Senin, 14 April 2014

Sop Buntut Selena



"Pokoknya Cel nggak mau punya mama baru!"
Selena, putri semata wayangku yang masih cadel meskipun sudah duduk di kelas dua Sekolah Dasar itu dengan suaranya yang nyaring mengultimatumku. Untuk sesaat aku hanya tertegun di ambang pintu seperti seekor rusa yang terpojok sebelum tersenyum dalam hati melihat tingkahnya. Layaknya panglima perang Indian dengan wajah tercoreng-moreng bedak, dia berdiri gagah sembari berkacak pinggang.
"Emangnya siapa yang ngomong soal mama baru ke Sel?" tanyaku lembut. Kuletakkan tas kerjaku di meja lalu kuraih tangannya. Kami duduk berdua di sofa dan dengan lembut kubelai rambutnya yang lebat seraya merapikan bedaknya.
Seingatku belum pernah sekali pun aku mengutarakan niat untuk menghadirkan seorang perempuan di antara kami. Lagi pula sampai sekarang memang aku merasa belum ada perempuan yang cukup pantas untuk menggantikan Wulan, Mama Selena, yang wafat tiga tahun yang lalu akibat ulah pengendara motor yang ugal-ugalan. Kehilangan yang masih terus membekas hingga sekarang.
"Tante Mel yang bilang. Katanya tidak lama lagi Cel akan punya mama baru. Pokoknya Cel nggak mau, Pa!" rajuknya. Aku mengangguk-angguk sabar.
Duh! Apa-apaan lagi sih, adikku yang satu itu? Aku membatin. Hal ini memang bukan baru kuketahui karena hampir setahun belakangan ini keluargaku dan mertuaku mulai menanyakan niatku untuk menikah lagi. Alasan mereka tentu saja Selena yang masih kecil sangat membutuhkan kehadiran sosok Ibu. Padahal menurutku selama tiga tahun belakangan ini aku lumayan berhasil menjalani peranku sebagai orangtua tunggal. Selena juga tidak pernah keberatan meskipun hanya punya aku.
"Aku dan Selena baik-baik saja berdua, Mel," demikian selalu alasan yang kuutarakan setiap kali Mel mulai mengungkit topic yang satu itu. Namun bukannya berhenti, dari hari ke hari, seperti kesurupan dia rutin menemuiku sambil membawa foto-foto perempuan yang dirasanya paling pas untuk mendampingiku dan Selena.
"Emangnya kamu nggak kasihan ke Selena? Dia tetap butuh seorang ibu. Lagi pula belakangan ini kamu semakin sibuk di kantor. Cuma mengharap Bi Minah yang merawat Selena? Itu egois namanya."
Aku tahu keluargaku berniat baik dan hanya mencemaskan pertumbuhan dan perkembangan Selena, tapi apakah mereka lupa betapa sulitnya putriku itu menerima kepergian mama yang sangat dicintainya itu? Berbulan-bulan dia tidak selera makan karena dia hanya mau makan nasi dengan lauk sop buntut buatan mamanya. Sebuah permintaan kecil yang masih kerap membuatku menitikkan air mata diam-diam. Meskipun akhirnya dia mulai bisa menerima kenyataan tidak akan bisa merasakan sop buntut buatan mamanya lagi, aku tahu patah hatinya masih belum sembuh benar sampai sekarang.
"Mama baru pasti jahat, Pa. Dia pasti kejam ke Cel. Bisa-bisa Cel dijewer atau dicubit sampai biru-biru. Atau Cel bakal dipaksa membersihkan seisi rumah setiap hari," cerocos Selena membuyarkan pikiranku. Kali ini dia menatapku serius dengan matanya yang bulat dan bening.
Hm, sepertinya aku harus menyudahi pembicaraan yang semakin gelap ini.
"Eh, bukannya hari ini Sel nerima rapor? Ayo, tunjukin ke Papa," cetusku mengalihkan topik pembicaraan. Selena langsung melompat dari pangkuanku, berlari ke kamarnya lalu kembali sembari menenteng tasnya. Namun saat aku ingin meraih tas bergambar Hello Kitty itu, dia malah menariknya menjauh.
"Papa masih ingat janji kalau nilai Cel bagus, kan?" todongnya. Matanya berbinar-binar.
"Janji? Masa, sih? Janji yang mana?" godaku.
Bibir mungilnya langsung mengerucut. Aku tergelak lalu dengan secepat kilat kutangkap dia lalu mengurungnya di dalam pelukan.
"Iya, Papa ingat, kok. Janji kelingking, kan?"

"Pram, kamu jadi liburan ke Bali bareng Selena, kan?" tegur Ibuku. Tidak biasa-biasanya dia menyempatkan diri meneleponku ke kantor di jam-jam sibuk seperti sekarang.
"Iya, Bu. Lusa berangkat, kok."
"Ya sudah. Pas kalau begitu. Kamu bisa sekalian ketemuan dengan keponakan Bu Broto. Dia kebetulan tinggal di Nusa Dua. Dia jadi chef di The Bay Bali, lho. Bu Broto udah ngabarin dia juga."
Aku langsung menghela napas panjang.
Jujur saja, aku selalu terkagum-kagum melihat keuletan ibuku dalam hal yang satu ini. Semangatnya tidak pernah surut. Selalu saja ada celah yang bisa dimasukinya. Kenapa Ibu tidak jadi politisi saja, ya? Soalnya sejauh ingatanku belum pernah ada yang bisa berkelit atau menang kalau berdebat dengannya. Menyamai skor saja sulitnya minta ampun.
"Tergantung Selena mau main ke mana, Bu. Pram cuma ngikut," kilahku.
"Oh, Ibu udah nanya ke Selena, kok. Dia ikut ke mana Papanya aja. Yang penting makan enak, katanya. Haha… Cucuku yang satu itu memang ngegemesin…"
Aku ikut tertawa. Garing. Kenapa Selena mendadak jadi anak manis, sih?
"Pram, untuk sekali ini saja Ibu minta kamu jangan berpikir kami sedang memaksamu untuk menikah lagi karena keputusan itu tetap ada di tanganmu. Tapi cobalah pikirkan masa depan Selena."
"Iya, Bu..." Hanya itu yang meluncur dari mulutku.
"Dan kali ini jangan ngeles lagi. Soalnya Ibu nggak enak ke Bu Broto. Asal tahu saja, keponakannya itu lumayan sibuk. Jadi Bu Broto sampe minta tolong gitu supaya dia mau nemenin kalian selama liburan," cerocosnya lagi.
"Iya, Bu..." sahutku lagi seraya menghela napas.
Pembicaraan akhirnya usai dan kubayangkan ibuku berjingkrak-jingkrak kegirangan di seberang sana karena misinya berhasil.
Kuraih foto yang bertengger manis di meja kerjaku. Wulan dan Selena kecil, bergandengan tangan, tersenyum ke arahku. Foto itu kujepret sendiri saat kami sedang liburan di Kuta lima tahun yang lalu. Kupandangi wajah mereka di foto itu dan dadaku langsung sesak. Kuhela napas, sekadar untuk meredakan perasaan yang bergulung-gulung di dadaku.
Masih lekat di ingatanku Selena kecil yang histeris melihat peti yang membungkus tubuh mamanya mulai ditimbun tanah merah. Suaranya yang nyaring memintaku melarang mereka mengubur mamanya tercinta. Tangisnya yang menyayat membuat semua orang yang hadir di pemakaman kembali menitikkan air mata sementara aku tetap berusaha tegar menghiburnya meskipun perasaanku sendiri sedang compang-camping kehilangan perempuan yang kusayangi.

Pesawat yang membawa kami akhirnya mendarat dengan mulus di bandara Ngurah Rai. Kubopong Selena yang masih tertidur turun dari pesawat. Cahaya matahari petang yang menyengat memaksaku setengah memicingkan mata. Setelah mengambil bagasi aku segera bergegas untuk mencari taksi.
“Pak Pram?” sapa seseorang. Suaranya yang merdu bergaung lembut di telingaku. Aku menoleh. Seorang perempuan berkulit sawo matang berdiri tidak jauh dariku. Rambutnya yang panjang dikuncir. Dia lalu tersenyum ramah memamerkan deretan giginya yang indah seraya mengulurkan tangan, “Saya Tari.”
Ah, pastilah dia keponakan Bu Broto yang diceritakan Ibu tempo hari. Kusambut uluran tangannya yang mantap. “Iya. Maaf, kalau nanti kami jadi merepotkan dan panggil Pram saja.”
Selena yang sedari tadi terkulai di gendonganku mendadak terbangun. Kuturunkan dia dari gendonganku. Matanya masih sayu. Aku berlutut di sebelahnya. “Sel, kita udah nyampe. Kenalan dulu sama Tante Tari, ya? Dia yang mau nemenin kita jalan-jalan, ” bisikku.
“Sekalian traktir…?” tanya Selena malas-malasan. Aku langsung tergelak kikuk. Duh. Tampangku pasti sudah warna-warni sekarang.
“Iya. Tante traktir makan enak! Pokoknya tanggung beres!” sahut Tari.
“Ada sop buntut?” tanya Selena yang langsung dijawab Tari dengan acungan jempol. “Lebih enak dari buatan Mama, nggak? Cel paling suka sop buntut buatan Mama.”
“Wah… Jadi deg-degan, nih nunggu penilaian Chef Selena,” sahutnya kocak. Selena tergelak lalu kami bertiga meninggalkan bandara. Tanpa canggung Tari menggandeng putriku sementara aku mengikuti dari belakang sembari mendorong troli.
Ah, rasanya baru kali ini pertemuanku dengan perempuan asing berjalan semulus ini, apalagi mengingat embel-embel perjodohan di belakangnya. Namun, kuputuskan untuk mengikuti alur yang baik ini tanpa beban. Lagi pula niatku sedari awal kan ingin memberikan Selena liburan yang menyenangkan. Tidak lebih.
Selama di perjalanan aku hanya jadi pendengar yang baik sementara Selena dan Tari asyik berceloteh. Perempuan itu terlihat begitu alamiah menghadapi putriku. Dengan sabar Tari menjawab pertanyaan-pertanyaan Selena yang tidak hanya sekali membuat telingaku tersengat. Bagaimana tidak? Dengan lugas Selena bertanya apakah perempuan yang baru kami kenal itu sudah menikah dan saat dijawab belum putriku yang cerewet itu malah langsung bertanya kenapa. Jadilah aku hanya tertawa kikuk bin garing di belakang. Aku tidak berani membayangkan bagaimana anggapan Tari terhadapku. Dia pasti langsung menganggapku orangtua yang gagal.

“Pa, patung bebeknya lucu banget! Fotoin Cel, Pa!”
Aku mengacungkan jempol lalu mengeluarkan ponselku. Kubidik Selena yang sudah terlebih dahulu bergaya di sisi patung. Beberapa jepretan sekadar untuk memuaskannya.
“Sayang banget Mama nggak ada. Jadi nggak bisa foto bareng Cel…” cetusnya murung.
“Wah, kamu beneran berbakat jadi supermodel, lho Cel…” cetus Tari yang langsung membuat putriku yang narsis itu kembali tersenyum lebar. Tak lupa dia juga mengikutiku menjepret Selena lewat bidikan kamera ponselnya. Reaksinya yang cepat berhasil menyelamatkan mood Selena.
Sesuai janjinya, Tari memang menemani kami berdua berkeliling restoran The Bay Bali dan yang terlebih dulu kami singgahi adalah restoran Bebek Bengil yang menyambut kami dengan patung bebek yang berkilauan indah di gerbangnya. Berbingkai-bingkai foto berisi pejabat dan artis menghiasi dindingnya. Belum lagi lukisan-lukisan indah yang turut memanjakan mata para tamu yang bersantap.
“Kalau suka menu bebek, di sini jagoannya,” ujarnya berpromosi seolah tidak terganggu dengan kejadian beberapa saat yang lalu.
Aku hanya mengangguk-angguk. Toh tanpa perlu dia jelaskan ramainya pengunjung yang memenuhi deretan kursi di restoran ini sudah cukup membuktikan ucapannya. Pramusaji terlihat sibuk dan sigap berkeliling sembari menopang nampan berisi pesanan tamu. Suara tawa dan dentingan alat-alat makan laksana irama musik di telingaku. Menerbitkan liurku.
“Kita makan sop buntut di sini, Pa?” tanya Selena tiba-tiba.
“Oh, kalo yang satu itu harus ke markas Tante, dong. Di Bumbu Nusantara.”
“Tapi Cel udah laper. Kita makan di sini aja ya, Pa? Besok baru makan sop buntut Tante Tari,” sambung putriku lagi.
“Nggak masalah. Jadi sekarang Tante bisa pulang untuk siap-siap untuk bikin sop buntut yang paling istimewa untuk Cel besok, ya?”
“Kenapa nggak makan malam bersama kami saja?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dan untuk sesaat aku terkejut sendiri. Namun, setelah segala kerepotan yang kami berikan untuknya aku merasa wajar saja kalau malam ini gantian menjamunya sekadar bentuk kesopanan.
“Besok aku harus bangun pagi-pagi karena akan memandu kelas memasak untuk beberapa orang tamu,” ujarnya. Ah, tentu saja. Dia adalah salah satu koki andalan di restoran ini. Lagi pula bagi kami yang baru berkenalan, kebersamaan selama hampir seharian ini rasanya sudah cukup.
“Sampai ketemu besok, Tante…” ujar Selena lalu mereka berpelukan. Kami berdua berdiri di gerbang Bebek Bengil hingga mobilnya menghilang dari pandangan. Setelahnya kami menempati salah satu meja di restoran, bergabung dengan tamu lainnya.
“Tante Tari cantik banget ya, Pa,” cetus Selena selagi kami menunggu pesanan. “Trus jago masak,” sambungnya lagi.
“Sel suka sama Tante Tari?” tanyaku hati-hati, teringat ultimatumnya tentang mama baru tempo hari. Menu pesanan kami mulai berdatangan dan Selena langsung menatap takjub minumannya yang warna-warni.
“Suka. Apalagi kalau sop buntutnya beneran kayak buatan Mama…” tandasnya tenang lalu menyeruput minumannya dengan hati-hati.
Sampai sekarang belum ada yang bisa menandingi rasa sop buntut buatan Wulan. Bahkan Bi Minah yang selama ini membantu Wulan di dapur sop buntut buatannya juga dinyatakan Selena tidak bisa menyamai buatan mamanya. Padahal kalau misalnya ditanya apa yang berbeda, sejujurnya aku juga tidak tahu. Sepertinya hanya Selena yang tahu di mana letak perbedaannya. Namun, mungkin semua itu hanyalah usaha Selena untuk menghalangi kehadiran perempuan lain di antara kami.
Kuraih tangan mungilnya. “Papa sayang Selena…”
“Cel juga sayang Papa…”
“Gimana bebeknya? Nih, minum dulu,” ujarku cemas melihat bulir-bulir keringat yang memenuhi dahinya. Mulutnya yang mengunyah lahap juga tidak berhenti mendesis.
“Enaaaaakkk…!!!”

Aku mencicipi sop buntut yang khusus dimasak oleh chef Tari untuk kami berdua. Dia bahkan sengaja menamainya ‘Sop Buntut Selena’. Rasa kaldunya yang gurih membelai lembut kuncup-kuncup perasaku. Sekarang tiba giliran Selena mencicipi sop buntutnya perlahan. Entah kenapa aku seperti menahan napas menanti hasil penilaiannya. Meskipun bukan aku yang memasak, rasanya aku yang sedang berada di babak tes tekanan layaknya di lomba memasak itu.
Aku tertegun tatkala melihat mata putriku berkaca-kaca dan tanpa mengucapkan apa-apa dia langsung berlari meninggalkan kami berdua. Aku segera menyusulnya, meninggalkan Tari yang masih kebingungan. Saat akhirnya aku berhasil menyusulnya, Selena sudah sesenggukan di pantai. Beberapa pengunjung yang bersepeda menatap kami sebelum berlalu. Aku berlutut di sisinya dan selama beberapa saat tidak mengatakan apa-apa. Hanya isak Selena yang terdengar, dilatari deburan ombak.
“Sop buntut Tante Tari enak, Pa. Tapi nggak sama kayak buatan Mama. Padahal Cel suka banget sama Tante Tari…” Selena akhirnya mulai buka suara setelah tangisnya mereda. Kuraih dia ke dalam pelukanku. Kubelai rambutnya.
“Mungkin karena cuma ada satu Mama dan Tante Tari bukan Mama, Sel…” bisikku.
Selena mengurai pelukannya dan menatapku dengan matanya yang masih sembab. Kuhapus sisa-sisa air matanya. “Kalau Selena punya mama baru, Mama bakal marah atau nggak, Pa?” Aku langsung terhenyak.
Kriiinngg…!!! Kriinggg…!!!
Kami berdua menoleh dan tidak jauh dari kami Tari berdiri menyangga sepedanya dan di sebelahnya seorang tukang becak sudah siap dengan becaknya.
“Sebagai permintaan maaf karena sop buntutnya gagal…” ujarnya jenaka. Selena melepaskan diri dari pelukanku lalu menghampiri Tari dan tanpa kuduga-duga langsung memeluknya. Begitu lama, membuat dadaku kembali sesak dengan keharuan.
“Papa yang gowes becaknya, ya?”
Dengan sigap Selena menarik Tari untuk duduk bersamanya di dalam becak. Kuhampiri mereka lalu mengambil alih sadel becak plus caping dari tukang becak yang sekarang jadi bertugas menjaga sepeda. Perlahan kukayuh pedalnya menyusuri jalanan. Dari belakang kusaksikan lengan mungil Selena yang merangkul erat lengan Tari. Mereka kembali bertukar celoteh. Tawa Selena yang renyah serupa musik di telingaku.
“Pa, lebih kenceng gowesnya!”
“Iya, Nyah…” sahutku. Mereka serentak tergelak.
Kami lalu berhenti di tepi pantai dan dengan penuh semangat Selena menarik aku dan Tari untuk bermain bersamanya di pantai yang pasirnya seputih mutiara. Raut wajahnya yang ceria bermandikan cahaya matahari membuatnya terlihat semakin berkilau.
Aku tidak ingin tergesa-gesa mengartikan perkataan Selena tadi. Lagi pula masih terlalu awal untuk menyimpulkan semuanya. Namun, satu hal yang kutahu pasti adalah ini pasti akan menjadi liburan yang paling menyenangkan bagi Selena dan menyaksikan senyum terus mengembang memenuhi raut malaikat kecilku itu sudah memenuhi segala harapanku tentang kebahagiaan.
Cipratan air meyadarkanku dari lamunan. Selena terbahak. Aku langsung memasang ancang-ancang untuk mengejarnya yang berlarian mengelilingi Tari. Pekikannya memenuhi udara. Dan saat akhirnya berhasil menangkapnya, kupeluk dia erat-erat. Saat itulah tatapanku bertemu dengan Tari yang masih menertawakan pergulatan kami. Rambutnya yang tergerai berkibar-kibar dipermainkan angin. Kulitnya berpendar indah.
Sesuatu menggeliat di relungku. Hangat dan manis.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!

Senin, 18 Februari 2013

Cerpen: Sepatu Baru Dahlan


“COPEETTT…!!! COPEEETTT…!!!”

Teriakan nyaring itu langsung membuyarkan lamunanku. Tubuhku refleks langsung bergerak saat mataku menangkap sosoknya. Seorang laki-laki yang tergesa-gesa di antara pengunjung pasar yang padat. Bersama-sama dengan beberapa laki-laki lain kami pun segera mengejar pelaku yang tidak bisa melarikan diri lebih jauh. Terjebak keramaian pasar.

Laki-laki itu terlihat bingung ketika kami menyergapnya dan langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi. Bukan hanya meninju dan menendangnya, kami bahkan juga menghantamkan beberapa balok yang berserakan tidak jauh dari tempat kami menyergapnya sembari memaki-maki, tak peduli dengan bantahan dan permohonan ampunnya.

Tidak lama kemudian perempuan yang tadi meneriakkan sirine itu pun muncul terengah-engah dan kami memberinya jalan menghampiri tubuh yang sudah tergolek lemah. Darah segar menutupi wajahnya.

“Bukan… Bukan dia…” ujarnya terisak.

Lagi-lagi seperti dikomando, beberapa laki-laki yang tadi ikut berjibaku menghajar ‘copet’ itu langsung menghilang. Tinggal aku sendiri yang masih berdiri di dekatnya, menyaksikan napasnya yang tersengal. Tangannya mendadak bergerak, melambai seolah memanggilku. Dalam lautan rasa bersalah dan ketakutan aku menghampirinya. Mulutnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu yang tidak sampai ke telingaku. Aku segera mendekatkan telinga untuk menangkap kata-katanya.

“Dahlan… Dahlan…”

Sesaat kemudian dia seperti terkena cegukan, lalu terbujur. Diam. Bersamaan dengan munculnya dua orang petugas yang tanpa kesulitan berarti mengamankanku.

***
Aku lagi-lagi berdiri di sini. Di depan rumah sederhana yang tidak terurus. Maklumlah, pemiliknya tidak akan pernah pulang kembali ke rumah ini.

Sudah tiga bulan berlalu sejak kejadian itu dan aku baru dibebaskan dari tahanan. Hukuman yang rasanya kurang layak kuterima mengingat perbuatanku yang seenaknya mencabut kehidupan seseorang. Tanpa belas kasihan. Berbuah sesal.

Selama di dalam tahanan aku sudah berjanji dalam hati untuk menunaikan wasiat terakhir laki-laki itu. Wasiat yang diucapkan dengan susah payah ketika nyawanya akan tercerabut dari raganya. Wasiat yang aku sendiri bahkan tidak mengerti maksudnya, selain sebuah nama. Dahlan.

Siapa Dahlan?

Laki-laki itu bernama Aris dan dia belum menikah. Lalu siapa Dahlan? Keluarganya yang lain? Aku sudah bertanya ke semua tetangganya dan mereka tidak pernah tahu tentang kerabatnya yang bernama Dahlan. Mereka hanya tahu laki-laki itu adalah seorang perantau yang bekerja serabutan, namun mereka juga tidak tahu dari mana dia berasal.

Buntu.

“Kamu teman Aris?”

Ini adalah kunjunganku yang kesekian kalinya dan baru kali ini aku bertemu dengannya. Perempuan bermata tajam dengan raut wajah serius. Rambutnya yang kecoklatan diikat ekor kuda, memamerkan lehernya yang jenjang. Kulitnya yang kecoklatan membuatnya terlihat makin berkilau diterpa cahaya matahari.

“Kamu teman Aris?!” ulangnya membuatku gelagapan.
“Eh, iya. Kenalannya…” sahutku cepat.
“Kalau begitu kamu pasti tahu dia… Sudah meninggal?” tanyanya lagi dengan sebelah alir terangkat. Menyelidik. Curiga.
“Aku tahu…” Aku menelan ludah ketika kalimat itu meluncur mulus dari sela bibirku. Aku yang telah membunuhnya, hampir saja kutambahkan kalimat itu.
“Lalu kenapa kamu masih ke rumahnya?!” Apakah memang sudah menjadi gayanya bertanya seperti petugas yang menginterogasiku selama 48 jam nonstop?
“Demi wasiatnya…”
“Wasiat? Jadi kamu… Bersamanya di saat-saat terakhirnya?!”
Aku mengangguk lemah. Kepalaku mendadak jadi terlalu berat untuk ditopang leherku. Hanya menekuri tanah di hadapanku.
“A… Apa wasiatnya?” Ada getaran di suaranya, pertanda tangis yang semakin dekat menghampiri. Dengan susah payah aku mengangkat wajahku. Tatapan kami bertemu. Aku menghela napas, berharap gumpalan di dadaku mengempis.
“Dahlan…” sahutku. Tercekat.

***
Namanya Juwita. Nama yang sangat pas menggambarkan sosoknya. Dia adalah salah seorang pelanggan setia bakso dagangan Aris. Hampir setiap ada kesempatan dia akan nongkrong di warung bakso, meski hanya untuk sekedar membantu melayani pelanggan lainnya.

Juwita adalah gadis seperti mahasiswi kebanyakan, namun entah kenapa dia bisa tertarik pada sosok Aris. Di matanya Aris adalah sosok laki-laki yang punya tekad dan cita-cita, serta tidak setengah-setengah menjalaninya. Meskipun dia hanya seorang pemuda miskin dari kampung, entah kenapa Juwita selalu merasa tersihir dengan pandangan hidupnya yang tidak neko-neko. Jujur. Lurus. Apa adanya.

Tanpa perlu dia jelaskan secara gamblang, aku tahu perasaan yang terjalin di antara mereka. Aris seperti dunia baru dan asing bagi Juwita yang selama ini lebih banyak dimanjakan oleh fasilitas dunia yang mapan. Aris adalah sosok idealis yang mungkin sudah terlalu lama raib ditelan paham yang dianut kaum realistis.

Bersama Aris juga dia mengenal kehidupan kaum papa yang selama ini selalu terpinggirkan. Tentang anak-anak yang harus berakhir kehidupannya tanpa sempat mengenyam mimpi yang tidak jarang terlalu remeh bagi mata orang kebanyakan.

Juwita yang mempertemukanku dengan Dahlan. Seorang anak yang divonis menderita kanker tulang stadium akhir sehingga bulan lalu sepasang kakinya harus diamputasi demi menyelamatkan nyawanya. Dahlan yang begitu mengidolakan Aris yang serupa malaikat utusan Tuhan di matanya. Aris yang kerap menemaninya agar tidak perlu menahan sakit sendirian. Aris yang menyayanginya dengan tulus seperti kakak yang tidak pernah dia miliki.
Dahlan yang… Tidak tahu bahwa malaikat penolongnya itu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Karenaku.

“Tiga bulan yang lalu Dahlan ultah, Oom…” katanya sembari dengan lancar menyebutkan tanggal ulang tahunnya. Jantungku bagaikan diremas mengingat hari itu. Suatu hari yang tidak akan pernah bisa kuenyahkan dari dalam benakku. Mungkin untuk selamanya. “Kak Aris janji datang, tapi sampai sekarang dia nggak muncul.” sambungnya setengah merajuk. Juwita melirikku, seolah memberi tanda agar aku menjaga ucapanku.
“Mungkin Kak Aris lagi sibuk?” ujar Juwita menengahi.
Aku ikut mengangguk mengiyakan.
“Tapi biasanya meski abis lembur bikin bakso, Kak Aris akan tetap datang!” sambungnya lagi. Kali ini kekesalan terpancar di rautnya yang pucat.
“Tapi Dahlan senang kan bisa ngerayain ultah bareng temen-temen?” Juwita rupanya masih belum mau menyerah membujuk.
“Tapi Kak Aris udah janji. Dia janji mau ngasih hadiah istimewa buat Dahlan.” Matanya mulai berkaca-kaca. Sekujur tubuhku akan segera meledak menjadi serpihan. Berisi penyesalan dan dosa.
“Emangnya Kak Aris janji mau ngasih hadiah apa?” tanyaku sembari menabahkan hati. Sepasang mata beningnya menatapku, seperti teropong yang bisa menatap jauh ke dalam sukmaku.
“Sepatu baru… Dia juga janji mau ngajakin Dahlan jalan-jalan, Oom…”

Andaikan saja sekarang nyawaku dicabut untuk ditukarkan denggan kehidupan Aris, aku akan rela. Aku yang tidak layak hidup lebih lama setelah dengan tega merenggut satu-satunya impian Dahlan di hari ulang tahunnya.

***
Aku melingkari tanggal di kalender. Lusa adalah ulang tahun Dahlan. Ulang tahun yang untuk pertama kalinya dia rayakan denganku, yang lambat laun bisa dia terima sebagai pengganti Aris di sisinya. Satu-satunya hal yang mungkin paling layak kulakukan setelah semua perbuatanku.

Meskipun Juwita tidak akan pernah memaafkanku. Mungkin selamanya.

Aku memang akhirnya mengakui semua kepada perempuan itu. Aku tidak menyalahkan dirinya yang mungkin akan membenciku selamanya sebagai orang yang bertanggung jawab untuk kehilangan Dahlan. Aku juga tidak berharap semua yang kulakukan untuk mereka selama ini akan dapat menghapus semua luka yang sudah kutorehkan.

Tidak ada penjara yang lebih kejam dan menyakitkan daripada rasa bersalah.

Dan selama ini aku sudah cukup menderita berdiam di dalamnya.

Jika aku memang masih punya kesempatan untuk menebusnya di kehidupanku yang sekarang, maka tidak akan ada sedetik pun yang akan aku lewati sia-sia. Itu adalah janji mati yang kubuat sendiri untukku dan Aris di alam sana.

Siang ini sesuai rencana aku pun tiba di rumah Dahlan yang sudah ramai dengan para undangan dan tentu saja Juwita, yang langsung menatapku tajam ketika aku berjalan melewati gerbang. Dahlan terlihat sumringah di kursi rodanya dan langsung mengulurkan tangannya menyambutku. Aku mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya dan acara pun dimulai. Air mataku menitik kala mengingat harusnya tiga tahun yang lalu Aris berada di sini, ikut bertepuk tangan sembari bersama-sama menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ untuknya.

Dahlan memejamkan mata, berdoa dalam hati sebelum meniup seluruh lilin yang menyala. Memotong kue yang dipersembahkannya untuk Juwita dan aku. Lalu setelahnya memulai sesi pembukaan kado dari para undangan. Matanya berbinar ketika melihat baju yang diberikan Juwita dan langsung mengenakannya.

“Oom, kadonya mana?” tagihnya. Bersamaan dengan itu ponselku berdering. Aku menatap nama yang terpampang di layar lalu tersenyum. Sudah waktunya.
“Ada dong. Kado paling istimewa. Tapi nggak bisa dibawa ke dalam sini. Kegedean. Dahlan harus ikut ke depan gerbang. Tapi matanya ditutup yah?”

Matanya yang bening memancarkan rasa penasarannya, demikian juga Juwita  yang meski terlihat acuh namun ikut penasaran. Sembari disemangati anak-anak lain, aku pun mendorong kursi rodanya menyusuri jalan setapak hingga tiba di gerbang. Di sana sebuah mobil box berwarna putih sudah menunggu dengan gerobak terbuka.

Melihat kemunculan kami, beberapa orang pria pun segera keluar dan menghampiri. Dahlan yang matanya tertutup terlihat bingung ketika mereka dengan hati-hati mengangkat tubuhnya ke mobil. Dan dengan disaksikan semuanya, mereka pun memasangkan sepasang kaki palsu ke kaki Dahlan.

Dahlan terdiam. Tubuhnya seolah membeku ketika dengan perlahan mereka melepas penutup matanya. Salah seorang petugas membantunya berdiri dan membimbingnya yang berjalan tertatih-tatih menghampiriku dengan wajah bersimbah air mata. Kami berpelukan.

“Makasih, Oom… Dahlan jadi punya sepatu baru!” serunya di antara isak tangis. Aku memeluknya lebih erat.

Seseorang menyentuh pundakku. Aku mendongak. Juwita menatapku. Tidak ada lagi amarah di sana. Di belakangnya aku melihat sosok itu. Ikut tersenyum sebelum lenyap tersapu angin. Aris.

Rabu, 06 Februari 2013

Cerpen : Gethuk



Tidak seperti biasanya aku menemani Bi Inah berbelanja ke pasar tradisional yang tidak terlalu jauh letaknya dari rumahku. Tapi daripada menganggur di rumah, lebih baik aku keluar dan menikmati petualangan kecil di pasar yang nyaris tidak pernah kumasuki. Pasar yang suasananya begitu asing denganku yang selama ini sudah terlalu dimanjakan oleh fasilitas berbelanja yang nyaman di pusat-pusat perbelanjaan modern yang mentereng.

“Bu, kita nggak sekalian beli camilan?” tegur Bi Inah tiba-tiba setelah kami selesai membeli semua keperluan.
“Camilan? Camilan apa, Bi?”
“Tuh ada gethuk.” tunjuknya ke salah satu etalase pedagang yang menjual aneka penganan tradisional. “Gethuknya enak lho, Bu! Jarang lagi nemunya.” sambungnya lagi setengah berpromosi. Dia pasti sangat kepingin.
“Ya udah. Beli ajah…” ujarku akhirnya.
“Iya. Cocok buat teman minum teh sore-sore.” katanya lagi sebelum bergegas menghampiri pedagang itu. Aku hanya mengamatinya dari tempatku berdiri. Pandanganku kabur oleh kelebatan bayangan lain yang bergerak semakin lambat dan jelas. Detik demi detik.

***
Aku baru pulang sekolah ketika melihat Ibu sedang sibuk mengupas setumpuk singkong. Aku langsung menghampirinya. Rasanya selalu asik membayangkan penganan apa lagi yang akan dibuat Ibu sore itu.

“Mau dibikin apa, Bu?” sapaku setelah nongkrong di depannya, sembari mengumpulkan sampah kulit singkong yang agak terpisah.
“Gethuk.” sahutnya sembari melirik sekilas. Dia pasti hanya ingin memastikan binar-binar itu berloncatan dari mataku. Buktinya sekarang senyum tersungging di bibirnya.

Aku sama seperti Ayah. Kami sangat menyukai gethuk. Aku akan selalu meminta Ibu mengolah singkong yang tersedia untuk menjadi gethuk. Aku bahkan bersedia ikut berjibaku membantu proses pengolahannya. Membersihkan singkong lalu merebusnya, dilanjutkan dengan menumbuknya bersama-sama dengan irisan gula aren yang sesekali kucomot dan kuhisap seperti permen.

Hidungku sangat hapal dengan harumnya asap singkong yang menguap saat ditumbuk hingga halus dan bercampur rata dengan gula aren berubah menjadi gethuk. Gethuk yang masih hangat. Tetap enak dengan atau tanpa baluran kelapa parut.

Membayangkannya selalu berhasil membuat liurku menitik.

Kehidupan keluargaku yang sederhana plus banyak anak memang memaksa Ibu menjadi lebih kreatif untuk membuatkan aneka penganan pengganti jajanan yang harus dibeli dengan uang yang sudah tentu tidak termasuk di dalam anggaran belanjanya. Cukup dengan membeli singkong yang murah dari kebun tetangga, selanjutnya kami bisa menikmati penganan yang tak kalah enak dari jajanan luar.

Hampir setiap hari selalu ada singkong di rumah kami. Bahkan suatu waktu Ibu memutuskan untuk menanam singkong, meski hanya di sebidang tanah sempit di samping rumah. Setidaknya bisa menghemat daripada harus terus-terusan membeli. Jadi kami tidak takut kehabisan persediaan singkong yang sewaktu-waktu akan berubah menjadi aneka penganan buat kami dan sebagai penuntas lapar ketika beras di rumah kebetulan habis yang belakangan semakin sering terjadi. Sejak Ayah mulai jarang pulang karena terlalu sibuk mengurusi keluarga barunya di sana.

Betapa ingin aku mengeluh ketika hanya menemukan setumpuk singkong rebus di balik tudung saji ditemani lauk seadanya. Betapa ingin aku memberontak, tidak ingin memakannya meski akhirnya selalu dikalahkan oleh raungan perutku yang keroncongan. Betapa ingin aku berteriak kepada Ibu bahwa meskipun aku sangat menyukai gethuk yang terbuat dari singkong, tapi aku tidak rela jika singkong yang menjadi raja di meja makan kami, menggantikan posisi nasi yang pulen.

Tapi bibirku hanya terkunci. Tidak ada keluhan dan kekesalan ketika setelahnya singkong dengan sangat sukses merajai meja makan kami. Membuatku mual setiap kali membayangkan akan melihat tumpukan yang sama lagi hari ini dan hari-hari selanjutnya. Membuatku menyesal karena telah begitu memuja gethuk.

Suatu ketika sepulang sekolah aku kembali melihat Ibu mengupas setumpuk singkong. Aku hanya berdiri di tempatku mengawasinya dengan curiga.
“Ibu akan bikin gethuk.” ujarnya tanpa kutanya.

Aku hanya diam. Tidak ikut menyibukkan diri membantunya mengolah singkong itu menjadi penganan yang pernah begitu kupuja. Dia juga tidak meminta bantuanku. Dia pasti telah menangkap kemarahan kami semua karena sudah letih dengan keberadaan singkong di rumah kami.

Aku masih mengawasinya merapikan tempat mengupas kulit singkong tadi, merebus singkong, kemudian menumbuknya dengan sabar hingga gethuk pun menampakkan wujudnya. Tapi aku hanya bergeming di tempatku. Gethuk yang sekian lama menjadi primadona di hatiku sekarang tidak lebih baik dari onggokan singkong rebus yang selalu membuat perutku mual.

Cintaku pada gethuk sudah terkikis. Habis.

Tidak ada yang menyentuh gethuk itu. Hanya Ibu yang memakannya seiris lalu gethuk itu dibiarkan begitu saja di meja, hingga dingin. Gethuk dingin yang akhirnya dihibahkan kepada tetangga yang menyambutnya dengan sukacita. Biarlah. Meskipun itu adalah kali terakhir aku melihat sosok gethuk di rumah kami. Aku tidak akan merindukannya. Semua sudah usai. Seperti sosok Ayah yang perlahan tapi pasti mulai samar sebelum akhirnya menguap. Hilang.

Kami tidak pernah membahas tentang gethuk lagi. Meskipun ketika nasi berhasil mengambil alih kembali tempatnya yang terhormat di meja makan. Satu per satu kakak-kakakku menikah dan seperti kebanyakan anak perempuan yang tetap peduli dengan keluarganya, maka kehidupan kami pun sedikit terbantu.

Namun gethuk tetaplah menjadi hal yang sangat tabu untuk dibicarakan.

Hingga hari itu ketika kami mendapat kabar Ayah kami sedang sakit keras dan di waktu-waktu terakhirnya dia sangat ingin bertemu dengan kami semua, termasuk perempuan yang sudah ditinggalkannya. Ibu tidak mengatakan apa-apa. Hanya berjalan pelan ke dapur menghampiri suatu tempat di pojok, tempat dia menyimpan alat penumbuk singkong.

Dia berjalan ke samping rumah, mencabut sebatang pohon singkong dan dalam hening dia mulai mengupasnya. Satu per satu. Tanpa perlu dia beritahu, kami tahu apa yang akan dia buat.

Gethuk.

Penganan yang belakangan ini begitu kubenci, namun ternyata sangat dinanti oleh Ayah yang sudah mendekati ajal.“Ini gethuk yang paling enak…” ujar Ayah kala itu.

Mata tuanya berkaca-kaca. Mereka bertatapan. Setelah sekian lama. Tidak ada kata-kata yang terucap, namun aku bisa merasakan jalinan halus yang menghubungkan mereka, berisi kata-kata yang sudah sekian lama menunggu untuk diucapkan. Kata-kata dari hati mereka yang terdalam.

Ayah akhirnya wafat dengan senyum damai dan lega terpancar di wajahnya. Sebelah tangannya masih memegang gethuk yang baru dia nikmati segigitan.

Gethuk yang rasanya lain dari biasanya.

Gethuk yang menyimpan kepedihan Ibu di dalam bulir-bulir air matanya yang ikut tumpah, bercampur dengan gula aren dan singkong rebus yang ditumbuknya. Khusus untuk satu-satunya laki-laki yang masih dan mungkin akan terus dia cintai.

Dan saat itu aku sadar. Bagi Ibu gethuk bukanlah sekedar penganan.
Gethuk adalah pengikat perasaan mereka berdua.
Penghubung.

***
“Monggo, Bu… Gethuk-nya…” teguran Bi Inah menyadarkanku yang entah sejak kapan sudah duduk sendirian di beranda belakang rumahku dengan buku terbuka di pangkuan.

Sepiring gethuk, seteko teh hangat, dan sejuta kenangan.

Sepeninggalnya tanganku terulur lalu meraih sepotong gethuk yang sudah dibalur parutan kelapa. Menggigitnya perlahan, merasakan kembali perasaan yang sama dengan yang kurasakan kala itu. Bersamaan dengan gumpalan di dadaku yang perlahan mulai mencair dan mencari jalan keluar terdekatnya lewat sepasang mataku. Mengalir deras tanpa susah payah berusaha kubendung.

Setelah sekian lama. Dan perasaanku tidak berubah.

Aku tetap mencintainya. Gethuk.

Aku agak tersentak ketika tiba-tiba sepasang lengan melingkari pundakku. Disusul kecupan ringan di pipiku yang basah.

“Gethuknya kelewat enak, yah? Kamu sampai terharu begitu?” tanyanya polos.

Aku menatap matanya beningnya yang dibingkai bulu mata lentik. Memejamkan mata ketika dengan penuh kasih sayang dia menghapus tangisku. Setelahnya aku meraih tangannya, mengajaknya ke gudang kecil di bawah tangga. Membuka pintunya lalu mengeluarkan seperangkat alat penumbuk singkong. Satu-satunya benda yang kuambil sebagai warisan dari Ibu.

“Aku akan membuatkanmu gethuk yang paling enak.”
“Jauh lebih enak dari yang tadi membuat kamu terharu?”
“Melebihi itu.”

Matanya berbinar. Persis seperti diriku kala itu. 

Rabu, 14 November 2012

Dua Kupu


“Mama nggak pulang malam ini, abis arisan kami langsung nginep di rumah Tante Ratri.” ujar Mama setengah tergesa. Aku mengiyakan lalu pembicaraan pun berakhir.

Setelahnya aku menghenyakkan diri di sofa. Melirik waktu yang terpampang sempurna di dinding. Sesaat sebelum klakson mobil menjerit di depan pagar. Aku langsung menyambar tasku, menghampiri mobil hitam metalik yang akan mengantarku bertugas malam ini.

“Pelanggan kali ini sangat istimewa meski maunya terkadang aneh-aneh. Meski biasanya paling suka yang seger-seger kayak kamu, kali ini dia malah pengen diladeni dua perempuan beda generasi.” cerocos Boy lancar ketika aku sudah masuk di dalam mobilnya. Perjalanan kami berakhir di pelataran hotel mewah. Aku turun dan seperti biasa langsung menemui tamuku itu di kamarnya.

Pria itu terlihat sumringah melihatku. Matanya pun tidak segan-segan langsung menjilati sekujurku dengan rakusnya. Mengajakku masuk. ”Angela, ini dia partnermu malam ini...” ujarnya pada perempuan lain yang ternyata sudah tiba lebih dulu. Aku mengikutinya dan langkahku mendadak terhenti ketika Angela muncul di hadapanku lengkap dengan matanya yang terbelalak.

Mama...

Selasa, 04 September 2012

Bayang Samar di Hatimu


Berkas-berkas cahaya Sang Surya dengan garang menerobos sela-sela tirai yang sepertinya lupa merapat menaungiku. Aku berguling sembari mendecak berusaha mencari tempat yang lebih tersembunyi, ditonton tirai yang terlalu sopan dalam kebisuannya sehingga tidak lancang melakukan apa pun sebelum kuminta.

Putus asa karena tidak jua menemukan tempat persembunyian dari sundutan pandangannya yang tajam menyilaukan, akhirnya aku menyerah. Duduk di tengah ranjang yang acak-acakan. Mataku perih. Tanpa perlu memastikan lewat cermin aku tahu bagaimana rupaku sekarang.

Aku terlonjak oleh getaran ponsel yang ternyata tertimpa pahaku. Nama Indy berkedip-kedip di sana. Aku malas menjawab, tapi sadar itu tidak akan menghentikan terornya. Maka aku mengambil keputusan yang lebih bijak dan menekan tombol untuk menjawabnya, ”Halo...”
”Kamu gak ngantor hari ini?”serbunya.
”Nggak. Aku rada kurang enak badan, Ndy... Tolong mintakan izin ke Bu Jeanne yah.” sahutku serak.
”Kamu nggap apa-apa, Dan?” tanyanya setelah jeda sesaat.
”Iya. Cuma gejala flu kayaknya. Gak apa-apa, kok.”
”Oh ok. Pantes suara kamu serak. Istirahat aja hari ini. Lekas sembuh, yah...” Aku mengangguk meski sadar dia tidak akan melihatnya lalu mengakhiri pembicaraan kami.

Setelahnya aku kembali bergelung di ranjangku. Diam di sana. Menatap kosong ke satu titik dengan pikiran mengawang tanpa sanggup kucegah. Dengan mudahnya menghadirkan kembali kejadian semalam diikuti pertanyaan-pertanyaan tentangnya yang merongrongku. Dan itu hanya memicu perih yang menularkan rasa panas di kedua sudut mataku. Meleleh serupa lahar panas membakar permukaan yang dilewatinya. Aku hanya pasrah membiarkannya, berharap dengan demikian maka rasa perih ini akan berkurang.

Tapi yang terjadi hanyalah gelombang besar yang tercipta, dengan ganas meraupku ke dalam pusarannya. Mengombang-ambingkanku sekena hati, tanpa sedikit pun usahaku melawan kehendaknya. Hal yang sudah begitu fasih kulakukan ketika merelakan hatiku untuk dipenuhi olehnya.

Bella.

***
Sejak di hari pertama mengenalnya, Bella sudah menarik hatiku. Sorot matanya yang lembut, suaranya yang senantiasa mengalun lembut saat dia berbicara, dan tawanya yang manis hanyalah segelintir mantera dari keseluruhan sihir berujud dirinya. Sihir maha dahsyat yang tanpa kesulitan berarti langsung menjeratku di dalam labirinnya. Bertekuk lutut tanpa perlawanan apa-apa di hadapannya. Lalu bermimpi tentang segala keindahannya yang hanya akan jadi milikku. Terlalu buta atau terlalu tolol untuk sadar bahwa sudah ada yang lebih dulu memilikinya. Bahwa segala pendar miliknya tidak akan dibagi-bagikannya selain hanya kepada orang yang sudah dia pilih.

Aku serupa prajurit garis depan yang hanya bermodalkan keyakinan tanpa senjata dan perlengkapan perang yang memadai. Aku hanya prajurit ingusan yang terlanjur mabuk oleh mimpi-mimpi untuk bisa meraih kemenangan, berhadapan dengan musuh yang lebih mapan dan matang persiapannya. Aku hanya prajurit lugu tak berharga yang hanya layak dijadikan umpan untuk mengecoh lawan.

Aku hanya... Terlanjur jatuh cinta padanya.

Dan dia tahu. Dengan. Sangat. Jelas. Semua. Perasaanku.

Lalu berenang-renang dengan tenang di sana. Berkecipak menghasilkan riak di sekelilingnya. Mengaduk-aduk seisinya. Menciptakan ombak, gelombang bahkan pusaran. Apa pun yang dia inginkan. Dialah ratu yang menguasai tempat itu sepenuhnya.

“Aku mendadak diundang makan malam bareng keluarga Hans besok. Gak apa-apa, yah?” ujarnya  dengan tampang bersalah.
”Gak apa-apa dong. Lain kali masih bisa kok.” ujarku.
”Beneran? Kamu nggak marah, kan?” Aku menggeleng kuat-kuat.
”Gak kok. Undangan itu lebih penting. Kita nontonnya kapan-kapan ajah.” Dia menatap mataku lekat selama beberapa saat seolah ingin memastikan sebelum akhirnya mengangguk lega. Dia kembali berbinar. Relungku kembali hangat.

Ya. Hanya itu yang kubutuhkan. Binar di rautnya dan aku pun kembali bernapas.

Aku menatap dua lembar tiket yang baru bisa kuraih setelah antre berjam-jam hanya karena dia sangat suka dengan aktor yang menjadi bintang utamanya, sekarang tidak ada bedanya dengan kertas bekas memo yang tidak terpakai lagi. Dan satu-satunya tempat yang layak buatnya sekarang hanya di tong sampah.

Ya, tidak mengapa. Seberapa banyak janji yang akhirnya harus dibatalkan hanya karena mendadak Hans punya rencana untuk mereka berdua. Seberapa banyak rasa kecewa yang menggunung ketika semangat yang berkobar hanya bisa pasrah tersiram air sedingin es, menyisakan desis dan gigil di relungku. Tidak mengapa. Aku rela.

”Setelah segala kekecewaan itu, kenapa sih kamu masih tetap ngotot masuk di antara mereka? Emangnya kamu gak liat Bella sangat mencintai Hans? Seluruh dunia tau itu.” cetus Indy suatu ketika saat kami makan siang bersama.

Bukan kali ini saja dia melontarkan pernyataan itu sekedar untuk mengingatkan posisiku. Tapi semua nesehatnya hanya nangkring sejenak, mengusap permukaanku yang keras lalu lenyap tak berbekas. Kalau aku diumpamakan bongkahan batu dan nasehatnya adalah air yang meski bisa melubangiku, maka butuh berapa abad hingga hal itu terjadi? 

Lagipula tidak tepat jika dia menuduhku yang terlalu ngotot masuk di antara mereka. Karena jika Hans adalah cahaya di hatinya, maka aku hanyalah bayang-bayang. Dan letak bayang-bayang tak lain hanyalah di belakang. Tersembunyi dan diabaikan. Terlalu samar untuk dianggap ada. Lihatlah. Aku bahkan tidak cukup terhormat untuk berada di antara mereka. Sedikit pun. Tapi meskipun demikian tidak mengapa. Aku rela.

Namun kesabaran selalu berbuah manis. Aku telah membuktikannya sendiri. Seperti hari itu saat Bella mendadak muncul di depan rumahku, lalu tanpa aba-aba menghambur ke dalam pelukanku menumpahkan tangis sekaligus lukanya di dadaku. Hans telah meninggalkannya.

”Dia pasti sedang mempermainkan kamu, Dan. Masa kamu gak sadar? Dia cuma sedang sakit hati karena Hans meninggalkannya.” Aku hanya mendecak tak sabar ketika Indy lagi-lagi menghujaniku dengan kata-kata bijaknya.
”Ndy, dulu waktu aku masih berusaha mengejar kamu bilang ngotot menyelinap di antara mereka. Sekarang setelah aku akhirnya bisa bersamanya, kamu malah menuduh dia sedang mempermainkan aku? Harusnya kamu ngasih selamat.”
”Dan, dengerin aku dulu...” Aku menggeleng.
”Apa sih susahnya ikut berbahagia saat sahabat kita sedang berbahagia juga?” tandasku membungkamnya.

Setelah itu Indy memang tidak lagi mengungkit-ungkit tentang aku dan Bella. Dia memang sahabatku, tapi rasanya keterlaluan jika dia terus-terusan berprasangka buruk terhadap perempuan yang kucintai. Setelah sekian lama aku hanya menjadi bayang-bayang samar di relungnya, sekarang tatapannya benar-benar tertuju padaku. Setelah sekian lama hanya bisa memimpikannya, sekarang dia begitu nyata di dalam pelukanku. Setidaknya hingga saat aku melihat nama Hans berkedip-kedip di ponselnya.

Bella memang tidak mengelak masih sesekali berhubungan dengan Hans, namun menurutnya hubungan mereka sekarang hanyalah sebatas teman. Dan apakah aku sudah berhak marah atau cemburu? Dan jika memang sudah, apakah aku bebas menggunakan hak untuk itu? Setidaknya Bella jujur padaku. Itu sudah cukup. Benarkah?
”Aku memang berjanji akan belajar mencintaimu, Dan. Tapi aku masih butuh waktu dan kuharap kau mengerti. Hubungan kita sekarang ini...” Dia tidak meneruskan kalimatnya seolah kebingungan mencari-cari kata yang sepadan untuk 'hal' itu.

Dan detik itu juga aku sadar bahwa ternyata aku masih berupa bayang-bayang samar di relungnya yang masih dipenuhi cahaya bernama Hans. Meski dia memang telah mempersilahkanku masuk, namun itu hanya basa-basi kesopanan terhadap tamu. Tamu yang tidak menetap selamanya. Tamu yang harus dengan sukarela dipersilakan pergi kapan pun tuan rumah menghendaki. Namun lagi-lagi meskipun dengan segala kesadaran yang memerihkan itu. Aku rela.

***
Aku berdiri di depan pagar rumahnya, menunggu dibukakan. Hal yang nekad kulakukan setelah selama hampir sebulan belakangan dia menghindariku. Hal yang mungkin dia rasa demi kebaikanku, namun ternyata itu membuatku semakin lemah. Ketiadaannya seolah merenggut kehidupanku. Keacuhannya membuat keberadaanku menjadi tak berarti. Sebut aku tolol, gila, atau entah apa pun, tapi setelah semua yang terjadi di antara kami perasaanku padanya tidak berkurang.

Aku akhirnya melihatnya menghampiri lalu membuka pagar dengan raut datar. Seberapa dingin sikapnya tidak menyurutkan niatku. Setelah aku masuk, dia pun menutup pintu lalu berjalan mendahuluiku. Aku menahan tangannya.
”Bella, aku nggak akan lama-lama.” ujarku.
”Apalagi yang mau diomongin, Dan? Setelah semuanya…” Aku menelan ludah.

”Aku sadar sampai kapan pun aku nggak akan cukup pantas buatmu. Tak berhak mendapatkan cintamu. Tapi aku merasa tetap berhak mencinta kamu.” kataku memulai. Dia menatapku dengan pandangan yang tak mau repot-repot kuterjemahkan.

”Meski mungkin di hatimu aku bahkan tidak masuk hitungan yang kesekian. Meski mungkin segala perasaanku ini tidak ada nilainya di matamu. Terserah kamu mau menyebutku apa. Aku rela.” lanjutku. Tak sedetik pun aku memalingkan pandangan darinya. Sekilas aku melihat riak halus di matanya.

”Cinta ini masih milikmu.”

Dia tidak mengatakan apa-apa hingga aku berlalu dari hadapannya. Melangkah gagah penuh kemenangan menghampiri mobilku. Masuk ke dalam dan selama beberapa saat hanya duduk diam. Hingga akhirnya kehangatan kembali mengisi relungku dan seluruh organku kembali bekerja.

Aku menyalakan radio. Musik pun mengalun mengiringi perjalananku.

♪ Aku rela ooo aku rela
Bila aku hanya menjadi
Selir hatimu untuk selamanya
Ooo aku rela ku rela
Ooo aku rela ku rela ♫

Senyumku mengembang.
Asin dan basah...