Senin, 18 Februari 2013

Cerpen: Sepatu Baru Dahlan


“COPEETTT…!!! COPEEETTT…!!!”

Teriakan nyaring itu langsung membuyarkan lamunanku. Tubuhku refleks langsung bergerak saat mataku menangkap sosoknya. Seorang laki-laki yang tergesa-gesa di antara pengunjung pasar yang padat. Bersama-sama dengan beberapa laki-laki lain kami pun segera mengejar pelaku yang tidak bisa melarikan diri lebih jauh. Terjebak keramaian pasar.

Laki-laki itu terlihat bingung ketika kami menyergapnya dan langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi. Bukan hanya meninju dan menendangnya, kami bahkan juga menghantamkan beberapa balok yang berserakan tidak jauh dari tempat kami menyergapnya sembari memaki-maki, tak peduli dengan bantahan dan permohonan ampunnya.

Tidak lama kemudian perempuan yang tadi meneriakkan sirine itu pun muncul terengah-engah dan kami memberinya jalan menghampiri tubuh yang sudah tergolek lemah. Darah segar menutupi wajahnya.

“Bukan… Bukan dia…” ujarnya terisak.

Lagi-lagi seperti dikomando, beberapa laki-laki yang tadi ikut berjibaku menghajar ‘copet’ itu langsung menghilang. Tinggal aku sendiri yang masih berdiri di dekatnya, menyaksikan napasnya yang tersengal. Tangannya mendadak bergerak, melambai seolah memanggilku. Dalam lautan rasa bersalah dan ketakutan aku menghampirinya. Mulutnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu yang tidak sampai ke telingaku. Aku segera mendekatkan telinga untuk menangkap kata-katanya.

“Dahlan… Dahlan…”

Sesaat kemudian dia seperti terkena cegukan, lalu terbujur. Diam. Bersamaan dengan munculnya dua orang petugas yang tanpa kesulitan berarti mengamankanku.

***
Aku lagi-lagi berdiri di sini. Di depan rumah sederhana yang tidak terurus. Maklumlah, pemiliknya tidak akan pernah pulang kembali ke rumah ini.

Sudah tiga bulan berlalu sejak kejadian itu dan aku baru dibebaskan dari tahanan. Hukuman yang rasanya kurang layak kuterima mengingat perbuatanku yang seenaknya mencabut kehidupan seseorang. Tanpa belas kasihan. Berbuah sesal.

Selama di dalam tahanan aku sudah berjanji dalam hati untuk menunaikan wasiat terakhir laki-laki itu. Wasiat yang diucapkan dengan susah payah ketika nyawanya akan tercerabut dari raganya. Wasiat yang aku sendiri bahkan tidak mengerti maksudnya, selain sebuah nama. Dahlan.

Siapa Dahlan?

Laki-laki itu bernama Aris dan dia belum menikah. Lalu siapa Dahlan? Keluarganya yang lain? Aku sudah bertanya ke semua tetangganya dan mereka tidak pernah tahu tentang kerabatnya yang bernama Dahlan. Mereka hanya tahu laki-laki itu adalah seorang perantau yang bekerja serabutan, namun mereka juga tidak tahu dari mana dia berasal.

Buntu.

“Kamu teman Aris?”

Ini adalah kunjunganku yang kesekian kalinya dan baru kali ini aku bertemu dengannya. Perempuan bermata tajam dengan raut wajah serius. Rambutnya yang kecoklatan diikat ekor kuda, memamerkan lehernya yang jenjang. Kulitnya yang kecoklatan membuatnya terlihat makin berkilau diterpa cahaya matahari.

“Kamu teman Aris?!” ulangnya membuatku gelagapan.
“Eh, iya. Kenalannya…” sahutku cepat.
“Kalau begitu kamu pasti tahu dia… Sudah meninggal?” tanyanya lagi dengan sebelah alir terangkat. Menyelidik. Curiga.
“Aku tahu…” Aku menelan ludah ketika kalimat itu meluncur mulus dari sela bibirku. Aku yang telah membunuhnya, hampir saja kutambahkan kalimat itu.
“Lalu kenapa kamu masih ke rumahnya?!” Apakah memang sudah menjadi gayanya bertanya seperti petugas yang menginterogasiku selama 48 jam nonstop?
“Demi wasiatnya…”
“Wasiat? Jadi kamu… Bersamanya di saat-saat terakhirnya?!”
Aku mengangguk lemah. Kepalaku mendadak jadi terlalu berat untuk ditopang leherku. Hanya menekuri tanah di hadapanku.
“A… Apa wasiatnya?” Ada getaran di suaranya, pertanda tangis yang semakin dekat menghampiri. Dengan susah payah aku mengangkat wajahku. Tatapan kami bertemu. Aku menghela napas, berharap gumpalan di dadaku mengempis.
“Dahlan…” sahutku. Tercekat.

***
Namanya Juwita. Nama yang sangat pas menggambarkan sosoknya. Dia adalah salah seorang pelanggan setia bakso dagangan Aris. Hampir setiap ada kesempatan dia akan nongkrong di warung bakso, meski hanya untuk sekedar membantu melayani pelanggan lainnya.

Juwita adalah gadis seperti mahasiswi kebanyakan, namun entah kenapa dia bisa tertarik pada sosok Aris. Di matanya Aris adalah sosok laki-laki yang punya tekad dan cita-cita, serta tidak setengah-setengah menjalaninya. Meskipun dia hanya seorang pemuda miskin dari kampung, entah kenapa Juwita selalu merasa tersihir dengan pandangan hidupnya yang tidak neko-neko. Jujur. Lurus. Apa adanya.

Tanpa perlu dia jelaskan secara gamblang, aku tahu perasaan yang terjalin di antara mereka. Aris seperti dunia baru dan asing bagi Juwita yang selama ini lebih banyak dimanjakan oleh fasilitas dunia yang mapan. Aris adalah sosok idealis yang mungkin sudah terlalu lama raib ditelan paham yang dianut kaum realistis.

Bersama Aris juga dia mengenal kehidupan kaum papa yang selama ini selalu terpinggirkan. Tentang anak-anak yang harus berakhir kehidupannya tanpa sempat mengenyam mimpi yang tidak jarang terlalu remeh bagi mata orang kebanyakan.

Juwita yang mempertemukanku dengan Dahlan. Seorang anak yang divonis menderita kanker tulang stadium akhir sehingga bulan lalu sepasang kakinya harus diamputasi demi menyelamatkan nyawanya. Dahlan yang begitu mengidolakan Aris yang serupa malaikat utusan Tuhan di matanya. Aris yang kerap menemaninya agar tidak perlu menahan sakit sendirian. Aris yang menyayanginya dengan tulus seperti kakak yang tidak pernah dia miliki.
Dahlan yang… Tidak tahu bahwa malaikat penolongnya itu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Karenaku.

“Tiga bulan yang lalu Dahlan ultah, Oom…” katanya sembari dengan lancar menyebutkan tanggal ulang tahunnya. Jantungku bagaikan diremas mengingat hari itu. Suatu hari yang tidak akan pernah bisa kuenyahkan dari dalam benakku. Mungkin untuk selamanya. “Kak Aris janji datang, tapi sampai sekarang dia nggak muncul.” sambungnya setengah merajuk. Juwita melirikku, seolah memberi tanda agar aku menjaga ucapanku.
“Mungkin Kak Aris lagi sibuk?” ujar Juwita menengahi.
Aku ikut mengangguk mengiyakan.
“Tapi biasanya meski abis lembur bikin bakso, Kak Aris akan tetap datang!” sambungnya lagi. Kali ini kekesalan terpancar di rautnya yang pucat.
“Tapi Dahlan senang kan bisa ngerayain ultah bareng temen-temen?” Juwita rupanya masih belum mau menyerah membujuk.
“Tapi Kak Aris udah janji. Dia janji mau ngasih hadiah istimewa buat Dahlan.” Matanya mulai berkaca-kaca. Sekujur tubuhku akan segera meledak menjadi serpihan. Berisi penyesalan dan dosa.
“Emangnya Kak Aris janji mau ngasih hadiah apa?” tanyaku sembari menabahkan hati. Sepasang mata beningnya menatapku, seperti teropong yang bisa menatap jauh ke dalam sukmaku.
“Sepatu baru… Dia juga janji mau ngajakin Dahlan jalan-jalan, Oom…”

Andaikan saja sekarang nyawaku dicabut untuk ditukarkan denggan kehidupan Aris, aku akan rela. Aku yang tidak layak hidup lebih lama setelah dengan tega merenggut satu-satunya impian Dahlan di hari ulang tahunnya.

***
Aku melingkari tanggal di kalender. Lusa adalah ulang tahun Dahlan. Ulang tahun yang untuk pertama kalinya dia rayakan denganku, yang lambat laun bisa dia terima sebagai pengganti Aris di sisinya. Satu-satunya hal yang mungkin paling layak kulakukan setelah semua perbuatanku.

Meskipun Juwita tidak akan pernah memaafkanku. Mungkin selamanya.

Aku memang akhirnya mengakui semua kepada perempuan itu. Aku tidak menyalahkan dirinya yang mungkin akan membenciku selamanya sebagai orang yang bertanggung jawab untuk kehilangan Dahlan. Aku juga tidak berharap semua yang kulakukan untuk mereka selama ini akan dapat menghapus semua luka yang sudah kutorehkan.

Tidak ada penjara yang lebih kejam dan menyakitkan daripada rasa bersalah.

Dan selama ini aku sudah cukup menderita berdiam di dalamnya.

Jika aku memang masih punya kesempatan untuk menebusnya di kehidupanku yang sekarang, maka tidak akan ada sedetik pun yang akan aku lewati sia-sia. Itu adalah janji mati yang kubuat sendiri untukku dan Aris di alam sana.

Siang ini sesuai rencana aku pun tiba di rumah Dahlan yang sudah ramai dengan para undangan dan tentu saja Juwita, yang langsung menatapku tajam ketika aku berjalan melewati gerbang. Dahlan terlihat sumringah di kursi rodanya dan langsung mengulurkan tangannya menyambutku. Aku mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya dan acara pun dimulai. Air mataku menitik kala mengingat harusnya tiga tahun yang lalu Aris berada di sini, ikut bertepuk tangan sembari bersama-sama menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ untuknya.

Dahlan memejamkan mata, berdoa dalam hati sebelum meniup seluruh lilin yang menyala. Memotong kue yang dipersembahkannya untuk Juwita dan aku. Lalu setelahnya memulai sesi pembukaan kado dari para undangan. Matanya berbinar ketika melihat baju yang diberikan Juwita dan langsung mengenakannya.

“Oom, kadonya mana?” tagihnya. Bersamaan dengan itu ponselku berdering. Aku menatap nama yang terpampang di layar lalu tersenyum. Sudah waktunya.
“Ada dong. Kado paling istimewa. Tapi nggak bisa dibawa ke dalam sini. Kegedean. Dahlan harus ikut ke depan gerbang. Tapi matanya ditutup yah?”

Matanya yang bening memancarkan rasa penasarannya, demikian juga Juwita  yang meski terlihat acuh namun ikut penasaran. Sembari disemangati anak-anak lain, aku pun mendorong kursi rodanya menyusuri jalan setapak hingga tiba di gerbang. Di sana sebuah mobil box berwarna putih sudah menunggu dengan gerobak terbuka.

Melihat kemunculan kami, beberapa orang pria pun segera keluar dan menghampiri. Dahlan yang matanya tertutup terlihat bingung ketika mereka dengan hati-hati mengangkat tubuhnya ke mobil. Dan dengan disaksikan semuanya, mereka pun memasangkan sepasang kaki palsu ke kaki Dahlan.

Dahlan terdiam. Tubuhnya seolah membeku ketika dengan perlahan mereka melepas penutup matanya. Salah seorang petugas membantunya berdiri dan membimbingnya yang berjalan tertatih-tatih menghampiriku dengan wajah bersimbah air mata. Kami berpelukan.

“Makasih, Oom… Dahlan jadi punya sepatu baru!” serunya di antara isak tangis. Aku memeluknya lebih erat.

Seseorang menyentuh pundakku. Aku mendongak. Juwita menatapku. Tidak ada lagi amarah di sana. Di belakangnya aku melihat sosok itu. Ikut tersenyum sebelum lenyap tersapu angin. Aris.

Rabu, 06 Februari 2013

Cerpen : Gethuk



Tidak seperti biasanya aku menemani Bi Inah berbelanja ke pasar tradisional yang tidak terlalu jauh letaknya dari rumahku. Tapi daripada menganggur di rumah, lebih baik aku keluar dan menikmati petualangan kecil di pasar yang nyaris tidak pernah kumasuki. Pasar yang suasananya begitu asing denganku yang selama ini sudah terlalu dimanjakan oleh fasilitas berbelanja yang nyaman di pusat-pusat perbelanjaan modern yang mentereng.

“Bu, kita nggak sekalian beli camilan?” tegur Bi Inah tiba-tiba setelah kami selesai membeli semua keperluan.
“Camilan? Camilan apa, Bi?”
“Tuh ada gethuk.” tunjuknya ke salah satu etalase pedagang yang menjual aneka penganan tradisional. “Gethuknya enak lho, Bu! Jarang lagi nemunya.” sambungnya lagi setengah berpromosi. Dia pasti sangat kepingin.
“Ya udah. Beli ajah…” ujarku akhirnya.
“Iya. Cocok buat teman minum teh sore-sore.” katanya lagi sebelum bergegas menghampiri pedagang itu. Aku hanya mengamatinya dari tempatku berdiri. Pandanganku kabur oleh kelebatan bayangan lain yang bergerak semakin lambat dan jelas. Detik demi detik.

***
Aku baru pulang sekolah ketika melihat Ibu sedang sibuk mengupas setumpuk singkong. Aku langsung menghampirinya. Rasanya selalu asik membayangkan penganan apa lagi yang akan dibuat Ibu sore itu.

“Mau dibikin apa, Bu?” sapaku setelah nongkrong di depannya, sembari mengumpulkan sampah kulit singkong yang agak terpisah.
“Gethuk.” sahutnya sembari melirik sekilas. Dia pasti hanya ingin memastikan binar-binar itu berloncatan dari mataku. Buktinya sekarang senyum tersungging di bibirnya.

Aku sama seperti Ayah. Kami sangat menyukai gethuk. Aku akan selalu meminta Ibu mengolah singkong yang tersedia untuk menjadi gethuk. Aku bahkan bersedia ikut berjibaku membantu proses pengolahannya. Membersihkan singkong lalu merebusnya, dilanjutkan dengan menumbuknya bersama-sama dengan irisan gula aren yang sesekali kucomot dan kuhisap seperti permen.

Hidungku sangat hapal dengan harumnya asap singkong yang menguap saat ditumbuk hingga halus dan bercampur rata dengan gula aren berubah menjadi gethuk. Gethuk yang masih hangat. Tetap enak dengan atau tanpa baluran kelapa parut.

Membayangkannya selalu berhasil membuat liurku menitik.

Kehidupan keluargaku yang sederhana plus banyak anak memang memaksa Ibu menjadi lebih kreatif untuk membuatkan aneka penganan pengganti jajanan yang harus dibeli dengan uang yang sudah tentu tidak termasuk di dalam anggaran belanjanya. Cukup dengan membeli singkong yang murah dari kebun tetangga, selanjutnya kami bisa menikmati penganan yang tak kalah enak dari jajanan luar.

Hampir setiap hari selalu ada singkong di rumah kami. Bahkan suatu waktu Ibu memutuskan untuk menanam singkong, meski hanya di sebidang tanah sempit di samping rumah. Setidaknya bisa menghemat daripada harus terus-terusan membeli. Jadi kami tidak takut kehabisan persediaan singkong yang sewaktu-waktu akan berubah menjadi aneka penganan buat kami dan sebagai penuntas lapar ketika beras di rumah kebetulan habis yang belakangan semakin sering terjadi. Sejak Ayah mulai jarang pulang karena terlalu sibuk mengurusi keluarga barunya di sana.

Betapa ingin aku mengeluh ketika hanya menemukan setumpuk singkong rebus di balik tudung saji ditemani lauk seadanya. Betapa ingin aku memberontak, tidak ingin memakannya meski akhirnya selalu dikalahkan oleh raungan perutku yang keroncongan. Betapa ingin aku berteriak kepada Ibu bahwa meskipun aku sangat menyukai gethuk yang terbuat dari singkong, tapi aku tidak rela jika singkong yang menjadi raja di meja makan kami, menggantikan posisi nasi yang pulen.

Tapi bibirku hanya terkunci. Tidak ada keluhan dan kekesalan ketika setelahnya singkong dengan sangat sukses merajai meja makan kami. Membuatku mual setiap kali membayangkan akan melihat tumpukan yang sama lagi hari ini dan hari-hari selanjutnya. Membuatku menyesal karena telah begitu memuja gethuk.

Suatu ketika sepulang sekolah aku kembali melihat Ibu mengupas setumpuk singkong. Aku hanya berdiri di tempatku mengawasinya dengan curiga.
“Ibu akan bikin gethuk.” ujarnya tanpa kutanya.

Aku hanya diam. Tidak ikut menyibukkan diri membantunya mengolah singkong itu menjadi penganan yang pernah begitu kupuja. Dia juga tidak meminta bantuanku. Dia pasti telah menangkap kemarahan kami semua karena sudah letih dengan keberadaan singkong di rumah kami.

Aku masih mengawasinya merapikan tempat mengupas kulit singkong tadi, merebus singkong, kemudian menumbuknya dengan sabar hingga gethuk pun menampakkan wujudnya. Tapi aku hanya bergeming di tempatku. Gethuk yang sekian lama menjadi primadona di hatiku sekarang tidak lebih baik dari onggokan singkong rebus yang selalu membuat perutku mual.

Cintaku pada gethuk sudah terkikis. Habis.

Tidak ada yang menyentuh gethuk itu. Hanya Ibu yang memakannya seiris lalu gethuk itu dibiarkan begitu saja di meja, hingga dingin. Gethuk dingin yang akhirnya dihibahkan kepada tetangga yang menyambutnya dengan sukacita. Biarlah. Meskipun itu adalah kali terakhir aku melihat sosok gethuk di rumah kami. Aku tidak akan merindukannya. Semua sudah usai. Seperti sosok Ayah yang perlahan tapi pasti mulai samar sebelum akhirnya menguap. Hilang.

Kami tidak pernah membahas tentang gethuk lagi. Meskipun ketika nasi berhasil mengambil alih kembali tempatnya yang terhormat di meja makan. Satu per satu kakak-kakakku menikah dan seperti kebanyakan anak perempuan yang tetap peduli dengan keluarganya, maka kehidupan kami pun sedikit terbantu.

Namun gethuk tetaplah menjadi hal yang sangat tabu untuk dibicarakan.

Hingga hari itu ketika kami mendapat kabar Ayah kami sedang sakit keras dan di waktu-waktu terakhirnya dia sangat ingin bertemu dengan kami semua, termasuk perempuan yang sudah ditinggalkannya. Ibu tidak mengatakan apa-apa. Hanya berjalan pelan ke dapur menghampiri suatu tempat di pojok, tempat dia menyimpan alat penumbuk singkong.

Dia berjalan ke samping rumah, mencabut sebatang pohon singkong dan dalam hening dia mulai mengupasnya. Satu per satu. Tanpa perlu dia beritahu, kami tahu apa yang akan dia buat.

Gethuk.

Penganan yang belakangan ini begitu kubenci, namun ternyata sangat dinanti oleh Ayah yang sudah mendekati ajal.“Ini gethuk yang paling enak…” ujar Ayah kala itu.

Mata tuanya berkaca-kaca. Mereka bertatapan. Setelah sekian lama. Tidak ada kata-kata yang terucap, namun aku bisa merasakan jalinan halus yang menghubungkan mereka, berisi kata-kata yang sudah sekian lama menunggu untuk diucapkan. Kata-kata dari hati mereka yang terdalam.

Ayah akhirnya wafat dengan senyum damai dan lega terpancar di wajahnya. Sebelah tangannya masih memegang gethuk yang baru dia nikmati segigitan.

Gethuk yang rasanya lain dari biasanya.

Gethuk yang menyimpan kepedihan Ibu di dalam bulir-bulir air matanya yang ikut tumpah, bercampur dengan gula aren dan singkong rebus yang ditumbuknya. Khusus untuk satu-satunya laki-laki yang masih dan mungkin akan terus dia cintai.

Dan saat itu aku sadar. Bagi Ibu gethuk bukanlah sekedar penganan.
Gethuk adalah pengikat perasaan mereka berdua.
Penghubung.

***
“Monggo, Bu… Gethuk-nya…” teguran Bi Inah menyadarkanku yang entah sejak kapan sudah duduk sendirian di beranda belakang rumahku dengan buku terbuka di pangkuan.

Sepiring gethuk, seteko teh hangat, dan sejuta kenangan.

Sepeninggalnya tanganku terulur lalu meraih sepotong gethuk yang sudah dibalur parutan kelapa. Menggigitnya perlahan, merasakan kembali perasaan yang sama dengan yang kurasakan kala itu. Bersamaan dengan gumpalan di dadaku yang perlahan mulai mencair dan mencari jalan keluar terdekatnya lewat sepasang mataku. Mengalir deras tanpa susah payah berusaha kubendung.

Setelah sekian lama. Dan perasaanku tidak berubah.

Aku tetap mencintainya. Gethuk.

Aku agak tersentak ketika tiba-tiba sepasang lengan melingkari pundakku. Disusul kecupan ringan di pipiku yang basah.

“Gethuknya kelewat enak, yah? Kamu sampai terharu begitu?” tanyanya polos.

Aku menatap matanya beningnya yang dibingkai bulu mata lentik. Memejamkan mata ketika dengan penuh kasih sayang dia menghapus tangisku. Setelahnya aku meraih tangannya, mengajaknya ke gudang kecil di bawah tangga. Membuka pintunya lalu mengeluarkan seperangkat alat penumbuk singkong. Satu-satunya benda yang kuambil sebagai warisan dari Ibu.

“Aku akan membuatkanmu gethuk yang paling enak.”
“Jauh lebih enak dari yang tadi membuat kamu terharu?”
“Melebihi itu.”

Matanya berbinar. Persis seperti diriku kala itu.