“Tahu, gak? Ternyata Bella beneran jadi simpanan pejabat yang tempo hari berkunjung lho…” ujarku dengan penuh semangat. Dua pasang mata di hadapanku untuk sesaat seperti tidak percaya, sebelum akhirnya kepala mereka manggut-manggut.
”Wah, pantesan
gayanya beda sekarang. Mewah...” Rita menanggapi dengan bibirnya yang merah
kepedasan. Aku mengangguk.
”Iya. Serem
banget yah. Padahal kurang apa sih sampe harus jadi simpanan gituh...” timpalku
lagi berapi-api.
”Namanya juga
takut susah. Biar deh jelek, buncit, botak... Yang penting duitnya.” Dian
akhirnya buka suara.
Ponselku
bergetar. Pesan masuk. Aku segera bangkit dan pamit pulang lebih dulu. Menyetop
taksi lalu meluncur pergi menuju ke kawasan apartemen mewah di pusat kota.
Setibanya di gedung aku segera menuju ke lift langsung ke apartemen baruku di
lantai tujuh.
Aku membuka pintu
dan sepasang lengan memelukku dari belakang. Aku merangkul lengannya dan kami
tidak bergerak selama beberapa saat. Lengan itu tidak kekar seperti yang selalu
kuidam-idamkan. Jemarinya yang gemuk juga sudah mulai berkerut plus perut
buncit yang menekan punggungku.
”Aku kangen...”
bisiknya lalu memelukku lebih erat. Aku membiarkannya mendaratkan ciuman di
tengkukku. Pasrah ketika dia memutar tubuhku. Sekarang kami berhadapan. Rambut
di dahinya terlihat lebih tipis sekarang.
”Istriku sedang
arisan sambil tamasya bareng teman-temannya sampai minggu depan...” senyumnya
mengembang memamerkan deretan gigi menguning oleh nikotin dan kopi. Aku
menciumnya mesra.
Lalu bayangan mobil
sport terbaru di katalog melintas di benakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar