Aku memandang sekelilingku. Hanya aku sendirian di sini. Jauh dari hiruk pikuk di bawah sana, hanya ditemani deru angin di kedua belah telingaku. Aku lalu merapatkan kardigan biru yang kukenakan berusaha menghalau sedikit rasa dingin dari sekujurku lalu menengadah dan terpana.
Kamu benar, Biy.
Bulan memang terlihat sangat dekat dari sini. Aku seolah bisa melihat dengan
jelas setiap rona dan guratannya. Guratannya yang menyimpan berjuta misteri
semesta maha luas. Termasuk dirimu.
’Kalau saja aku
lebih tinggi sedikiiittt lagi, pasti bisa nyentuh bulan.’ ujarmu setengah
merajuk saat itu. Aku hanya menanggapinya dengan tawa geli ketika melihatmu
yang sedang melompat-lompat sembari berjinjit tinggi berusaha keras menggapai
bulan. Tawa yang kau masukkan sebagai ejekan si jangkung terhadap si cebol.
’Gimana ya
rasanya memeluk bulan? Karena hanya sedikit cahaya matahari yang dicuri,
harusnya bulan tidak sepanas matahari dong...’ ucapmu lagi berteori sembari
menatap lekat-lekat lingkaran sempurna yang sedang berpendar lembut menerangi
langit malam. Rambutmu yang berkibar lembut dipermainkan angin malam, membelai
mesra wajahku, meninggalkan keharumannya di sana.
Tanganku yang
semula ragu sekarang terulur penuh keyakinan sembari berjinjit. Lalu tersenyum
lega. Tidak sepertimu yang mungil, aku memang bisa lebih mudah menyentuh
lingkaran yang sekarang tersenyum anggun ke arahku. Membelainya penuh kasih,
seperti saat aku membelai wajahmu yang sedang terlelap seperti bayi. Memandang
lekat-lekat setiap guratnya, berusaha menguak rahasia yang tersimpan di sana.
Kami saling
bertatapan. Dan keinginan yang sudah lama kusimpan pun kembali membuncah.
Bagaimana sih rasa saat memeluknya? Aku tidak tahu. Aku belum pernah memeluk
bulan, tapi penasaran dengan rasanya. Bulan masih menungguku memutuskan dengan
sabar di langit yang semakin larut, sebelum akhirnya memasrahkan dirinya ke
dalam dekapan lengan-lenganku yang terbuka. Dengan penuh kasih aku menariknya
lebih dalam ke dalam dekapanku.
”Rasanya hangat,
Biy...” bisikku lembut. Dua bulir air mata meninggalkan kelopak mataku. Air
mata yang lantas memecah menguarkan kelegaan. Rasa lega ketika akhirnya
kerinduanku terbayar.
”Ya. Rasanya
memang hangat.” Kau sudah berdiri di hadapanku. Senyum mengembang di bibirmu yang
mungil.
”Rasanya sama
seperti saat memeluk kamu...” ujarku lagi. Kau mengangguk.
”Ya. Seperti saat
berada di dalam pelukan kamu.” sahutmu. Aku meraih uluran tanganmu,
menggenggamnya lembut lalu bersama-sama turun dari menara itu.
Berdua kita
meninggalkan jalanan yang sekarang semakin ramai dengan kasak kusuk dan raut
panik orang-orang yang dikagetkan aksi perempuan muda yang nekad melompat dari
puncak pencakar langit. Sekarang tubuhnya yang terbalut kardigan biru tergolek
berlumuran darah disaksikan rembulan yang masih berpendar lembut di langit yang
hening.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar