Kamis, 07 Juni 2012

Flash : Memeluk Bulan


Aku memandang sekelilingku. Hanya aku sendirian di sini. Jauh dari hiruk pikuk di bawah sana, hanya ditemani deru angin di kedua belah telingaku. Aku lalu merapatkan kardigan biru yang kukenakan berusaha menghalau sedikit rasa dingin dari sekujurku lalu menengadah dan terpana.

Kamu benar, Biy. Bulan memang terlihat sangat dekat dari sini. Aku seolah bisa melihat dengan jelas setiap rona dan guratannya. Guratannya yang menyimpan berjuta misteri semesta maha luas. Termasuk dirimu.

’Kalau saja aku lebih tinggi sedikiiittt lagi, pasti bisa nyentuh bulan.’ ujarmu setengah merajuk saat itu. Aku hanya menanggapinya dengan tawa geli ketika melihatmu yang sedang melompat-lompat sembari berjinjit tinggi berusaha keras menggapai bulan. Tawa yang kau masukkan sebagai ejekan si jangkung terhadap si cebol.

’Gimana ya rasanya memeluk bulan? Karena hanya sedikit cahaya matahari yang dicuri, harusnya bulan tidak sepanas matahari dong...’ ucapmu lagi berteori sembari menatap lekat-lekat lingkaran sempurna yang sedang berpendar lembut menerangi langit malam. Rambutmu yang berkibar lembut dipermainkan angin malam, membelai mesra wajahku, meninggalkan keharumannya di sana.

Tanganku yang semula ragu sekarang terulur penuh keyakinan sembari berjinjit. Lalu tersenyum lega. Tidak sepertimu yang mungil, aku memang bisa lebih mudah menyentuh lingkaran yang sekarang tersenyum anggun ke arahku. Membelainya penuh kasih, seperti saat aku membelai wajahmu yang sedang terlelap seperti bayi. Memandang lekat-lekat setiap guratnya, berusaha menguak rahasia yang tersimpan di sana.

Kami saling bertatapan. Dan keinginan yang sudah lama kusimpan pun kembali membuncah. Bagaimana sih rasa saat memeluknya? Aku tidak tahu. Aku belum pernah memeluk bulan, tapi penasaran dengan rasanya. Bulan masih menungguku memutuskan dengan sabar di langit yang semakin larut, sebelum akhirnya memasrahkan dirinya ke dalam dekapan lengan-lenganku yang terbuka. Dengan penuh kasih aku menariknya lebih dalam ke dalam dekapanku.

”Rasanya hangat, Biy...” bisikku lembut. Dua bulir air mata meninggalkan kelopak mataku. Air mata yang lantas memecah menguarkan kelegaan. Rasa lega ketika akhirnya kerinduanku terbayar.
”Ya. Rasanya memang hangat.” Kau sudah berdiri di hadapanku. Senyum mengembang di bibirmu yang mungil.
”Rasanya sama seperti saat memeluk kamu...” ujarku lagi. Kau mengangguk.
”Ya. Seperti saat berada di dalam pelukan kamu.” sahutmu. Aku meraih uluran tanganmu, menggenggamnya lembut lalu bersama-sama turun dari menara itu.

Berdua kita meninggalkan jalanan yang sekarang semakin ramai dengan kasak kusuk dan raut panik orang-orang yang dikagetkan aksi perempuan muda yang nekad melompat dari puncak pencakar langit. Sekarang tubuhnya yang terbalut kardigan biru tergolek berlumuran darah disaksikan rembulan yang masih berpendar lembut di langit yang hening.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar