Rabu, 06 Februari 2013

Cerpen : Gethuk



Tidak seperti biasanya aku menemani Bi Inah berbelanja ke pasar tradisional yang tidak terlalu jauh letaknya dari rumahku. Tapi daripada menganggur di rumah, lebih baik aku keluar dan menikmati petualangan kecil di pasar yang nyaris tidak pernah kumasuki. Pasar yang suasananya begitu asing denganku yang selama ini sudah terlalu dimanjakan oleh fasilitas berbelanja yang nyaman di pusat-pusat perbelanjaan modern yang mentereng.

“Bu, kita nggak sekalian beli camilan?” tegur Bi Inah tiba-tiba setelah kami selesai membeli semua keperluan.
“Camilan? Camilan apa, Bi?”
“Tuh ada gethuk.” tunjuknya ke salah satu etalase pedagang yang menjual aneka penganan tradisional. “Gethuknya enak lho, Bu! Jarang lagi nemunya.” sambungnya lagi setengah berpromosi. Dia pasti sangat kepingin.
“Ya udah. Beli ajah…” ujarku akhirnya.
“Iya. Cocok buat teman minum teh sore-sore.” katanya lagi sebelum bergegas menghampiri pedagang itu. Aku hanya mengamatinya dari tempatku berdiri. Pandanganku kabur oleh kelebatan bayangan lain yang bergerak semakin lambat dan jelas. Detik demi detik.

***
Aku baru pulang sekolah ketika melihat Ibu sedang sibuk mengupas setumpuk singkong. Aku langsung menghampirinya. Rasanya selalu asik membayangkan penganan apa lagi yang akan dibuat Ibu sore itu.

“Mau dibikin apa, Bu?” sapaku setelah nongkrong di depannya, sembari mengumpulkan sampah kulit singkong yang agak terpisah.
“Gethuk.” sahutnya sembari melirik sekilas. Dia pasti hanya ingin memastikan binar-binar itu berloncatan dari mataku. Buktinya sekarang senyum tersungging di bibirnya.

Aku sama seperti Ayah. Kami sangat menyukai gethuk. Aku akan selalu meminta Ibu mengolah singkong yang tersedia untuk menjadi gethuk. Aku bahkan bersedia ikut berjibaku membantu proses pengolahannya. Membersihkan singkong lalu merebusnya, dilanjutkan dengan menumbuknya bersama-sama dengan irisan gula aren yang sesekali kucomot dan kuhisap seperti permen.

Hidungku sangat hapal dengan harumnya asap singkong yang menguap saat ditumbuk hingga halus dan bercampur rata dengan gula aren berubah menjadi gethuk. Gethuk yang masih hangat. Tetap enak dengan atau tanpa baluran kelapa parut.

Membayangkannya selalu berhasil membuat liurku menitik.

Kehidupan keluargaku yang sederhana plus banyak anak memang memaksa Ibu menjadi lebih kreatif untuk membuatkan aneka penganan pengganti jajanan yang harus dibeli dengan uang yang sudah tentu tidak termasuk di dalam anggaran belanjanya. Cukup dengan membeli singkong yang murah dari kebun tetangga, selanjutnya kami bisa menikmati penganan yang tak kalah enak dari jajanan luar.

Hampir setiap hari selalu ada singkong di rumah kami. Bahkan suatu waktu Ibu memutuskan untuk menanam singkong, meski hanya di sebidang tanah sempit di samping rumah. Setidaknya bisa menghemat daripada harus terus-terusan membeli. Jadi kami tidak takut kehabisan persediaan singkong yang sewaktu-waktu akan berubah menjadi aneka penganan buat kami dan sebagai penuntas lapar ketika beras di rumah kebetulan habis yang belakangan semakin sering terjadi. Sejak Ayah mulai jarang pulang karena terlalu sibuk mengurusi keluarga barunya di sana.

Betapa ingin aku mengeluh ketika hanya menemukan setumpuk singkong rebus di balik tudung saji ditemani lauk seadanya. Betapa ingin aku memberontak, tidak ingin memakannya meski akhirnya selalu dikalahkan oleh raungan perutku yang keroncongan. Betapa ingin aku berteriak kepada Ibu bahwa meskipun aku sangat menyukai gethuk yang terbuat dari singkong, tapi aku tidak rela jika singkong yang menjadi raja di meja makan kami, menggantikan posisi nasi yang pulen.

Tapi bibirku hanya terkunci. Tidak ada keluhan dan kekesalan ketika setelahnya singkong dengan sangat sukses merajai meja makan kami. Membuatku mual setiap kali membayangkan akan melihat tumpukan yang sama lagi hari ini dan hari-hari selanjutnya. Membuatku menyesal karena telah begitu memuja gethuk.

Suatu ketika sepulang sekolah aku kembali melihat Ibu mengupas setumpuk singkong. Aku hanya berdiri di tempatku mengawasinya dengan curiga.
“Ibu akan bikin gethuk.” ujarnya tanpa kutanya.

Aku hanya diam. Tidak ikut menyibukkan diri membantunya mengolah singkong itu menjadi penganan yang pernah begitu kupuja. Dia juga tidak meminta bantuanku. Dia pasti telah menangkap kemarahan kami semua karena sudah letih dengan keberadaan singkong di rumah kami.

Aku masih mengawasinya merapikan tempat mengupas kulit singkong tadi, merebus singkong, kemudian menumbuknya dengan sabar hingga gethuk pun menampakkan wujudnya. Tapi aku hanya bergeming di tempatku. Gethuk yang sekian lama menjadi primadona di hatiku sekarang tidak lebih baik dari onggokan singkong rebus yang selalu membuat perutku mual.

Cintaku pada gethuk sudah terkikis. Habis.

Tidak ada yang menyentuh gethuk itu. Hanya Ibu yang memakannya seiris lalu gethuk itu dibiarkan begitu saja di meja, hingga dingin. Gethuk dingin yang akhirnya dihibahkan kepada tetangga yang menyambutnya dengan sukacita. Biarlah. Meskipun itu adalah kali terakhir aku melihat sosok gethuk di rumah kami. Aku tidak akan merindukannya. Semua sudah usai. Seperti sosok Ayah yang perlahan tapi pasti mulai samar sebelum akhirnya menguap. Hilang.

Kami tidak pernah membahas tentang gethuk lagi. Meskipun ketika nasi berhasil mengambil alih kembali tempatnya yang terhormat di meja makan. Satu per satu kakak-kakakku menikah dan seperti kebanyakan anak perempuan yang tetap peduli dengan keluarganya, maka kehidupan kami pun sedikit terbantu.

Namun gethuk tetaplah menjadi hal yang sangat tabu untuk dibicarakan.

Hingga hari itu ketika kami mendapat kabar Ayah kami sedang sakit keras dan di waktu-waktu terakhirnya dia sangat ingin bertemu dengan kami semua, termasuk perempuan yang sudah ditinggalkannya. Ibu tidak mengatakan apa-apa. Hanya berjalan pelan ke dapur menghampiri suatu tempat di pojok, tempat dia menyimpan alat penumbuk singkong.

Dia berjalan ke samping rumah, mencabut sebatang pohon singkong dan dalam hening dia mulai mengupasnya. Satu per satu. Tanpa perlu dia beritahu, kami tahu apa yang akan dia buat.

Gethuk.

Penganan yang belakangan ini begitu kubenci, namun ternyata sangat dinanti oleh Ayah yang sudah mendekati ajal.“Ini gethuk yang paling enak…” ujar Ayah kala itu.

Mata tuanya berkaca-kaca. Mereka bertatapan. Setelah sekian lama. Tidak ada kata-kata yang terucap, namun aku bisa merasakan jalinan halus yang menghubungkan mereka, berisi kata-kata yang sudah sekian lama menunggu untuk diucapkan. Kata-kata dari hati mereka yang terdalam.

Ayah akhirnya wafat dengan senyum damai dan lega terpancar di wajahnya. Sebelah tangannya masih memegang gethuk yang baru dia nikmati segigitan.

Gethuk yang rasanya lain dari biasanya.

Gethuk yang menyimpan kepedihan Ibu di dalam bulir-bulir air matanya yang ikut tumpah, bercampur dengan gula aren dan singkong rebus yang ditumbuknya. Khusus untuk satu-satunya laki-laki yang masih dan mungkin akan terus dia cintai.

Dan saat itu aku sadar. Bagi Ibu gethuk bukanlah sekedar penganan.
Gethuk adalah pengikat perasaan mereka berdua.
Penghubung.

***
“Monggo, Bu… Gethuk-nya…” teguran Bi Inah menyadarkanku yang entah sejak kapan sudah duduk sendirian di beranda belakang rumahku dengan buku terbuka di pangkuan.

Sepiring gethuk, seteko teh hangat, dan sejuta kenangan.

Sepeninggalnya tanganku terulur lalu meraih sepotong gethuk yang sudah dibalur parutan kelapa. Menggigitnya perlahan, merasakan kembali perasaan yang sama dengan yang kurasakan kala itu. Bersamaan dengan gumpalan di dadaku yang perlahan mulai mencair dan mencari jalan keluar terdekatnya lewat sepasang mataku. Mengalir deras tanpa susah payah berusaha kubendung.

Setelah sekian lama. Dan perasaanku tidak berubah.

Aku tetap mencintainya. Gethuk.

Aku agak tersentak ketika tiba-tiba sepasang lengan melingkari pundakku. Disusul kecupan ringan di pipiku yang basah.

“Gethuknya kelewat enak, yah? Kamu sampai terharu begitu?” tanyanya polos.

Aku menatap matanya beningnya yang dibingkai bulu mata lentik. Memejamkan mata ketika dengan penuh kasih sayang dia menghapus tangisku. Setelahnya aku meraih tangannya, mengajaknya ke gudang kecil di bawah tangga. Membuka pintunya lalu mengeluarkan seperangkat alat penumbuk singkong. Satu-satunya benda yang kuambil sebagai warisan dari Ibu.

“Aku akan membuatkanmu gethuk yang paling enak.”
“Jauh lebih enak dari yang tadi membuat kamu terharu?”
“Melebihi itu.”

Matanya berbinar. Persis seperti diriku kala itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar