Senin, 23 Juli 2012

Flash : Suara hati


Aku untuk sesaat tidak bisa berkata-kata ketika rasa kecewa merayapi sekujurnya. Rasa kecewa yang nyerinya membekukan. Ketika akhirnya aku bisa bergerak kembali maka dengan lembut aku menepuk pundaknya.

”Sudahlah, tidak apa-apa. Masih banyak kompetisi lain yang bertebaran. Kamu belum berhasil bukan karena karya kamu jelek. Hanya saja masih ada orang lain yang karyanya lebih sesuai dengan kriteria mereka. Yah, kalo emang rejeki nggak akan kemana...” bisikku tanpa henti mengusap-usap pundaknya, berusaha menghadirkan ketenangan yang hangat di sekujurnya yang dingin.

”Jangan jadikan penolakan ini sebagai penghalang kamu. Jangan berhenti mengejar impian kamu. Masih banyak kesempatan. Kamu baru memulai...” bisikku lagi kali ini lebih bersemangat.

”Lagian banyak yang suka dengan karya-karya kamu, kan? Jadi yang perlu kamu lakukan sekarang hanya mengasah kemampuanmu lebih dalam. Akan tiba saatnya kamu yang dipilih. Yakinlah!” Kata-kata terakhirku baru saja usai dan samar aku mendengar tawa mengejek yang semakin mendekat. Tangannya yang berbonggol menjejak di pundak yang sebelah, dan aku seolah bisa melihat es mulai terbentuk di sana.

”Sudahlah! Untuk apa segala penghiburan itu?! Sedari awal seharusnya kau tahu memang tidak berbakat di bidang itu, tapi tetap saja kau membujuknya dengan penghiburan kosong semacam itu! Berhentilah membohongi dirimu sendiri, dasar manusia tak berbakat! Kau cuma ngimpi!” katanya diakhiri dengan senyum menyeringai puas.

Pundak tempat tanganku bertengger pun sekarang semakin dingin sampai-sampai aku buru-buru mengangkatnya karena tak tahan tersengat kebekuannya.
”Kenapa kau harus mengatakan itu?! Dia sedang kecewa dan yang dibutuhkannya adalah penghiburan!” sergahku marah. Meskipun sudah seumur hidup kami sama-sama berdiam di tempat yang sama, aku masih tetap tidak bisa menerima sikapnya.
”Yang dia butuhkan adalah kejujuran. Semoga saja kenyataan itu bisa membangunkannya dari keterpurukan. Tidak selamanya kata-kata manis berhasil. Ada kalanya lecutan pedas yang dibutuhkan. Dan untuk itulah aku ada di sini sekarang. Sudah terlalu banyak kata manis darimu.”

”Kata-kata manis hanya akan melenakannya, membuatnya lupa dan parahnya adalah menahan langkahnya. Kita sama-sama sudah membaca karyanya yang begitu-begitu saja. Menerima pujian yang begitu-begitu juga, tapi semua itu malah membuatnya tetap di posisi yang itu-itu juga. Dan kau masih berusaha menghiburnya? Dia tidak butuh itu sekarang. Dia harus menyadari siapa dirinya, meski dengan cara paling getir. Agar dia bertumbuh.” lanjutnya lagi.

Aku terdiam. Bungkam. Dalam hati mengakui kebenarannya. Tapi mau bagaimana lagi? Sejak terbentuk memang sudah tugasku untuk menyampaikan penghiburan dan harapan. Menghadirkan rasa manis dan kehangatan. Tidak sepertinya yang sangat menyukai tugasnya untuk mencaci maki dan menjatuhkan mental.

Namun mendadak aku terpana ketika seberkas sinar perlahan muncul dari sosok yang membeku itu. Sinar yang kukenali sebagai semangat itu perlahan tapi pasti mulai mengalahkan kebekuannya. Dia pasti benar-benar tertantang sekarang.

Aku menatap sosok di sebelahku yang masih tersenyum puas. Aku hanya menghela napas, namun tidak menolak ketika dia mengulurkan tangannya. Berdua kami berjalan beriringan masuk kembali ke dalam ceruk mungil di hatinya yang sekarang terasa lebih hangat oleh kobaran semangatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar