Matahari sudah beranjak ke peraduan, menyisakan berkas-berkas yang semakin samar di ufuknya. Aku berdiri dengan mata setengah memicing tidak ingin melewatkan sedikitpun momen saat akhirnya berkas itu menyerah pada kegelapan yang dengan kokoh memeluk cakrawala. Deru kendaraan tidak sedikitpun mengusikku.
Hingga akhirnya
suara tawa yang pecah gegap gempita mengalihkan pandanganku dari berkas
terakhir di langit. Aku melihat serombongan pemuda yang sedang tertawa seraya
menunjuk ke arah seberang jalan. Aku mengikuti arah yang merek tunjukkan dan
terpana. Ya aku terpana dengan objek yang sekarang mengisi pandanganku.
Seorang laki-laki
yang kumal compang-camping dengan rambut gimbal sedang berdiri dengan kedua
belah tangannya terangkat ke sisi kepalanya.
”Dasar orang
gila... Orang gila lagi takbir!” cetus salah seorang pemuda yang diikuti tawa
yang lain. Ya. Gerakan itu disebut takbir. Aku familiar bukan karena menjalani
prosesi yang sama, tapi gerakan itu tidak asing di dalam prosesi doa.
Laki-laki itu hanya
diam dalam posisinya. Cukup lama sehingga lagi-lagi memancing tawa. Aku tidak
melihat hal yang lucu di sana. Tidak juga tergelitik untuk mengomentari. Aku
hanya bisa merasakan sudut-sudut mataku yang panas oleh air mata yang mendesak
diikuti rasa ngilu di relungku. Ngilu yang dikarenakan tamparan keras dari
pemandangan di hadapanku.
Laki-laki itu
yang entah sudah berapa lama meninggalkan segala kewarasannya, tetap bisa
melihat berkas cahaya di tengah kegelapan batinnya. Sedangkan aku? Aku yang
mengaku-ngaku masih waras ini? Sudah berapa lama aku mengabaikan berkas cahaya
itu? Membiarkannya tertutup debu tebal di pojokan yang tidak pernah tersentuh.
Aku malu. Aku merasa sia-sia. Aku merasa... Entah apapun namanya yang
membuatkan seolah telanjang dengan bilur-bilur dosa di sekujurku.
Air mataku
mengalir tanpa berusaha kucegah lagi.
Mendadak semuanya
hening. Sayup-sayup aku bisa mendengar alunan lembut yang mulanya samar namun
semakin jelas seiring dengan usahaku untuk lebih memusatkan perhatian. Alunan
yang begitu merdu menenangkan jiwaku. Alunan yang membawa semua bentuk
kerinduanku seperti air segar yang mengalir di kerongkonganku setelah lama
berkelana di gurun tandus. Alunan yang membuat semua bebanku terangkat.
”Kau masih punya
waktu.”
Aku tertegun lalu
menoleh ke sekitarku, tapi tidak menemukan siapa pun di sana. Tapi itu tidak
penting. Air mataku tetap mengalir, namun kali ini diiringi kelegaan luar biasa
yang menghangatkan relung-relung terdalamku. Ya. Aku masih punya waktu.
Bersamaan dengan itu, alunan lembut dan merdu itu terdengar semakin keras.
Semakin cepat sehingga akhirnya hanya menyisakan nada monoton yang
terputus-putus.
”Hani... Hani...”
Perlahan aku membuka mataku yang berat. Cahaya yang menyilaukan langsung
menyambutku. Aku akhirnya bisa melihat raut cemas Mama yang diiringi senyuman.
”Mama...” Seperti
saat pertama kali bicara. Kata-kata itulah yang meluncur.
”Syukurlah kamu
sudah sadar... Doa Mama terkabul. Semua baik-baik saja...” Jadi alunan yang
kudengar itu adalah doa Mama?
Kami berpelukan.
Tangisku meledak di pelukannya. Sebuah ingatan berkelebat di mataku. Rasa
dingin logam tajam yang menembus kulitku dan denyut lirih saat darahku
mengalir.
’Kau masih punya waktu’ Kata-kata itu kembali terngiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar