Ruangan minimalis modern itu terlihat kosong. Hanya ada dua buah
kursi di tengah ruangan yang dipisahkan oleh sebuah meja mungil. Seorang
perempuan sudah duduk di salah satunya. Sesekali dia melirik arloji di
pergelangan tangannya sementara jarinya sesekali mengetuk cepat lengan
kursi yang didudukinya.
Pintu di sisinya terbuka dan
seorang perempuan lain masuk. Mengenakan setelan pantalon yang dijahit
rapi. Perempuan pertama tadi langsung bangkit dan mereka bersalaman.
Saling melempar senyum formal lalu keduanya duduk berhadapan. Perempuan
yang terakhir masuk membuka-buka map yang sedari tadi tergeletak di
meja.
”Saya sudah mempelajari kasus Anda. Sekarang tinggal
keputusan final dari anda.” ucapnya tenang seraya membenarkan posisi
kaca matanya. Karena yang ditanya tidak langsung menjawab dia
melanjutkan, ”Saya tidak keberatan jika anda masih butuh waktu...”
Perempuan
pertama tadi langsung menggeleng cepat. ”Keputusan saya sudah final.
Saya hanya ingin mengakhiri semuanya, tapi tidak ingin jadi
penjahatnya.” ujarnya tegas yang disambut anggukan mengerti. Setelahnya
mereka kembali berdiri, bersalaman, dan sekarang yang tinggal di ruangan
hanya perempuan berpantalon. Setelahnya dia menekan tombol di meja dan
sebuah kertas muncul dengan tulisan di atasnya.
'Assigned to Dian'
***
Ruby
mengedarkan pandangan. Hm, dia memang datang terlalu awal. Dan saat itu
dia melihat Dian melambai di kejauhan. Dia balas melambai seraya
tersenyum. Dian berlari kecil menghampirinya. Baru mereka berdua yang
tiba di bioskop. Siska dan partnernya masih belum kelihatan.
”Udah
lama?” tanya Dian. Ruby menggeleng. ”Mau minum? Aku beliin yah?”
Sebelum dijawab dia sudah langsung bergegas ke stand makanan. Membeli
dua botol air mineral dan sekantung popcorn. Ruby menerima minumannya.
Masih belum ada tanda-tanda kehadiran Siska dan partnernya.
”Siska...”
Belum sempat Ruby menyelesaikan kalimat, ponselnya bergetar. Dari
Siska. Dia segera menjawab, ”Sis, kami udah di bioskop. Kalian...”
”Ruby,
maaf banget. Kayaknya kami gak bisa nonton. Ponakanku mendadak demam,
jadi harus nganter ke klinik. Maaf yah...” Panggilan diakhiri dan Ruby
hanya bisa mendongkol.
”Mereka gak datang?” Ruby menggeleng. ”Trus gimana? Masih mau nonton?” Entah kenapa dia mengangguk.
Acara
nonton berlangsung menyenangkan. Ruby yang semula kesal akhirnya juga
menikmati. Dian juga cukup menyenangkan meskipun belum lama Ruby
mengenalnya. Mereka memutuskan mampir di food court untuk mengisi perut
sebelum pulang. Mereka sedang asik tertawa-tawa ketika Ruby bisa
merasakan hunjaman tidak jauh dari tempat duduk mereka dan tawanya
langsung sirna.
Manda.
***
Manda
menghela napas lalu menghenyakkan tubuhnya lebih dalam ke kursi bacanya.
Sendirian di rumahnya. Masih jelas tergambar di matanya kejadian
sebulan yang lalu. Air mata yang meleleh membanjiri wajah Ruby diikuti
kata-kata penjelasan yang tersendat oleh tangis.
Setelahnya
Ruby masih berusaha menghubunginya hingga seminggu sesudahnya, tapi dia
tetap mengeraskan hati untuk menolak keinginannya kembali. Keputusannya
sudah bulat dan final. Hubungan mereka memang harus berakhir. Dia masih
bisa mengingat sosok perempuan yang sedang bersama Ruby saat itu.
Pastilah dia orang yang dikirim untuk tugas itu karena seseorang dari
agensi itu menghubunginya. Bukan kebetulan dia ada di food court saat itu.
Ah,
andai saja dia punya keberanian lebih, dia tidak perlu menggunakan
orang lain untuk menyampaikan keinginannya untuk mengakhiri semuanya.
Andai saja dia masih bisa bersabar untuk menunggu tunas-tunas cinta yang
baru muncul kembali. Tapi dia sudah cukup bersabar. Lima tahun bukan
waktu yang singkat dan semakin hari dia merasa semakin jahat karena
tidak kunjung mengambil sikap. Dan sikap yang dipilih ternyata adalah
menjadi seorang pengecut.
Tapi hanya itu pilihannya. Dia
tidak punya cara lain. Ruby tidak akan menginginkan perpisahan ini. Dan
dia sadar tidak punya kemampuan untuk menolak keinginannya. Apa dia
harus terus bertahan sementara hatinya sudah sangat tidak rela?
Sudahlah, ini yang terbaik buat mereka. Setidaknya buat dirinya.
Manda menghenyakkan tubuhnya lebih dalam lagi.
***
Dian
menarik kursi dan mempersilakan Ruby duduk. Setelah hampir sebulan
memutuskan untuk mengurung diri di rumah, akhirnya Ruby memutuskan untuk
menghirup udara segar. Selain itu dia sudah sangat tidak enak jika
harus menolak ajakan Dian untuk yang kesekian kalinya. Dian yang bukan
siapa-siapanya, malah rela menghabiskan begitu banyak waktu untuk
mendampinginya.
”Aku yang pesan untuk kamu ya? Kamu rada
kurusan, jadi harus makan yang banyak. Kangen ama pipi bulat kamu.” Ruby
hanya tersenyum tipis menanggapi. Dian lalu memanggil waiter lalu menyebutkan pesanan mereka berdua. Dia terlihat segar, berbeda dengan Ruby yang masih agak kuyu. Setelah menerima pesanan waiter pun berlalu.
”Terima
kasih.” ujarnya pelan. Dian mengulurkan tangannya. Meremas tangannya
lembut dan Ruby tidak melarangnya. Kenapa harus melarangnya? Dian bisa
melakukan itu sekarang. Setelah...
”Masih mikirin mantan kamu?”
cetus Dian memecah lamunannya. Ruby buru-buru menggeleng pelan.
”Baguslah. Berarti sudah waktunya kamu move on.”
”Entahlah...” Dian meremas tangannya lebih keras.
”Kamu masih punya aku, By... Ada aku di sini.”
Ruby
menatap mata perempuan di hadapannya. Perempuan yang sudah menemaninya
melewati saat-saat beratnya hampir sebulan ini. Ya, masih ada Dian...
***
Manda
tercekat lalu buru-buru memalingkan wajahnya. Pertemuan ini begitu
tiba-tiba dan dia tidak mempersiapkan dirinya. Ruby dan perempuan itu
duduk di sudut kafe. Mereka terlihat... Bahagia. Ruby terlihat begitu
berbinar dan serasi dengan perempuan itu. Perempuan yang waktu itu. Jika
memang demikian, apa itu artinya perempuan itu bukan utusan agensi itu?
Jika memang demikian, kenapa dia masih bersama Ruby meski tugasnya
sudah usai? Jangan-jangan...
Ruby dan perempuan itu sudah
selesai lalu keluar sembari bergandengan tangan. Manda hanya bisa
menyaksikan semua itu dengan perasaan berkecamuk. Ruby. Ruby-nya.
Sekarang terlihat begitu menawan bersama perempuan lain? Dan kenapa
sekarang dia merasa sangat tidak nyaman? Apa sekarang dia sedang
cemburu? Bukankah mereka sudah bukan siapa-siapa lagi? Hubungan mereka
sudah usai. Itu kan kemauannya sendiri? Tapi kenapa sekarang...
”Bu
Amanda, lalu bagaimana dengan pembahasan proyek yang tadi ingin Anda
kemukakan?” Manda tersadar kembali menemukan tatapan heran kedua klien
yang duduk di hadapannya.
Lunch-meeting
berlangsung sangat lambat dan Manda merasa tercekik di setiap detiknya.
Otaknya terus berkecamuk tentang Ruby dan perempuan itu.
Pertanyaan-pertanyaan yang terus bermunculan dan jawabannya yang
berputar-putar membuat kepalanya akan segera pecah. Jika memang akhirnya
Ruby bersama perempuan itu, lalu apa artinya air mata, rengekan dan
penjelasan-penjelasan itu? Apakah sebenarnya bukan hanya dia yang
menginginkan hubungan ini berakhir? Dan Ruby melakukannya dengan begitu
indah. Mencampakkannya tanpa dia sadari.
Meeting
akhirnya usai dan dengan penuh emosi Manda memacu mobilnya langsung
menuju ke rumah mantannya itu. Sebelum mendapatkan penjelasan yang
jujur, dia tidak akan puas. Dia akan terus penasaran. Ketika tiba di
rumah yang pernah mereka tempati berdua, Manda tercekat ketika melihat
mobil lain terparkir di sana. Tanpa buang waktu dia langsung menepikan
mobilnya dan dengan kunci duplikat yang masih dimilikinya dia membuka
pagar lalu menghambur masuk.
”Apa yang kau lakukan?!”
pekiknya. Ruby dan Dian yang sedang duduk berdampingan melihat-lihat
album foto terdiam sebelum akhirnya memandang heran ke arah Manda.
”Kamu
sendiri? Ada apa datang kemari? Bukankah barang-barangmu sudah tidak
ada lagi di sini?” tantang Ruby yang sekarang bangkit sehingga mereka
berhadap-hadapan. Manda bisa merasakan pembuluh darah di sekujur
tubuhnya akan pecah dan amarahnya akan berhamburan.
”Kau...” Dia
menunjuk Dian dengan amarah tertahan. ”Keluar... Keluar!!” Dian yang
memang tidak ingin memancing amarahnya pun bangkit dari sofa lalu
berjalan melewatinya langsung keluar.
Sepeninggalnya,
hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Manda berusaha bernapas. Dia
tidak ingin mati sesak oleh kemarahannya sementara Ruby masih berdiri
menantang di hadapannya.
”Katakan apa maumu.” cetus Ruby
tenang. ”Apa yang membuatmu nekad menerobos ke rumah ini? Kau yang sudah
memutuskan keluar, bukan aku yang mengusirmu.” Manda hanya diam.
Matanya terpejam. Ruby benar. Dia yang ingin keluar, bahkan dengan cara
yang sangat pengecut. Tapi bukan berarti harus secepat ini dia...
”Jadi kau dan perempuan itu... Kalian...”
”Bukan
urusanmu.” tukas Ruby lagi. Kali ini hatinya berkeping. Kakinya goyah
dan Ruby sigap menahannya. Sentuhan yang tidak diduganya itu malah
menghancurkan benteng pertahanannya.
”Jangan lakukan itu, By... Aku... Aku...”
Ruby
hanya terdiam terpana menyaksikan pemandangan di depannya. Manda
terlihat bagitu rapuh di dalam kekalahannya. Dia menghela napas lalu
menarik lembut tubuh yang gemetar oleh tangis itu ke dalam pelukannya.
Air matanya ikut menitik, tapi kali ini diiringi perasaan lega. Manda
akhirnya kembali.
”Selamat pulang kembali...” bisiknya dan
Manda mempererat pelukannya. Album foto yang menampilkan kenangan manis
mereka berdua masih terpampang di sofa.
***
Ruby
melipat jemarinya dengan rapi mendengarkan perempuan di hadapannya
bicara. Membacakan beberapa klausul dari map di hadapannya Dia datang ke
tempat ini untuk menutup kesepakatan yang sudah mereka lakukan. Kontrak
kerja sudah berakhir. Perempuan itu akhirnya selesai lalu menyerahkan
pena kepadanya. Ruby menerima lalu membubuhkan tanda tangan di tempat
yang tersedia.
”Terima kasih.” ujarnya. Perempuan di hadapannya hanya tersenyum.
”Bukan
masalah. Sudah tugas kami untuk melakukan sesuai yang diinginkan klien.
Dan semoga anda puas dengan hasilnya.” Ruby mengangguk. Setelahnya
mereka menyudahi pertemuan. Perempuan itu membetulkan letak kaca matanya
lalu menekan tombol dan pintu lain terbuka. Perempuan lain muncul.
Berjalan tenang ke arahnya.
”Kerja bagus.” ujarnya puas. Tidak menolak ketika kedua lengan itu merangkulnya diikuti kecupan di tengkuk.
”Bukan masalah. Hanya sebuah tugas kecil untuk masalah kecil. Yang satu ingin putus, yang satu tidak ingin. What’s the big deal?” sahutnya. Sekarang mereka berhadapan. Begitu dekat.
”ID Dian sudah dihapus...”
“Approved. Setelah ini ada proyek apa lagi?”
Pertanyaannya dijawab dengan kerling singkat, diakhiri kecupan di bibirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar