Rabu, 01 Agustus 2012

Flash : Pulang


Sudah beberapa bulan ini puncak kepalaku sangat gatal. Aku sudah mencoba bermacam-macam sampo yang katanya bisa mengenyahkan gatal dan apa pun penyebab gatal itu untuk selamanya, namun gatal itu tidak juga hilang. Rasa gatal itu juga yang membuatku membiarkan kuku yang selama ini selalu kupotong pendek sedikit memandang untuk memuaskan nafsuku menggaruk sumber gatal di kepalaku.

Hingga akhirnya pikiran sinting merasukiku. Mungkin karena rasa gatal yang tak tertahankan itu akhirnya aku memutuskan untuk menemui seorang dukun yang cukup sakti di desa kami. Dukun yang mungkin tahu penyebab sebenarnya rasa gatal itu.

Dia hanya diam memandangku setelah aku menceritakan semua masalahku. Mungkin dia berpikir aku sudah gila karena biasanya yang datang menghadap padanya pasti karena ingin memasang pemanis atau meminta ramuan untuk memikat orang lain. Sedangkan aku? Aku malah datang karena rasa gatal di kepalaku.

”Kau ingin aku menyembuhkan gatal-gatal di kepalamu. Kau yakin ingin melakukannya?” Sekarang ganti aku yang menatapnya seolah dia sudah tidak waras. Sudah tentu aku ingin menghilangkan gatal itu.
”Iya, Pak. Saya sudah tidak tahan tersiksa dengan rasa gatal ini,” jawabku. Dia menghela napas sejurus. Matanya yang mulai kelabu menatap lurus ke mataku.
”Meski itu artinya kamu harus meninggalkan keluargamu yang sekarang?” Aku terdiam. Apa hubungannya rasa gatal dengan kehilangan keluarga?

”Kau pikirkan dulu. Aku memang bisa menyembuhkan penyakitmu, tapi kau tidak akan bisa kembali kepada keluargamu.” Kali ini aku tidak meragukan keseriusan di dalam kata-katanya. Tapi bagaimana mungkin? Selagi aku berpikir, rasa gatal itu kembali menyerangku. Kali ini dengan intensitas yang lebih berat.
”Saya ingin penyakit ini sembuh sekarang, Pak! Sembuhkan saya sekarang!”

Rasa gatal itu seolah sedang akan menghabisi nyawaku sehingga aku perlahan mulai kehilangan kesabaran. Dan saat aku merasa sudah saatnya aku mati, mendadak rasa gatal itu hilang dan aku menemukan diriku berada di dekat rumpun pohon pisang. Pandangan mataku lebih terang sekarang. Seorang perempuan bergaun terusan berwarna putih dengan rambut terjurai menghampiriku.

”Hai, sudah pulang? Kontrak kamu sudah habis rupanya?” Kontrak? Kontrak apa? Dia tertawa mengikik menyadari kebingunganku. ”Kontrak kamu sebagai manusia. Kita semua punya kontrak jangka waktu tertentu. Setelah kontrak habis maka kita harus kembali.”
”Aku harus pulang.” kataku lalu bergegas meninggalkanya. Ketika tiba di rumah aku heran ketika melihat dua pria berdiri di depan pintu, melarangku masuk.
”Kau tidak boleh kembali kemari.” kata mereka.
”Tapi aku harus menemui anakku. Aku tinggal di sini.”
”Mungkin saat kau menjalani kontrak, tapi sepertinya sekarang kontrak itu sudah habis.” Emosiku membuncah. Aku hanya ingin pulang dan kenapa semua orang menghalangi? Dan saat itulah dukun yang tadi kutemui muncul di hadapanku.

”Kau sudah sembuh dan sebagai gantinya kau tidak bisa kembali ke rumah ini. Kuncimu sudah kuambil...” Dan ketika dia menunjukkan sebentuk benda berkilau di tangannya aku pun diingatkan kembali dan di hadapanku muncul seberkas kilauan serupa cermin yang memantulkan diriku.

Diriku yang bergaun terusan putih dengan rambut terjurai lurus. Sepasang mataku menatap kosong. Dengan lingkaran hitam di sekelilingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar