Alarm menjerit kencang. Tanganku bergerak berat untuk menyudahinya. Mataku masih tertutup namun otakku sudah mulai bekerja. Malas-malasan mataku terbuka. Semburat fajar sudah jelas terlihat dari sela-sela tiraiku.
Hari ini hari
apa? Ah entahlah. Tidak penting.
Dengan
malas-malasan aku duduk di ranjang lalu sembari menguap bangkit dan berjalan
keluar. Tanganku menyambar handuk yang tergantung di dekat pintu langsung masuk
ke kamar mandi. Di kamar mandi aku memutar kran dan merinding ketika kucuran air
terhempas di sekujurku. Dengan mata terpejam aku membiarkan air mengalir
berharap dengan begitu rasa malas ini akan tersapu.
Sekujur tubuhku
tahu dengan pasti berapa kali harus mengusap-usapkan sabun ke tubuhku. Berapa
kali sikat gigiku harus bergerak di seputar gigiku. Semua sudah terjadwal
dengan pasti. Seperti yang sudah-sudah. Tidak melenceng sedikitpun.
Aku bersiap-siap
tanpa semangat. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku bahkan bisa menghitung
jumlah detik yang dibutuhkan untuk bisa menghabiskan bubur instan di hadapanku.
Aku juga bisa menghitung jumlah langkah ke garasi dan berapa menit waktu yang
kubutuhkan untuk mengeluarkan motorku. Aku juga sudah hapal luar kepala apa
saja yang akan kulalui selama perjalanan nanti. Aku tahu jam berapa akan lewat
tikungan yang mana. Ada tiga tikungan yang akan aku lewati. Aku bahkan tahu apa
dan siapa saja yang akan kutemui. Apa yang akan mereka ucapkan. Bagaimana
jawabanku.
Begitulah
hari-hariku. Serupa monitor penunjuk denyut jantung yang mendatar dengan suara
mendenging. Serupa permukaan telaga yang diam dan kosong.
Aku memacu
kecepatan motorku seperti yang biasa kulakukan, namun ketika akan berbelok di
tikungan pertama, ternyata jalan hari ini ditutup. Apa yang terjadi? Sudah
ratusan kali aku melewatinya, baru kali ini jalur itu ditutup. Aku baru akan
memutar motorku ketika seseorang menepuk punggungku. Seorang perempuan muda.
Dia terlihat buru-buru. Tangannya menjinjing tas transparan berisi map dan
dokumen.
”Mas akan lewat lurus?
Kalo boleh aku mau numpang sampai ke persimpangan di depan sana.” ujarnya
setengah memelas. Aku bisa saja langsung menggeleng, tapi entah perintah dari
mana kepalaku malah mengangguk. Senyum langsung menghiasi wajahnya. Diselingi
ucapan terima kasih dia pun naik dan duduk di boncenganku.
”Biasanya aku
nunggu bus di tikungan itu, tapi entah kenapa hari ini jalan ditutup. Jadi
bus-ku nggak lewat.” ujarnya lagi.
Oh ya? Kenapa aku
sama sekali tidak pernah melihatnya? Apakah aku terlalu asik dengan rutinitasku
yang datar sehingga tidak menyadarinya? Hm. Pasti begitu. Aku lalu memacu
motorku lurus. Tangannya yang hangat melingkar di pinggangku, menghadirkan
getar-getar aneh di sana. Getar-getar yang langsung memompa semangatku. Tidak
peduli meskipun nanti aku harus memutar cukup jauh.
Rangkulan
tangannya yang hangat serupa daun yang jatuh tepat di permukaan danau yang
tenang. Menghadirkan riak mungil di sekelilingnya. Menghentikan dengingan
panjang menjadi bunyi putus-putus menyatakan denyut kehidupan yang masih
tersisa.
Ketika akhirnya
kami tiba di persimpangan yang dia maksud, aku hanya mengangguk tanpa sanggup
berkata-kata ketika dia mengucapkan terima kasih. Hanya bisa mengutuk kakiku
dan begitu gesit menukar gigi dan tangan yang langsung memutar gas bersamaan
dengan lampu yang menyala hijau. Meninggalkannya. Tanpa sempat menanyakan
pertanyaan paling standar, namun menjadi paling menentukan. Siapa namanya.
Tapi tidak
mengapa. Besok mungkin kami bisa bertemu lagi. Aku menghibur diri.
***
Mataku sudah
terbuka bertepatan ketika alarm-ku menjerit. Tanpa buang waktu aku segera
bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap dengan kecepatan ekstra. Tidak ada
lagi hitungan dan gambaran di kepalaku. Yang ada hanyalah kerinduan untuk bisa
merasakan desir itu di sekujurku.
Merasakan riak
lembutnya di permukaan relungku yang datar.
Aku memacu
motorku ke tikungan tempatku bertemu dengannya kemarin. Tikungan sudah dibuka
seperti biasa, tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku melirik arloji di pergelangan
tanganku. Mungkin aku terlalu awal? Atau mungkin aku terlambat? Sepertinya
kemarin dia sangat terburu-buru. Mungkin dia berangkat lebih awal. Akhirnya aku
hanya menelan kecewaku sendiri lalu melanjutkan perjalananku menyusuri rute
yang sudah tergambar di benakku perlahan.
Di tikungan kedua
yang lumayan ramai dan langganan macet seorang pedagang asongan menghampiri.
Aku hanya menggeleng. Dia menatapku bengong tidak percaya, tapi aku tidak ingin
berlama-lama memperdulikannya. Aku tahu keheranannya. Biasanya aku pasti akan
membeli dua batang rokok darinya. Kami juga akan berbincang akrab sembari
merayap perlahan bersama.
Aku memencet
klaksonku sekencangnya. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Amarahku
langsung meledak ketika sebuah becak menyalipku. Makian pun terlontar ke arah
pria setengah baya beruban yang hanya bisa terdiam. Mungkin saking kagetnya. Aku
menyalip mobil yang merayap. Meliuk-liuk di antara mereka. Tidak peduli dengan
klakson yang bergantian menjerit.
Ketika tiba di
tikungan ke tiga yang lumayan lengang aku memacu motorku lebih kencang. Melindas
genangan air sisa hujan tadi malam dengan garang. Tidak menoleh apalagi
berhenti ketika teriakan samar terdengar. Aku malah tersenyum puas dalam hati. Jackpot.
Masih ada besok.
Besok mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi. Lagi-lagi aku menghibur diri.
***
Mataku terbuka
cepat dan masih tersisa lima menit sebelum alarm berbunyi. Aku memutuskan untuk
berbaring lebih lama menunggunya. Aku tidak mau tergesa-gesa seperti kemarin.
Aku ingin semuanya berjalan dengan pas. Ketika alarm akhirnya berbunyi aku
langsung memadamkannya lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Menikmati
guyuran air di sekujurku. Mengusap-usapkan sabun ke sekujurku dan menyikat
gigi. Semoga dengan intensitas yang terjadwal sama seperti sebelumnya.
Mengganti pakaian
lalu memasak bubur instan dan memakannya. Tapi ketika aku memindahkannya sesuap
demi sesuap ke mulut, tidak ada detak detik yang selama ini selalu mengikutiku.
Aku tidak ingat lagi berapa detik yang dibutuhkan untuk menghabiskannya.
Meskipun aku agak lega karena bisa mengingat jumlah langkah ke garasi dan
berapa menit untuk mengeluarkan motorku. Tapi jika aku tidak tahu berapa detik
yang tersisa untuk sarapan, apa gunanya?
Aku menghabiskan
buburku lalu ke garasi mengeluarkan motorku. Menyalakannya lalu melaju
meninggalkan pelataran rumahku. Motorku berjalan pelan hingga akhirnya tiba di
tikungan pertamaku. Sosoknya tidak kelihatan. Lagi-lagi aku hanya menelan
kecewa. Dan kali ini aku melalui perjalanan yang lebih beringas dari yang
sudah-sudah sekedar untuk mengurangi rasa perih yang entah darimana muncul di
relungku. Meruyak-ruyak dengan tawanya yang menyakitkan.
”Kamu kenapa sih?
Tiga hari belakangan ini tingkahmu aneh. Kamu uring-uringan mulu.” Aku
menghembuskan asap seolah dengan demikian beban yang menghimpit akan berkurang
separuhnya. Tidak perlu menjawab pertanyaannya. Tidak butuh juga membeberkan
semua kepadanya. Tapi dia masih ngotot menunggu jawabanku.
”Nggak
kenapa-kenapa.” sahutku akhirnya.
”Kayak bukan
kamu.” tukasnya lalu bergegas pergi.
Aku terbengong. Benarkah
yang kurasakan itu hanya riak halus bukannya gelombang? Kenapa sampai aku
dianggap bukan aku hanya karena kejadian sekelebat mata di hari yang tidak
penting itu?
Besok. Besok
adalah yang terakhir buatku untuk mendapatkan jawaban.
***
Akhirnya aku
memutuskan untuk tidak lagi menjadikan tikungan pertama itu sebagai patokan.
Mungkin sebaiknya aku memacu motorku hingga ke persimpangan tempat aku
menurunkannya tempo hari. Betapa bodohnya aku tidak kepikiran ke sana. Dua hari
berlalu sia-sia hanya karena aku terlalu terpaku pada tikungan itu.
Maka aku
menyusuri jalanan yang kulalui bersamanya di hari itu. Mataku tetap siaga
memandang tepi jalan berharap semoga bisa melihat sosoknya sedang berdiri
menunggu bus atau tumpangan. Tapi lagi-lagi hanya gelembung kecewa yang pecah
di tenggorokanku.
Persimpangan itu
semakin dekat, tapi sosoknya tetep tidak kelihatan. Ya sudahlah. Mungkin aku
memang harus menyudahinya. Kehadirannya bukan apa-apa. Hanya riak kecil yang
tidak penting di permukaan telagaku. Hanya sekejap sebelum akhirnya permukaan
itu kembali datar seperti cermin.
Persimpangan
lengang. Lampu merah baru saja berubah menjadi hijau bertepatan saat tanpa
diperintah kepalaku menoleh dan darahku berdesir. Dia berdiri di sana.
Sendirian. Jadi ternyata aku memang salah. Rasa bahagiaku membuncah. Berdebur
keras berlomba-lomba dengan desiran darah yang mengalir begitu kencangnya
sehingga mengeluarkan suara denging panjang di telingaku.
Denging yang
langsung lenyap ketika tubuhku terpental setelah ditubruk dari sebelah kanan.
Sekilas aku bisa melihat motorku yang ringsek terseret di aspal sebelum tubuhku
terhenyak di sisinya. Sosok itu lenyap bersama berkas cahaya menyilaukan di
mataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar