Sabtu, 16 Juni 2012

Cerpen : Senja di Makam

Dia masih bersujud di tempat yang sama hampir sepuluh tahun yang lalu. Aku juga menyusuri jalan yang sama. Jalan setapak yang sudah begitu kuingat hingga bisa melaluinya meski dengan mata tertutup. Aku menyisakan sepuluh langkah di belakangnya. Berdiri di sana. Semilir angin menghantarkan wangi rambutnya yang bercampur dengan aroma dupa ke hidungku.

”Aku kira tidak akan pernah kembali ke kota ini lagi.” cetusnya lalu berbalik ke arahku. Kami sekarang bertatapan. Tatapannya tidak lagi dingin.
”Aku senang kau kembali lagi, Mei.” ujarku dengan perasaan yang membuncah penuh harap. Sudah lama sekali sejak kami berbicara berdua. Betapa banyak yang ingin kukatakan, tapi semua tercekat di tenggorokanku.
”Sudah sepuluh tahun...” ujarnya seolah tidak yakin. Keraguan mencuat di matanya.
”Kau tetap Mei-ku.” sambungku. ”Atau tidak lagi?” tanyaku was-was. Dia hanya tersenyum tipis. Senyum yang memberiku kekuatan baru. Aku meraih tangannya. Meremasnya lembut ketika dia tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan.

***
Aku dan Mei sudah saling kenal sejak masih kecil. Rumah kami lumayan berdekatan. Kami bersekolah di sekolah yang sama, sekelas bahkan sebangku. Mei begitu hangat dan akrab kepadaku, seolah tidak bisa melihat perbedaan yang begitu mencolok di antara kami. Mei berkulit kuning, sedangkan aku berkulit sawo matang. Mei bermata sipit, sedangkan mataku bulat. Rambut Mei lurus dan lembut disentuh, sementara aku berambut ikal. Selain saat mengikuti pelajaran agama, kami akan selalu bersama-sama kemana pun sehingga beberapa orang menjuluki kami kembar siam.

Setelah lulus SD kami juga bersama-sama mendaftar di SMP yang sama. Nilaiku yang pas-pasan tidak membuatku patah semangat, yang penting kami bisa bersekolah di tempat yang sama. Semoga bisa sekelas dan sebangku lagi. Mei juga berpikiran sama. Dan karenanya aku sangat girang ketika berhasil diterima masuk di SMP itu, meskipun agak kecewa karena kami tidak bisa sekelas. Tapi lagi-lagi itu bukan penghalang. Kami mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang sama sehingga meskipun tidak sebanyak saat di SD, kami tetap bisa bersama.

Keluarga Mei lumayan terpandang. Orang tuanya adalah pedagang perhiasan yang keahliannya sudah diwariskan turun temurun. Namun meskipun demikian, sama seperti Mei mereka juga selalu bersikap ramah kepadaku. Bahkan mamanya juga seolah punya tambahan seorang putri lagi. Aku sering menghabiskan waktu di rumahnya, bermain bersama, tidak peduli meskipun tidak jarang harus mendapat sabetan rotan dari ayah karena suka lupa waktu sehingga melalaikan pelajaran ngajiku.

Hari berlalu dan persahabatan kami semakin erat. Begitu eratnya sehingga aku mulai merasakan hal yang aneh setiap kali bersamanya. Saat bersentuhan dengan Mei aku bisa merasakan percikan serupa sengatan listrik di sekujurku. Aku tidak paham perasaan apa itu. Aku juga tidak yakin apakah perasaan itu tidak berbahaya. Hingga akhirnya kutemukan jawaban di novel-novel yang kubaca. Perasaan yang tidak selalu sama penggambarannya, tapi tetap menuju ke satu hal. Percikan itu muncul karena aku sedang jatuh cinta. Tapi kepada Mei? Bagaimana mungkin?

Kesadaran itu sontak membuatku ketakutan setengah mati. Aku lantas memutuskan untuk segera menebas habis perasaan itu selayaknya tukang kebun yang mati-matian membasmi ilalang agar enyah dari tanahnya. Aku menjauh dari Mei. Selalu ada alasan agar aku tidak perlu berlama-lama dengannya. Orang tuaku bingung meskipun senang karena aku mendadak jadi rajin belajar mengaji, meskipun di dalam lapal yang kulafazkan aku hanya ingin perasaan yang aneh itu enyah sejauh-jauhnya dariku.

”Din, aku salah apa?” Aku hanya bisa tercekat tanpa sanggup menghindar. Mei mendadak muncul di rumahku hari ini mempertanyakan sikapku yang akhir-akhir ini selalu menghindarinya.
”Kamu gak salah apa-apa.” sahutku akhirnya.
”Trus kenapa kamu menghindar? Pasti karena aku tanpa sengaja udah menyinggung kamu?” desaknya lagi. Matanya yang bening terlihat berkaca-kaca. Dia menggigit bibirnya yang tipis berwarna merah muda.
”Aku gak lagi marah ke kamu. Aku udah terlalu sering bolos ngaji.” kilahku.
”Kamu bisa tetap rajin ngaji tanpa harus menjauh dariku, kan?” Dan dengan pasrah aku mengangguk.

Mei menggenggam jemariku dan segala daya upayaku selama ini langsung luruh berkeping. Percikan itu sekarang sudah berubah menjadi kobaran. Aku berusaha begitu keras untuk bertahan di tengah kobaran itu.
”Jangan seperti ini lagi, ya?” ujarnya lembut.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
”Janji?” desaknya.
Aku mengangguk lagi. Pasrah. Otakku mungkin sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi karena sudah hangus terbakar kobaran itu sehingga yang bisa kulakukan hanya mengangguk.

Ketika berpamitan, Mei terlihat begitu berkilau dan penuh kehidupan yang pasti sudah dihisapnya tanpa susah payah dariku. Yang tersisa hanya relung kosong yang merintih sembari menyebutkan namanya berkali-kali. Mei, aku mencintamu. Mataku panas oleh air mata yang mendesak ingin berloncatan keluar. Apakah mencinta harus sesakit ini? Apakah mencinta harus setakut ini? Kemana perasaan indah yang digambarkan di novel-novel yang kubaca itu?

Hari-hari kembali kami lalui bersama, tapi tidak pernah sama lagi bagiku. Aku tidak bisa lagi memandang dirinya terbebas dari gemuruh dan gejolak di sekujurku. Bahkan rasa sakit ketika melihatnya dekat dengan orang lain. Entah kenapa aku mulai menyesal kenapa harus ngotot masuk ke sekolah yang sama dengannya jika akhirnya semua keinginan indah itu berakhir menjadi siksaan. Aku hanya ingin menjauh, tapi tidak tega melihat raut kecewanya.

Malam ini setelah sekian lama setelah dia mendesak aku setuju menginap di rumahnya. Tidur di kamarnya. Berdua di ranjangnya. Hal yang biasa kami lakukan dulu, tapi dengan perasaan yang jauh berbeda. Meskipun dalam hati aku sangat girang. Mei tetap bersikap manis kepadaku. Kami nonton bareng, ngemil bareng, dan akhirnya menyerah setelah rasa kantuk menyerang. Lebih tepat menyerangnya karena setelah lampu dipadamkan mataku masih tetap belum mau terpejam.

”Din...” panggilnya setengah berbisik. Aku yang berbaring membelakanginya memutuskan tidak menyahut. Tetap diam di posisiku. Setelahnya hening.

Aku nyaris berteriak ketika merasakan telapak tangannya mengusap lembut punggungku. Dia begitu dekat sekarang. Hembusan napasnya terasa hangat menyapu tengkukku. Meskipun begitu aku tetap berusaha keras memejamkan mata dan diam. Sebuah kecupan di tengkuk mengakhiri usahaku. Akhirnya aku membalikkan badan. Sekarang kami berhadapan. Semuanya terlihat begitu jelas sekarang. Di matanya yang bening aku bisa melihat cahaya itu. Untuk sesaat kami tidak berkata apa-apa.

”Din...” Aku menangkap cepat bisikannya yang meluncur dari bibirnya dengan bibirku. Menangkup madunya yang manis rapat-rapat agar tidak ada yang sia-sia menetes keluar dari sela-selanya lagi. Aku tidak merasakan sakit lagi. Tidak juga takut. Hanya kenikmatan yang memabukkan. Kenikmatan yang ingin terus kunikmati lagi dan lagi. Bersamanya.

Setelahnya kami seperti ketagihan mereguk manisnya madu manis berisi jiwa muda yang bergejolak. Seolah tidak ada hari esok. Kami mencicipi semua sudut dan celah yang menawarkan tetes-tetes madu untuk melepas dahaga. Menyusuri tanpa lelah semua lekuk yang menawarkan keindahan.

Namun aku seolah diingatkan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kejadian tragis menimpa keluarga Mei. Kebakaran yang hebat melanda rumahnya. Bukan itu saja, mereka juga dijarah saat kejadian. Ketika ke rumahnya aku terguncang ketika hanya menemukan reruntuhan hangus di sebagian rumahnya. Mei dan keluarganya tidak kelihatan. Orang-orang masih mengerumuni tempat itu dan polisi sudah memasang pita agar orang-orang tidak mendekat dan seperti yang lain aku hanya bisa berdiri di luar daerah dibatasi pita kuning.

Aku masih terus kembali ke tempat itu berhari-hari setelahnya  seolah berharap akan menemukan sesuatu yang membuktikan bahwa semua itu tidak pernah terjadi. Bahwa aku dan Mei bisa tetap bersama seperti yang sudah-sudah.
”Kasihan keluarga Mei...” Aku terlonjak. Seorang ibu yang langsung kukenali sebagai pembantu yang bekerja di keluarga mereka sudah berdiri di dekatku.
”Bu, Mei kemana? Mereka sudah pergi? Mereka baik-baik saja?” Secercah harapan terbit di benakku. Tapi perempuan itu menggeleng lemah.
”Besok prosesi pemakaman papa Mei...” Setelahnya dia berlalu meninggalkanku berdiri mematung tak percaya. Papa Mei meninggal?

Suasana makam sudah sepi saat aku akhirnya menghampirinya yang masih duduk bersujud di depan altar. Aku menepuk pundaknya dan Mei langsung mendongak. Berjuta-juta luka dan kesedihan tergambar jelas di matanya yang masih sembab. Aku ingin memeluknya, tapi langsung mengurungkan niatku ketika merasakan hunjaman yang lain muncul di matanya. Dia bangkit tanpa mengatakan apa-apa lalu berbalik pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang menjauh dengan hati tersayat. Hari itu adalah hari terakhirku melihatnya. Setelahnya Mei menghilang. Kenyataan itu membuatku lebur dan pasrah mengubur perasaanku yang masih sekarat dalam-dalam.

Hingga enam bulan yang lalu saat aku ditugasi memberikan orientasi kepada karyawan baru di bagianku. Mei salah satunya. Meskipun tidak mengungkapkan dengan kata-kata aku tahu dia juga terkejut karena setelah sekian lama kami bertemu kembali. Dia tetap dingin kepadaku. Berbicara hanya seperlunya dan membatasi bergaul denganku. Aku tidak ingin memaksanya menerima pertemuan kami dengan perasaan yang sama denganku. Tapi Mei tetaplah Mei yang berhati lembut dan tidak sombong seperti yang selalu kukenal. Mei yang tidak memilih-milih teman, selain denganku. Mei yang senyumnya tetap menyejukkan hatiku yang kerontang.

Mei tidak pernah menjadi benar-benar asing di relungku. Perempuan dewasa menawan dan cerdas yang sudah enam bulan belakangan ini duduk di kubikel tepat di seberangku tetaplah Mei-ku. Mei yang kucinta.

***
Mei masih berdiri tak bergeming di hadapanku.

”Mungkin lukamu belum pulih benar, tapi ijinkan aku mendampingi hingga luka itu sembuh sepenuhnya, ya?” ujarku setengah memohon. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti.
”Selama sepuluh tahun ini aku sudah hidup di dalam luka itu. Jadi tidak ada luka yang harus disembuhkan karena luka itulah hidupku.” ujarnya tenang. Aku tercekat di hadapannya, ”Seharusnya kita sadar lebih awal. Kita tidak akan mungkin bisa bersama. Kau dan aku... Kita berdiri di dua kutub yang bertolakan.” lanjutnya.
”Kau yang pergi tanpa penjelasan apa-apa. Selama ini... Aku selalu menunggumu, Mei.” ujarku setengah putus asa.

”Mungkinkah? Aku sudah tahu semuanya, Din. Tentang penjarahan itu...”
Aku hanya bisa terhenyak. Masih jelas terbayang di mataku hari saat petugas polisi muncul di rumahku dan menggiring abang. Harapanku perlahan pupus.

”Apa pun yang kita lakukan sekarang tidak akan mengubah apa pun. Kita berbeda. Kita punya kehidupan masing-masing. Kita tidak semestinya bersama.” Setelahnya dia bergegas melewatiku.
”Aku cinta kamu, Mei!” ujarku. Cukup keras untuk didengar oleh semua penghuni makam. Langkahnya terhenti. Pelan dia menoleh. Menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Meski sekelebat aku bisa melihat rasa itu di matanya.
”Aku tahu.” Hanya itu kata-kata yang meluncur dari bibirnya sebelum dia meneruskan langkah menjauh dariku.

Tinggal aku sendiri di makam itu. Senja menghampiri. Bias-bias sinarnya bergelora tidak rela meninggalkan tahta. Sama seperti yang kurasakan sekarang. Aku menatap ke titik yang sama di altar marmer itu. Altar yang sudah selama sepuluh tahun ini menjadi tempat curahan hatiku. Altar yang tidak pernah menghakimi cintaku buat Mei yang tetap utuh.

Ponselku berdering. Dari rumah. Aku segera menjawabnya. Celotehan putriku langsung menyapa. Menghadirkan rasa manis dan pahit sekaligus.
”Mamaaaa... Pulang dong! Kakak kangeeennn...!!!” Aku hanya bisa mengiyakan dan menyabarkannya sembari mengupayakan tawa. Hal yang begitu sulit kulakukan karena air mataku berlinang. Mei benar. Ada kehidupan lain menantiku. Yang bisa kulakukan hanyalah menjalaninya.

Hingga saat dia kembali nanti. Kembali menjadi Mei-ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar