelas bahkan sebangku. Mei begitu hangat dan akrab kepadaku, seolah tidak bisa melihat perbedaan yang begitu mencolok di antara kami. Mei berkulit kuning, sedangkan aku berkulit sawo matang. Mei bermata sipit, sedangkan mataku bulat. Rambut Mei lurus dan lembut disentuh, sementara aku berambut ikal. Selain saat mengikuti pelajaran agama, kami akan selalu bersama-sama kemana pun sehingga beberapa orang menjuluki kami kembar siam.

Setelah lulus SD kami juga bersama-sama mendaftar di SMP yang sama. Nilaiku yang pas-pasan tidak membuatku patah semangat, yang penting kami bisa bersekolah di tempat yang sama. Semoga bisa sekelas dan sebangku lagi. Mei juga berpikiran sama. Dan karenanya aku sangat girang ketika berhasil diterima masuk di SMP itu, meskipun agak kecewa karena kami tidak bisa sekelas. Tapi lagi-lagi itu bukan penghalang. Kami mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang sama sehingga meskipun tidak sebanyak saat di SD, kami tetap bisa bersama.

Keluarga Mei lumayan terpandang. Orang tuanya adalah pedagang perhiasan yang keahliannya sudah diwariskan turun temurun. Namun meskipun demikian, sama seperti Mei mereka juga selalu bersikap ramah kepadaku. Bahkan mamanya juga seolah punya tambahan seorang putri lagi. Aku sering menghabiskan waktu di rumahnya, bermain bersama, tidak peduli meskipun tidak jarang harus mendapat sabetan rotan dari ayah karena suka lupa waktu sehingga melalaikan pelajaran ngajiku.

Hari berlalu dan persahabatan kami semakin erat. Begitu eratnya sehingga aku mulai merasakan hal yang aneh setiap kali bersamanya. Saat bersentuhan dengan Mei aku bisa merasakan percikan serupa sengatan listrik di sekujurku. Aku tidak paham perasaan apa itu. Aku juga tidak yakin apakah perasaan itu tidak berbahaya. Hingga akhirnya kutemukan jawaban di novel-novel yang kubaca. Perasaan yang tidak selalu sama penggambarannya, tapi tetap menuju ke satu hal. Percikan itu muncul karena aku sedang jatuh cinta. Tapi kepada Mei? Bagaimana mungkin?

Kesadaran itu sontak membuatku ketakutan setengah mati. Aku lantas memutuskan untuk segera menebas habis perasaan itu selayaknya tukang kebun yang mati-matian membasmi ilalang agar enyah dari tanahnya. Aku menjauh dari Mei. Selalu ada alasan agar aku tidak perlu berlama-lama dengannya. Orang tuaku bingung meskipun senang karena aku mendadak jadi rajin belajar mengaji, meskipun di dalam lapal yang kulafazkan aku hanya ingin perasaan yang aneh itu enyah sejauh-jauhnya dariku.

”Din, aku salah apa?” Aku hanya bisa tercekat tanpa sanggup menghindar. Mei mendadak muncul di rumahku hari ini mempertanyakan sikapku yang akhir-akhir ini selalu menghindarinya.
”Kamu gak salah apa-apa.” sahutku akhirnya.
”Trus kenapa kamu menghindar? Pasti karena aku tanpa sengaja udah menyinggung kamu?” desaknya lagi. Matanya yang bening terlihat berkaca-kaca. Dia menggigit bibirnya yang tipis berwarna merah muda.
”Aku gak lagi marah ke kamu. Aku udah terlalu sering bolos ngaji.” kilahku.
”Kamu bisa tetap rajin ngaji tanpa harus menjauh dariku, kan?” Dan dengan pasrah aku mengangguk.

Mei menggenggam jemariku dan segala daya upayaku selama ini langsung luruh berkeping. Percikan itu sekarang sudah berubah menjadi kobaran. Aku berusaha begitu keras untuk bertahan di tengah kobaran itu.
”Jangan seperti ini lagi, ya?” ujarnya lembut.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
”Janji?” desaknya.
Aku mengangguk lagi. Pasrah. Otakku mungkin sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi karena sudah hangus terbakar kobaran itu sehingga yang bisa kulakukan hanya mengangguk.

Ketika berpamitan, Mei terlihat begitu berkilau dan penuh kehidupan yang pasti sudah dihisapnya tanpa susah payah dariku. Yang tersisa hanya relung kosong yang merintih sembari menyebutkan namanya berkali-kali. Mei, aku mencintamu. Mataku panas oleh air mata yang mendesak ingin berloncatan keluar. Apakah mencinta harus sesakit ini? Apakah mencinta harus setakut ini? Kemana perasaan indah yang digambarkan di novel-novel yang kubaca itu?

Hari-hari kembali kami lalui bersama, tapi tidak pernah sama lagi bagiku. Aku tidak bisa lagi memandang dirinya terbebas dari gemuruh dan gejolak di sekujurku. Bahkan rasa sakit ketika melihatnya dekat dengan orang lain. Entah kenapa aku mulai menyesal kenapa harus ngotot masuk ke sekolah yang sama dengannya jika akhirnya semua keinginan indah itu berakhir menjadi siksaan. Aku hanya ingin menjauh, tapi tidak tega melihat raut kecewanya.

Malam ini setelah sekian lama setelah dia mendesak aku setuju menginap di rumahnya. Tidur di kamarnya. Berdua di ranjangnya. Hal yang biasa kami lakukan dulu, tapi dengan perasaan yang jauh berbeda. Meskipun dalam hati aku sangat girang. Mei tetap bersikap manis kepadaku. Kami nonton bareng, ngemil bareng, dan akhirnya menyerah setelah rasa kantuk menyerang. Lebih tepat menyerangnya karena setelah lampu dipadamkan mataku masih tetap belum mau terpejam.

”Din...” panggilnya setengah berbisik. Aku yang berbaring membelakanginya memutuskan tidak menyahut. Tetap diam di posisiku. Setelahnya hening.

Aku nyaris berteriak ketika merasakan telapak tangannya mengusap lembut punggungku. Dia begitu dekat sekarang. Hembusan napasnya terasa hangat menyapu tengkukku. Meskipun begitu aku tetap berusaha keras memejamkan mata dan diam. Sebuah kecupan di tengkuk mengakhiri usahaku. Akhirnya aku membalikkan badan. Sekarang kami berhadapan. Semuanya terlihat begitu jelas sekarang. Di matanya yang bening aku bisa melihat cahaya itu. Untuk sesaat kami tidak berkata apa-apa.

”Din...” Aku menangkap cepat bisikannya yang meluncur dari bibirnya dengan bibirku. Menangkup madunya yang manis rapat-rapat agar tidak ada yang sia-sia menetes keluar dari sela-selanya lagi. Aku tidak merasakan sakit lagi. Tidak juga takut. Hanya kenikmatan yang memabukkan. Kenikmatan yang ingin terus kunikmati lagi dan lagi. Bersamanya.

Setelahnya kami seperti ketagihan mereguk manisnya madu manis berisi jiwa muda yang bergejolak. Seolah tidak ada hari esok. Kami mencicipi semua sudut dan celah yang menawarkan tetes-tetes madu untuk melepas dahaga. Menyusuri tanpa lelah semua lekuk yang menawarkan keindahan.

Namun aku seolah diingatkan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kejadian tragis menimpa keluarga Mei. Kebakaran yang hebat melanda rumahnya. Bukan itu saja, mereka juga dijarah saat kejadian. Ketika ke rumahnya aku terguncang ketika hanya menemukan reruntuhan hangus di sebagian rumahnya. Mei dan keluarganya tidak kelihatan. Orang-orang masih mengerumuni tempat itu dan polisi sudah memasang pita agar orang-orang tidak mendekat dan seperti yang lain aku hanya bisa berdiri di luar daerah dibatasi pita kuning.

Aku masih terus kembali ke tempat itu berhari-hari setelahnya  seolah berharap akan menemukan sesuatu yang membuktikan bahwa semua itu tidak pernah terjadi. Bahwa aku dan Mei bisa tetap bersama seperti yang sudah-sudah.
”Kasihan keluarga Mei...” Aku terlonjak. Seorang ibu yang langsung kukenali sebagai pembantu yang bekerja di keluarga mereka sudah berdiri di dekatku.
”Bu, Mei kemana? Mereka sudah pergi? Mereka baik-baik saja?” Secercah harapan terbit di benakku. Tapi perempuan itu menggeleng lemah.
”Besok prosesi pemakaman papa Mei...” Setelahnya dia berlalu meninggalkanku berdiri mematung tak percaya. Papa Mei meninggal?

Suasana makam sudah sepi saat aku akhirnya menghampirinya yang masih duduk bersujud di depan altar. Aku menepuk pundaknya dan Mei langsung mendongak. Berjuta-juta luka dan kesedihan tergambar jelas di matanya yang masih sembab. Aku ingin memeluknya, tapi langsung mengurungkan niatku ketika merasakan hunjaman yang lain muncul di matanya. Dia bangkit tanpa mengatakan apa-apa lalu berbalik pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang menjauh dengan hati tersayat. Hari itu adalah hari terakhirku melihatnya. Setelahnya Mei menghilang. Kenyataan itu membuatku lebur dan pasrah mengubur perasaanku yang masih sekarat dalam-dalam.

Hingga enam bulan yang lalu saat aku ditugasi memberikan orientasi kepada karyawan baru di bagianku. Mei salah satunya. Meskipun tidak mengungkapkan dengan kata-kata aku tahu dia juga terkejut karena setelah sekian lama kami bertemu kembali. Dia tetap dingin kepadaku. Berbicara hanya seperlunya dan membatasi bergaul denganku. Aku tidak ingin memaksanya menerima pertemuan kami dengan perasaan yang sama denganku. Tapi Mei tetaplah Mei yang berhati lembut dan tidak sombong seperti yang selalu kukenal. Mei yang tidak memilih-milih teman, selain denganku. Mei yang senyumnya tetap menyejukkan hatiku yang kerontang.

Mei tidak pernah menjadi benar-benar asing di relungku. Perempuan dewasa menawan dan cerdas yang sudah enam bulan belakangan ini duduk di kubikel tepat di seberangku tetaplah Mei-ku. Mei yang kucinta.

***
Mei masih berdiri tak bergeming di hadapanku.

”Mungkin lukamu belum pulih benar, tapi ijinkan aku mendampingi hingga luka itu sembuh sepenuhnya, ya?” ujarku setengah memohon. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti.
”Selama sepuluh tahun ini aku sudah hidup di dalam luka itu. Jadi tidak ada luka yang harus disembuhkan karena luka itulah hidupku.” ujarnya tenang. Aku tercekat di hadapannya, ”Seharusnya kita sadar lebih awal. Kita tidak akan mungkin bisa bersama. Kau dan aku... Kita berdiri di dua kutub yang bertolakan.” lanjutnya.
”Kau yang pergi tanpa penjelasan apa-apa. Selama ini... Aku selalu menunggumu, Mei.” ujarku setengah putus asa.

”Mungkinkah? Aku sudah tahu semuanya, Din. Tentang penjarahan itu...”
Aku hanya bisa terhenyak. Masih jelas terbayang di mataku hari saat petugas polisi muncul di rumahku dan menggiring abang. Harapanku perlahan pupus.

”Apa pun yang kita lakukan sekarang tidak akan mengubah apa pun. Kita berbeda. Kita punya kehidupan masing-masing. Kita tidak semestinya bersama.” Setelahnya dia bergegas melewatiku.
”Aku cinta kamu, Mei!” ujarku. Cukup keras untuk didengar oleh semua penghuni makam. Langkahnya terhenti. Pelan dia menoleh. Menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Meski sekelebat aku bisa melihat rasa itu di matanya.
”Aku tahu.” Hanya itu kata-kata yang meluncur dari bibirnya sebelum dia meneruskan langkah menjauh dariku.

Tinggal aku sendiri di makam itu. Senja menghampiri. Bias-bias sinarnya bergelora tidak rela meninggalkan tahta. Sama seperti yang kurasakan sekarang. Aku menatap ke titik yang sama di altar marmer itu. Altar yang sudah selama sepuluh tahun ini menjadi tempat curahan hatiku. Altar yang tidak pernah menghakimi cintaku buat Mei yang tetap utuh.

Ponselku berdering. Dari rumah. Aku segera menjawabnya. Celotehan putriku langsung menyapa. Menghadirkan rasa manis dan pahit sekaligus.
”Mamaaaa... Pulang dong! Kakak kangeeennn...!!!” Aku hanya bisa mengiyakan dan menyabarkannya sembari mengupayakan tawa. Hal yang begitu sulit kulakukan karena air mataku berlinang. Mei benar. Ada kehidupan lain menantiku. Yang bisa kulakukan hanyalah menjalaninya.

Hingga saat dia kembali nanti. Kembali menjadi Mei-ku.

Senin, 11 Juni 2012

Flash : Menuju Cahaya


Pintu belakang ambulans terbuka. Dengan sigap para perawat langsung mendorong brankar berisi Audrey keluar. Aku juga ikut bergegas bersama-sama para perawat masuk ke dalam IGD. Jantungku berdetak begitu kencang sehingga rasanya kaki-kakiku melayang tidak menjejak bumi. Darah dari luka di wajahnya sudah dibersihkan selama perjalanan tadi, tapi aku tahu dia masih belum benar-benar jauh dari maut.

Pintu ruang ICU tertutup tepat di depan wajahku. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdoa agar Audrey bisa melalui semuanya dengan selamat. Aku harus yakin pada kemampuan dokter-dokter di rumah sakit yang bergengsi ini. Audrey akan baik-baik saja. Semoga.

”Tidak perlu mencemaskannya. Dia akan baik-baik saja.” ujar seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh dariku. Penampilannya sangat rapi dan bersahaja. Wajahnya terlihat ramah dan aku langsung merasa kecemasanku berkurang separuh.
”Ya. Dia akan baik-baik saja.” sahutku. Sesaat kemudian rasa sesal menyeruak di relungku. Ah, seandainya saja aku bisa sedikit saja lebih bersabar. Hal ini tidak akan terjadi. Kami tidak perlu menghabiskan malam di rumah sakit ini. Tapi semua sudah terjadi, menyesal pun tidak ada artinya.

”Tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Tidak ada yang salah. Semua terjadi karena memang harus terjadi.” ujarnya lagi. Aku menatapnya bingung. Kenapa sepertinya dia bisa begitu mudah membaca pikiranku?
”Aku hanya ingin diberi kesempatan untuk meminta maaf padanya.” ujarku lagi dengan suara tercekat. Tidak berani berpikir jika tadi adalah pertemuan kami yang terakhir. Pertemuan yang harus berakhir tragis seperti ini.

Masih tergambar jelas di mataku pertengkaran kami tadi. Suara-suara kami yang saling meninggi tanpa jeda menyesakkan seisi mobil. Membuatku kehilangan konsentrasi dan melanggar lampu merah di perempatan. Aku menutup mataku seolah dengan begitu kenangan itu akan pupus, tapi kejadian itu terus berulang di benakku.

Dan saat itu mendadak bahuku disentuh. Audrey berdiri di sisiku. Aku langsung memeluknya. Mengucapkan maaf berkali-kali diselingi isak tangis. Audrey hanya memelukku erat berbisik bahwa tidak ada yang harus dimaafkan. Semuanya baik-baik saja. Setelahnya kami bertatapan, tapi ada yang aneh. Luka di keningnya tidak berbekas sama sekali. 

”Audrey, luka kamu...” tanyaku seraya menyentuh keningnya. Audrey tidak menyahut. Dia hanya berdia diam di hadapanku seolah menunggu sesuatu. Laki-laki berwajah ramah yang sedari tadi berdiri di dekatku menyentuh pundaknya.
”Kau harus kembali.” ujarnya. Audrey langsung menurutinya. Berjalan pelan meninggalkanku tanpa sempat kucegah. Sekarang laki-laki itu menatapku lalu berujar, ”Dia harus kembali. Bukankah kamu hanya ingin meminta maaf padanya?”
”Ya. Tapi dia harus kembali kemana? Dia tidak apa-apa. Lukanya bahkan sudah sembuh...”

Suara roda brankar yang didorong buru-buru mengalihkan perhatianku. Brankar itu berhenti di depan kami. Di sana terbaring seorang laki-laki yang bermandikan darah. Aku mengenali kemeja yang dia kenakan. Kemeja itu mirip seperti yang sedang kukenakan sekarang. Mataku terpaku pada kertas yang tergantung di jari kakinya.

”Jason Handoko.” Dia mengucapkan nama itu bersamaan dengan saat aku membacanya. Sekarang kami bertatapan. ”Sudah tiba waktunya...” sambungnya. Aku tidak membantahnya. Kesadaran menghampiriku dan air mataku mendadak menitik.

”Audrey sudah melalui masa kritisnya.” ujar laki-laki itu lagi. Aku hanya meneguhkan langkah menuju ke arah pintu yang dari celah-celahnya menyeruak cahaya.
”Ya. Dia akan baik-baik saja.” ujarku.

Pintu membuka. Aku pulang. Menyatu dengan cahaya.

Jumat, 08 Juni 2012

Flash : Ongkos Pulang

Terik menyengat. Di pasar yang padat dan gerah seorang perempuan setengah baya berdiri lunglai dengan bungkusan kain lusuh di gendongannya. Matanya nyalang mengamati orang-orang yang lalu lalang dengan langkah panjang dan cepat. Matanya bersinar penuh harap ketika dua orang perempuan yang sedang asik ngobrol berjalan ke arahnya. Langkah mereka tenang. Tidak terburu-buru seperti yang lain. Raut wajah mereka juga terlihat ramah. Perempuan tua itu langsung menghampiri mereka.

”Nak, ibu kesasar. Tadi salah naik angkot. Sekarang mau pulang nggak ada ongkos...” ujarnya memelas dengan logat Sunda yang sangat kental.
”Ibu mau pulang kemana?” tanya salah seorang perempuan itu.
”Ke Cimahi...” sahutnya lagi semakin memelas. Kedua perempuan itu terlihat saling berdiskusi dulu. Si ibu tua menatap mereka dengan penuh harap dan memelas. Mengulang-ulang kalimat yang sama dengan intensitas yang semakin tinggi dan mendesak.

Akhirnya kedua perempuan itu sepakat membantunya. Mereka mengeluarkan dompet untuk mengambil uang. Perempuan tua itu semakin bersemangat dan meneruskan aksinya memelas. Kedua perempuan itu sudah mengambil uang dari dompet untuk diserahkan kepada perempuan tua itu sebagai ongkosnya pulang ke Cimahi.

”Lho, Bu? Masih disini? Katanya kemarin mau pulang ke Cianjur?!” teguran yang lumayan keras itu mendadak menghentikan mereka semua. Seorang pria setengah baya berdiri tidak jauh dari mereka.

Tanpa ba bu bi perempuan tua itu pun melesat meninggalkan tiga orang yang masih berdiri bingung di tengah pasar. Di bawah sengatan matahari yang terik.

Flash : Hipnotis

Aku baru saja tiba di seberang jalan ingin kembali ke kantorku setelah istirahat makan siang ketika mendadak pundakku ditepuk lembut. Refleks aku langsung menoleh. Seorang pria tersenyum ramah ke arahku.

”Anton?! Wah nggak nyangka ketemu di sini! Apa kabar?!” sapanya hangat sembari mengulurkan tangan. Aku langsung menyambut uluran tangannya. Kami berpelukan lalu berjalan bersama menyusuri trotoar. Ngobrol tentang banyak hal seperti yang selalu kami lakukan sebelum-sebelumnya.

Dia bercerita tentang pekerjaannya dan menanyakan pekerjaanku. Ternyata kantornya tidak jauh dari kantorku. Kebetulan sekali. Dia juga menanyakan kabar keluargaku dan  berharap kapan-kapan kami bisa berkumpul bersama sekaligus berkenalan dengan keluarganya yang langsung aku sepakati. Ketika tiba di depan gerbang kompleks perkantoranku, kami pun berpisah setelah saling bertukar nomor terlepon dan pin BB.

Aku melambai ke arah taksi yang dia naiki lalu melangkah santai memasuki kompleks kantorku. Wah, aku harus mengupdate datanya di BB. Tanganku bergerak ke ke dalam saku celana untuk mengambil BB-ku. Lalu tertegun. Lho kemana BB-ku?

Aku berbalik cepat ke pos satpam, menanyakan apakah mereka melihat BB-ku yang mungkin tercecer.
”Lho, jadi yang tadi bapak serahin ke teman ngobrol di depan sana itu BB kepunyaan bapak? Dia bawa pergi tuh naik taksi.” ujar mereka polos.

Dan aku tersadar. Ternyata...

Kamis, 07 Juni 2012

Puisi : Setelah Badai

Tadi malam kita bertengkar
pertengkaran terhebat sepanjang hubungan kita yang baru seumur jagung
aku dan kamu... sama-sama terluka parah
sama-sama lemas nyaris kehabisan darah

Dengan sisa-sisa tenaga, aku memutuskan pergi
membanting pintu
meninggalkan rumah yang porak poranda oleh badai kita
barusan tadi

Aku mengitari semesta
menghibur diri dengan gemintang yang menari genit
sekedar untuk mengganti rautku yang masam agar lebih manis
menghirup kebekuan di angkasa
sekedar untuk mendinginkan dan memadamkan api amarah

Aku tidak ingat sudah berapa lama
rasanya hanya sekejap dan aku memutuskan pulang
pasti kamu sedang kewalahan merapikan rumah kita sekarang
yah tidak mengapa, aku akan membantumu
mungkin kita bisa bersenda gurau dan segalanya akan membaik

Rumah kita sepertinya masih sama seperti saat aku tinggalkan tadi
aku membuka pintu dan masuk ke ruang yang gelap
menyalakan lampu dan terlongo

Tidak ada perabot yang porak poranda tadi
tidak ada juga hawa kemarahan sisa yang tadi
yang ada hanya keheningan dan kekosongan
tanpa kamu

Flash : Waktu

Di suatu siang di food-court, makanan yang kupesan baru kusentuh sedikit.

Mataku nyalang mengamati sekeliling. Di sekitar kita orang-orang sibuk berlalu lalang. Suara riuh ditingkahi musik seperti biasa. Mereka juga sedang menikmati makan siang seperti aku. Bedanya adalah, aku makan siang bersamamu.

"Makananmu akan segera dingin." tegurmu. Ternyata mataku keasikan berkelana.
"Aku tahu." jawabku.
"Apalagi yang kamu tunggu? Waktu makan siang juga sebentar lagi usai."
"Aku tahu." jawabku lagi.
"Kamu memang begitu." Aku menatapmu tidak mengerti. Kamu menghela napas. "Apakah semua itu memang tidak penting? Makanan yang akan dingin. Waktu istirahat yang akan habis..."
"Entahlah... Kalau dingin yah dingin. Habis yah habis." jawabku.
Kamu menatapku dengan ketidaksetujuan yang terlihat jelas.

"Kamu pikir masih ada lain kali? Kamu masih berpikir begitu?" Setelah mengatakannya, kamu tertawa. Tawa miris yang pastinya ditujukan padaku.
"Kenapa? Bukannya memang begitu?" Kamu menggeleng lalu menatapku lekat. Yang ada sekarang hanya kebekuan di sana.
"Waktumu sudah habis." Setelahnya kamu pergi. Aku hanya diam. Tidak mencoba menghentikanmu. Kamu benar.

Aku menatap makananku yang baru tersentuh sedikit. Sekarang sudah dingin.
Dan waktuku memang sudah habis.
Dan entah kenapa baru sekarang aku merasa lapar...

Puisi : Ckress... Ckress... Ckress...

Ckress... Ckress... Ckress...
Begitu lihai tangan-tangannya bergerak
memandu gunting tajam di beberapa bagian kepalaku
diselingi obrolan ringan khas penjual

Ckress... Ckress... Ckress...
Aku bisa melihatnya dari cermin besar di hadapanku
bayangan-bayangan hitam berjatuhan
melayang ke bawah susul menyusul
menciptakan tumpukan gelap di bawah sana

Jika diumpamakan mencintaimu adalah seperti itu
ketika aku merasa sudah cukup dan bosan dengan semuanya
dengan mudah aku memutuskan hubungan
untuk kemudian meninggalkanmu teronggok sendirian di sana
hanya itu dan kita 'selesai'

Tapi tidak demikian, kasih...
onggokan yang kutinggalkan di sana tetaplah bagian dariku
bagian dari apa yang tersisa padaku sekarang
bahwa mereka tetap terkoneksi dengan cara yang unik
karena mereka tetap satu

Aku lantas mereka-reka
mungkinkah bagian yang akan kutinggalkan itu sudah tahu
hari ini akan tiba ketika mereka harus pergi
dan oleh karenanya mereka segera meninggalkan semua
informasi, kenangan, harapan kepada bagiannya yang akan tinggal

Sehingga meski mereka pergi dan aku dengan 'lega' meninggalkannya
namun sebenarnya tidak ada yang berkurang
karena semua yang mereka tinggalkan tetap penuh
kubawa-bawa hingga sekarang dan nanti

Seperti rambut yang tetap terus menyatu meski telah berkali-kali dipaksa berpisah
mereka terus bertumbuh satu menggantikan yang lain
dan semuanya berisi kenangan dan harapan yang sama

Demikianlah rasa yang kurasakan terhadap kamu, kekasihku
di sini di setiap sel-selku
di setiap helai rambutku tak peduli berapa kali aku memotongnya
kamu tetap ada... tinggal di sana

Jika kamu bertanya seperti apa perasaanku saat mengatakan cinta kepadamu
maka tanyakanlah kepada sel-sel di tubuhmu
tanyakan kepada setiap helai rambutmu
karena yang mereka rasakan sama

Aku mencintai kamu...
Mereka mencintai kamu...
Kami mencintai kamu...

Flash : Fetish

“Lang, arah jam sebelas!” Gusti berseru penuh semangat sambil menyikut rusukku. Aku menoleh dengan enggan ke arah yang dia maksud lalu mendecak. Lagi-lagi perempuan. Hmph, mentang-mentang lagi jomblo trus langsung mupeng mulu bawaannya.

”Waduh... Top class tuh!” serunya lagi seolah tidak menyadari reaksiku yang sudah sangat tidak bersemangat meladeninya. Aku hanya memotong-motong tuna panggang di piringku dengan santai tak terusik dengannya yang sedang belingsatan sendiri. Aku lalu mengangkat garpu berisi potongan tuna menghampiri mulutku yang terbuka bertepatan saat wajah perempuan itu mengarah kepadaku.

Oh Tuhan...
Tanganku terhenti di udara.
Mataku langsung terkunci ke bagian paling indah di wajahnya.

”Hoi! Gak perlu sampe begitu amatlah!” tegurnya lalu terkekeh puas. Aku memilih mengacuhkannya lalu meneruskan perjalanan potongan tuna di garpu ke mulutku yang ternyata terus terbuka. Ya ampun.

Setelahnya mataku tidak lepas sedetik pun darinya. Bagian terindah yang sekarang sudah memiliki perhatianku sepenuhnya. Dagunya. Dagu yang begitu indah dan istimewa di mataku. Dagu paling indah yang pernah kutemui.

Gusti masih mengoceh di sampingku mengomentari kulitnya yang seputih susu, bibirnya yang merekah berwarna merah jambu, giginya yang rapi, lesung pipi yang muncul setiap kali dia tersenyum, matanya yang berbinar indah dan rambutnya yang terlihat begitu lembut. Dan yang tidak mungkin dilupakan adalah busungan yang sempurna di dadanya. Meskipun agak mengeluh ketika mengomentari dagunya.

Tapi mataku tetap tidak berpindah dari dagunya. Dagu yang langsung membuatku jatuh cinta. Mabuk. Semabuk-mabuknya.

Bukan hanya kami yang memperhatikan sosok itu. Wajar saja. Dia terlihat begitu berkilau di antara kami yang kelabu. Laki-laki lain yang kebetulan lewat atau duduk di dekatnya juga tidak malu-malu melahap sekujurnya. Begitu rakus menjilat-jilat lewat pandangan mata yang menelanjangi penuh nafsu. Tapi aku hanya terkekeh puas dalam hati. Hanya aku yang tahu bagian terindah perempuan itu. Mereka semua terlalu buta untuk bisa melihat keindahannya yang dengan manis dia sembunyikan dari yang lain dan memasrahkannya untuk kunikmati sendiri.

Aku mengamati dagunya yang bergerak-gerak manis saat dia berbicara. Ikut tersenyum ketika dagunya mengencang saat bibirnya menyunggingkan senyum. Oh, betapa ingin aku mencium dagunya. Dagu terindah yang setelah sekian lama akhirnya kutemui lagi. Dagu istimewa yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Dagu yang langsung menghadirkan berjuta perasaan nostalgia dan haru.

Perasaanku membuncah.
Darahku berdesir.
Jantungku berdentam.

Semua hanya karena dagunya. Dagu yang begitu sempurna karena dihiasi sebuah lingkaran sebesar koin logam lima puluh rupiah berwarna hitam. Aku juga bisa merasakan bulu-bulu halus yang memenuhi lingkaran itu membelai bibirku.

Oh Tuhan...
Sesuatu mulai mengeras di selangkanganku.

Flash : Memeluk Bulan


Aku memandang sekelilingku. Hanya aku sendirian di sini. Jauh dari hiruk pikuk di bawah sana, hanya ditemani deru angin di kedua belah telingaku. Aku lalu merapatkan kardigan biru yang kukenakan berusaha menghalau sedikit rasa dingin dari sekujurku lalu menengadah dan terpana.

Kamu benar, Biy. Bulan memang terlihat sangat dekat dari sini. Aku seolah bisa melihat dengan jelas setiap rona dan guratannya. Guratannya yang menyimpan berjuta misteri semesta maha luas. Termasuk dirimu.

’Kalau saja aku lebih tinggi sedikiiittt lagi, pasti bisa nyentuh bulan.’ ujarmu setengah merajuk saat itu. Aku hanya menanggapinya dengan tawa geli ketika melihatmu yang sedang melompat-lompat sembari berjinjit tinggi berusaha keras menggapai bulan. Tawa yang kau masukkan sebagai ejekan si jangkung terhadap si cebol.

’Gimana ya rasanya memeluk bulan? Karena hanya sedikit cahaya matahari yang dicuri, harusnya bulan tidak sepanas matahari dong...’ ucapmu lagi berteori sembari menatap lekat-lekat lingkaran sempurna yang sedang berpendar lembut menerangi langit malam. Rambutmu yang berkibar lembut dipermainkan angin malam, membelai mesra wajahku, meninggalkan keharumannya di sana.

Tanganku yang semula ragu sekarang terulur penuh keyakinan sembari berjinjit. Lalu tersenyum lega. Tidak sepertimu yang mungil, aku memang bisa lebih mudah menyentuh lingkaran yang sekarang tersenyum anggun ke arahku. Membelainya penuh kasih, seperti saat aku membelai wajahmu yang sedang terlelap seperti bayi. Memandang lekat-lekat setiap guratnya, berusaha menguak rahasia yang tersimpan di sana.

Kami saling bertatapan. Dan keinginan yang sudah lama kusimpan pun kembali membuncah. Bagaimana sih rasa saat memeluknya? Aku tidak tahu. Aku belum pernah memeluk bulan, tapi penasaran dengan rasanya. Bulan masih menungguku memutuskan dengan sabar di langit yang semakin larut, sebelum akhirnya memasrahkan dirinya ke dalam dekapan lengan-lenganku yang terbuka. Dengan penuh kasih aku menariknya lebih dalam ke dalam dekapanku.

”Rasanya hangat, Biy...” bisikku lembut. Dua bulir air mata meninggalkan kelopak mataku. Air mata yang lantas memecah menguarkan kelegaan. Rasa lega ketika akhirnya kerinduanku terbayar.
”Ya. Rasanya memang hangat.” Kau sudah berdiri di hadapanku. Senyum mengembang di bibirmu yang mungil.
”Rasanya sama seperti saat memeluk kamu...” ujarku lagi. Kau mengangguk.
”Ya. Seperti saat berada di dalam pelukan kamu.” sahutmu. Aku meraih uluran tanganmu, menggenggamnya lembut lalu bersama-sama turun dari menara itu.

Berdua kita meninggalkan jalanan yang sekarang semakin ramai dengan kasak kusuk dan raut panik orang-orang yang dikagetkan aksi perempuan muda yang nekad melompat dari puncak pencakar langit. Sekarang tubuhnya yang terbalut kardigan biru tergolek berlumuran darah disaksikan rembulan yang masih berpendar lembut di langit yang hening.

Rabu, 06 Juni 2012

Flash : Dear Diary

Aku baru mulai terlelap ketika kau menyibak selimutku. Cahaya lampu kamar begitu menyilaukan hingga aku harus mengerjap-ngerjapkan mataku berusaha menyesuaikan diri. Padahal belum sampai tiga jam sejak pembicaraan kita yang terakhir. Itu juga kalau aku boleh menyebutkan pembicaraan, karena sebenarnya hanya kau yang bicara sementara aku hanya diam mendengar dan menonton.

Tapi aku bukan sedang mengeluh.

Bahkan sejujurnya aku selalu menyukai saat kau bercerita tentang apa pun itu. Suka menonton raut dan rona wajahmu yang berubah-ubah seperti awan di langit. Awan yang kelihatannya begitu lembut seperti permen kapas yang pernah kau bawa saat mengobrol denganku. Yang ingin aku cicipi namun tidak berani, karena kau sepertinya tidak ingin berbagi sehingga tidak menawariku. Tapi tidak apa-apa. Aku cukup senang menontonmu menikmati permen kapas itu dengan raut puas sendirian.

Sekarang akhirnya mataku sudah terbiasa. Tidak lagi merasa silau dengan lampu kamar. Bisa menatapmu dengan leluasa lagi. Sudah siap menonton dan mendengarmu lagi, tapi kau tidak langsung bercakap-cakap. Matamu masih sembab. Memandang nanar ke satu titik di belakangku, yang tanpa menoleh aku sudah tau apa yang ada di sana. Kau rajin menceritakannya beberapa tahun belakangan ini, diiringi raut dan alunan suara yang berubah-ubah seperti pelangi. Kadang aku ikut terbahak oleh kekocakan kisah yang kau untaikan. Atau ikut tersipu saat kau bercerita dengan pipi merona. Bahkan tidak jarang juga mengkeret ketika dengan berapi-api kau bercerita dengan keras dan penuh emosi.

Sejak kita saling mengenal, rasanya aku sudah sangat berusaha untuk menjadi sahabat tempat curahan hatimu yang paling setia. Apa pun bisa dengan bebas kau ceritakan kepadaku karena tidak seperti teman-temanmu yang lain, aku tidak akan lancang menyela saat kau sedang asik, atau malah menghakimi dengan segudang nasehat. Aku juga tidak akan sibuk menggosipkanmu di belakang seperti mereka, meskipun aku tahu rahasiamu yang paling dalam dan gelap. Tapi itu adalah kebanggaanku, saat kau mempercayakannya untuk kusimpan.

Dan itu yang selalu kulakukan selama ini.

Ada kalanya kau akan menjauh dan melupakanku selama beberapa waktu karena terlalu asik dengan kekasihmu. Kekasih yang sangat berjasa karena telah menghadirkan ’pelangi’ itu di hadapanku. Kekasih dari Venus dengan nama dan sosok yang sangat indah, seperti yang selalu kau ceritakan dengan wajah berbinar. Binar yang sangat ingin kupetik untuk kusimpan sendiri.

Tapi tadi mendadak kau muncul dengan wajah semuram mendung menjelang badai. Badai hebat yang langsung membuat perasaanku terkoyak, bersamaan dengan bulir-bulir bening yang berjatuhan dari matamu. Kau menyebut nama kekasihmu yang berharga dengan begitu getir hingga membuatku ingin merengkuhmu erat dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja, tapi tampaknya itu tidak akan cukup untuk lukamu yang menganga. Luka yang membuat kita sama-sama kelelahan hingga kau memutuskan untuk menyudahi pembicaraan kita, meninggalkanku kebingungan dan berkutat sendirian di kegelapan.

Sekarang kita berhadapan lagi. Kau masih belum mengatakan apa pun, tapi matamu yang sembab sekarang akhirnya kembali kepadaku. Dua bulir air mata kembali mengintip di sudut matamu, mengalir lembut di pipi. Hatiku pilu ketika melihat getaran samar di bibirmu yang berusaha menahan tangis. Semua luka itu.

Kau menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dan disini aku sudah sangat siap menampung kisahmu.

"Dear Diary..." Kau memulai.