Aku jongkok memungut buku-buku yang kau biarkan berserakan di sekelilingmu. Buku-buku yang entah memang kau baca atau hanya kau turunkan dari raknya untuk diserakkan begitu saja. Buku-buku itu aku yang selalu menyusunnya kembali dengan hati-hati di rak-nya. Buku-buku yang tidak bisa beristirahat karena akan kembali bertebaran di lantai.
Aku akan selalu
menemukanmu bergelung di antara buku-buku di sini. Sejak perempuan itu berhenti
menginap di sini. Sejak gelas-gelas itu berteriak ngeri ketika kau benturkan
tanpa ampun ke tembok. Gelas-gelas yang sebelumnya kau sayangi. Gelas-gelas
berisi anggur yang sebelumnya selalu kalian kecup ketika sedang bercengkrama
berdua saja. Gelas-gelas yang menjadi saksi bisu ketika kalian berguling-guling
menyatu di depan perapian listrik itu.
Gelas-gelas yang pasti
menertawakanku yang selalu muncul setelah ruangan kosong. Mengecupi sepanjang
pinggirannya, berharap akan menemukan bekas bibirmu di sana. Dengan rona merah
di kedua pipiku.
Mataku menemukan
buku terakhir separuh bagiannya tertimpa pahamu. Paha yang hanya bisa kubelai,
kupeluk dan kuciumi berkali-kali di dalam khayalku. Paha atletis yang begitu
piawai dan perkasa. Paha yang...
Ah, sudahlah. Aku
memutuskan untuk membiarkan buku terakhir itu tetap di sana. Tenagaku sudah
terhisap habis dengan segala pikiran-pikiran liar di benakku. Tapi baru saja
aku akan berbalik, kau mengangsurkan buku itu ke arahku. Tanganku gemetar
ketika meraihnya, tanpa berani menatapmu.
Entah bagaimana
aku sudah berada di dalam dekapanmu. Merasakan tatapanmu yang menjilati
sekujurku yang sekarang tergolek pasrah, terlalu lemah untuk melawan atau
terlalu kuat menginginkan ini? Entahlah. Yang pasti aku bisa merasakan
sekujurku tersengat di bagian-bagian yang kau sentuh. Bibirku yang girang
karena akhirnya bisa menemukan bibirmu tak puas-puas memagutnya. Mencecap
segala rasa yang tersaji manis di sana.
Dan mataku
terpejam ketika kau yang begitu perkasa mulai mendesak untuk memasukiku.
Menggigit bibir ketika perih menyengat. Kau merebahkan tubuhmu lekat. Begitu
dekat hingga rasanya paru-paru kita menyatu tanpa penghalang apa-apa. Untuk
beberapa saat kami tidak bergerak. Matamu menatap tajam langsung ke dasar
mataku.
”Aku sudah tahu apa
yang kaurasakan terhadapku, Eko.” katamu.
Setelahnya
ingatanku berputar kembali ke bayangan ketika kau berguling-guling. Menyatu.
Hanya saja kali ini bukan perempuan itu, melainkan aku. Hanya kita berdua. Tanpa
disaksikan gelas-gelas. Aku seolah bisa melihat mulut-mulut mereka yang
ternganga tak percaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar