Selasa, 21 Agustus 2012

Flash : Maaf


“Maaf…” bisikku saat logam tipis berkilau itu dengan mudah menembus kulitmu yang sehalus bayi. Kau hanya menatapku dengan sorot terperangah, mungkin terlalu terkejut untuk menyadari semuanya.

”Maaf...” bisikku sekali lagi saat perlahan aku menarik logam itu keluar menjauh darimu. Tanpa perlu melihat aku tahu apa warnanya sekarang. Bisa kurasakan darah segarmu melapisinya. Dan sekarang matamu perlahan mulai terpejam dan tubuhmu begitu goyah untuk bisa berdiri.

Aku merengkuhmu bertepatan dengan dentingan logam menghantam lantai. Memelukmu erat seolah dengan begitu kita bisa langsung menyatukan tubuh-tubuh kita. Merasakan lembab di perutku. Kelembaban yang hangat dan lengket. Bisa kurasakan nafasmu yang terakhir tertinggal sedikit lagi di tenggorokanmu.

”Maaf... Aku harus melakukan ini...” bisikku saat napas terakhirmu menguap, menyisakan rongga kosong di paru-parumu. Aku memelukmu lebih erat. Menahan sesak yang semakin keras membuncah di dadaku, memaksa bulir-bulir air mata perlahan meninggalkan mataku seolah kepanasan berada di dalam sana. Kepanasan oleh perasaan yang meronta berusaha melepaskan diri dari kungkunganku.

”Sudah kaubereskan perempuan itu?” Aku hanya mengangguk lalu melepas tubuhmu yang sudah beku dengan perlahan di lantai. Tidak membantah atau mengeluh ketika lenganku ditarik sedikit paksa menjauh olehnya.

Suamiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar