Selasa, 14 Agustus 2012

Flash : Panggung Sang Primadona


Lampu sudah padam, menyisakan panggung temaram. Ruangan yang beberapa saat yang lalu riuh penuh gemerlap sekarang terlihat suram. Tidak ada lagi suara aplaus dan sorak sorai penonton. Yang tersisa sekarang hanya keheningan.

Aku baru saja menaikkan sebuah bangku ke meja, ketika kau muncul di panggung. Aku pun menghentikan aktivitasku, duduk di sebuah kursi yang dingin lama ditinggalkan. Dengan dada membuncah bersiap-siap menonton pertunjukan di panggung. Lenganmu yang gemulai terulur meraih mikrofon dan panggung yang semula temaram langsung berpendar. Bukan karena lampu sorot gemerlap aneka warna menyala. Tubuhmu yang berpendar lembut terbalut gaun merah marun yang anggun membuat panggung itu terlihat hidup.

Mataku tidak berkedip. Tidak rela melepas saat-saat ketika kau mulai mengalunkan suara emasmu. Suara yang begitu bening seolah nyanyian dari surga. Suara yang mampu membuat kuduk merinding dan terpana tanpa sanggup bergerak seinci pun. Suara yang membuatku menahan napas seolah takut jika melepasnya maka semua akan usai. Suara yang selalu menjebol benteng pertahananku, menyerah pada desakan air mata penuh haru.

Kau tetap Sang Primadona.
dan panggung itu, tetaplah milikmu.
hanya kau yang pantas bersanding di sana
tiada sosok yang sanggup menggantikanmu

Sorak sorai dan tepuk tangan yang ditujukan buat mereka di telingaku tidak lebih dari kekaguman palsu. Karena tetap kaulah Sang Primadona yang sejati. Sang Primadona yang meski mungkin sudah dilupakan, tapi tidak pernah beranjak dari ingatanku. Terkunci rapi dan abadi di sudutnya yang terdalam.

Kau tetap Sang Primadona.
dan panggung itu, memang milikmu
seberapa banyak rasa iri yang mendera
mereka bahkan tidak cukup layak bersanding bersamamu

Tidak ada yang tahu. Atau mereka hanya terlalu sibuk untuk peduli. Tapi aku tahu, air mata yang beberapa kali harus tumpah dari matamu yang indah. Air mata pedih yang mungkin bagi mereka hanyalah sandiwara andalan Sang Primadona. Tapi aku tahu, kau tidak sedang bersandiwara. Rasa pedih itu nyata.

Kau tetap Sang Primadona.
dan panggung itu, masih milikmu.
dengan sepasang sayap serupa bidadari merentang indah
yang akhirnya harus patah oleh dengki dan cemburu

Lagumu usai sudah. Dengan anggun kau membungkuk dan aku langsung bertepuk tangan. Air mata sekarang membanjiri kedua belah pipiku. Kau tersenyum. Mengangguk. Melempar ciuman jarak jauh buatku. Kebiasaanmu yang sangat kuingat. Bahkan di hari terakhirmu bersanding di panggung itu, sebelum lampu-lampu raksasa yang berpijar panas mendadak rubuh menghujani tubuhmu.

Kau tetap Sang Primadona.
dan panggung itu, selamanya akan jadi milikmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar