Selasa, 31 Juli 2012

Flash : Kalah


Ruangan yang semula riuh sekarang sudah hening. Hanya terdengar helaan napas ditingkahi suara kertas dibolak-balik. Aku memusatkan pandanganku ke meja di hadapanku. Pandanganku mendadak buyar. Aku menghela napas dan menatap ke depan.

Saat itu pandangan kita bertemu
begitu lekat seolah padu
aku memalingkan pandangan menjauh
namun masih bisa kurasakan tatapanmu

Terpaku
Ke arahku

Aku melirik arlojiku. Waktu yang tersisa tidak banyak lagi. Keringat dingin mulai membanjir. Jemariku mengetuk-ngetuk cemas tak terkendali. Melihat ke kiri kananku. Hanya dipenuhi raut kusut yang sama denganku.

Kali ini aku tidak menoleh ke arahmu
karena dalam jarak ini aku bisa merasakanmu
secara paksa menggeledahku dengan matamu
ke setiap sudut tanpa jemu

Menciutkan nyaliku sampai jauh
tanpa tersisa daya untuk mengeluh
apalagi mengadu
karena kuasa sepenuhnya di tanganmu

Ah...
Apalagi pilihan yang tersisa
Buatku selain menyerah?

Aku menatap lembaran di hadapanku dengan pandangan kalah. Masih banyak yang harus kupecahkan, tapi pikiranku sudah terlalu keruh dan dengan gontai aku bangkit, diikuti puluhan pasang mata. Biarlah mereka menertawakanku yang menyerah kalah. Meski sedari awal sudah kusiapkan senjata. Senjata yang akhirnya hanya bisa berdiam di balik tali pinggangku.

Semua itu karena matamu
yang sedari awal terpaku
sepenuhnya ke arahku
membaca habis isi pikiranku.

Puisi : Sumur di belakang rumah


Di belakang rumahku ada sumur
yang tua namun airnya selalu penuh
meski musim hujan masih jauh diundur
airnya tetap melimpah bening tak keruh

Tapi sumur itu bukan sumur kami
sudah ada sejak dulu bahkan sebelum keluarga
kami pindah menempati rumah ini
ketika saat itu ayah dan ibu masih berdua

Semua orang bebas menimba air dari sumur
yang terhubung dengan mata air abadi
yang murni serupa zam-zam yang telah uzur
yang dalam keabadian tetap ada untuk memberi

Aku dan adik-adik sangat suka ke sana
di tepiannya mengamati pantulan awan nan indah
yang tampak semakin elok mempesona
memandang balik ke arah kami dalam keheningan telaga

Namun ada satu hal yang orang-orang tidak tahu
sumur tua itu bukanlah benda mati yang diam
seringkali aku berdiam di sana seolah lupa waktu
dalam takjub mendengarkan kisah yang begitu apik disulam

Suaranya lembut dan lirih setengah mendecak
namun tak sedikitpun itu menganggu
sesekali diselingi desau angin dan kecipak
dan desiran riuh rumpun bambu

Katanya baru aku yang mau mendengarnya bercerita
kebanyakan orang pasti merasa itu hal sia-sia
sebanyak apa pun air yang sudah ditimbanya
mereka akan langsung bergegas pergi meninggalkannya

Seperti kekasihnya
yang berjanji akan kembali untuknya
namun pada akhirnya yang tertinggal harapan kelabu
namun meski begitu tanpa putus asa dia tetap menunggu

Meski air matanya
terus berderai-derai
mengosongkan relungnya
tanpa ampun terus mengalirkan rinai

Tangis yang begitu menyayat hati
namun tak satupun orang merelakan hati
untuk sekedar menghibur yang tersakiti
hanya menatap acuh dari kejauhan seolah tak lagi berhati

Hingga air matanya berubah menjadi darah
dan tubuhnya pasrah kering kerontang
hingga cinta berubah bentuk menjadi amarah
menanti kekasih yang tak kunjung datang

Tangis akhirnya terhenti
terbawa oleh desauan angin yang syahdu
di dasar lembah yang mati
dengan sabar dalam diam dia menunggu

Meski tak ada yang tahu
atau peduli dengannya
sejak lembah tempatnya berdiam itu penuh
oleh air yang tak ada habis-habisnya

Air yang tanpa dia beritahu pun aku sudah tahu
karena seiring kisahnya segenap relungku
seolah bisa melihat kenangan yang semula membisu
kini terbangun bak genderang bertalu

Air yang berasal dari matanya
yang rupanya tak berhenti mengeluarkannya
meski nafas sudah menjauh ke nirwana
berisi harapan suatu ketika akan bertemu dengannya

Dan dalam desau lirih
aku bisa mendengar dengan jelas suaranya
yang tidak lagi diiringi decak fasih
mengalir di seluruh pembuluh raga

Perasaan asing sekaligus akrab
diikuti degub jantung yang serupa kirab
dalam pandanganku yang samar
darah di sekujurku bergetar

seirama dengan gelombang lembut di permukaan
sumur yang dalam bisunya menyuarakan
kebahagiaan yang begitu lama diiidam-idamkan
dan sekarangg tiba waktu untuk terlampiaskan

Malam itu bulan purnama
dikawal gemintang dan awan bergelayut
yang berarak perlahan sesekali menutup rona
menyisakan kegelapan yang membuat nyaliku sesekali menciut

Di sana dia sudah menungguku
dalam balutan beludru
meski bahagia dia hanya tersenyum malu
terlebih ketika tangannya berada di genggamanku

Matanya yang polos gemerlapan
penuh dengan cinta yang kian berloncatan
karena setelah begitu lama dalam penantian
akhirnya segala nyeri akan berkesudahan

Berdua kami duduk memandang langit
tanpa kata-kata menikmati rembulan
yang terlihat ikut bahagia meski dengan alis berjengit
bukan karena iri melainkan heran

Kami yang sudah terpisah
ribuan tahun akhirnya bisa kembali bersama
kenyataan yang bahkan lebih indah daripada kisah
yang dikisahkan dengan manis di antara sesama

Purnama sudah lelah, maklumlah dia sudah tua
aku menatap matanya, sekaranglah waktunya

Kami harus kembali
ke dunia abadi milik kami sendiri
kali ini sama-sama berjanji tidak akan terpisahkan lagi
tiada lagi rasa perih yang mengisi relung-relung kami

”Kok sumurnya mendadak kering?”
beberapa orang saling bertatapan heran
namun semua hanya bergeming
dalam horor mengamati sosok anak pemilih rumah yang rebah diam di tepian

Sumur di belakang rumah
ternyata dulunya ceruk serupa lembah
yang di dasarnya tergolek sosok lemah
berupa belulang meringkuk dalam diam dan pasrah

Sumur di belakang rumah
sekarang sudah penuh terisi tanah

Flash : Jleb!


Di acara arisan keluarga...

“Apa kabar kembaran kamu?”
”Baik. Sehat.”
”Makin hebat dia. Pangkatnya sekarang udah mentereng.”
”Iya. Rezeki dia.”
”Padahal kalian kembar. Fisik nggak ada bedanya, tapi ternyata gak bisa kembar semuanya.”
”...” Jleb!

”Kok kamu gak kayak kembaran kamu sih? Kerjaan kayak dia kan lebih menjanjikan. Lihat aja dia sekarang sukses begitu. Gak mocok-mocok kayak kamu.”
”...” Jleb! Jleb!

”Istrinya juga cantik. Kamu malah masih jomblo.”
”...” Jleb! Jleb! Jleb!

”Ck..ck..ck.. Kok bisa ya? Padahal kembar.”
”Bisa dong. Kan kita harus tampil beda. Bosan sama melulu mentang-mentang kembar.”
”???”

Flash : ‘Bukber’


“Kamu jadi ke undangan ’bukber’ Febby ntar sore, kan?” tanya Nita saat kami bertemu di depan lift. Aku hanya mengangguk. Kami memang berjanji pergi bersama meskipun sepertinya hampir semua orang di kantor ini mendapat undangan yang sama.

”Gak biasanya kita dapat undangan dari dia. Secara kita kan di luar lingkaran pertemanan dia.” ujarku. Nita mengangguk. Pintu lift membuka. Hanya kami berdua penumpangnya.
”Yah tapi penasaran juga sih. Secara tempatnya keren gituh. Di hotel berbintang.”
”Iya sih. Ya udah ntar sore kita ke sana barengan. Udah bawa perlengkapan kan? Masa kita ke hotel berbintang kucel?” Kami sama-sama tertawa sebelum berpisah karena aku keluar lebih dulu.

Maka sesuai janji sorenya setelah terlebih dahulu mengganti pakaian dan berdandan kami langsung berangkat ke lokasi acara yang disebutkan di dalam undangan. Ketika tiba ternyata di ruangan itu sudah ramai dengan undangan lainnya. Beberapa dari mereka kami kenal, namun kebanyakan tidak. Mungkin itu teman-teman Febby di luar kantor. Tapi kami bisa langsung berbaur karena tak disangka para undangan itu yang meskipun berpenampilan mewah begitu ramah kepada kami.

Acara buka bersama berlangsung menyenangkan dan akrab. Semua orang begitu ramah. Febby hanya sesaat menemani kami karena dia cukup sibuk hilir mudik di antara para tamu. Setelah semua undangan tidak sibuk dengan makanan berat, seorang MC muncul di pentas disambut riuh rendah parra undangan. Hanya aku dan Nita yang terbengong.

Jangan-jangan...

”Masih mau bekerja untuk uang?” MC bertanya dengan penuh semangat.
”Cape deeeehhh...!” balas sebagian besar undangan dengan serempak.
”Kalau begitu kenapa bukan uang yang bekerja untuk kita?!” tanyanya lagi yang langsung disambut dengan tepuk tangan dan yel-yel riuh.

Aku menatap Febby yang sibuk beryel-yel seperti yang lain. Setelahnya bertatapan dengan Nita dan kami akhirnya tersadar. Jadi ini bukan undangan bukber biasa?

Minggu, 29 Juli 2012

Flash : Tempat Yang Paling Nyaman


Aku berjalan pelan tidak ingin membuat jubah yang tergolek di sepasang tanganku yang menadah kusut. Ketika tiba di depan pintu ruangan yang dipisahkan dengan selenbar tirai tipis nyaris kasat mata aku menghentikan langkah. ”Masuklah!” perintah suara Tuanku yang penuh wibawa dari dalam. Maka dengan tetap berhati-hati aku pun berjalan melalui tirai yang berayun lembut di belakangku.

Tuanku sedang mematut-matut diri di depan cermin. Aku berdiri tidak jauh darinya memandang takjub. Bagaimana tidak? Sepasang tanduknya terlihat begitu berkilau keemasan senada dengan sepasang matanya yang menyorot tajam. Sorotan yang meskipun hanya kulihat dari cermin tetap menghadirkan rasa hormat dan takjub yang dalam.

”Oh, jubahku yang baru...” ujarnya seolah baru menyadari kehadiranku. Dia pun berjalan setengah melayang menghampiriku lalu meraih jubah indah itu dari kedua tanganku. Langsung mengenakannya dan kembali mematut-matutkan diri. Dia tersenyum puas. ”Saatnya beraksi.” ujarnya lagi. Tangannya terulur dan aku langsung meraihnya. Bersama-sama kami berjalan keluar dari ruangan itu.

Aku mengiringinya yang melangkah anggun melewati lorong panjang yang remang. Lorong yang berdegub teratur seolah mengikuti irama langkahnya. Kami akhirnya tiba di ujung lorong, berhadapan dengan sebuah pintu. Pintu yang lumayan usang, entah sudah berapa lama umurnya.

”Kau tahu pintu ini menuju ke mana?” Aku menggeleng. ”Ke suatu tempat yang sangat nyaman. Ada kalanya makhluk-makhluk rendahan nirwana yang menempatinya, tapi belakangan ini aku yang lebih sering mendiaminya.” Dengan kukunya yang panjang dan runcing dia menyentuh lubang kunci dan pintu pun berderak membuka. Di sana aku melihat beraneka ragam gumpalan yang melayang-layang. Ada dendam, marah, benci, bohong dan banyak lagi dan semuanya berwarna gelap.

”Itu beberapa karyaku selama mendiami tempat ini. Aku menjadi sangat kreatif di sini. Sangat nyaman berada di sini tanpa gangguan dari siapa pun. Bahkan Dia yang katanya Maha Segalanya itu...” Tuanku menatapku sembari membelai kepalaku.

”Masing-masing kita harus bisa menemukan tempat seperti ini. Mengisinya dengan karya-karya kita sepenuhnya. Kau tahu, zaman sekarang pemilik tempat ini semuanya sangat lemah dan mudah sekali terpengaruh. Jadi kita punya banyak kesempatan. Jika makhluk rendahan nirwana harus diundang terlebih dahulu baru bisa menempatinya, maka kita lebih istimewa karena bisa menempatinya kapan pun dan mengarahkan haluan semau kita. Menjadi satu-satunya suara yang didengar di sini.”

Ini adalah baru kali pertama aku ke tempat ini sehingga sepanjang penjelasan aku hanya diam mendengarkan. Tuanku tahu itu, oleh karenanya sorot matanya tidak menusuk. Dia sedang mengajariku. Sebuah pelajaran yang sangat berharga buatku kelak.

”Hanya hati manusia yang bisa senyaman ini buat kita. Manusia-manusia lemah yang tidak akan pernah melawan bisikan perintah kita. Karena baginya kita adalah Tuannya. Tuan yang harus dipatuhi.” Tuanku mengakhiri kalimatnya dengan seringai puas. Aku semakin takjub padanya.

Sabtu, 28 Juli 2012

Flash : Drrrttt… Drrrttt… Drrrttt…!!!


Drrrttt… Drrrttt… Drrrttt…!!!
Aku mempercepat langkahku menghampiri halte yang kebetulan disinggahi bus yang akan membawaku langsung ke tujuan sembari mengepit tasku lebih erat. Mengabaikan getaran di dalamnya. Getaran yang sesekali muncul.

Dengan sigap aku segera naik ke bus yang sudah penuh, berdesak-desakan berdiri dengan penumpang lainnya. Udara sesak dan gerah, tapi aku sedang terburu-buru sehingga aku pasrah jika harus tergencet di sepanjang jalan ketimbang harus menunggu bus lain tiba.

Drrrttt… Drrrttt… Drrrttt…!!!
Seorang perempuan yang kebetulan berdiri di sampingku ternyata merasakan getaran itu, ”Mbak, hapenya nyala tuh...” ujarnya. Aku hanya tersenyum kikuk seraya mengangguk. Mengepit tasku lebih dalam sekedar untuk meredam getarannya.

Drrrttt… Drrrttt… Drrrttt…!!!
Aku hanya merutuk dalam hati, berharap segera tiba di tempat itu untuk memperbaiki vibratorku yang mendadak ngulah sejak kemarin.

Jumat, 27 Juli 2012

Cerpen : Kontrak


Aku menghenyakkan tubuh ke kursi kerjaku sembari menarik napas panjang. Mataku masih buram memandang deretan huruf di secarik kertas harum berwarna gading keemasan di tanganku. Sebuah undangan. Darinya.

***
”Aku hanya akan memberimu kesempatan selama dua tahun. Ya. Dua tahun saja rasanya sudah cukup. Aku tidak pernah bisa bersama seseorang lebih lama dari itu.” Untuk sesaat matanya yang bening menatapku tak percaya. Tapi akhirnya mengerjap seolah baru terbangun dari mimpi. Aku tersenyum.

”Kenapa hanya dua tahun, Yan?” tanyanya. Aku mendecak tak sabar.
”Aku tidak perlu menjelaskan. Yang terpenting sekarang adalah, kau mau menerima tawaran itu atau tidak? Semudah itu.” Aku tahu dia tidak puas dengan kata-kataku, tapi kami sama-sama tahu aku tidak akan mengatakan lebih dari itu.
”Hanya dua tahun...” katanya seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Mengulangi kata-kata itu perlahan setengah berbisik.
”Mungkin kau butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku tidak akan mendesakmu. Kau bisa berpikir pelan-pelan lalu memutuskan.” tandasku mengakhiri. Aku bangkit, namun langsung tertahan.

”Aku tidak keberatan meski hanya punya waktu dua tahun. Tapi selama dua tahun, hanya aku yang akan mengisi relungmu. Kau tidak boleh melirik yang lain. Selama dua tahun... Kita adalah kekasih!”

Ingin rasanya aku terbahak mendapati raut seriusnya, tapi aku hanya ingin pembicaraan tak bermutu ini berakhir. Maka aku pun mengangguk mengiyakan semua syarat itu dan sebagai balasannya dia menghadiahiku senyum yang paling manis. Senyum lugu yang sempat kukira tidak akan kutemui lagi.

Kenapa hanya dua tahun?

Aku hampir tidak dapat menghitung hubungan yang kujalin, dan prestasiku untuk bertahan paling lama adalah dua tahun. Tidak jarang hubungan itu harus gugur meski baru hitungan bulan. Lenyap tak berbekas dari relungku. Entah siapa yang harus disalahkan, tapi seiring waktu aku jadi benar-benar yakin bahwa apa pun memiliki masa berlaku. Ketika masanya berakhir, maka aku merasa tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankannya. Aku hanya akan memandanginya berlalu tanpa harus bersusah payah menyesalinya. Semua kulalui dalam siklus yang sama. Dan dengan cara itu pula aku bisa bertahan hingga sekarang.

Dan itu tidak akan ada bedanya sekarang. Dengannya.

Namanya Ning. Dengan segala keluguannya. Kebeningan matanya yang sempat menghanyutkan. Tingkahnya yang polos seperti anak-anak. Keceriaannya yang alami dan tidak dibuat-buat. Dan juga keberaniannya yang cenderung nekad karena mau berurusan denganku meskipun dia bisa melihat dengan jelas jenis kehidupan yang kulalui selama ini.

Meskipun dalam segala kesiapan dan kepasrahannya itu dia begitu buta tentang dunia yang dia masuki. Dunia asing penuh intrik dan kebusukan yang mungkin belum terendus hidungnya. Dan aku? Aku tidak merasa perlu menjelaskan apa pun kepadanya. Karena di lubuk yang terdalam aku yakin dia juga akan gugur sebelum waktunya dan aku pun kembali sendiri.

Tapi sejelek-jeleknya aku, tidak sekalipun terbersit niat untuk mengingkari perjanjian kami. Aku akan tetap menepati dan memenuhi keinginannya untuk menjadi satu-satunya orang yang mengisi relungku hingga masa dua tahun berakhir. Dia akan menjadi satu-satunya kekasihku, sesuai keinginannya.

Ning memang tidak pernah berusaha membatasi pergaulanku, namun aku memastikan diriku akan tetap kembali padanya. Ning juga tidak ngotot ingin tinggal bersama di rumahku seperti mantan-mantanku yang meskipun awalnya tidak mengekang pada akhirnya mereka ingin mencampuri dan mengatur segala segitu kehidupanku. Ning mungkin memang berbeda.

Ada kalanya aku akan merindukan keberadaannya saat sedang terbaring sendirian di kamarku yang dingin. Merindukan harum rambutnya yang semakin akrab dengan kuncup-kuncup indera pembauku. Merindukan keriapan semangat di matanya yang jernih tanpa prasangka. Merindukan sepasang lengannya yang merangkulku. Merindukan semua tentangnya...

***
Bibir kami terpisah menyisakan untaian tipis nyaris tak kasat mata di ujung-ujungnya. Ning menatapku syahdu dan pasrah. Tergolek terlentang di bawahku dengan latar sprei satin berwarna merah di ranjangku. Aku kembali menghampirinya dan bibir kami kembali bertemu. Mengulum segala kelembutannya tanpa bosan dan letih. Menyusuri rongga-rongga lebih dalam menjemput lenguhan tertahan di ujungnya.

Paru-paruku nyaris meledak ketika akhirnya kami kembali berpisah dalam engah. Telapak tanganku menyusuri raut lembutnya yang entah bagaimana ikut menggelitik relungku. Aku mengecup kedua belah pipinya.
”Bermalamlah di sini...” bisikku. Kedua lengannya merangkulku. Menarikku lebih dekat. Semua itu aku yakin adalah jawabannya atas keinginanku.

Malam itu adalah pertama kali bagi Ning mencicipi kenikmatan dunia yang meskipun mungkin sudah sering kurasakan, entah kenapa terasa beda bersamanya. Dalam kepasrahannya dia terlihat begitu berkuasa. Dalam kebutaannya dia tahu harus melangkah kemana. Dalam kepolosannya dia terlihat berkilau. Membuatku begitu tergila-gila untuk mencecap setiap tetes madu yang keluar dari jutaan pori-pori di sekujurnya tanpa sisa. Membuatku ketagihan atas manisnya kepasrahan saat kami akhirnya menyatu, bersama-sama mendaki undakan-undakan yang ada menuju puncak. Puncak yang begitu licin yang akan membuatku tergelincir kapanpun.

Namun aku selamat menggapainya. Ada Ning bersamaku.

Setelahnya kami menjalani hari-hari yang lebih manis dari sebelumnya. Namun Ning tetaplah Ning. Tidak berupaya menghambat atau mengurungku dalam jemarinya. Dia membiarkanku bebas untuk kembali lagi padanya. Dan aku selalu memenuhi janjiku untuk pulang, tak singgah kemana pun.

Aku sudah begitu terbiasa dengan keberadaannya. Aku tidak lagi terbiasa dengan rumahku yang kosong tanpanya. Aku hanya menginginkan Ning di segala penjuru rumahku, mengisi kekosongannya yang dingin dengan kehangatan.
”Tinggallah bersamaku, Ning.” bisikku ke sela-sela rambutnya yang lembab berkeringat. Menghirup aroma surgawi yang samar-samar menguar dari sana.
”Kenapa, Yan? Bukankah selama ini tidak ada masalah kita tidak tinggal bersama?” Dia malah balik bertanya. Aku terdiam sejurus. Namun akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.
”Rumahku kosong tanpamu. Aku tidak suka...”

Tatapan kami masih saling mengunci dan aku bisa melihat berkas itu kembali berkeriapan di sana. Entah itu di matanya atau di mataku. Tak ada lagi bedanya. Waktu seolah berhenti, berganti debar jantungku menantikan jawabannya. Namun seulas senyum diikuti kecupan di daguku sudah cukup bagiku.

Setelahnya rumahku memang menjadi lebih hangat dan membuatku lebih betah berlama-lama di dalamnya. Beberapa temanku malah sangat heran dengan perubahan itu. Aku yang mereka kenal selama ini akan lebih memilih berlama-lama di klab ketimbang ngendon di rumah. Tapi rumahku sudah tidaklah sama. Ada Ning di sana. Ada kehangatan dan pendar kehidupan di setiap pojoknya sekarang. Dan semua itu menarikku  mendekat. Membuatku melupakan semuanya. Bahkan waktu.

”Minggu depan sudah genap dua tahun kita bersama.” cetus Ning lembut. Usapanku di pundaknya terhenti. Dan saat itu aku sangat berharap waktu juga ikut berhenti, membekukan kami yang masih berpendar di dalam kebahagiaan.

Meski hanya sedikit lebih lama lagi.

***
Aku pulang mendapati rumah kosong tanpa kehidupan. Di tengah keremangan aku meletak tas kerjaku di meja, melepas sepatuku lalu berjalan malas-malasan ke pantry menuangkan segelas air putih lalu meneguknya dalam keheningan. Keheningan yang belakangan semakin kuat sehingga perlahan mulai menulikanku.

Ning tidak ada.

Dan kenyataan itu mendadak melumpuhkanku. Membuatku kesulitan bernapas terhimpit oleh tangis yang semakin menjepit. Tangis yang sudah kutahan selama beberapa waktu. Tangis yang begitu mahal kutumpahkan meskipun aku tahu menumpahkannya adalah yang terbaik buatku. Buat kami. Aku dan Ning.

Aku tidak ingin Ning pergi.

Apa yang mencegahku mengucapkan kata-kata itu? Menyampaikan keinginanku yang sebenar-benarnya? Aku tidak akan menyalahkan apa pun selain egoku yang kelewat besar. Ego yang entah sejak kapan sudah kepelihara sebegitu baiknya sehingga menggerogoti hingga relungku yang terdalam.

Ego yang begitu tinggi dan kokoh memisahkanku dari keinginanku yang sebenarnya. Ego yang berubah menjadi topeng ketidak pedulian bahkan saat Ning menyampaikan keinginan keluarga agar dia segera menikah dengan pria yang memang sudah sejak lama dijodohkan dengannya. Ego yang menampilkan senyum palsu sembari mengucapkan selamat berbahagia padanya.

Semua hanya untuk mengingkari kenyataan bahwa setelah sekian lama, aku masih belum cukup puas dengan waktu yang telah kami habiskan bersama. Bahwa jika dimungkinkan aku tidak ingin hanya dua tahun bersamanya. Bahwa setelah sekian lama berkelana sendirian, aku sekarang tahu ingin meneruskan perjalanan dengan siapa.

Aku membuka tas kerjaku, meraih kertas berwarna gading yang bertuliskan nama lengkapnya dan pria yang menjadi pendampingnya. Diikuti tanggal pasti mereka mengikat janji dan lokasinya. Lalu menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya setelah berakhirnya masak waktu kami, pikiranku sejernih ini.

Aku meraih ponsel lalu menekan-nekan nomornya yang meskipun sudah kuhapus tetap bisa kuingat dengan jelas. Menunggu beberapa saat sebelum panggilanku tersambung.

”Halo?” Dadaku nyaris meletus ketika mendengar suara yang sudah beberapa waktu ini kurindukan.
”Ning... Ini aku.” sahutku. Dia terdiam sejurus.
”Ada apa menelepon, Yan? Dua tahun kita...”
”Aku tahu.” potongku cepat seolah tidak ingin kehilangan sesuatu entah apa. Dia akhirnya diam, menanti kata-kataku selanjutnya.

”Aku tahu mungkin sudah terlambat, tapi... Aku ternyata tidak bisa tanpamu, Ning. Aku tahu ini mungkin terdengar tolol, tapi bisakah meski untuk yang terakhir kali kita bertemu? Bisakah kamu ke rumahku sekarang?” Jantungku berdegub usai mengucapkan semua itu.
”Setengah jam lagi aku tiba...” ujarnya melegakanku.

Pembicaraan usai menyisakan denyar-denyar di sekujurku. Ning akan datang. Aku harus bersiap-siap. Dengan bersemangat aku mengeluarkan anggur yang kami nikmati berdua saat peringatan setahun bersama. Menuangkannya di dua gelas kristal dan menyusunnya dengan manis di meja.

Aku menatap bungkusan mungil berisi serbuk di tanganku, membukanya perlahan dan menuangkan isinya setengah di gelas yang satu, sisanya di gelas yang lain. Dengan ini aku memperbarui kontrak kami. Bukan lagi dengan tahun-tahun dunia yang begitu fana karena setelah ini kami tidak akan terpisah lagi.

Selamanya.

Flash : Alibi


Aku membuka pintu ruangan dan dua orang petugas yang sudah lebih dulu ada di sana menghentikan interogasi mereka, mengangguk dengan hormat ke arahku. Aku membalas anggukan mereka lalu tatapanku berpindah ke pria yang wajahnya sudah dihiasi memar. Pasti dia mendapatkannya selama proses interogasi.

“Dia masih belum mau mengaku, Pak,” lapor seorang petugas sembari menatap garang ke arah tersangka yang sekarang menunduk.
”Alibinya tidak valid. Dia mengaku tidak berada di apartemen saat malam kejadian pembunuhan itu, namun dia tidak bisa menjelaskan kemana dan sedang apa di waktu perkiraan kejadian. Tidak ada juga saksi yang dapat membenarkan alibinya.” sambung rekannya.

Aku tidak berkomentar, hanya menatap ke sosok itu. Dia terlihat begitu lelah dan tak berdaya. Sudah hampir dua hari dia ditahan dan diinterogasi untuk kasus itu. Aku tidak menyalahkan petugas yang begitu ngotot ingin mengorek kebenaran darinya. Kebenaran memang harus terungkap, namun jangan sampai orang yang tidak bersalah menanggung segala akibatnya.

”Bukan dia pelakunya.” ujarku yang langsung disambut tatapan heran kedua petugas. Bahkan pria itu juga ikut mengangkat wajahnya. Matanya nanar menatapku.
”Tapi, Pak... Semua bukti yang kuat mengarah kepadanya. Selain itu alibinya...”
”Saat itu dia memang tidak berada di apartemennya. Dia tidak berbohong.” Aku menghela napas dalam-dalam.

”Dia bersamaku malam itu. Sampai pagi...” tandasku.

Kamis, 26 Juli 2012

Puisi : Jelmaan Iblis


Laki-laki tua itu jelmaan Iblis
katamu petang itu kala gerimis
Aku yang masih sangat muda hanya bisa diam
mengikuti jejak-jejak yang membekas di tanah kelam

Curi-curi aku melihat jelmaan Iblis
yang mengambil sosok laki-laki tua berkumis
dengan bajunya yang putih bersih
membersihkan pekarangan rumahnya yang asri

Beberapa kali aku sendirian melewati rumah itu
yang sangat ramai di hari-hari tertentu
Orang-orang datang berkumpul
dengan wajah berbinar dihiasi senyum simpul

Tidak jarang aku tergoda
untuk mendengarkan apa yang mereka gumamkan
meski harus menyelinap di antara tiang tenda
yang harus digelar agar tempat lebih memungkinkan

Mungkin aku tidak memahami satu pun kata-kata mereka
namun kehangatan yang kurasa di dada
seolah ada gentong penuh cinta
yang tertumpah memenuhinya

Dan saat itu entah darimana
aku seolah bisa melihatnya
sepasang sayap berpendar indah di punggungnya
dan lingkaran berkilau di kepalanya

Jangan pernah percaya pada apa yang mengisi matamu
katamu seolah bisa membaca pikiranku
membuat kedua pipiku bergurat malu
karena membiarkan kenangan itu memenuhi pikiranku

Laki-laki itu menyebarkan ajaran sesat
Dengan kata-kata manis membuat orang-orang bodoh itu terpikat
Sehingga bersedia mengikutinya lekat-lekat
Tak peduli api neraka yang mendekat

Aku tidak berani bertanya
tidak juga berani membantah
setelah begitu lama kita melangkah
aku masih tak tahu kita akan kemana

Perempuan itu juga jelmaan Iblis
katamu lagi ketika melewati seorang perempuan manis
sedang membujuk anaknya yang menangis
meminta jajanan manis

            Lagi-lagi aku curi-curi menatap
perempuan yang masih mengeluarkan kata-kata manis
hanya untuk menghentikan ratap
anak tersayangnya yang masih menangis

Ketika tatapan kami bertemu
dia tersenyum ramah kepadaku
pasti dia ingat hari itu
ketika aku dengan sigap membantu

Mengangkatkan belanjaannya yang terjatuh
mengumpulkannya satu demi satu ke dalam keranjang
lalu menemani anaknya bermain di sauh
yang tidak jauh dari rumahnya hingga petang

Aku ingat hari itu aku sedang berpuasa
dan dengan ramah dia memberiku makanan berbuka
kue manis dari buah-buahan yang kaya rasa
membekaliku untuk makanan berbuka di rumah

Dan saat itu entah darimana
aku seolah bisa melihatnya
sepasang sayap berpendar indah di punggungnya
dan lingkaran berkilau di kepalanya

Jangan pernah percaya pada apa yang mengisi matamu
katamu lagi seolah bisa membaca pikiranku
membuat kedua pipiku bergurat malu
karena membiarkan kenangan itu memenuhi pikiranku

Perempuan itu punya anak tapi tak bersuami
entah dari negeri mana dia berasal
yang pasti keberadaan anaknya yang haram tak akan diterima bumi
hanya di neraka tempat mereka nanti dijajal

Lagi-lagi aku hanya diam
membayangkan nasib perempuan dan anaknya yang haram
namun sudah bertambah jumlah langkah
masih belum juga kami tiba di sana

Aku masih terhanyut
ketika kau mendadak menghentikan langkah
di kejauhan aku mendengar teriakan saling sahut
kau pun langsung bergegas berbenah

Kau tunggu di sini, katamu
sembari melilitkan kain hitam di kepalamu
menutupi seluruhnya selain sepasang matamu yang pekat
aku tidak sempat bertanya kau langsung melesat

Langit petang itu serupa darah
diiringin gemeretak serupa tulang patah
remuk redam dilalap si jago merah
diiringi sumpah serapah

Mulut-mulut melolong
dengan bahasa yang mendadak tidak lagi kukenal
tak satupun yang bergerak maju menolong
sepasang lansia yang saling berpelukan menjelang ajal

Mereka berdua adalah jelmaan Iblis
Mulut-mulut mereka fasih melafazkan mantera-mantera
Katamu dengan senyum puas di raut sinis
Sedangkan mataku tak bergerak dari kobaran yang mendera

Jangan pernah percaya pada apa yang mengisi matamu
katamu lagi seolah bisa membaca pikiranku
tapi kali ini tak ada lagi gurat malu
atau salah tingkah dibahasakan tubuhku

Dan saat itu di antara kebisuanku
aku seolah bisa melihatnya
sepasang sayap hitam mengepak-ngepak di punggungmu
dan sepasang tanduk runcing melengkapinya

Flash : Tersangka


Aku menonton berita yang menampilkan sosoknya yang berjalan menunduk diapit dua orang petugas kepolisian. Di judul berita di sudut layar televisi disebutkan bahwa dia adalah tersangka pelaku kasus mutilasi yang sudah membuat gempar selama hampir enam bulan belakangan ini. Beberapa komentar berisi keterkejutan dan ketidak yakinan orang-orang bahwa dia sanggup melakukan kejahatan itu, namun semua bukti yang kuat mengarah padanya.

Termasuk aku. Aku yang selalu mengikuti perkembangan kasus itu hampir setiap hari dari semua media juga tidak percaya bahwa polisi akhirnya menetapkan dia sebagai tersangka. Hanya karena korban itu pernah mengganggu dan melecehkannya? Tapi korban itu seorang pria berbadan tegap sementara dia? Dia hanya seorang perempuan dengan postur mungil. Bagaimana mungkin dia pelakunya?

Bermacam-macam teori pun bermunculan yang semua membuat kejahatan itu sangat mungkin dia lakukan. Aku menggeleng tidak percaya. Tidakkah mereka lihat rautnya yang kebingungan itu? Raut tak berdaya itu? Yang tinggal sekarang adalah mengorek keberadaan senjata yang digunakannya untuk memutilasi korban yang hingga kini masih belum diketahui keberadaannya. Para ahli forensik menyebutkan senjata yang digunakannya adalah sebilah golok.

Tidakkah mereka berpikir, korban memang pantas mati? Andai mereka tahu betapa dia selalu mengganggu perempuan tak berdaya itu. Berkali-kali hingga perempuan itu begitu ketakutan bahkan mungkin meski sekedar untuk menghirup udara.

Yang diterima laki-laki itu memang pantas.
Agar perempuan itu bisa terbebas.

Aku melirik ke lemari pajanganku yang berisi bermacam-macam senjata tajam. Pandanganku terpusat pada sebilah golok yang sudah menghabisi laki-laki laknat itu. Semua demi perempuan itu. Pembantu rumah sebelah yang sudah beberapa waktu menarik perhatianku.

Flash : Orang ketiga


“Aku sudah mengajukan gugatan cerai…” Pras seolah menahan diri sebelum melanjutkan, “Sesuai keinginan kamu.” Luna, istrinya tidak memalingkan pandangan dari televisi di hadapannya. Menghela napas berat, dia pun berlalu masuk ke kamar tamu yang dia tempati sendiri hampir setengah tahun belakangan.

Sepeninggalnya, Luna menoleh ke penjuru ruangan memastikan dia sudah sendirian sebelum menyambar ponselnya yang sedari tadi tergolek di meja. Sembari menahan senyum dia menekan-nekan tombol yang langsung menghubungkannya ke orang di seberang sana. Menunggu sesaat saat penggilannya disambungkan.

”Halo? Ya. Dia sudah mengajukan gugatannya... Tidak ada masalah, paling lama sebulan sudah terkabul. Hhh... Yah, aku juga mau lebih cepat, sayang. Nggak sabar pengen lekas barengan dengan kamu. Tapi kamu sabar menunggu sebulan kan? Lagipula...”

Jerat kawat di leher memotong pembicaraannya. Ponselnya terlepas dari genggaman tangannya yang sibuk menggapai-gapai berusaha melepaskan diri. Tubuhnya meronta, mengejang berusaha melawan. Tapi hanya sesaat. Setelahnya dia tak bergerak lagi. Pras memandanginya dengan napas masih memburu oleh amarah. Seperti yang sudah dia duga, memang pasti karena ada orang ketiga. Dasar perempuan jalang, makinya dalam hati.

Sembari menyeka keringat yang menitik di dahi, tangannya terulur meraih ponsel Luna yang tergolek tidak jauh darinya. Menekan tombol untuk melihat panggilan terakhir dan langsung tercekat.

Itu nomor mantan istrinya.

Rabu, 25 Juli 2012

Flash : Sumbu Ledak


Sumbu kesabaranku sangat halus dan pendek. Tidak ada orang bahkan aku sendiri yang bisa menebak-nebak kapan sumbu tersebut akan habis terbakar dan meledakkan bongkahan berisi mesiu di ujungnya. Sedikit saja terusik maka api menjalar begitu cepat melahap sumbuku yang teramat halus.

Kata-kata kasar, ejekan, bahkan tangis anak-anak yang meski bagi sebagian orang serupa melodi, namun tak lebih dari desing bising yang memusingkan. Dan membakar sumbu yang sekejap meledakkanku. Menggelapkan duniaku tanpa ampun. Terombang-ambing dalam penyiksaan tak berakhir.

Aku hanya ingin desing itu berakhir. Aku hanya menginginkan hening yang entah kenapa semakin hari semakin sulit kuraih. Keinginan yang harus kuwujudkan dengan kedua tanganku. Ya. Aku hanya butuh keheningan. Agar duniaku kembali benderang. Dan aku bisa kembali bernapas. Tanpa desing lagi.

Aku tersadar saat benda di tanganku terlepas menghasilkan bunyi nyaring. Logam yang semula berkilau itu sekarang kabur oleh guratan merah yang segar. Tergolek tepat di samping sosok mungil dengan leher menganga.

Tak akan ada lagi desing.

Puisi : Negeri Sinetron


Alkisah sebuah negeri
di antah barantah nun jauh sekali
yang dihuni oleh para pelakon
membawakan lelakon kejar tayang serupa sinetron

Ya, itulah negeri sinetron
Negeri yang hari-harinya diisi lakon
para pelakon yang haus penonton
menampilkan ragam lakon berharap ditonton

Lakon-lakon yang dikira cerdas
padahal hanya membuat mata pedas
termasuk mulut yang sangat ingin mengumpat
tak tahan dengan lidah yang mencecap sepat

Melihat tingkah pelakon yang over-acting
mempertontonkan aksi kacangan hanya demi rating
syukur-syukur jika bisa menarik simpati
para pemirsa yang sukarela memberi hati

Ada yang menampilkan lakon orang-orang teraniaya
dengan muka memelas merasa paling menderita
padahal hanya tangisan buaya
sangat berharap para penonton silap mata

semua dunia seolah memusuhinya
curhat dilakoni semalam menampilkan derita
berharap semua memutuskan berpihak padanya
Hoi, emangnya para penonton buta?!

Ada yang memilih berperan sebagai belut
yang begitu licin sehingga susah digenggam
permainan kata-kata sangat mudah membuat orang tersulut
maklumlah pekerjaannya sehari-hari adalah adu langgam

Sangat pantang baginya untuk bersikap ksatria
mengakui kesalahan untuk kemudian memperbaiki
memutuskan lari dan mengelak dengan segala cara
seolah lupa bahwa kebenaran tetaplah hakiki

Ada yang berperan sebagai ratu adil
yang begitu sempurna tanpa cela
mengomentari orang lain mesti tak andil
karena yang terpenting baginya adalah citra

Ada yang bangga dengan lakon
sebagai pemeras darah rakyat yang tak berdaya
derita rakyat baginya hanya pantas ditonton
terlebih danau lumpurnya yang tetap jaya

Di negeri sinetron
kita tidak akan pernah kehabisan lakon
yang ditampilkan silih berganti
tak peduli meski semua itu tak berarti

Di negeri sinetron
semua berlomba-lomba tampil membawakan lakon
tak peduli entah itu layak ditonton
meski hanya memamerkan ragam lakon bloon

Rakyat semua terus dipaksa menonton
aksi rebut kuasa diselingi puluhan jargon
karena kalau tak begitu rasanya monoton
mereka hanya pelakon yang harus penonton

Apa enaknya terus berdiam di negeri sinetron
yang begitu keras berusaha demi perhatian
dan dukungan para penonton
yang sudah lelah dan tak lagi memperhatikan?

Penonton yang sudah muak berganti apatis
memilih untuk mematikan televisi
bosan dengan lakon yang semakin miris
namun tak juga menyurutkan ambisi

Ambisi serupa keropeng
yang menggerogoti sekujur tubuh
menyisakan permukaan yang bopeng
syukur-syukur kalo masih tersisa malu

Malu yang seiring waktu semakin menipis
demi popularitas jelang akhir periode
tak peduli penonton yang sudah semakin sinis
acuh pada slogan dan janji-janji orde

Orde yang semakin mirip tayangan striping
yang mungkin awalnya menarik
tapi tak lama kemudian menyisakan pusing
sehingga tak lagi dilirik

Sementara para lelakon tetap berapi-api
terus kejar tayang berganti-ganti
membayangkan saling berbagi penonton
yang sebenarnya tak lagi menonton

Biarlah para manusia bloon
di negeri sinetron
mengira aksinya masih ditonton
karena untuk selamanya mereka bloon

Padahal para penonton striping negeri sinetron
sudah lama terbangun dan tak lagi bermimpi tentang lakon
karena yang dibutuhkan para penonton
bukanlah dagelan murah apalagi adu jargon

Wahai para penghuni negeri sinetron
mulailah untuk hidup realistis
jangan cuma bersikap supaya ditonton
jika demikian mendingan kalian semua ’Rest in Pieces

Ya. Pieces...
Karena kami akan mencincang-cincang kalian
dengan senang hati sampai habis
tak rela dunia ini dikotori ’limbah’ semacam kalian

Para penghuni negeri sinetron
yang tetap bloon

Selasa, 24 Juli 2012

Puisi : kepadaMu


Tubuhku lunglai bersimbah peluh
Tak lagi kuhitung sudah seberapa jauh
Sepasang kakiku menyeret raga yang acuh
Pada mulut yang sesekali mengaduh

Hanya untuk bertemu
Dan mengadu
Apakah harus sebegitu
Sulitnya serupa berburu?

Apa agamamu?
Siapa nabimu?
Siapa Tuhanmu?
Dan jawabku selalu tak tahu.

Dulu aku selalu merasa tak perlu
mendalami hal-hal yang diluar akalku
cukup dengan yang di depan mataku
kujalani hidup kosong semauku

Namun tak jarang aku ingin mengadu
meski lidahku terasa kelu
dan langsung mendadak gagu
karena tersadar tak mengenal bahasaMu

Sudah lama aku berkelana jauh
mencari-cari daras serupa bahasaMu
agar ketika saat aku mengadu
kau memahami apa yang kubutuh

Namun pertanyaan-pertanyaan itu
semakin kerap memburuku

Apa agamamu?
Siapa nabimu?
Siapa Tuhanmu?
Dan jawabku masih tak tahu.

Padahal aku sudah setengah tersedu
dirongrong rasa ingin mengadu
karena sejujurnya aku tak lagi kuat menandu
ingin segera mencari tempat berlabuh

Aku yang tersesat selama yang kutahu
dengan lantunan nada dan kata-kata yang bagiku tabu
karena di telingaku kata-kata itu teramat semu
tidak keburu kupahami dengan terbatasnya waktu

Tubuhku semakin renta tersaput debu
sudah terlalu lama dan jauh
aku terombang-ambing berkelana mencari-cariMu
yang tak kukenal tapi sekarang ini sangat kubutuh

Aku butuh diriMu
Jerit hatiku yang pilu
Mataku yang tersedu
Namun lidahku tetap kelu

Aku yang tak mengenal satu pun bahasaMu
apakah masih punya hak yang sama dengan kaumMu?
Tak seperti mereka yang begitu fasih mendaras puja-puji untukMu
dengan tiket di tangan untuk tempat di istanaMu

Tangisku sekarang menderu
mengalahkan desau angin menebarkan debu
ke sekujurku yang diam tak lagi berpeluh
berwarna kelabu

Apa agamamu?
Siapa nabimu?
Siapa Tuhanmu?
Aku tak tahu namun aku butuh

Aku tak tahu apakah karena aku mencintaMu
atau hanya karena sekedar butuh
karena tak ada lagi tempatku mengadu
padahal aku tak mengenalMu

Aku tak berharap tempat istimewa di istanaMu
karena sudah sejak lama aku sadar tak punya hak untuk itu
Aku yang tak lagi berdaya untuk pergi lebih jauh
di sinilah mungkin akhir perjalananku
napasku yang tinggal satu-satu
lidahku yang tetap kelu
Aku hanya ingin mengadu

Harus dengan bahasa apa aku tak tahu
pikiranku kosong melompong tak dapat memikirkan satu
kata pun yang betapa sangat aku perlu
yang tersisa hanya gelora di hati dan sekujurku

Yang kembali menghadirkan sedu
dengan bulir-bulir air mata berisi egoku
yang luruh di hadapanMu
menghisap habis sisa-sisa tenagaku

Kuserahkan seluruh milikMu
kembali padaMu
Bisik pasrah hatiku
kepadaMu

Hanya itu
dan aku kembali penuh

Flash : Ramalan


“Eh, menurut ramalan hari ini kamu harus berhati-hati, lebih waspada dan perhatian pada hal-hal kecil.” Yos menghampiri kubikel-ku.

Aku langsung menghadiahinya dengan tatapan menghunus. Bagaimana tidak? Hari masih pagi dan aku sudah dihadiahi ramalan kacangan begitu? Selain itu... Dia itu laki-laki, tapi mempercayai ramalan yang di luar logis sebegitunya.

”Beneran lho. Mungkin kamu nggak percaya, tapi tidak ada salahnya kan. Lagipula berhati-hati meski pada hal-hal sepele kan tidak ada salahnya.” Dia buru-buru membela diri. Aku meraih jaketku, hari ini aku harus meninjau lokasi proyek kami. Lebih cepat lebih bagus setidaknya aku tidak perlu mendengar pembahasan ramalan itu lagi.

”Ben, tali sepatu kamu lepas tuh...” Aku menghela napas.
”Napa? Berhubungan ama ramalan itu?” Dia terdiam. Aku ngeloyor pergi.

Berjalan tergesa menghampiri lift yang sialnya sudah menutup. Tak ingin lama menunggu akhirnya aku memutuskan turun dari tangga saja. Langkahku ringan menuruni anak-anak tangga hingga mendadak langkahku tertahan oleh tali sepatu yang tepat terinjak kakiku yang sebelah. Tubuhku sempoyongan dan tanganku tidak sempat mencari pegangan.

Dan ketika tubuhku berguling berkali-kali menyusuri tangga, ramalan yang diucapkan Yos terngiang. Berakhir oleh kegelapan pekat.