Selasa, 03 Juli 2012

Flash : Doa


Matahari sudah beranjak ke peraduan, menyisakan berkas-berkas yang semakin samar di ufuknya. Aku berdiri dengan mata setengah memicing tidak ingin melewatkan sedikitpun momen saat akhirnya berkas itu menyerah pada kegelapan yang dengan kokoh memeluk cakrawala. Deru kendaraan tidak sedikitpun mengusikku.

Hingga akhirnya suara tawa yang pecah gegap gempita mengalihkan pandanganku dari berkas terakhir di langit. Aku melihat serombongan pemuda yang sedang tertawa seraya menunjuk ke arah seberang jalan. Aku mengikuti arah yang merek tunjukkan dan terpana. Ya aku terpana dengan objek yang sekarang mengisi pandanganku.

Seorang laki-laki yang kumal compang-camping dengan rambut gimbal sedang berdiri dengan kedua belah tangannya terangkat ke sisi kepalanya.
”Dasar orang gila... Orang gila lagi takbir!” cetus salah seorang pemuda yang diikuti tawa yang lain. Ya. Gerakan itu disebut takbir. Aku familiar bukan karena menjalani prosesi yang sama, tapi gerakan itu tidak asing di dalam prosesi doa.

Laki-laki itu hanya diam dalam posisinya. Cukup lama sehingga lagi-lagi memancing tawa. Aku tidak melihat hal yang lucu di sana. Tidak juga tergelitik untuk mengomentari. Aku hanya bisa merasakan sudut-sudut mataku yang panas oleh air mata yang mendesak diikuti rasa ngilu di relungku. Ngilu yang dikarenakan tamparan keras dari pemandangan di hadapanku.

Laki-laki itu yang entah sudah berapa lama meninggalkan segala kewarasannya, tetap bisa melihat berkas cahaya di tengah kegelapan batinnya. Sedangkan aku? Aku yang mengaku-ngaku masih waras ini? Sudah berapa lama aku mengabaikan berkas cahaya itu? Membiarkannya tertutup debu tebal di pojokan yang tidak pernah tersentuh. Aku malu. Aku merasa sia-sia. Aku merasa... Entah apapun namanya yang membuatkan seolah telanjang dengan bilur-bilur dosa di sekujurku.

Air mataku mengalir tanpa berusaha kucegah lagi.

Mendadak semuanya hening. Sayup-sayup aku bisa mendengar alunan lembut yang mulanya samar namun semakin jelas seiring dengan usahaku untuk lebih memusatkan perhatian. Alunan yang begitu merdu menenangkan jiwaku. Alunan yang membawa semua bentuk kerinduanku seperti air segar yang mengalir di kerongkonganku setelah lama berkelana di gurun tandus. Alunan yang membuat semua bebanku terangkat.

”Kau masih punya waktu.”

Aku tertegun lalu menoleh ke sekitarku, tapi tidak menemukan siapa pun di sana. Tapi itu tidak penting. Air mataku tetap mengalir, namun kali ini diiringi kelegaan luar biasa yang menghangatkan relung-relung terdalamku. Ya. Aku masih punya waktu. Bersamaan dengan itu, alunan lembut dan merdu itu terdengar semakin keras. Semakin cepat sehingga akhirnya hanya menyisakan nada monoton yang terputus-putus.

”Hani... Hani...” Perlahan aku membuka mataku yang berat. Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku. Aku akhirnya bisa melihat raut cemas Mama yang diiringi senyuman.
”Mama...” Seperti saat pertama kali bicara. Kata-kata itulah yang meluncur.
”Syukurlah kamu sudah sadar... Doa Mama terkabul. Semua baik-baik saja...” Jadi alunan yang kudengar itu adalah doa Mama?

Kami berpelukan. Tangisku meledak di pelukannya. Sebuah ingatan berkelebat di mataku. Rasa dingin logam tajam yang menembus kulitku dan denyut lirih saat darahku mengalir.

’Kau masih punya waktu’ Kata-kata itu kembali terngiang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar