“COPEETTT…!!! COPEEETTT…!!!”
Teriakan
nyaring itu langsung membuyarkan lamunanku. Tubuhku refleks langsung bergerak
saat mataku menangkap sosoknya. Seorang laki-laki yang tergesa-gesa di antara
pengunjung pasar yang padat. Bersama-sama dengan beberapa laki-laki lain kami
pun segera mengejar pelaku yang tidak bisa melarikan diri lebih jauh. Terjebak
keramaian pasar.
Laki-laki
itu terlihat bingung ketika kami menyergapnya dan langsung melayangkan pukulan
bertubi-tubi. Bukan hanya meninju dan menendangnya, kami bahkan juga
menghantamkan beberapa balok yang berserakan tidak jauh dari tempat kami
menyergapnya sembari memaki-maki, tak peduli dengan bantahan dan permohonan
ampunnya.
Tidak
lama kemudian perempuan yang tadi meneriakkan sirine itu pun muncul
terengah-engah dan kami memberinya jalan menghampiri tubuh yang sudah tergolek
lemah. Darah segar menutupi wajahnya.
“Bukan…
Bukan dia…” ujarnya terisak.
Lagi-lagi
seperti dikomando, beberapa laki-laki yang tadi ikut berjibaku menghajar ‘copet’
itu langsung menghilang. Tinggal aku sendiri yang masih berdiri di dekatnya,
menyaksikan napasnya yang tersengal. Tangannya mendadak bergerak, melambai
seolah memanggilku. Dalam lautan rasa bersalah dan ketakutan aku
menghampirinya. Mulutnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu yang tidak
sampai ke telingaku. Aku segera mendekatkan telinga untuk menangkap
kata-katanya.
“Dahlan…
Dahlan…”
Sesaat
kemudian dia seperti terkena cegukan, lalu terbujur. Diam. Bersamaan dengan
munculnya dua orang petugas yang tanpa kesulitan berarti mengamankanku.
***
Aku
lagi-lagi berdiri di sini. Di depan rumah sederhana yang tidak terurus.
Maklumlah, pemiliknya tidak akan pernah pulang kembali ke rumah ini.
Sudah
tiga bulan berlalu sejak kejadian itu dan aku baru dibebaskan dari tahanan.
Hukuman yang rasanya kurang layak kuterima mengingat perbuatanku yang seenaknya
mencabut kehidupan seseorang. Tanpa belas kasihan. Berbuah sesal.
Selama
di dalam tahanan aku sudah berjanji dalam hati untuk menunaikan wasiat terakhir
laki-laki itu. Wasiat yang diucapkan dengan susah payah ketika nyawanya akan
tercerabut dari raganya. Wasiat yang aku sendiri bahkan tidak mengerti
maksudnya, selain sebuah nama. Dahlan.
Siapa
Dahlan?
Laki-laki
itu bernama Aris dan dia belum menikah. Lalu siapa Dahlan? Keluarganya yang
lain? Aku sudah bertanya ke semua tetangganya dan mereka tidak pernah tahu
tentang kerabatnya yang bernama Dahlan. Mereka hanya tahu laki-laki itu adalah
seorang perantau yang bekerja serabutan, namun mereka juga tidak tahu dari mana
dia berasal.
Buntu.
“Kamu
teman Aris?”
Ini
adalah kunjunganku yang kesekian kalinya dan baru kali ini aku bertemu
dengannya. Perempuan bermata tajam dengan raut wajah serius. Rambutnya yang
kecoklatan diikat ekor kuda, memamerkan lehernya yang jenjang. Kulitnya yang
kecoklatan membuatnya terlihat makin berkilau diterpa cahaya matahari.
“Kamu
teman Aris?!” ulangnya membuatku gelagapan.
“Eh,
iya. Kenalannya…” sahutku cepat.
“Kalau
begitu kamu pasti tahu dia… Sudah meninggal?” tanyanya lagi dengan sebelah alir
terangkat. Menyelidik. Curiga.
“Aku
tahu…” Aku menelan ludah ketika kalimat itu meluncur mulus dari sela bibirku.
Aku yang telah membunuhnya, hampir saja kutambahkan kalimat itu.
“Lalu
kenapa kamu masih ke rumahnya?!” Apakah memang sudah menjadi gayanya bertanya
seperti petugas yang menginterogasiku selama 48 jam nonstop?
“Demi
wasiatnya…”
“Wasiat?
Jadi kamu… Bersamanya di saat-saat terakhirnya?!”
Aku
mengangguk lemah. Kepalaku mendadak jadi terlalu berat untuk ditopang leherku.
Hanya menekuri tanah di hadapanku.
“A…
Apa wasiatnya?” Ada
getaran di suaranya, pertanda tangis yang semakin dekat menghampiri. Dengan
susah payah aku mengangkat wajahku. Tatapan kami bertemu. Aku menghela napas,
berharap gumpalan di dadaku mengempis.
“Dahlan…”
sahutku. Tercekat.
***
Namanya
Juwita. Nama yang sangat pas menggambarkan sosoknya. Dia adalah salah seorang
pelanggan setia bakso dagangan Aris. Hampir setiap ada kesempatan dia akan
nongkrong di warung bakso, meski hanya untuk sekedar membantu melayani pelanggan
lainnya.
Juwita
adalah gadis seperti mahasiswi kebanyakan, namun entah kenapa dia bisa tertarik
pada sosok Aris. Di matanya Aris adalah sosok laki-laki yang punya tekad dan
cita-cita, serta tidak setengah-setengah menjalaninya. Meskipun dia hanya seorang
pemuda miskin dari kampung, entah kenapa Juwita selalu merasa tersihir dengan pandangan
hidupnya yang tidak neko-neko. Jujur. Lurus. Apa adanya.
Tanpa
perlu dia jelaskan secara gamblang, aku tahu perasaan yang terjalin di antara
mereka. Aris seperti dunia baru dan asing bagi Juwita yang selama ini lebih
banyak dimanjakan oleh fasilitas dunia yang mapan. Aris adalah sosok idealis
yang mungkin sudah terlalu lama raib ditelan paham yang dianut kaum realistis.
Bersama
Aris juga dia mengenal kehidupan kaum papa yang selama ini selalu
terpinggirkan. Tentang anak-anak yang harus berakhir kehidupannya tanpa sempat
mengenyam mimpi yang tidak jarang terlalu remeh bagi mata orang kebanyakan.
Juwita
yang mempertemukanku dengan Dahlan. Seorang anak yang divonis menderita kanker
tulang stadium akhir sehingga bulan lalu sepasang kakinya harus diamputasi demi
menyelamatkan nyawanya. Dahlan yang begitu mengidolakan Aris yang serupa
malaikat utusan Tuhan di matanya. Aris yang kerap menemaninya agar tidak perlu
menahan sakit sendirian. Aris yang menyayanginya dengan tulus seperti kakak
yang tidak pernah dia miliki.
Dahlan
yang… Tidak tahu bahwa malaikat penolongnya itu sudah tidak ada lagi di dunia
ini. Karenaku.
“Tiga
bulan yang lalu Dahlan ultah, Oom…” katanya sembari dengan lancar menyebutkan
tanggal ulang tahunnya. Jantungku bagaikan diremas mengingat hari itu. Suatu
hari yang tidak akan pernah bisa kuenyahkan dari dalam benakku. Mungkin untuk
selamanya. “Kak Aris janji datang, tapi sampai sekarang dia nggak muncul.” sambungnya
setengah merajuk. Juwita melirikku, seolah memberi tanda agar aku menjaga
ucapanku.
“Mungkin
Kak Aris lagi sibuk?” ujar Juwita menengahi.
Aku
ikut mengangguk mengiyakan.
“Tapi
biasanya meski abis lembur bikin bakso, Kak Aris akan tetap datang!” sambungnya
lagi. Kali ini kekesalan terpancar di rautnya yang pucat.
“Tapi
Dahlan senang kan
bisa ngerayain ultah bareng temen-temen?” Juwita rupanya masih belum mau
menyerah membujuk.
“Tapi
Kak Aris udah janji. Dia janji mau ngasih hadiah istimewa buat Dahlan.” Matanya
mulai berkaca-kaca. Sekujur tubuhku akan segera meledak menjadi serpihan.
Berisi penyesalan dan dosa.
“Emangnya
Kak Aris janji mau ngasih hadiah apa?” tanyaku sembari menabahkan hati.
Sepasang mata beningnya menatapku, seperti teropong yang bisa menatap jauh ke
dalam sukmaku.
“Sepatu
baru… Dia juga janji mau ngajakin Dahlan jalan-jalan, Oom…”
Andaikan
saja sekarang nyawaku dicabut untuk ditukarkan denggan kehidupan Aris, aku akan
rela. Aku yang tidak layak hidup lebih lama setelah dengan tega merenggut
satu-satunya impian Dahlan di hari ulang tahunnya.
***
Aku
melingkari tanggal di kalender. Lusa adalah ulang tahun Dahlan. Ulang tahun
yang untuk pertama kalinya dia rayakan denganku, yang lambat laun bisa dia
terima sebagai pengganti Aris di sisinya. Satu-satunya hal yang mungkin paling
layak kulakukan setelah semua perbuatanku.
Meskipun
Juwita tidak akan pernah memaafkanku. Mungkin selamanya.
Aku
memang akhirnya mengakui semua kepada perempuan itu. Aku tidak menyalahkan
dirinya yang mungkin akan membenciku selamanya sebagai orang yang bertanggung
jawab untuk kehilangan Dahlan. Aku juga tidak berharap semua yang kulakukan
untuk mereka selama ini akan dapat menghapus semua luka yang sudah kutorehkan.
Tidak
ada penjara yang lebih kejam dan menyakitkan daripada rasa bersalah.
Dan
selama ini aku sudah cukup menderita berdiam di dalamnya.
Jika
aku memang masih punya kesempatan untuk menebusnya di kehidupanku yang
sekarang, maka tidak akan ada sedetik pun yang akan aku lewati sia-sia. Itu adalah
janji mati yang kubuat sendiri untukku dan Aris di alam sana.
Siang
ini sesuai rencana aku pun tiba di rumah Dahlan yang sudah ramai dengan para
undangan dan tentu saja Juwita, yang langsung menatapku tajam ketika aku
berjalan melewati gerbang. Dahlan terlihat sumringah di kursi rodanya dan
langsung mengulurkan tangannya menyambutku. Aku mengucapkan selamat ulang tahun
kepadanya dan acara pun dimulai. Air mataku menitik kala mengingat harusnya
tiga tahun yang lalu Aris berada di sini, ikut bertepuk tangan sembari
bersama-sama menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ untuknya.
Dahlan
memejamkan mata, berdoa dalam hati sebelum meniup seluruh lilin yang menyala.
Memotong kue yang dipersembahkannya untuk Juwita dan aku. Lalu setelahnya
memulai sesi pembukaan kado dari para undangan. Matanya berbinar ketika melihat
baju yang diberikan Juwita dan langsung mengenakannya.
“Oom,
kadonya mana?” tagihnya. Bersamaan dengan itu ponselku berdering. Aku menatap
nama yang terpampang di layar lalu tersenyum. Sudah waktunya.
“Ada dong. Kado paling
istimewa. Tapi nggak bisa dibawa ke dalam sini. Kegedean. Dahlan harus ikut ke
depan gerbang. Tapi matanya ditutup yah?”
Matanya
yang bening memancarkan rasa penasarannya, demikian juga Juwita yang meski terlihat acuh namun ikut
penasaran. Sembari disemangati anak-anak lain, aku pun mendorong kursi rodanya
menyusuri jalan setapak hingga tiba di gerbang. Di sana sebuah mobil box berwarna putih sudah
menunggu dengan gerobak terbuka.
Melihat
kemunculan kami, beberapa orang pria pun segera keluar dan menghampiri. Dahlan yang
matanya tertutup terlihat bingung ketika mereka dengan hati-hati mengangkat
tubuhnya ke mobil. Dan dengan disaksikan semuanya, mereka pun memasangkan
sepasang kaki palsu ke kaki Dahlan.
Dahlan
terdiam. Tubuhnya seolah membeku ketika dengan perlahan mereka melepas penutup
matanya. Salah seorang petugas membantunya berdiri dan membimbingnya yang
berjalan tertatih-tatih menghampiriku dengan wajah bersimbah air mata. Kami
berpelukan.
“Makasih,
Oom… Dahlan jadi punya sepatu baru!” serunya di antara isak tangis. Aku
memeluknya lebih erat.
Seseorang
menyentuh pundakku. Aku mendongak. Juwita menatapku. Tidak ada lagi amarah di sana. Di belakangnya aku
melihat sosok itu. Ikut tersenyum sebelum lenyap tersapu angin. Aris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar