Aku memandang pintu yang tertutup di hadapanku. Lagi-lagi rumah itu kosong, seolah tahu aku akan datang untuk menagih hari ini. Hutang yang sudah hampir dua tahun ini kau ulur-ulur, menolak melunasinya. Mungkin di matamu cuma kau yang sedang kesulitan dan aku yang sering memberi pinjaman ini tidak terlalu membutuhkan uang.
Benarkah kau berpikir demikian sehingga memilih acuh dan mengulur-ulur aku?
Aku mengepalkan
kedua tanganku. Bayangan istriku yang tergolek lemah di ranjang rumah sakit
memenuhi mataku. Menghadirkan nyeri menusuk di dadaku. Membuat kedua mataku
panas dengan desakan yang semakin kuat.
Tapi pintu itu
tetap bergeming.
Aku lagi-lagi harus
pulang dengan tangan hampa. Tapi tidak mengapa. Setelah ini aku tidak akan
datang lagi. Hutangmu sudah kuanggap lunas. Dibayar dengan abu rumahmu yang
sekarang sedang membara di belakangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar