Tidak seperti biasanya aku menemani
Bi Inah berbelanja ke pasar tradisional yang tidak terlalu jauh letaknya dari
rumahku. Tapi daripada menganggur di rumah, lebih baik aku keluar dan menikmati
petualangan kecil di pasar yang nyaris tidak pernah kumasuki. Pasar yang
suasananya begitu asing denganku yang selama ini sudah terlalu dimanjakan oleh
fasilitas berbelanja yang nyaman di pusat-pusat perbelanjaan modern yang
mentereng.
“Bu, kita nggak sekalian beli camilan?”
tegur Bi Inah tiba-tiba setelah kami selesai membeli semua keperluan.
“Camilan? Camilan apa, Bi?”
“Tuh ada gethuk.” tunjuknya ke salah
satu etalase pedagang yang menjual aneka penganan tradisional. “Gethuknya enak lho,
Bu! Jarang lagi nemunya.” sambungnya lagi setengah berpromosi. Dia pasti sangat
kepingin.
“Ya udah. Beli ajah…” ujarku
akhirnya.
“Iya. Cocok buat teman minum teh
sore-sore.” katanya lagi sebelum bergegas menghampiri pedagang itu. Aku hanya
mengamatinya dari tempatku berdiri. Pandanganku kabur oleh kelebatan bayangan
lain yang bergerak semakin lambat dan jelas. Detik demi detik.
***
Aku baru pulang sekolah ketika
melihat Ibu sedang sibuk mengupas setumpuk singkong. Aku langsung
menghampirinya. Rasanya selalu asik membayangkan penganan apa lagi yang akan
dibuat Ibu sore itu.
“Mau dibikin apa, Bu?” sapaku setelah nongkrong di depannya, sembari mengumpulkan sampah kulit singkong yang agak terpisah.
“Gethuk.” sahutnya sembari melirik
sekilas. Dia pasti hanya ingin memastikan binar-binar itu berloncatan dari
mataku. Buktinya sekarang senyum tersungging di bibirnya.
Aku sama seperti Ayah. Kami sangat
menyukai gethuk. Aku akan selalu meminta Ibu mengolah singkong yang tersedia
untuk menjadi gethuk. Aku bahkan bersedia ikut berjibaku membantu proses
pengolahannya. Membersihkan singkong lalu merebusnya, dilanjutkan dengan
menumbuknya bersama-sama dengan irisan gula aren yang sesekali kucomot dan
kuhisap seperti permen.
Hidungku sangat hapal dengan harumnya
asap singkong yang menguap saat ditumbuk hingga halus dan bercampur rata dengan
gula aren berubah menjadi gethuk. Gethuk yang masih hangat. Tetap enak dengan
atau tanpa baluran kelapa parut.
Membayangkannya selalu berhasil
membuat liurku menitik.
Kehidupan keluargaku yang sederhana
plus banyak anak memang memaksa Ibu menjadi lebih kreatif untuk membuatkan
aneka penganan pengganti jajanan yang harus dibeli dengan uang yang sudah tentu
tidak termasuk di dalam anggaran belanjanya. Cukup dengan membeli singkong yang
murah dari kebun tetangga, selanjutnya kami bisa menikmati penganan yang tak
kalah enak dari jajanan luar.
Hampir setiap hari selalu ada
singkong di rumah kami. Bahkan suatu waktu Ibu memutuskan untuk menanam
singkong, meski hanya di sebidang tanah sempit di samping rumah. Setidaknya
bisa menghemat daripada harus terus-terusan membeli. Jadi kami tidak takut
kehabisan persediaan singkong yang sewaktu-waktu akan berubah menjadi aneka
penganan buat kami dan sebagai penuntas lapar ketika beras di rumah kebetulan
habis yang belakangan semakin sering terjadi. Sejak Ayah mulai jarang pulang
karena terlalu sibuk mengurusi keluarga barunya di sana.
Betapa ingin aku mengeluh ketika
hanya menemukan setumpuk singkong rebus di balik tudung saji ditemani lauk
seadanya. Betapa ingin aku memberontak, tidak ingin memakannya meski akhirnya
selalu dikalahkan oleh raungan perutku yang keroncongan. Betapa ingin aku
berteriak kepada Ibu bahwa meskipun aku sangat menyukai gethuk yang terbuat
dari singkong, tapi aku tidak rela jika singkong yang menjadi raja di meja
makan kami, menggantikan posisi nasi yang pulen.
Tapi bibirku hanya terkunci. Tidak
ada keluhan dan kekesalan ketika setelahnya singkong dengan sangat sukses
merajai meja makan kami. Membuatku mual setiap kali membayangkan akan melihat
tumpukan yang sama lagi hari ini dan hari-hari selanjutnya. Membuatku menyesal
karena telah begitu memuja gethuk.
Suatu ketika sepulang sekolah aku
kembali melihat Ibu mengupas setumpuk singkong. Aku hanya berdiri di tempatku
mengawasinya dengan curiga.
“Ibu akan bikin gethuk.” ujarnya
tanpa kutanya.
Aku hanya diam. Tidak ikut
menyibukkan diri membantunya mengolah singkong itu menjadi penganan yang pernah
begitu kupuja. Dia juga tidak meminta bantuanku. Dia pasti telah menangkap
kemarahan kami semua karena sudah letih dengan keberadaan singkong di rumah
kami.
Aku masih mengawasinya merapikan
tempat mengupas kulit singkong tadi, merebus singkong, kemudian menumbuknya
dengan sabar hingga gethuk pun menampakkan wujudnya. Tapi aku hanya bergeming
di tempatku. Gethuk yang sekian lama menjadi primadona di hatiku sekarang tidak
lebih baik dari onggokan singkong rebus yang selalu membuat perutku mual.
Cintaku pada gethuk sudah terkikis.
Habis.
Tidak ada yang menyentuh gethuk itu.
Hanya Ibu yang memakannya seiris lalu gethuk itu dibiarkan begitu saja di meja,
hingga dingin. Gethuk dingin yang akhirnya dihibahkan kepada tetangga yang
menyambutnya dengan sukacita. Biarlah. Meskipun itu adalah kali terakhir aku
melihat sosok gethuk di rumah kami. Aku tidak akan merindukannya. Semua sudah
usai. Seperti sosok Ayah yang perlahan tapi pasti mulai samar sebelum akhirnya
menguap. Hilang.
Kami tidak pernah membahas tentang
gethuk lagi. Meskipun ketika nasi berhasil mengambil alih kembali tempatnya
yang terhormat di meja makan. Satu per satu kakak-kakakku menikah dan seperti
kebanyakan anak perempuan yang tetap peduli dengan keluarganya, maka kehidupan kami
pun sedikit terbantu.
Namun gethuk tetaplah menjadi hal
yang sangat tabu untuk dibicarakan.
Hingga hari itu ketika kami mendapat
kabar Ayah kami sedang sakit keras dan di waktu-waktu terakhirnya dia sangat ingin
bertemu dengan kami semua, termasuk perempuan yang sudah ditinggalkannya. Ibu
tidak mengatakan apa-apa. Hanya berjalan pelan ke dapur menghampiri suatu
tempat di pojok, tempat dia menyimpan alat penumbuk singkong.
Dia berjalan ke samping rumah, mencabut
sebatang pohon singkong dan dalam hening dia mulai mengupasnya. Satu per satu.
Tanpa perlu dia beritahu, kami tahu apa yang akan dia buat.
Gethuk.
Penganan yang belakangan ini begitu
kubenci, namun ternyata sangat dinanti oleh Ayah yang sudah mendekati ajal.“Ini gethuk yang paling enak…” ujar
Ayah kala itu.
Mata tuanya berkaca-kaca. Mereka
bertatapan. Setelah sekian lama. Tidak ada kata-kata yang terucap, namun aku
bisa merasakan jalinan halus yang menghubungkan mereka, berisi kata-kata yang
sudah sekian lama menunggu untuk diucapkan. Kata-kata dari hati mereka yang
terdalam.
Ayah akhirnya wafat dengan senyum
damai dan lega terpancar di wajahnya. Sebelah tangannya masih memegang gethuk
yang baru dia nikmati segigitan.
Gethuk yang rasanya lain dari
biasanya.
Gethuk yang menyimpan kepedihan Ibu
di dalam bulir-bulir air matanya yang ikut tumpah, bercampur dengan gula aren
dan singkong rebus yang ditumbuknya. Khusus untuk satu-satunya laki-laki yang
masih dan mungkin akan terus dia cintai.
Dan saat itu aku sadar. Bagi Ibu
gethuk bukanlah sekedar penganan.
Gethuk adalah pengikat perasaan
mereka berdua.
Penghubung.
***
“Monggo, Bu… Gethuk-nya…” teguran Bi
Inah menyadarkanku yang entah sejak kapan sudah duduk sendirian di beranda belakang
rumahku dengan buku terbuka di pangkuan.
Sepiring gethuk, seteko teh hangat,
dan sejuta kenangan.
Sepeninggalnya tanganku terulur lalu
meraih sepotong gethuk yang sudah dibalur parutan kelapa. Menggigitnya
perlahan, merasakan kembali perasaan yang sama dengan yang kurasakan kala itu.
Bersamaan dengan gumpalan di dadaku yang perlahan mulai mencair dan mencari
jalan keluar terdekatnya lewat sepasang mataku. Mengalir deras tanpa susah
payah berusaha kubendung.
Setelah sekian lama. Dan perasaanku
tidak berubah.
Aku tetap mencintainya. Gethuk.
Aku agak tersentak ketika tiba-tiba sepasang lengan melingkari pundakku. Disusul kecupan ringan di pipiku yang basah.
“Gethuknya kelewat enak, yah? Kamu sampai terharu begitu?” tanyanya polos.
Aku menatap matanya beningnya yang dibingkai bulu mata lentik. Memejamkan mata ketika dengan penuh kasih sayang dia menghapus tangisku. Setelahnya aku meraih tangannya, mengajaknya ke gudang kecil di bawah tangga. Membuka pintunya lalu mengeluarkan seperangkat alat penumbuk singkong. Satu-satunya benda yang kuambil sebagai warisan dari Ibu.
“Aku akan membuatkanmu gethuk yang
paling enak.”
“Jauh lebih enak dari yang tadi
membuat kamu terharu?”
“Melebihi itu.”
Matanya berbinar. Persis seperti
diriku kala itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar