“Maaf…” bisikku saat logam tipis berkilau itu dengan mudah menembus kulitmu yang sehalus bayi. Kau hanya menatapku dengan sorot terperangah, mungkin terlalu terkejut untuk menyadari semuanya.
”Maaf...” bisikku
sekali lagi saat perlahan aku menarik logam itu keluar menjauh darimu. Tanpa
perlu melihat aku tahu apa warnanya sekarang. Bisa kurasakan darah segarmu
melapisinya. Dan sekarang matamu perlahan mulai terpejam dan
tubuhmu begitu goyah untuk bisa berdiri.
Aku merengkuhmu
bertepatan dengan dentingan logam menghantam lantai. Memelukmu erat seolah
dengan begitu kita bisa langsung menyatukan tubuh-tubuh kita. Merasakan lembab
di perutku. Kelembaban yang hangat dan lengket. Bisa kurasakan nafasmu yang
terakhir tertinggal sedikit lagi di tenggorokanmu.
”Maaf... Aku
harus melakukan ini...” bisikku saat napas terakhirmu menguap, menyisakan
rongga kosong di paru-parumu. Aku memelukmu lebih erat. Menahan sesak yang
semakin keras membuncah di dadaku, memaksa bulir-bulir air mata perlahan meninggalkan
mataku seolah kepanasan berada di dalam sana. Kepanasan oleh perasaan yang
meronta berusaha melepaskan diri dari kungkunganku.
”Sudah
kaubereskan perempuan itu?” Aku hanya mengangguk lalu melepas tubuhmu yang
sudah beku dengan perlahan di lantai. Tidak membantah atau mengeluh ketika
lenganku ditarik sedikit paksa menjauh olehnya.
Suamiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar