Sudah beberapa bulan ini puncak kepalaku sangat gatal. Aku sudah mencoba bermacam-macam sampo yang katanya bisa mengenyahkan gatal dan apa pun penyebab gatal itu untuk selamanya, namun gatal itu tidak juga hilang. Rasa gatal itu juga yang membuatku membiarkan kuku yang selama ini selalu kupotong pendek sedikit memandang untuk memuaskan nafsuku menggaruk sumber gatal di kepalaku.
Hingga akhirnya
pikiran sinting merasukiku. Mungkin karena rasa gatal yang tak tertahankan itu
akhirnya aku memutuskan untuk menemui seorang dukun yang cukup sakti di desa
kami. Dukun yang mungkin tahu penyebab sebenarnya rasa gatal itu.
Dia hanya diam
memandangku setelah aku menceritakan semua masalahku. Mungkin dia berpikir aku
sudah gila karena biasanya yang datang menghadap padanya pasti karena ingin
memasang pemanis atau meminta ramuan untuk memikat orang lain. Sedangkan aku?
Aku malah datang karena rasa gatal di kepalaku.
”Kau ingin aku
menyembuhkan gatal-gatal di kepalamu. Kau yakin ingin melakukannya?” Sekarang
ganti aku yang menatapnya seolah dia sudah tidak waras. Sudah tentu aku ingin
menghilangkan gatal itu.
”Iya, Pak. Saya
sudah tidak tahan tersiksa dengan rasa gatal ini,” jawabku. Dia menghela napas
sejurus. Matanya yang mulai kelabu menatap lurus ke mataku.
”Meski itu
artinya kamu harus meninggalkan keluargamu yang sekarang?” Aku terdiam. Apa
hubungannya rasa gatal dengan kehilangan keluarga?
”Kau pikirkan
dulu. Aku memang bisa menyembuhkan penyakitmu, tapi kau tidak akan bisa kembali
kepada keluargamu.” Kali ini aku tidak meragukan keseriusan di dalam
kata-katanya. Tapi bagaimana mungkin? Selagi aku berpikir, rasa gatal itu
kembali menyerangku. Kali ini dengan intensitas yang lebih berat.
”Saya ingin
penyakit ini sembuh sekarang, Pak! Sembuhkan saya sekarang!”
Rasa gatal itu
seolah sedang akan menghabisi nyawaku sehingga aku perlahan mulai kehilangan
kesabaran. Dan saat aku merasa sudah saatnya aku mati, mendadak rasa gatal itu
hilang dan aku menemukan diriku berada di dekat rumpun pohon pisang. Pandangan
mataku lebih terang sekarang. Seorang perempuan bergaun terusan berwarna putih
dengan rambut terjurai menghampiriku.
”Hai, sudah
pulang? Kontrak kamu sudah habis rupanya?” Kontrak? Kontrak apa? Dia tertawa
mengikik menyadari kebingunganku. ”Kontrak kamu sebagai manusia. Kita semua
punya kontrak jangka waktu tertentu. Setelah kontrak habis maka kita harus
kembali.”
”Aku harus
pulang.” kataku lalu bergegas meninggalkanya. Ketika tiba di rumah aku heran
ketika melihat dua pria berdiri di depan pintu, melarangku masuk.
”Kau tidak boleh
kembali kemari.” kata mereka.
”Tapi aku harus
menemui anakku. Aku tinggal di sini.”
”Mungkin saat kau
menjalani kontrak, tapi sepertinya sekarang kontrak itu sudah habis.” Emosiku membuncah. Aku hanya ingin
pulang dan kenapa semua orang menghalangi? Dan saat itulah dukun yang tadi
kutemui muncul di hadapanku.
”Kau sudah sembuh
dan sebagai gantinya kau tidak bisa kembali ke rumah ini. Kuncimu sudah kuambil...” Dan ketika dia menunjukkan sebentuk benda berkilau di tangannya aku pun diingatkan kembali dan di hadapanku muncul seberkas kilauan serupa cermin yang memantulkan
diriku.
Diriku yang
bergaun terusan putih dengan rambut terjurai lurus. Sepasang mataku menatap
kosong. Dengan lingkaran hitam di sekelilingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar