Kamis, 12 Juli 2012

Puisi : Meong


Semua perempuan serupa kucing
yang selalu mengeong saat lagi butuh
begitu katamu setengah memicing
Kenapa begitu tanyaku
Kenapa harus kucing?
Aku tidak merasa suara mengeong merdu

Ada yang mendesis
entah karena kepanasan atau kepedasan
seperti anakonda mereka akan melilitku sampai meringis
enggan melepasku, terus memeras, membuatku mengejan
tanpa daya membiarkan sariku terkuras habis
tanpa sisa, kerontang, berharap menyisakan kepuasan

Ada juga yang menggeram
membuatku ragu apakah mereka ingin aku terus atau berhenti
seperti anjing hutan melihat musuh
atau hanya ayam yang lagi mengeram
tapi rancapan kuku di lengan langsung kumengerti
kehadiranku diinginkan lebih lama hingga subuh

Malah ada yang melenguh
seperti sapi yang sedang asik memamah biak
merasakan kenikmatan yang berlompatan liar di sekujur tubuh
tanpa perlawanan, pasrah sepenuhnya diruyak-ruyak
oleh gada perkasa terselubung buluh
yang terus merangsek sibuk membuat riak-riak

Mendesis
Menggeram
Melenguh
Atau mengeong seperti katamu

Liang mereka tetap sama, sangat dalam
berulir, berliku seperti labirin
tidak jarang aku bukannya berenang namun harus menyelam
menyusuri dinding misterius berdarah dingin
yang selalu siap memangsa apapun yang tertanam
di relung empuk, subur yang berbuah janin

Semua perempuan tetap serupa kucing
mereka mendesis, menggeram, melenguh dan pastinya mengeong
katamu lagi keras kepala

Memang bukan karena suara itu merdu
kali ini kau menjawab dengan senyum terkulum
pasti kau puas melihat kebingungan di mataku
berbalur geram dan kesal yang berputar seperti pendulum

Kau pernah melihat atau setidaknya mendengar
sepasang kucing yang sedang bertengkar?
Tanyamu seolah guru yang sedang mengajar
yang langsung aku jawab dengan anggukan tak sabar

Adu meong pasti berlangsung sangat lama
Ada yang iramanya lambat syahdu hingga bising penuh lonjakan
Sebelum akhirnya semua berakhir dengan hening

Bukankah seperti itu saat kita menyetubuhi perempuan?
Dimulai dari pemanasan yang syahdu hingga lonjakan saat menggapai puncak
Hingga berakhir lemas dan semoga puas?

Tapi kenapa harus kucing?
tanyaku lagi masih belum terima
Kau hanya menggeleng dengan senyum tersungging

Ya karena mereka memang seperti kucing acak kadut
yang seringkali berlagak tidak suka didekati seperti melihat musuh
namun begitu bergairah sehingga liangnya akan langsung basah dan berkedut
meski hanya dengan satu kali sentuhan serupa membasuh

Lalu mereka akan mendesis
Menggeram
Melenguh
Dan akhirnya mengeong syahdu hingga bising

Lalu hening
Lemas dan semoga puas

Kau sudahi penjelasan dengan kerling
memercik gemericik di pembuluhku
kau benar, perempuan memang serupa kucing
semua tergambar jelas di sorotmu yang terpantul di mataku

Kau setengah berjingkat
Bibirmu dan telingaku begitu lekat
”Meong...” bisikmu dekat
Aku tercekat...

Aku tidak akan lemas
Kau pasti puas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar