Selasa, 07 Agustus 2012

Flash : Gelas-gelas


Aku jongkok memungut buku-buku yang kau biarkan berserakan di sekelilingmu. Buku-buku yang entah memang kau baca atau hanya kau turunkan dari raknya untuk diserakkan begitu saja. Buku-buku itu aku yang selalu menyusunnya kembali dengan hati-hati di rak-nya. Buku-buku yang tidak bisa beristirahat karena akan kembali bertebaran di lantai.

Aku akan selalu menemukanmu bergelung di antara buku-buku di sini. Sejak perempuan itu berhenti menginap di sini. Sejak gelas-gelas itu berteriak ngeri ketika kau benturkan tanpa ampun ke tembok. Gelas-gelas yang sebelumnya kau sayangi. Gelas-gelas berisi anggur yang sebelumnya selalu kalian kecup ketika sedang bercengkrama berdua saja. Gelas-gelas yang menjadi saksi bisu ketika kalian berguling-guling menyatu di depan perapian listrik itu.

Gelas-gelas yang pasti menertawakanku yang selalu muncul setelah ruangan kosong. Mengecupi sepanjang pinggirannya, berharap akan menemukan bekas bibirmu di sana. Dengan rona merah di kedua pipiku.

Mataku menemukan buku terakhir separuh bagiannya tertimpa pahamu. Paha yang hanya bisa kubelai, kupeluk dan kuciumi berkali-kali di dalam khayalku. Paha atletis yang begitu piawai dan perkasa. Paha yang...

Ah, sudahlah. Aku memutuskan untuk membiarkan buku terakhir itu tetap di sana. Tenagaku sudah terhisap habis dengan segala pikiran-pikiran liar di benakku. Tapi baru saja aku akan berbalik, kau mengangsurkan buku itu ke arahku. Tanganku gemetar ketika meraihnya, tanpa berani menatapmu.

Entah bagaimana aku sudah berada di dalam dekapanmu. Merasakan tatapanmu yang menjilati sekujurku yang sekarang tergolek pasrah, terlalu lemah untuk melawan atau terlalu kuat menginginkan ini? Entahlah. Yang pasti aku bisa merasakan sekujurku tersengat di bagian-bagian yang kau sentuh. Bibirku yang girang karena akhirnya bisa menemukan bibirmu tak puas-puas memagutnya. Mencecap segala rasa yang tersaji manis di sana.

Dan mataku terpejam ketika kau yang begitu perkasa mulai mendesak untuk memasukiku. Menggigit bibir ketika perih menyengat. Kau merebahkan tubuhmu lekat. Begitu dekat hingga rasanya paru-paru kita menyatu tanpa penghalang apa-apa. Untuk beberapa saat kami tidak bergerak. Matamu menatap tajam langsung ke dasar mataku.

”Aku sudah tahu apa yang kaurasakan terhadapku, Eko.” katamu.

Setelahnya ingatanku berputar kembali ke bayangan ketika kau berguling-guling. Menyatu. Hanya saja kali ini bukan perempuan itu, melainkan aku. Hanya kita berdua. Tanpa disaksikan gelas-gelas. Aku seolah bisa melihat mulut-mulut mereka yang ternganga tak percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar