Aku tidak terlalu ingat awal perjumpaanku dengan si Manis yang sudah hampir tiga tahun menemaniku. Yang kuingat hanya sorot matanya yang memohon itu.
Saat itu hujan
lumayan lebat dan aku sedang berjalan tergesa setengah berlari di antara siramannya. Di
pojokan jalan aku melihatnya meringkuk sendirian. Tubuhnya yang sangat kurus
basah kuyup menggigil. Dan saat itu entah bagaimana tatapan mata kami bertemu
dan tanpa pertimbangan panjang aku pun meraih lalu membawanya pulang.
Pulang ke rumahku
yang hanya kutempati sendiri. Memandikannya hingga bersih lalu memberinya
makan. Dia melahap makanan itu dengan lahap dan aku hanya manatapnya takjub.
Bahkan hingga sekarang aku tetap takjub dengan pemandangan saat dia makan.
Terlebih lagi kebiasaannya menciumi dan menjilatiku setelah kenyang, sebelum
akhirnya mendengkur lembut di pangkuan.
Si Manis selalu
setia mendengar keluh kesahku tentang orang-orang yang rasanya selalu
menyempatkan diri untuk membuatku kesal. Meski tidak bisa memberi pendapat yang
menenangkan, toh setelahnya aku pasti merasa jauh lebih lega. Jika sudah
demikian dia akan dengan penuh semangat menciumiku lagi hingga akhirnya kami
sama-sama jatuh tertidur. Dia selalu senang bergelung bersamaku di balik
selimut yang hangat. Dia pasti langsung pulas begitu kubelai dan usap
sekujurnya.
Sekarang si Manis
tidak lagi kurus bulukan. Dia sudah menjadi sosok yang sangat menawan.
Membuatku tidak menyesal waktu itu langsung memanggilnya si Manis karena nama
itu sekarang sangat sesuai buatnya. Matanya yang bulat seperti telaga yang
memancarkan cintanya dengan lembut. Setiap ciumannya seolah berisi ucapan
terima kasih dan cinta yang tak habis-habisnya. Ucapan terima kasih yang harusnya juga
kuucapkan buatnya yang tidak pernah sekali pun meninggalkanku.
Bulan sudah
tinggi. Di keremangan aku menatap sosoknya yang masih asik meringkuk terlelap.
Aku membelainya lalu mengecup dahinya lembut. Tubuhnya bergetar pelan oleh
sentuhanku lalu matanya terbuka, menatapku sayu. Aku tersenyum. Dia sangat
menggemaskan jika seperti itu. Aku menciumnya lembut lalu menariknya lebih
dalam ke pelukanku. Merasakan kehangatan ketika kulit-kulit kami bersentuhan.
Membisikkan kata-kata cinta ke telinganya. Berkali-kali.
Ya. Kepadanya. Si
Manis.
Perempuan tuna
rungu yang mungkin sudah membuatku jatuh cinta sejak pandangan pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar