Jumat, 31 Agustus 2012

Puisi : Tabir


Tabir
putih keabuan
bertumpuk,
bergumul di pelupuk
bergelayut, berarak perlahan

Tabur
dengan hanya sekali sentakan
meninggalkan jejak halus tak kasat mata
menyisakan tanya minus jawaban
serupa pucuk meronta tertimbun tanah

Tebar
jauh menguar
melebar
dan terus menerus diumbar
diikuti puluhan pasang mata di sekeliling mimbar

Tabir
perlahan satu per satu
membebaskan diri dari ikatan
yang sedari tadi sudah bermandi peluh
bertahan menutupi menghalau godaan

Tabur
mengoles hasrat
setipis mungkin di sekujur perawan
diikuti sungging sekelompok aurat
merasa menang setelah begitu lama dalam penantian

Tebar
keluar
menyusuri selasar
yang sekarang berpijar
diikuti desah tertahan dan mata-mata nyalang nan liar

Melipir
setengah mencibir
menawarkan madu dunia di ujung bibir
dari sekujur yang mendadak nyinyir
merangsek bebas tanpa tabir

Kamis, 30 Agustus 2012

Flash : Cintaku Hening


“Kayaknya cintamu tidak sebesar cintaku padamu,” rajukmu. Sore itu kita duduk berdua di beranda belakang rumah, mengawasi jarum-jarum terjun bebas dari langit membasahi rerumputan. Aku hanya tersenyum. Kau langsung membuang muka.

“Kau hampir tidak pernah lagi bilang cinta ke aku. Kamu gak kayak pacar Irene yang rajin menghujaninya dengan ucapan dan rayuan cinta.” keluhmu lagi malam ini saat kita duduk berhadapan di meja makan. Sup buatanmu masih mengepul di antara kita. Malam ini kita merayakan satu dasawarsa kebersamaan kita.

Apakah kau lupa? Aku selalu suka dengan parasmu yang sedang merajuk. Bibir ranum yang sedikit mengerucut saat menyendokkan sup ke dalam mangkuk-mangkuk kita. Kerling kesal yang menurutku semakin menambah kilau mata indahmu.

Dalam hening kita menyendok sup lalu menyuapkannya ke dalam mulut. Rasa asin yang teramat sangat menyapa kuncup perasa di lidahku. Membuat mereka seketika blingsatan.
”Supnya keasinan banget, yah? Pasti tadi aku kelupaan jadi masukin garam lagi.” Rasa bersalah meredupkan matamu. Kau buru-buru bangkit untuk menyingkirkan sup itu, tapi aku menahanmu.
The soup is fine... I like it.” kataku lalu menambahkan, “Aku ingin meminum sup yang sama satu dasawarsa lagi. Seperti sekarang. Bersamamu.”

Apakah kau lupa? Titik-titik air mata yang menggenangi pelupuk matamu jauh lebih indah daripada kilau berlian yang melingkari jemari kita. Dan keheningan saat kau terbenam di dalam pelukku bernilai jutaan kali kata dan rayuan cinta.

Cintaku hening.
Tanpa gemerlap apalagi hingar bingar.
Dan kau tahu itu.

Selasa, 28 Agustus 2012

Flash : Ngidam


Aku mengelus-elus perutku yang mulai membusung sembari dengan santai menusuk-nusuk potongan hati di piringku, menyuapkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya perlahan sebelum menelannya. Begitu terus berulang-ulang satu per satu, hingga akhirnya piring di hadapanku kosong.

Aku membersihkan mulutku, lalu membereskan piring di hadapanku. Setelahnya kembali lagi menemuimu yang masih duduk bersandar di tembok dengan perut menganga. Aku membungkuk.

”Semua demi anak kita. Dia pengen mencicipi hati bapaknya...” bisikku di telingamu sembari membelai perutku. Setidaknya kelak anak kita tidak akan terus-terusan berliur.

Flash : Kleptorella


Entah kenapa ketika menatap rautnya aku merasa kami pernah bertemu. Tapi bagaimana mungkin? Dia tidak mengenaliku, dan perasaan tidak asing yang kurasakan pasti bukan apa-apa. Aku berdansa dengan tetamu lain, dia juga begitu. Tapi rasa penasaran yang besar akhirnya menuntunku menghampirinya, mengulurkan tangan, mengajaknya berdansa.

Kami berdansa hingga lagu usai dimainkan, berlanjut ke lagu berikutnya. Dia memang sangat menawan. Tawanya juga sangat merdu. Beberapa pria lain pasti hanya bisa mendongkol karena aku telah memonopoli perempuan tercantik di pesta ini.

Teng... Teng.. Teng...

Jam di tengah aula berdentang dan dia pun mendadak panik. Aku hanya tertawa ketika dia ngotot harus segera meninggalkan pesta, teringat pada dongeng tentang Cinderella yang harus pulang sebelum jam dua belas malam. Tapi toh akhirnya aku tidak bisa menahannya lebih lama. Tapi ketika aku sadar belum menanyakan nomor teleponnya, maka aku segera menyusulnya.

Koridor itu sudah kosong. Sosoknya tak terlihat lagi. Aku menyumpahi ketololanku dan saat itu mataku menangkap sesuatu. Aku menghampirinya dengan rasa takjub. Jadi dongeng Cinderella itu nyata? Aku meraih sebelah sepatu itu. Bukan sepatu kaca seperti di dongeng.

Aku mengenalinya mirip dengan sepatu yang raib dua hari yang lalu ketika serombongan perempuan masuk menyibukkan seisi toko, dan pertanyaan tentang pertemuan kami sebelum ini pun terjawab bersamaan dengan ingatanku ketika dengan manis dia meminta diambilkan sepasang sepatu. 

Yang tak pernah dibayarnya. 

Flash : Piñata


Udara terik membakar sekujurku yang sudah sedari tadi tergantung di tengah keriuhan. Dengan mata lelah kupandangi mereka yang asik mengobrol sembari meminum isi gelas mereka yang warna warni. Anak-anak berlarian hilir mudik. Suasana sedikit hening ketika seorang perempuan tambun dengan baju menyala naik ke pentas mungil sembari menggandeng putranya. Dia menyampaikan pidato singkat yang ditutup dengan tepuk tangan riuh para tamunya.

Sekarang sekujur tubuhku sudah sangat nyeri dan aku bahkan sudah tidak bisa merasakan beberapa bagiannya. Dan dengan mata nanar aku melihat putranya turun dengan sebilah tongkat, menghampiriku. Aku diserang panik. Apa yang akan dia lakukan terhadapku dengan tongkat itu?

Aku hanya bisa berteriak dan meringis ketika tongkat itu dengan keras dipukul-pukulkan ke sekujurku. Tidak ada belas kasihan di wajah mereka. Yang ada malah rasa puas diiringi tepuk tangan dan teriakan untuk menyemangatinya. Pukulan demi pukulan mendarat di sekujurku, tanpa dayaku menghentikan mereka.

Aku semakin lemah dan ketika akhirnya tubuhku terbelah, mereka semakin bernafsu. Anak-anak itu berjongkok di bawahku, berebutan. Ada yang mengambil jantung, hati, lambung, dan segala isi tubuhku yang terburai. Hingga ketika akhirnya tak ada lagi yang tersisa, mereka tetap membiarkanku tergantung. Seperti monumen. Untuk pesta putra mereka tercinta.

Minggu, 26 Agustus 2012

Flash : Di balik Topeng


Aku lega karena akhirnya pesta usai dan tetamu sudah meninggalkan rumahku. Dengan gontai aku masuk ke kamarku lalu duduk di depan cermin. Menatap pantulan di sana. Raut wajah ramah. Wajah yang membuat orang-orang betah berlama-lama. Wajah yang begitu bersahabat.

”Topeng yang bagus.” Kau bersandar di pintu kamar yang terbuka. Dengan tidak sabar aku langsung menarik helaian tipis di bawah daguku, melepasnya.

Wajah ramah pun hilang, berganti dengan raut kecut.
”Memang bagus, tapi sangat melelahkan. Lihat saja mereka. Tamu-tamu yang memuakkan itu. Untung saja aku tidak perlu mengenakan topeng ini sepanjang waktu. Bisa-bisa aku mati!” tukasku. Kau tersenyum. Aku menatapmu dari cermin.

”Aku lebih suka rautmu yang sebenarnya. Di balik topeng itu.” ujarku. Ketus.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Puisi : Biru


Biru.
Matamu. Serupa warna langit di suatu hari yang cerah. Saat awan-awan yang genit hanya bisa berdiri di sudut menahan keras jemari mereka yang genit ingin menyentuh permukaannya yang bening. Bahkan di keremangan, aku bisa melihat warnanya yang tetap cemerlang.

Biru.
Gaun mini yang melekat indah di tubuh mungilmu. Berayun-ayun gemulai dipermainkan angin yang berhembus pelan, tidak ingin buru-buru berlalu meninggalkan kulitmu yang serupa pualam. Yang tak kaupedulikan bahkan ketika bibir-bibirnya berlabuh mendarat, dengan rakus menyelusup ke dalam.

Biru.
Kau hanya tersenyum malu-malu ketika gaunmu tersingkap memperlihatkan mangkuk dan segitiga berwarna senada. Renda-renda saling bertaut rumit, yang begitu tipis dan terlihat kewalahan menahan gumpalan dan gairah yang terpancar dari sekujurmu. Menanti dengan tak sabar. Menggeliat kepanasan hanya dengan belaian lembut dan samar di kulitmu.

Biru.
Warna seprei satin yang melapisi ranjang, membuatmu terlihat seperti lukisan. Lukisan patah-patah yang samar bercerita tentang haru biru perasaan yang mungkin sedang menggeliat di seluruh relungmu sekarang. Begitu liar karena terusik di dalam tidur panjangnya.

Biru.
Karet tipis yang kaupilih buatku malam ini. Tak perlu kutanya kenapa. Aku tak berminat. Tapi dengan duri-duri mungil di sekujurnya membuat penampilanku sangat gahar malam ini. Tapi tak mengapa, kau yang mengingininya. Kau yang bergairah dengan segala bayangan liar di kepalamu.

Biru
Sebutir benda mungil memisahkan bibir-bibir kita dengan manis. Sebelum akhirnya lenyap ke dalam mulut kita masing-masing setengah. Katamu benda mungil itu akan memastikan perjalanan kita ke surga malam ini. Lebih dahsyat dari yang sudah-sudah. Dan apa perkataanmu yang tidak kupercaya?

Biru.

Peluhmu.
Desahmu.
Gairahmu.
Surgamu.

Tanpaku.

Flash : Setali Tiga Uang


Aku menjinjing plastik berisi belanjaanku, berjalan menyusuri pelataran parkir saat dari balik kacamata hitam aku menangkap pemandangan itu.

Sepasang manusia, mungkin mereka suami istri atau masih sebagai kekasih. Si perempuan menangkupkan kedua telapak tangan di wajahnya. Sepasang bahunya bergetar. Jelas terlihat di mataku dia sedang menangis. Sementara si laki-laki berdiri di hadapannya, berkacak pinggang, dengan wajah merah padam diiringi teriakan berisi makian yang bahkan membuat dadaku ngilu.

Sadar ada yang sedang menonton, laki-laki itu dengan tidak sabar langsung menarik lengan perempuan itu menjauh meninggalkan tempat itu. Sekilas aku bisa melihat memar di sudut bibirnya. Memar berwarna keunguan.

Sama seperti yang melingkari mata kananku.

Flash : Jaminan


“Papa pergi dulu, yah.”

Dia berbisik di perutku yang membusung. Membelai lalu mengecupnya penuh sayang sebelum mencium keningku. Aku melambai mengantarnya berlalu. Itu adalah ritual yang setiap pagi kami lakukan belakangan ini, sejak aku akhirnya berhasil hamil. Buah hati yang sudah sangat dia nanti-nantikan bahkan sejak pernikahannya yang pertama dulu.

Ya, aku adalah istrinya yang keempat. Istri yang sangat dia harapkan bisa memberi keturunan yang gagal dia dapatkan di pernikahan sebelumnya. Dan demi jaminan hidup keluargaku, maka aku juga sama berambisi dengan dirinya untuk bisa memiliki keturunan. Tanpa anak maka aku hanya akan bernasib serupa dengan mantan-mantan istrinya. Terbuang.

Aku terlonjak ketika seseorang menyentuh lenganku. Membelai tepatnya. Ternyata Joko, tukang kebun yang sudah dua tahun ini bekerja di rumah kami. Dia menatapku lekat sembari menyeringai. ”Kau makin cantik. Montok!” pujinya sembari menelanjangiku dengan tatapannya.
“Jaga omonganmu, Ko!” Dia hanya terkekeh.
”Iya... Iya... Kok langsung sewot. Bawaan orok, ya?” Aku mengacuhkannya dan ingin kembali ke dalam rumah, namun dia langsung menahanku. ”Jangan lupa perjanjian kita.” bisiknya sembari menatap tajam ke arah perutku lalu beranjak.

Flash : Padam


Malam. Kelam. Tenggelam. Padam

Bibirku sudah mati rasa. Lidahku kelu dan pegal luar biasa. Setelah pergumulan yang harusnya menghadirkan jutaan rasa. Yang selama ini selalu kita cecap tanpa setitik pun merasa dipaksa. Seperti yang sekarang kurasa.

Aku seolah terseret ke dalam pusaran. Megap-megap berusaha keluar dengan segala daya yang tersisa. Seperti ikan-ikan Salmon yang berenang menantang arus, begitulah aku. Begitu keras berusaha melawan arus yang menyeretku menjauh. Darimu. Dari manis madu gairah.

Aku tak rela melepas lalu pasrah membiarkan diriku terhisap habis. Aku yakin masih ada yang tersisa jauh di sana, di relungku. Seperti nyala lilin mungil yang bertahan sendiri di tengah hembusan angin kencang di sekeliling, berusaha memadamkan nyalanya.

Kau menatapku. Tak perlu kau katakan pun aku sudah tahu. Semua putus asa yang terpancar jelas di rautmu. Karena setelah semua yang kau lakukan. Aku tetap layu. Mengkerut kuyu. Serupa lintah yang berpuasa berwindu-windu.

”Padahal katanya itu Viagra yang asli.” keluhku. Hanya asap samar tersisa di atas lilin mungil. Nyalanya sudah padam.

Kamis, 23 Agustus 2012

Flash : Tuba


Matamu mengerjap beberapa kali seolah berusaha mengusir kabut tebal yang mendadak memburamkan pandanganmu. Setelahnya mulutmu bergerak-gerak tapi tidak ada suara yang merambat keluar. Seolah dalam gerakan lambat aku bisa membaca semua gurat di rautmu dengan sempurna. Segala rasa yang menguar dari sana.

Tanganmu mencengkeram taplak meja hingga buku-buku jarimu memutih. Betapa ingin aku mengenggamnya, sekedar untuk mengurai ketegangan yang mengurungmu seperti yang selalu kulakukan lebih dari satu dasawarsa belakangan ini sebagai sahabat yang paling mengerti kamu.

”Bagaimana mungkin? Kenapa kau...” Suaramu muncul tersendat, tercekik di tenggorokanmu. Bersamaan dengan genangan yang tidak lagi samar di matamu. ”Kupikir kita bersahabat...” sambungmu lagi. Ada luka di sana.
”Aku akan tetap menjadi sahabatmu...” sahutku dengan lidah kelu. Terlebih lagi ketika luka sudah menjalar ke sekujurmu tanpa menyisakan ruang kosong berisi maaf. Alangkah leganya aku jika kau memaki dan menamparku sekarang, namun kau hanya menatapku dengan matamu yang berleleran oleh luka sebelum bergegas pergi meninggalkan aku sendiri.

Setelahnya aku mengeluarkan dompet lalu menatap foto yang mengisi bingkai mungil di sana. Foto kita di hari pernikahanmu. Senyum mengembang di bibirku yang berdiri di antara kamu dan suamimu. Senyum miris menoreh rautku diikuti panas menyesak di mataku. Andai saja kita tahu itu adalah pertanda...

Tanganku bergerak lirih, membelai perutku yang membuncit.

Rabu, 22 Agustus 2012

Flash : Pengantin


Aku menatapnya. Pengantinku yang gemulai mempesona. Senyum mengembang di bibirnya yang berwarna merah muda. Aku meraih tangannya, menggenggamnya lembut. Kami saling menatap penuh cinta, mengacuhkan tatapan iri orang-orang di hadapan kami.

Musik dinyalakan dan kami mulai berdansa. Berputar mesra. Gaun putihnya yang bertaburan bunga warna-warni berkibar lembut. Tanganku memeluk pinggangnya dengan mantap. Bersama-sama kami menari berayun di pentas kami berdua diikuti tatapan takjub dan terpesona. Ketika musik berhenti kami kembali berdiri berdampingan dengan tangan tetap bertaut. Membungkuk sopan sebagai ungkapan terima kasih pada gemerlap di mata dan senyum yang memenuhi wajah mereka.

Itu adalah hadiah yang lebih berharga dari apa pun juga. Hadiah yang sudah tak terhitung berapa kali kami terima sejak kemunculan kami di sini. Di dalam sebuah bangunan serupa istana mungil bersama-sama puluhan pasangan pengantin di singgasana masing-masing dengan label indah bertuliskan angka di depannya. 

Sepasang kekasih sedang berdiri di depan singgasana kami. Aku bisa merasakan cinta yang begitu kuat mengikat mereka. Seperti cintaku dan pengantinku. Seorang perempuan berpenampilan rapi menghampiri mereka. Dia kukenali sebagai pemilik istana mungil ini.
”Yang ini produk terbaru kami, Mbak. Boneka pengantinnya bisa menari mengikuti irama musik. Kuenya juga bisa dimodifikasi berapa tingkat sesuai selera...” ujarnya semanis gula. Pasangan kekasih itu mendengarkan dengan penuh minat.

Musik kembali dinyalakan dan kami mulai berdansa.

Puisi : Dalam Dekapan Sepi


Pintu terbanting
lalu hening

Tiada lagi letupan memekakkan telinga
serupa mercon yang meluncur dari sela-sela bibir kita
dengan hujan ludah berisi serapah
serta mata yang panas akan pecah

Hanya aku sendirian di sini sekarang
meski sisa-sisa pertarungan belum total terbuang
beberapa sisa letusan masing terngiang
membuat dua sungai menggenang

Berisi benci,
sakit hati,
dan entah apa lagi

Yang perlahan menghilang
memudar dari sekujurku yang terasa gamang
lemas karena tenaga mendadak menghilang
menjauh tak menyisakan bayang

Dan saat itu kau datang menghampiri
melingkarkan lenganmu yang hangat
menentramkan aku yang merasa begitu sendiri
meredakan segala rasa yang tadi menyengat

Mataku terpejam
di dalam kedamaian yang begitu jernih
yang membuat segala rasa teredam
terhisap habis di balik sunyi

Kau yang kunamai Sepi
di dalam dekapanmu kurasakan
ketenangan yang begitu murni
yang hanya akan menghadirkan

Kerinduan yang begitu dalam
pada sosok tersayang
yang barusan menghilang
di balik pintu yang berdentam

Tapi tidak mengapa
di sini di dalam dekapan sepi
aku akan terus menanti
dia menyambutku kembali ke dalam peluknya...

Seperti yang sudah-sudah

Flash : Kejar Setoran


Langit sore dihiasi awan hitam yang bergulung-gulung. Sebuah metromini yang setengah penuh melaju ugal-ugalan menembus jalan yang macet dengan kesibukan jam bubar kantor. Di persimpangan seorang pelajar SMP menjulurkan tangan menyetopnya, namun sopir mengacuhkannya dan metromini pun terus melaju menjauh.

“Bang, yang tadi itu…” tegur penumpang yang duduk tepat di belakangnya.
“Halah, jam segini rugi ngangkut anak sekolah. Ongkos tak seberapa. Setoranku hari ini masih belum dapat. Nanti di simpang depan bakal banyak sewa karyawan yang baru pulang.” sahut sopir.
”Tapi kasian dia. Udah mau hujan...” timpal penumpang lainnya yang tak digubris sopir.

Namun ketika tiba di persimpangan yang dimaksud, ternyata suasana lengang. Maka metromini pun meneruskan  perjalanannya menyusuri rute dengan penumpang yang semakin berkurang. Langit mulai mencurahkan tangisnya. Jalan yang dilalui pun banjir dan mesin kendaraan itu mendadak mati tepat di depan halte.

Sopir berusaha menyalakan mesin yang hanya berakhir sia-sia. Tidak juga kuasa mencegah ketika para penumpang memutuskan keluar dan hanya membayar ongkos setengah perjalanan lalu menyetop metromini dengan rute serupa yang lewat tidak lama setelahnya. Meninggalkan sopir yang putus asa di dalam metromininya yang mogok. Memikirkan setorannya hari itu. Dan saat itu tatapannya bertemu dengan pelajar SMP di metromini yang menjauh.

”Ah, andai saja...” keluhnya penuh sesal teringat pada pelajar SMP yang dia acuhkan.

Selasa, 21 Agustus 2012

Flash : Maaf


“Maaf…” bisikku saat logam tipis berkilau itu dengan mudah menembus kulitmu yang sehalus bayi. Kau hanya menatapku dengan sorot terperangah, mungkin terlalu terkejut untuk menyadari semuanya.

”Maaf...” bisikku sekali lagi saat perlahan aku menarik logam itu keluar menjauh darimu. Tanpa perlu melihat aku tahu apa warnanya sekarang. Bisa kurasakan darah segarmu melapisinya. Dan sekarang matamu perlahan mulai terpejam dan tubuhmu begitu goyah untuk bisa berdiri.

Aku merengkuhmu bertepatan dengan dentingan logam menghantam lantai. Memelukmu erat seolah dengan begitu kita bisa langsung menyatukan tubuh-tubuh kita. Merasakan lembab di perutku. Kelembaban yang hangat dan lengket. Bisa kurasakan nafasmu yang terakhir tertinggal sedikit lagi di tenggorokanmu.

”Maaf... Aku harus melakukan ini...” bisikku saat napas terakhirmu menguap, menyisakan rongga kosong di paru-parumu. Aku memelukmu lebih erat. Menahan sesak yang semakin keras membuncah di dadaku, memaksa bulir-bulir air mata perlahan meninggalkan mataku seolah kepanasan berada di dalam sana. Kepanasan oleh perasaan yang meronta berusaha melepaskan diri dari kungkunganku.

”Sudah kaubereskan perempuan itu?” Aku hanya mengangguk lalu melepas tubuhmu yang sudah beku dengan perlahan di lantai. Tidak membantah atau mengeluh ketika lenganku ditarik sedikit paksa menjauh olehnya.

Suamiku.

Flash : The New ‘ME’

Aku mengamati rambut yang sedikit demi sedikit mulai terbabat habis. Menghela napas panjang berusaha menguatkan diri, mengabaikan decak stylist yang seolah menyesalkan keputusanku dan suara gunting yang begitu tajam seolah menyayat telingaku. Ya. Aku harus kuat. Tegar. Itu hanya rambut. Rambut yang sudah bertahun-tahun selalu kujaga dan kusayang layaknya benda paling berharga.

Semua demi dirinya yang sangat suka dengan rambut panjang hitam berkilau nan indah seperti milikku yang katanya sangat lembut saat dibelai. Tapi betapa naifnya aku yang begitu mudahnya percaya begitu saja pada setiap perkataannya yang manis. Sehingga akhirnya hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat menahan sakit hati ketika akhirnya dia berpindah kepada perempuan pemilik rambut panjang hitam berkilau indah lainnya.

Dasar laki-laki brengsek! Makiku dalam hati.

”Yak, sudah selesai. Wah! Mas jadi kelihatan beda deh dengan rambut cepak begini... Jadi macho gituh...” ujar stylist ramah. Aku mengamati sosokku yang terpantul di cermin lalu tersenyum puas. Ya. Inilah aku yang baru.

Jumat, 17 Agustus 2012

Puisi : Gerimis di Sore yang Manis


Di suatu sore yang manis
langit mendadak meringis
menghantarkan gerimis
yang mengalun lembut melankolis

Sore itu memang sangat manis
kucecap sudah rasanya yang tak habis-habis
berharap bisa menemukan rasa lain walau hanya seiris
tapi yang menyapa lidahku hanya manis

Betapa ingin aku tularkan rasa manis
ke mata indahmu yang dirundung tangis
tak sudah-sudah oleh ulah si Bengis
demikian aku selalu menyebutnya dengan sinis

Pertanyaan muncul tak berhenti mengais
rasa penasaranku tentangmu dan si Bengis
hubungan istimewa yang di mataku hanya berupa garis
yang dari hari ke hari semakin samar menipis

Aku tidak sama dengannya yang bengis
merobek hati dan relungmu tanpa sanggup kautepis
kaubiarkan dia bermain meski perasaanmu teriris
rasa perih, kecut dan asam yang kaunyatakan manis

Sore yang begitu manis
tak hanya ditemani langit yang meringis
namun juga harus menyaksikan tangis
yang dimataku tak lagi manis

Segala dayaku perlahan habis
nyaris tak bersisa lagi untuk meneteskan manis
yang langsung kering terhisap hubunganmu dengan si Bengis
menyisakan relungku sendiri yang ikut teriris

Gerimis di sore yang manis
biarlah hanya untukmu dan si Bengis
nikmatilah berdua sampai habis
aku sudah bosan dengan yang manis-manis

Menurutmu aku sinis?
Yo wis...

Kamis, 16 Agustus 2012

Flash : THR


“Pak, Weni udah punya baju baru…” Lastri, putri semata wayangku  mengabarkan setengah merengek. Weni adalah teman mainnya. Istriku yang sedang memotong-motong tempe sekarang menatapku. Aku mengusap kepala putriku.
”Iya. Hari ini Bapak dapat THR kok. Jadi bisa beli baju baru buat kamu.”
”Asiiikkk... Jadi punya baju baru...!!” Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Lalu bangkit, meraih jaketku, menatap istriku sejenak lalu keluar.

Namun yang kutemui hanya teman-teman dengan raut yang tak kalah lemasnya dari aku. Bersama-sama mereka aku berdiri di depan pintu besi yang tertutup. Lusa sudah Hari Raya, jika hari ini kami masih belum mendapatkan THR, maka itu artinya kami harus melalui hari dengan tangan kosong.

Sudah lewat tengah hari, kami pun meninggalkan tempat itu satu per satu. Aku yang paling belakangan berangkat dengan langkah kaki berat. Kata-kata Lastri dan raut wajah istriku berganti-ganti mengisi benakku, mengoyak-ngoyak harga diriku sebagai ayah dan suami.

Hingga saat itu mataku mendadak tertumbuk kepada dompet yang mengintip malu-malu dari tas perempuan di hadapanku dan bayangan baju baru buat Lastri langsung memenuhi pandanganku.

Puisi : Daftar Nama


Aku mengamati daftar
berisi nama-nama
yang sudah selesai kutata
berdasar inisial huruf di awalnya

Ada banyak nama
wajar saja aku sudah begitu jauh melanglang buana
ujung ke ujung di negeri antah barantah
meninggalkan jejak panjang di sana

Mereka semua yang tertera di sana
adalah orang-orang yang sangat istimewa
membawa warna-warni segala rupa
menghiasi duniaku menjadi begitu indah

Aku menggenggam pena
yang terindah dari semua yang kupunya
dan dengan lembut mengguratkan harap dan doa
teruntuk mereka yang ada di daftar nama

Tapi namamu tak ada di sana
bukan karena kau tak cukup istimewa
aku hanya merasa
kau terlalu indah disandingkan bersama-sama mereka
dan segala harap dan doa untukmu yang kupunya
tak cukup punya makna
jika hanya dengan guratan kata-kata
yang begitu indah namun terlalu biasa

Flash : Orok


Perempuan itu mengusap peluh yang mengembun di keningnya. Pasien terakhirnya baru saja berlalu. Dia lalu berbenah, membereskan ruang prakteknya sebelum menutup pintu tanpa jam kunjungan sudah usai. Setelahnya dia langsung ke ruang makan yang bersebelahan dengan dapur yang masih mengepul. Di meja makan sederhana dia melihat semangkuk sup yang masih beruap.

”Bentar lagi kelar, Bu.” kata putrinya yang masih sibuk di dapur. Dia mengangguk lalu menuangkan segelas air. ”Belakangan ini pasien makin rame.” sambung putrinya lagi.
”Iya. Semakin banyak yang ngerasa gampang. Kalo mau yah disimpen, kalo gak yah tinggal kemari. Dibuang.” sahutnya lebih mirip keluhan. Putrinya muncul tidak lama kemudian dengan sepinggan tumis.

Dia menciduk sup dengan perlahan. Gumpalan serupa daging itu mengingatkannya pada orok yang dia pijat keluarkan dari rahim pasien pertamanya hari ini. Orok yang masih berumur empat bulan.

Puisi : Kaset Rusak


Kau masih mencintaiku?

Kau bergeming, seolah pertanyaan itu bukan ditujukan buatmu
atau malah sama sekali tak tertangkap telingamu.
Aku tak bisa menyalahkanmu.
Mungkin kau sudah muak dengan pertanyaan yang itu-itu saja.
Pertanyaan yang begitu sering kuulang,
kutanyakan kepadamu
seperti kaset rusak
yang akan memutar bagian yang itu-itu saja.

Pertanyaan yang seringkali disusul
oleh kalimat dan kata-kata yang pecah seperti beling
menggelinding ke sekeliling.
Beling tajam yang dengan mudahnya
menyayat perasaan kita yang setipis kulit ari.
Mengucurkan luka,
menguarkan anyir darah
yang bebas mengudara
menyesakkan paru-paru kita.
Begitu seringnya adegan itu terekam di otakku
seperti kaset rusak,
mengulang adegan yang itu-itu saja.

Tapi aku merasa selalu butuh.
Kau tidak bisa menyalahkanku.
Meskipun memang sudah tidak terhitung berapa kali
kau mengulang-ulang jawaban yang sama,
dan aku akan acuh seolah deretan kata-kata itu
hanyalah bagian kaset rusak yang macet
sehingga mengulang yang itu-itu saja.

Padahal aku hanya sedang menanti saat itu
seperti pelangi yang muncul dengan anggun
setelah langit puas meraung.
Seperti kupu-kupu yang dengan hati-hati
menjejakkan kaki di bunga pertamanya,
menyesapi madu pertamanya dan terlena.
Seperti kecupan pertama kita
yang malu-malu layaknya perawan yang baru mengenal cinta.
Betapa ingin aku merekam adegan itu,
berharap kasetnya segera rusak dan macet
sehingga akan terus mengulang adegan yang itu-itu saja.

Kau masih mencintaiku?

Rabu, 15 Agustus 2012

Flash : Mimpi Buruk


Pintu kamar terpentang dan pemandangan itu pun langsung terpampang. Pemandangan yang hanya layak kusaksikan di dalam mimpi terburukku. Ranjang yang berantakan. Tubuh-tubuh telanjang serupa binatang birahi yang bergumul. Dua pasang mata yang keruh dengan keterkejutan dan rasa bersalah.

Ini pasti mimpi buruk. Jika aku menutup mata, maka semua ini akan berakhir. Aku akan terbangun dan keadaan baik-baik saja. Kata-kata itu yang terus kubisikkan keras-keras dalam hati sembari memejamkan kedua mataku kuat-kuat. Berharap pemandangan itu bukan hanya menghilang dari pandangan, melainkan juga dari ingatanku.

Benar saja.

Ketika aku kembali membuka mata. Pemandangan itu lenyap sudah. Tidak ada ranjang yang berantakan. Tidak ada pergumulan dan sorot mata itu. Kamarku kosong. Rapi seperti saat kutinggalkan tadi.

Ya. Tadi itu hanya mimpi buruk.

Aku menatap kamarku puas lalu dengan tenang melangkah keluar. Melewati lemari yang sebelah daun pintunya terbuka. Memandang puas tumpukan kardus yang rapi tersusun di dalam sana. Sepotong jari mengintip dari selanya. Aku segera merapikannya hingga tak terlihat lagi. Lalu menutup lemari.

Semua baik-baik saja.

Flash : Tinggal Pilih


”Wah, hebat juga situ bisa menyunting gadis muda seumur cucumu. Bukan mau ngiri, tapi yakin masih bisa muasin dia?” goda seorang laki-laki tua kepada sahabatnya ketika bertemu di lapangan sehabis senam rematik.
”Ah itu gampang... Dia tinggal milih...” sahut sahabatnya setengah terengah.

”Haha... Milih pake jari yang mana?”
Dijawab dengan gelengan. ”Pegel, tau...”

”Wah situ pake obat kuat?”
Lagi-lagi dijawab dengan gelengan. ”Bahaya...”

”Pake mainan? Katanya bisa puas.” Laki-laki itu semakin penasaran.
Dengan teguh sahabatnya masih menggeleng.  ”Aneh-aneh gitu?”

”Lah trus dia milih apa?” Laki-laki itu akhirnya menyerah.
”Pilih puas atau tewas.” sahut sahabatnya lalu ngeloyor pergi.

Cerpen : Menghilang


Malam sudah akan meninggalkan panggung ketika bunyi-bunyi yang mendadak merasuk lewat telinga memaksaku membuka mata. Langkah-langkah kaki yang ketukannya sudah kukenal berjalan hilir mudik sebelum akhirnya pintu kamar terayun perlahan. Aku bisa membayangkan dia membukanya dengan begitu hati-hati, setengah berjingkat karena tidak ingin membangunkanku.

Aku yang berbaring menyamping membelakangi pintu tidak bergerak, seolah begitu dalam terlelap menjelajah dunia mimpi. Padahal mata dan telingaku sudah begitu awas sekarang. Derit pelan pintu lemari yang terbuka lalu suara kasak-kusuk singkat sebelum pintu kembali ditutup. Aku seolah bisa melihatnya sedang meraih piyama lalu berganti pakaian.

Mataku akhirnya kembali terpejam ketika sisi di sebelahku berdenyut perlahan. Meskipun pikiranku tetap terjaga menyaksikan semua dalam diam.

***
”Dan kamu hanya diam?” Ratri menatapku lekat seolah aku sudah tidak waras setelah aku menceritakan semuanya. Tatapan yang langsung membuatku menyesal sudah memulai perbincangan ini.
”Dia memang bilang pekerjaannya sangat sibuk belakangan ini.”
”Dan kamu percaya sepenuhnya?” Sekarang tatapannya seolah menanyakan kadar kecerdasanku. Terlebih lagi setelah aku mengangguk.

”Aku percaya. Lagipula setelah begitu lama hubungan kami teruji, apa alasanku untuk tidak percaya padanya?” Ratri menghela napas lalu menyeruput jusnya seolah dengan begitu kekesalannya akan mereda.
”Memang kalian sudah lama bersama, tapi itu bukan jadi alasanmu untuk terus saja mempercayainya bulat-bulat. Kamu tidak boleh pasrah ditumpulkan perasaan yang salah terhadapnya. Mempertanyakan bukan berarti tidak percaya, tapi menunjukkan perasaanmu kepadanya masih kuat dan tajam.” Aku terdiam.

”Setelah sekian lama bersama, pernah gak kamu mempertanyakan seberapa dalam cintanya sekarang kepadamu? Dengan segala tingkah yang penuh rahasia itu harusnya matamu segera terbuka.” tandasnya.

Mungkin Ratri ada benarnya. Aku tidak seharusnya bersikap acuh dan tumpul. Aku harus menunjukkan kepada Egi bahwa perasaanku masih tajam dan bisa merasakan setiap rasanya. Rasa yang mungkin sudah tidak sama lagi. Tapi mungkinkah begitu? Mungkinkah Egi akan seperti yang lain? Mungkinkah dia membohongiku?

Malam ini dia kembali harus tinggal lebih lama di kantor dan aku lagi-lagi hanya bisa makan sendirian di tengah hening yang perlahan semakin kuat. Membuatku tuli dan tumpul. Membuat relungku berdenyar aneh. Denyar aneh yang mengalirkan ribuan pertanyaan di benakku. Pertanyaan yang entah muncul dari mana, membuatku kesal sendiri karena mereka semua seolah melawanku. Begitu sengit sehingga rasanya tubuhku terbelah. Pertanyaan yang meruntuhkan benteng keyakinanku sedikit demi sedikit.

Sehabis makan aku meringkuk di depan televisi yang menyala, namun tidak benar-benar kutonton karena pikiranku mengembara. Berpencar seperti akar pohon yang mencuat liar ke segala penjuru.

Bayangan itu memenuhi benakku. Saat pertama kali kami memutuskan untuk saling mengikatkan diri. Kami masih sangat muda dan mabuk cinta yang efeknya bukan hanya membutakan, namun juga menulikan. Tidak ada yang mampu kulihat selain dirinya dan kata-kata orang tentangnya tidak ada bedanya dengan desau angin. Dan aku merasakan hal yang sama di dirinya.

Kami masih muda dengan benak yang penuh cita-cita hanya untuk berdua. Betapa banyak mimpi dan harapan di depan mata. Menunggu dengan tabah untuk dijamah. Tak peduli dengan tantangan yang ada. Semua diterabas habis dengan gagah. Bahkan ketika ragu mulai mengisiku, Egi seperti ksatria dengan pedang terhunus yang memusnahkan semuanya.

Ketika harus merintis hidup yang jauh dari dunia di luar sana. Tak ada yang kami punya. Hanya dua pasang tangan yang berisi pendar cita-cita dan cinta. Pendar yang sudah cukup untuk menerangi jalan setapak kami yang sunyi. Jalan setapak yang jauh meninggalkan keramaian menuju dunia sunyi yang enggan diraba. Kesunyian yang tak pernah kurasa karena di sisiku selalu ada dia. Egi, ksatriaku.

Ksatria yang selalu setia menjagaku. Memastikan tiada satu pun yang akan melukai dan menyakitiku. Memastikan kehangatan tetap tersedia agar pendarku selalu terjaga. Memastikan matahari tetap tersenyum di wajahku. Egi melakukan segala yang dia bisa untuk menjaga semua.

Dan sekarang di sini aku diam-diam malah mempertanyakan kesungguhannya?
Betapa bodohnya!

***
”Aku mencintaimu.” bisikku ke telinganya saat kami masih bergelung berdua di suatu pagi yang malas. Tak peduli pada teriakan matahari yang sudah semakin kokoh di singgasananya. Kami seolah sama-sama tidak ingin beranjak karena dengan begitu kulit-kulit kami akan terpisah menjauh. Kulit yang menempel erat lekat oleh keringat yang hangat.
Dia hanya menjawab dengan ciuman di bibirku. Menarikku lebih dekat kepadanya. Mengacuhkan cemburu yang terpancar jelas di raut matahari yang hanya bisa menahan rindu bergolak pada rembulan yang tak akan kunjung tuntas.

Kami hanya dua manusia yang sedang dimabuk cinta yang penuh asa. Dengan mata terpejam menikmati segala sentuhan dan rasa. Menghayatinya begitu dalam merasuk sukma.

Walau ketika mata akhirnya terbuka, tidak ada dia di sana.
Hanya aku sendiri terengah.
Di tengah kesendirian yang begitu kejam menyayat luka.

***
”Aku merindukanmu, Gi...”
Aku bisa mendengar napasnya tertahan di ujung sana. Tapi aku sudah tidak tahan. Kesendirian ini sudah begitu menyiksa.

”Kapan terakhir kali kita benar-benar bersama? Belakangan ini hampir tak pernah. Aku benar-benar merindukanmu. Aku tidak siap kehilangan...”
”Kamu ngomong apa sih? Aku masih di sini, Fanny.” sergahmu.
”Kamu memang masih ada, tapi aku tidak bisa merasakanmu...” kataku setengah ngotot. Bayangan diriku yang terengah sendirian, padahal aku masih memilikinya terasa begitu menyesakkan sekarang.
”Kamu tahu aku tidak bisa...”
”Kamu masih mencintaiku, Gi?”

Betapa perih dadaku ketika harus mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang begitu tabu bagiku yang selama ini sudah sangat yakin dengan cintanya padaku. Kata-kata yang harusnya tak perlu kuucapkan karena aku bisa langsung membaca jawaban yang terpancar jelas di sekelilingnya.

”Kenapa kamu tanyakan itu? Apakah harus...”
”Karena aku tidak bisa membacamu lagi...”

Bersamaan dengan itu air mataku meluncur. Aku tidak menunggu jawabannya. Langsung mengakhiri semuanya. Entah kenapa aku merasa tidak cukup kuat dengan jawaban yang mungkin sudah menggantung di ujung bibirnya di sana.

Aku menyerah pada tangis yang sekarang tertawa penuh kemenangan setelah sekian lama menanti-nanti saat ini. Aku pasrah diombang-ambingkan pada perasaan yang membuncah namun bukan berisi cinta. Hanya perih dan nestapa yang menguar di sana. Rasa sesal dan kecewa menyatu campur aduk.

Tapi dia tidak muncul. Egi-ku.

***
Sejak itu kami jadi semakin jauh. Aku memilih diam dan dia terlalu keras kepala untuk mendekat. Sosoknya sekarang hanya berupa bayangan samar di mataku yang suatu ketika akan benar-benar menghilang tak berbekas serupa kabut.

Aku menahan keinginan untuk menceritakan semua ini kepada Ratri, tidak sanggup menerima komentarnya yang pedas. Tidak siap dihakimi lagi olehnya. Aku tahu apa yang akan dia katakan jika tahu situasi kami sekarang. Dan aku tidak ingin mendengarkan sarannya sekarang. Aku masih terlalu mencintai Egi dan tak sanggup berpikir untuk melepasnya.

Maka siang ini aku langsung menuju ke kantornya tanpa lebih dulu memberitahunya. Ketika tiba, ternyata dia tidak ada di tempat. Aku pun menunggu di ruangannya yang nyaman. Sudah sangat lama aku tidak berkunjung ke tempat ini. Mengamati seisinya yang sudah jauh berubah. Dindingnya yang semula berwarna putih sekarang berwarna jingga. Bukan warna kesukaanku, tapi tidak mengapa. Sofanya juga sudah berganti. Rak bukunya juga sudah penuh. Untuk sesaat aku merasa asing.

Aku menghampiri meja kerjanya. Jantungku mencelos ketika tidak menemukan foto kami yang dulu kuingat bertengger manis di sana. Bingkai yang bertengger masih sama, tapi foto yang mengisinya sudah berbeda. Dengan tangan gemetar aku meraihnya. Mengeluarkan foto itu dari sana lalu menyimpannya di dalam tas lalu langsung bergegas pulang.

Dan saat itu tatapan mata Ratri membayangiku. Menghakimiku. Aku yang tumpul. Aku yang terlalu naif. Semua beradu, bergumul di benakku menciptakan percik membara.

Seperti badai, dia muncul sesaat kemudian.

”Hari ini kamu pulang lebih awal?” tanyaku sinis. Sekarang dia duduk di hadapanku.
”Fanny, aku bisa menjelaskan semua.”
”Menjelaskan tentang apa? Apalagi yang harus kudengar?”
”Semua tidak seperti yang kau pikirkan. Aku...”
”Tidak usah menjelaskan apa-apa lagi. Aku yang terlalu bodoh dan lamban untuk menyadari semuanya sebelum terlambat.”
”Masih belum terlambat.” Aku menatapnya. Sudah sejauh ini dan dia masih bilang belum terlambat?

”Kau bukan Egi-ku.”
”Fanny, aku...” Dia terbata. Aku hanya menggeleng.
”Seharusnya aku sadar saat kau tak lagi terbaca olehku. Kau bukan Egi-ku. Kau orang lain. Egi tidak akan melakukan ini padaku. Kau bukan dia!” Tangannya terulur ingin meraihku, tapi langsung kutepis.

Ya, aku bisa menduga bagaimana semuanya terjadi. Tentang wasiat orang tuanya, perjodohan dan pernikahannya dengan laki-laki itu, hingga kehadiran buah hati yang semuanya dengan begitu lihai dia sembunyikan dariku selama ini. Rahim siapa yang dia pinjam untuk menyembunyikan kenyataan itu dariku? Dia memang sangat beruntung memiliki aku yang begitu tolol sehingga akan menerima apa pun darinya bulat-bulat.

”Aku mencintai kamu, Fan. Aku...”
”Jangan berpikir untuk meninggalkan mereka. Jika kamu memang mencintaiku, maka aku bukanlah orang terakhir yang boleh tahu kebenaran ini. Jika kamu memang mencintaiku, maka kamu akan mempercayakan beban itu ke pundakku juga.”

Dia diam. Terhenyak.
”Pulanglah. Rumahmu bukan di sini.” kataku dalam ketenangan yang menakjubkan. Dia hanya membisu, tak bergerak. ”Anak itu lebih butuh kamu. Aku akan baik-baik saja.” imbuhku lagi. Tanganku terulur menyerahkan foto itu kepadanya. Dia menerimanya ragu-ragu.

Setelahnya aku memalingkan muka. Tidak ingin tatapannya mengubah keputusanku. Ini yang terbaik buat kami. Dia kembali kepada keluarga kecilnya dan berbahagia bersama mereka, tanpa aku. Entah sejak kapan.

”Aku akan kembali, Fan...” ujarnya sebelum berlalu di balik pintu yang menutup. Aku hanya tersenyum getir. Setelahnya aku bangkit dengan sisa-sisa tenagaku masuk ke kamar. Mengamati koper yang sudah tersusun rapi.

Aku hanya ingin menghilang.
Menyusul ksatria yang sudah mendahuluiku.

Puisi : Patah


Patah
tulangku
ketika beban hidup tak bernama
enggan lalu dari pundakku

Patah
semangatku
ketika gumpalan gelisah
berhasil merajai relungku

Patah
tekadku
ketika ragu berbuah resah
meracuni segenap pembuluhku

Patah
hidupku
ketika segala harap dan pinta
tak berbentuk serupa kabut di mataku

Patah
hatiku
ketika kau dengan gagah
tetap memilih dia bukannya aku

Selasa, 14 Agustus 2012

Flash : Buy One Get One FREE


Aku memandangi istriku yang sudah terlelap sedari tadi. Cahaya purnama yang menerobos sela-sela tirai membelai wajahnya yang damai. Dengan hati-hati aku menarik selimut menutupi tubuhnya.

Rasanya seperti mimpi aku akhirnya bisa menikah dengannya. Gadis idola di kampusku yang dalam keadaan normal tidak mungkin bersedia kunikahi. Tapi siapa yang peduli? Yang penting sekarang kami sudah sah menjadi suami istri. Biarlah pandangan heran dan sinis itu berlalu di belakang.

Mataku tertumbuk ke perutnya yang membuncit. Membayangkan seperti apa rautnya kelak. Semoga dia mirip dengan istriku yang jelita. Aku tidak akan sanggup jika jabang itu memilih mewarisi raut ayahnya. 

Yang bukan aku.

Puisi : Ruang Hampa


Ada ruang hampa
Membentang, menganga serupa jurang
ketika yang tertangkap mata
hanya punggung keras serupa benteng menjulang

Ada ruang hampa
membentang serupa selat yang memisah
ketika segala ucap dan kata
yang dilontarkan begitu keras hanya terngiang berupa desah

Ada ruang hampa
terpisah jauh seperti serat putus
ketika insting yang sebelumnya begitu mudah menangkap rasa
mendadak buntu, tumpul terancam aus

Ada ruang hampa
di setiap jeda runtut kata yang terhenti
ketika udara yang semula riuh penuh nyawa
sekarang terengah-engah pasrah menanti

Ada ruang hampa
di setiap jeda napas yang dihela
yang entah kenapa sekarang begitu berat terasa
menyisakan benang tipis nyaris putus bernama asa

Ada ruang hampa
ketika setiap kata
dan rasa
tak lagi bisa diterjemah

Flash : Panggung Sang Primadona


Lampu sudah padam, menyisakan panggung temaram. Ruangan yang beberapa saat yang lalu riuh penuh gemerlap sekarang terlihat suram. Tidak ada lagi suara aplaus dan sorak sorai penonton. Yang tersisa sekarang hanya keheningan.

Aku baru saja menaikkan sebuah bangku ke meja, ketika kau muncul di panggung. Aku pun menghentikan aktivitasku, duduk di sebuah kursi yang dingin lama ditinggalkan. Dengan dada membuncah bersiap-siap menonton pertunjukan di panggung. Lenganmu yang gemulai terulur meraih mikrofon dan panggung yang semula temaram langsung berpendar. Bukan karena lampu sorot gemerlap aneka warna menyala. Tubuhmu yang berpendar lembut terbalut gaun merah marun yang anggun membuat panggung itu terlihat hidup.

Mataku tidak berkedip. Tidak rela melepas saat-saat ketika kau mulai mengalunkan suara emasmu. Suara yang begitu bening seolah nyanyian dari surga. Suara yang mampu membuat kuduk merinding dan terpana tanpa sanggup bergerak seinci pun. Suara yang membuatku menahan napas seolah takut jika melepasnya maka semua akan usai. Suara yang selalu menjebol benteng pertahananku, menyerah pada desakan air mata penuh haru.

Kau tetap Sang Primadona.
dan panggung itu, tetaplah milikmu.
hanya kau yang pantas bersanding di sana
tiada sosok yang sanggup menggantikanmu

Sorak sorai dan tepuk tangan yang ditujukan buat mereka di telingaku tidak lebih dari kekaguman palsu. Karena tetap kaulah Sang Primadona yang sejati. Sang Primadona yang meski mungkin sudah dilupakan, tapi tidak pernah beranjak dari ingatanku. Terkunci rapi dan abadi di sudutnya yang terdalam.

Kau tetap Sang Primadona.
dan panggung itu, memang milikmu
seberapa banyak rasa iri yang mendera
mereka bahkan tidak cukup layak bersanding bersamamu

Tidak ada yang tahu. Atau mereka hanya terlalu sibuk untuk peduli. Tapi aku tahu, air mata yang beberapa kali harus tumpah dari matamu yang indah. Air mata pedih yang mungkin bagi mereka hanyalah sandiwara andalan Sang Primadona. Tapi aku tahu, kau tidak sedang bersandiwara. Rasa pedih itu nyata.

Kau tetap Sang Primadona.
dan panggung itu, masih milikmu.
dengan sepasang sayap serupa bidadari merentang indah
yang akhirnya harus patah oleh dengki dan cemburu

Lagumu usai sudah. Dengan anggun kau membungkuk dan aku langsung bertepuk tangan. Air mata sekarang membanjiri kedua belah pipiku. Kau tersenyum. Mengangguk. Melempar ciuman jarak jauh buatku. Kebiasaanmu yang sangat kuingat. Bahkan di hari terakhirmu bersanding di panggung itu, sebelum lampu-lampu raksasa yang berpijar panas mendadak rubuh menghujani tubuhmu.

Kau tetap Sang Primadona.
dan panggung itu, selamanya akan jadi milikmu.