Aku untuk sesaat tidak bisa berkata-kata ketika rasa kecewa merayapi sekujurnya. Rasa kecewa yang nyerinya membekukan. Ketika akhirnya aku bisa bergerak kembali maka dengan lembut aku menepuk pundaknya.
”Sudahlah, tidak
apa-apa. Masih banyak kompetisi lain yang bertebaran. Kamu belum berhasil bukan
karena karya kamu jelek. Hanya saja masih ada orang lain yang karyanya lebih
sesuai dengan kriteria mereka. Yah, kalo emang rejeki nggak akan kemana...”
bisikku tanpa henti mengusap-usap pundaknya, berusaha menghadirkan ketenangan
yang hangat di sekujurnya yang dingin.
”Jangan jadikan
penolakan ini sebagai penghalang kamu. Jangan berhenti mengejar impian kamu.
Masih banyak kesempatan. Kamu baru memulai...” bisikku lagi kali ini lebih
bersemangat.
”Lagian banyak
yang suka dengan karya-karya kamu, kan? Jadi yang perlu kamu lakukan sekarang
hanya mengasah kemampuanmu lebih dalam. Akan tiba saatnya kamu yang dipilih.
Yakinlah!” Kata-kata terakhirku baru saja usai dan samar aku mendengar tawa
mengejek yang semakin mendekat. Tangannya yang berbonggol menjejak di pundak
yang sebelah, dan aku seolah bisa melihat es mulai terbentuk di sana.
”Sudahlah! Untuk
apa segala penghiburan itu?! Sedari awal seharusnya kau tahu memang tidak
berbakat di bidang itu, tapi tetap saja kau membujuknya dengan penghiburan
kosong semacam itu! Berhentilah membohongi dirimu sendiri, dasar manusia tak
berbakat! Kau cuma ngimpi!” katanya diakhiri dengan senyum menyeringai puas.
Pundak tempat
tanganku bertengger pun sekarang semakin dingin sampai-sampai aku buru-buru
mengangkatnya karena tak tahan tersengat kebekuannya.
”Kenapa kau harus
mengatakan itu?! Dia sedang kecewa dan yang dibutuhkannya adalah penghiburan!”
sergahku marah. Meskipun sudah seumur hidup kami sama-sama berdiam di tempat
yang sama, aku masih tetap tidak bisa menerima sikapnya.
”Yang dia
butuhkan adalah kejujuran. Semoga saja kenyataan itu bisa membangunkannya dari
keterpurukan. Tidak selamanya kata-kata manis berhasil. Ada kalanya lecutan
pedas yang dibutuhkan. Dan untuk itulah aku ada di sini sekarang. Sudah terlalu
banyak kata manis darimu.”
”Kata-kata manis
hanya akan melenakannya, membuatnya lupa dan parahnya adalah menahan
langkahnya. Kita sama-sama sudah membaca karyanya yang begitu-begitu saja. Menerima
pujian yang begitu-begitu juga, tapi semua itu malah membuatnya tetap di posisi
yang itu-itu juga. Dan kau masih berusaha menghiburnya? Dia tidak butuh itu
sekarang. Dia harus menyadari siapa dirinya, meski dengan cara paling getir.
Agar dia bertumbuh.” lanjutnya lagi.
Aku terdiam.
Bungkam. Dalam hati mengakui kebenarannya. Tapi mau bagaimana lagi? Sejak
terbentuk memang sudah tugasku untuk menyampaikan penghiburan dan harapan.
Menghadirkan rasa manis dan kehangatan. Tidak sepertinya yang sangat menyukai
tugasnya untuk mencaci maki dan menjatuhkan mental.
Namun mendadak
aku terpana ketika seberkas sinar perlahan muncul dari sosok yang membeku itu.
Sinar yang kukenali sebagai semangat itu perlahan tapi pasti mulai mengalahkan
kebekuannya. Dia pasti benar-benar tertantang sekarang.
Aku menatap sosok
di sebelahku yang masih tersenyum puas. Aku hanya menghela napas, namun tidak
menolak ketika dia mengulurkan tangannya. Berdua kami berjalan beriringan masuk
kembali ke dalam ceruk mungil di hatinya yang sekarang terasa lebih hangat oleh
kobaran semangatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar