Dia masih bersujud di tempat yang sama hampir sepuluh tahun yang
lalu. Aku juga menyusuri jalan yang sama. Jalan setapak yang sudah
begitu kuingat hingga bisa melaluinya meski dengan mata tertutup. Aku
menyisakan sepuluh langkah di belakangnya. Berdiri di sana. Semilir
angin menghantarkan wangi rambutnya yang bercampur dengan aroma dupa ke
hidungku.
”Aku kira tidak akan pernah kembali ke kota ini lagi.” cetusnya lalu
berbalik ke arahku. Kami sekarang bertatapan. Tatapannya tidak lagi
dingin.
”Aku senang kau kembali lagi, Mei.” ujarku dengan perasaan yang
membuncah penuh harap. Sudah lama sekali sejak kami berbicara berdua.
Betapa banyak yang ingin kukatakan, tapi semua tercekat di
tenggorokanku.
”Sudah sepuluh tahun...” ujarnya seolah tidak yakin. Keraguan mencuat di matanya.
”Kau tetap Mei-ku.” sambungku. ”Atau tidak lagi?” tanyaku was-was.
Dia hanya tersenyum tipis. Senyum yang memberiku kekuatan baru. Aku
meraih tangannya. Meremasnya lembut ketika dia tidak menunjukkan
tanda-tanda penolakan.
***
Aku dan Mei sudah saling kenal sejak masih kecil.
Rumah kami lumayan berdekatan. Kami bersekolah di sekolah yang sama,
sekelas bahkan sebangku. Mei begitu hangat dan akrab kepadaku, seolah
tidak bisa melihat perbedaan yang begitu mencolok di antara kami. Mei
berkulit kuning, sedangkan aku berkulit sawo matang. Mei bermata sipit,
sedangkan mataku bulat. Rambut Mei lurus dan lembut disentuh, sementara
aku berambut ikal. Selain saat mengikuti pelajaran agama, kami akan
selalu bersama-sama kemana pun sehingga beberapa orang menjuluki kami
kembar siam.
Setelah lulus SD kami juga bersama-sama
mendaftar di SMP yang sama. Nilaiku yang pas-pasan tidak membuatku patah
semangat, yang penting kami bisa bersekolah di tempat yang sama. Semoga
bisa sekelas dan sebangku lagi. Mei juga berpikiran sama. Dan karenanya
aku sangat girang ketika berhasil diterima masuk di SMP itu, meskipun
agak kecewa karena kami tidak bisa sekelas. Tapi lagi-lagi itu bukan
penghalang. Kami mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang sama sehingga
meskipun tidak sebanyak saat di SD, kami tetap bisa bersama.
Keluarga
Mei lumayan terpandang. Orang tuanya adalah pedagang perhiasan yang
keahliannya sudah diwariskan turun temurun. Namun meskipun demikian,
sama seperti Mei mereka juga selalu bersikap ramah kepadaku. Bahkan
mamanya juga seolah punya tambahan seorang putri lagi. Aku sering
menghabiskan waktu di rumahnya, bermain bersama, tidak peduli meskipun
tidak jarang harus mendapat sabetan rotan dari ayah karena suka lupa
waktu sehingga melalaikan pelajaran ngajiku.
Hari
berlalu dan persahabatan kami semakin erat. Begitu eratnya sehingga aku
mulai merasakan hal yang aneh setiap kali bersamanya. Saat bersentuhan
dengan Mei aku bisa merasakan percikan serupa sengatan listrik di
sekujurku. Aku tidak paham perasaan apa itu. Aku juga tidak yakin apakah
perasaan itu tidak berbahaya. Hingga akhirnya kutemukan jawaban di
novel-novel yang kubaca. Perasaan yang tidak selalu sama
penggambarannya, tapi tetap menuju ke satu hal. Percikan itu muncul
karena aku sedang jatuh cinta. Tapi kepada Mei? Bagaimana mungkin?
Kesadaran
itu sontak membuatku ketakutan setengah mati. Aku lantas memutuskan
untuk segera menebas habis perasaan itu selayaknya tukang kebun yang
mati-matian membasmi ilalang agar enyah dari tanahnya. Aku menjauh dari
Mei. Selalu ada alasan agar aku tidak perlu berlama-lama dengannya.
Orang tuaku bingung meskipun senang karena aku mendadak jadi rajin
belajar mengaji, meskipun di dalam lapal yang kulafazkan aku hanya ingin
perasaan yang aneh itu enyah sejauh-jauhnya dariku.
”Din,
aku salah apa?” Aku hanya bisa tercekat tanpa sanggup menghindar. Mei
mendadak muncul di rumahku hari ini mempertanyakan sikapku yang
akhir-akhir ini selalu menghindarinya.
”Kamu gak salah apa-apa.” sahutku akhirnya.
”Trus
kenapa kamu menghindar? Pasti karena aku tanpa sengaja udah menyinggung
kamu?” desaknya lagi. Matanya yang bening terlihat berkaca-kaca. Dia
menggigit bibirnya yang tipis berwarna merah muda.
”Aku gak lagi marah ke kamu. Aku udah terlalu sering bolos ngaji.” kilahku.
”Kamu bisa tetap rajin ngaji tanpa harus menjauh dariku, kan?” Dan dengan pasrah aku mengangguk.
Mei
menggenggam jemariku dan segala daya upayaku selama ini langsung luruh
berkeping. Percikan itu sekarang sudah berubah menjadi kobaran. Aku
berusaha begitu keras untuk bertahan di tengah kobaran itu.
”Jangan seperti ini lagi, ya?” ujarnya lembut.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
”Janji?” desaknya.
Aku
mengangguk lagi. Pasrah. Otakku mungkin sudah tidak bisa berpikir
apa-apa lagi karena sudah hangus terbakar kobaran itu sehingga yang bisa
kulakukan hanya mengangguk.
Ketika berpamitan, Mei
terlihat begitu berkilau dan penuh kehidupan yang pasti sudah dihisapnya
tanpa susah payah dariku. Yang tersisa hanya relung kosong yang
merintih sembari menyebutkan namanya berkali-kali. Mei, aku mencintamu.
Mataku panas oleh air mata yang mendesak ingin berloncatan keluar.
Apakah mencinta harus sesakit ini? Apakah mencinta harus setakut ini?
Kemana perasaan indah yang digambarkan di novel-novel yang kubaca itu?
Hari-hari
kembali kami lalui bersama, tapi tidak pernah sama lagi bagiku. Aku
tidak bisa lagi memandang dirinya terbebas dari gemuruh dan gejolak di
sekujurku. Bahkan rasa sakit ketika melihatnya dekat dengan orang lain.
Entah kenapa aku mulai menyesal kenapa harus ngotot masuk ke sekolah
yang sama dengannya jika akhirnya semua keinginan indah itu berakhir
menjadi siksaan. Aku hanya ingin menjauh, tapi tidak tega melihat raut
kecewanya.
Malam ini setelah sekian lama setelah dia
mendesak aku setuju menginap di rumahnya. Tidur di kamarnya. Berdua di
ranjangnya. Hal yang biasa kami lakukan dulu, tapi dengan perasaan yang
jauh berbeda. Meskipun dalam hati aku sangat girang. Mei tetap bersikap
manis kepadaku. Kami nonton bareng, ngemil bareng, dan akhirnya menyerah
setelah rasa kantuk menyerang. Lebih tepat menyerangnya karena setelah
lampu dipadamkan mataku masih tetap belum mau terpejam.
”Din...”
panggilnya setengah berbisik. Aku yang berbaring membelakanginya
memutuskan tidak menyahut. Tetap diam di posisiku. Setelahnya hening.
Aku
nyaris berteriak ketika merasakan telapak tangannya mengusap lembut
punggungku. Dia begitu dekat sekarang. Hembusan napasnya terasa hangat
menyapu tengkukku. Meskipun begitu aku tetap berusaha keras memejamkan
mata dan diam. Sebuah kecupan di tengkuk mengakhiri usahaku. Akhirnya
aku membalikkan badan. Sekarang kami berhadapan. Semuanya terlihat
begitu jelas sekarang. Di matanya yang bening aku bisa melihat cahaya
itu. Untuk sesaat kami tidak berkata apa-apa.
”Din...”
Aku menangkap cepat bisikannya yang meluncur dari bibirnya dengan
bibirku. Menangkup madunya yang manis rapat-rapat agar tidak ada yang
sia-sia menetes keluar dari sela-selanya lagi. Aku tidak merasakan sakit
lagi. Tidak juga takut. Hanya kenikmatan yang memabukkan. Kenikmatan
yang ingin terus kunikmati lagi dan lagi. Bersamanya.
Setelahnya
kami seperti ketagihan mereguk manisnya madu manis berisi jiwa muda
yang bergejolak. Seolah tidak ada hari esok. Kami mencicipi semua sudut
dan celah yang menawarkan tetes-tetes madu untuk melepas dahaga.
Menyusuri tanpa lelah semua lekuk yang menawarkan keindahan.
Namun
aku seolah diingatkan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kejadian
tragis menimpa keluarga Mei. Kebakaran yang hebat melanda rumahnya.
Bukan itu saja, mereka juga dijarah saat kejadian. Ketika ke rumahnya
aku terguncang ketika hanya menemukan reruntuhan hangus di sebagian
rumahnya. Mei dan keluarganya tidak kelihatan. Orang-orang masih
mengerumuni tempat itu dan polisi sudah memasang pita agar orang-orang
tidak mendekat dan seperti yang lain aku hanya bisa berdiri di luar
daerah dibatasi pita kuning.
Aku masih terus kembali ke
tempat itu berhari-hari setelahnya seolah berharap akan menemukan
sesuatu yang membuktikan bahwa semua itu tidak pernah terjadi. Bahwa aku
dan Mei bisa tetap bersama seperti yang sudah-sudah.
”Kasihan
keluarga Mei...” Aku terlonjak. Seorang ibu yang langsung kukenali
sebagai pembantu yang bekerja di keluarga mereka sudah berdiri di
dekatku.
”Bu, Mei kemana? Mereka sudah pergi? Mereka baik-baik
saja?” Secercah harapan terbit di benakku. Tapi perempuan itu menggeleng
lemah.
”Besok prosesi pemakaman papa Mei...” Setelahnya dia berlalu meninggalkanku berdiri mematung tak percaya. Papa Mei meninggal?
Suasana
makam sudah sepi saat aku akhirnya menghampirinya yang masih duduk
bersujud di depan altar. Aku menepuk pundaknya dan Mei langsung
mendongak. Berjuta-juta luka dan kesedihan tergambar jelas di matanya
yang masih sembab. Aku ingin memeluknya, tapi langsung mengurungkan
niatku ketika merasakan hunjaman yang lain muncul di matanya. Dia
bangkit tanpa mengatakan apa-apa lalu berbalik pergi meninggalkanku. Aku
hanya bisa memandang punggungnya yang menjauh dengan hati tersayat.
Hari itu adalah hari terakhirku melihatnya. Setelahnya Mei menghilang.
Kenyataan itu membuatku lebur dan pasrah mengubur perasaanku yang masih
sekarat dalam-dalam.
Hingga enam bulan yang lalu saat
aku ditugasi memberikan orientasi kepada karyawan baru di bagianku. Mei
salah satunya. Meskipun tidak mengungkapkan dengan kata-kata aku tahu
dia juga terkejut karena setelah sekian lama kami bertemu kembali. Dia
tetap dingin kepadaku. Berbicara hanya seperlunya dan membatasi bergaul
denganku. Aku tidak ingin memaksanya menerima pertemuan kami dengan
perasaan yang sama denganku. Tapi Mei tetaplah Mei yang berhati lembut
dan tidak sombong seperti yang selalu kukenal. Mei yang tidak
memilih-milih teman, selain denganku. Mei yang senyumnya tetap
menyejukkan hatiku yang kerontang.
Mei tidak pernah
menjadi benar-benar asing di relungku. Perempuan dewasa menawan dan
cerdas yang sudah enam bulan belakangan ini duduk di kubikel tepat di
seberangku tetaplah Mei-ku. Mei yang kucinta.
***
Mei masih berdiri tak bergeming di hadapanku.
”Mungkin
lukamu belum pulih benar, tapi ijinkan aku mendampingi hingga luka itu
sembuh sepenuhnya, ya?” ujarku setengah memohon. Dia menatapku dengan
tatapan yang tidak kumengerti.
”Selama sepuluh tahun ini aku sudah
hidup di dalam luka itu. Jadi tidak ada luka yang harus disembuhkan
karena luka itulah hidupku.” ujarnya tenang. Aku tercekat di hadapannya,
”Seharusnya kita sadar lebih awal. Kita tidak akan mungkin bisa
bersama. Kau dan aku... Kita berdiri di dua kutub yang bertolakan.”
lanjutnya.
”Kau yang pergi tanpa penjelasan apa-apa. Selama ini... Aku selalu menunggumu, Mei.” ujarku setengah putus asa.
”Mungkinkah? Aku sudah tahu semuanya, Din. Tentang penjarahan itu...”
Aku
hanya bisa terhenyak. Masih jelas terbayang di mataku hari saat petugas
polisi muncul di rumahku dan menggiring abang. Harapanku perlahan
pupus.
”Apa pun yang kita lakukan sekarang tidak akan
mengubah apa pun. Kita berbeda. Kita punya kehidupan masing-masing. Kita
tidak semestinya bersama.” Setelahnya dia bergegas melewatiku.
”Aku
cinta kamu, Mei!” ujarku. Cukup keras untuk didengar oleh semua
penghuni makam. Langkahnya terhenti. Pelan dia menoleh. Menatapku dengan
matanya yang berkaca-kaca. Meski sekelebat aku bisa melihat rasa itu di
matanya.
”Aku tahu.” Hanya itu kata-kata yang meluncur dari bibirnya sebelum dia meneruskan langkah menjauh dariku.
Tinggal
aku sendiri di makam itu. Senja menghampiri. Bias-bias sinarnya
bergelora tidak rela meninggalkan tahta. Sama seperti yang kurasakan
sekarang. Aku menatap ke titik yang sama di altar marmer itu. Altar yang
sudah selama sepuluh tahun ini menjadi tempat curahan hatiku. Altar
yang tidak pernah menghakimi cintaku buat Mei yang tetap utuh.
Ponselku
berdering. Dari rumah. Aku segera menjawabnya. Celotehan putriku
langsung menyapa. Menghadirkan rasa manis dan pahit sekaligus.
”Mamaaaa...
Pulang dong! Kakak kangeeennn...!!!” Aku hanya bisa mengiyakan dan
menyabarkannya sembari mengupayakan tawa. Hal yang begitu sulit
kulakukan karena air mataku berlinang. Mei benar. Ada kehidupan lain
menantiku. Yang bisa kulakukan hanyalah menjalaninya.
Hingga saat dia kembali nanti. Kembali menjadi Mei-ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar