Senin, 02 Juli 2012

Cerpen : Riak


Alarm menjerit kencang. Tanganku bergerak berat untuk menyudahinya. Mataku masih tertutup namun otakku sudah mulai bekerja. Malas-malasan mataku terbuka. Semburat fajar sudah jelas terlihat dari sela-sela tiraiku.

Hari ini hari apa? Ah entahlah. Tidak penting.

Dengan malas-malasan aku duduk di ranjang lalu sembari menguap bangkit dan berjalan keluar. Tanganku menyambar handuk yang tergantung di dekat pintu langsung masuk ke kamar mandi. Di kamar mandi aku memutar kran dan merinding ketika kucuran air terhempas di sekujurku. Dengan mata terpejam aku membiarkan air mengalir berharap dengan begitu rasa malas ini akan tersapu.

Sekujur tubuhku tahu dengan pasti berapa kali harus mengusap-usapkan sabun ke tubuhku. Berapa kali sikat gigiku harus bergerak di seputar gigiku. Semua sudah terjadwal dengan pasti. Seperti yang sudah-sudah. Tidak melenceng sedikitpun.

Aku bersiap-siap tanpa semangat. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku bahkan bisa menghitung jumlah detik yang dibutuhkan untuk bisa menghabiskan bubur instan di hadapanku. Aku juga bisa menghitung jumlah langkah ke garasi dan berapa menit waktu yang kubutuhkan untuk mengeluarkan motorku. Aku juga sudah hapal luar kepala apa saja yang akan kulalui selama perjalanan nanti. Aku tahu jam berapa akan lewat tikungan yang mana. Ada tiga tikungan yang akan aku lewati. Aku bahkan tahu apa dan siapa saja yang akan kutemui. Apa yang akan mereka ucapkan. Bagaimana jawabanku.

Begitulah hari-hariku. Serupa monitor penunjuk denyut jantung yang mendatar dengan suara mendenging. Serupa permukaan telaga yang diam dan kosong.

Aku memacu kecepatan motorku seperti yang biasa kulakukan, namun ketika akan berbelok di tikungan pertama, ternyata jalan hari ini ditutup. Apa yang terjadi? Sudah ratusan kali aku melewatinya, baru kali ini jalur itu ditutup. Aku baru akan memutar motorku ketika seseorang menepuk punggungku. Seorang perempuan muda. Dia terlihat buru-buru. Tangannya menjinjing tas transparan berisi map dan dokumen.

”Mas akan lewat lurus? Kalo boleh aku mau numpang sampai ke persimpangan di depan sana.” ujarnya setengah memelas. Aku bisa saja langsung menggeleng, tapi entah perintah dari mana kepalaku malah mengangguk. Senyum langsung menghiasi wajahnya. Diselingi ucapan terima kasih dia pun naik dan duduk di boncenganku.

”Biasanya aku nunggu bus di tikungan itu, tapi entah kenapa hari ini jalan ditutup. Jadi bus-ku nggak lewat.” ujarnya lagi.

Oh ya? Kenapa aku sama sekali tidak pernah melihatnya? Apakah aku terlalu asik dengan rutinitasku yang datar sehingga tidak menyadarinya? Hm. Pasti begitu. Aku lalu memacu motorku lurus. Tangannya yang hangat melingkar di pinggangku, menghadirkan getar-getar aneh di sana. Getar-getar yang langsung memompa semangatku. Tidak peduli meskipun nanti aku harus memutar cukup jauh.

Rangkulan tangannya yang hangat serupa daun yang jatuh tepat di permukaan danau yang tenang. Menghadirkan riak mungil di sekelilingnya. Menghentikan dengingan panjang menjadi bunyi putus-putus menyatakan denyut kehidupan yang masih tersisa.

Ketika akhirnya kami tiba di persimpangan yang dia maksud, aku hanya mengangguk tanpa sanggup berkata-kata ketika dia mengucapkan terima kasih. Hanya bisa mengutuk kakiku dan begitu gesit menukar gigi dan tangan yang langsung memutar gas bersamaan dengan lampu yang menyala hijau. Meninggalkannya. Tanpa sempat menanyakan pertanyaan paling standar, namun menjadi paling menentukan. Siapa namanya.

Tapi tidak mengapa. Besok mungkin kami bisa bertemu lagi. Aku menghibur diri.

***
Mataku sudah terbuka bertepatan ketika alarm-ku menjerit. Tanpa buang waktu aku segera bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap dengan kecepatan ekstra. Tidak ada lagi hitungan dan gambaran di kepalaku. Yang ada hanyalah kerinduan untuk bisa merasakan desir itu di sekujurku.

Merasakan riak lembutnya di permukaan relungku yang datar.

Aku memacu motorku ke tikungan tempatku bertemu dengannya kemarin. Tikungan sudah dibuka seperti biasa, tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku melirik arloji di pergelangan tanganku. Mungkin aku terlalu awal? Atau mungkin aku terlambat? Sepertinya kemarin dia sangat terburu-buru. Mungkin dia berangkat lebih awal. Akhirnya aku hanya menelan kecewaku sendiri lalu melanjutkan perjalananku menyusuri rute yang sudah tergambar di benakku perlahan.

Di tikungan kedua yang lumayan ramai dan langganan macet seorang pedagang asongan menghampiri. Aku hanya menggeleng. Dia menatapku bengong tidak percaya, tapi aku tidak ingin berlama-lama memperdulikannya. Aku tahu keheranannya. Biasanya aku pasti akan membeli dua batang rokok darinya. Kami juga akan berbincang akrab sembari merayap perlahan bersama.

Aku memencet klaksonku sekencangnya. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Amarahku langsung meledak ketika sebuah becak menyalipku. Makian pun terlontar ke arah pria setengah baya beruban yang hanya bisa terdiam. Mungkin saking kagetnya. Aku menyalip mobil yang merayap. Meliuk-liuk di antara mereka. Tidak peduli dengan klakson yang bergantian menjerit.

Ketika tiba di tikungan ke tiga yang lumayan lengang aku memacu motorku lebih kencang. Melindas genangan air sisa hujan tadi malam dengan garang. Tidak menoleh apalagi berhenti ketika teriakan samar terdengar. Aku malah tersenyum puas dalam hati. Jackpot.

Masih ada besok. Besok mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi. Lagi-lagi aku menghibur diri.

***
Mataku terbuka cepat dan masih tersisa lima menit sebelum alarm berbunyi. Aku memutuskan untuk berbaring lebih lama menunggunya. Aku tidak mau tergesa-gesa seperti kemarin. Aku ingin semuanya berjalan dengan pas. Ketika alarm akhirnya berbunyi aku langsung memadamkannya lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Menikmati guyuran air di sekujurku. Mengusap-usapkan sabun ke sekujurku dan menyikat gigi. Semoga dengan intensitas yang terjadwal sama seperti sebelumnya.

Mengganti pakaian lalu memasak bubur instan dan memakannya. Tapi ketika aku memindahkannya sesuap demi sesuap ke mulut, tidak ada detak detik yang selama ini selalu mengikutiku. Aku tidak ingat lagi berapa detik yang dibutuhkan untuk menghabiskannya. Meskipun aku agak lega karena bisa mengingat jumlah langkah ke garasi dan berapa menit untuk mengeluarkan motorku. Tapi jika aku tidak tahu berapa detik yang tersisa untuk sarapan, apa gunanya?

Aku menghabiskan buburku lalu ke garasi mengeluarkan motorku. Menyalakannya lalu melaju meninggalkan pelataran rumahku. Motorku berjalan pelan hingga akhirnya tiba di tikungan pertamaku. Sosoknya tidak kelihatan. Lagi-lagi aku hanya menelan kecewa. Dan kali ini aku melalui perjalanan yang lebih beringas dari yang sudah-sudah sekedar untuk mengurangi rasa perih yang entah darimana muncul di relungku. Meruyak-ruyak dengan tawanya yang menyakitkan.

”Kamu kenapa sih? Tiga hari belakangan ini tingkahmu aneh. Kamu uring-uringan mulu.” Aku menghembuskan asap seolah dengan demikian beban yang menghimpit akan berkurang separuhnya. Tidak perlu menjawab pertanyaannya. Tidak butuh juga membeberkan semua kepadanya. Tapi dia masih ngotot menunggu jawabanku.
”Nggak kenapa-kenapa.” sahutku akhirnya.
”Kayak bukan kamu.” tukasnya lalu bergegas pergi.

Aku terbengong. Benarkah yang kurasakan itu hanya riak halus bukannya gelombang? Kenapa sampai aku dianggap bukan aku hanya karena kejadian sekelebat mata di hari yang tidak penting itu?

Besok. Besok adalah yang terakhir buatku untuk mendapatkan jawaban.

***
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi menjadikan tikungan pertama itu sebagai patokan. Mungkin sebaiknya aku memacu motorku hingga ke persimpangan tempat aku menurunkannya tempo hari. Betapa bodohnya aku tidak kepikiran ke sana. Dua hari berlalu sia-sia hanya karena aku terlalu terpaku pada tikungan itu.

Maka aku menyusuri jalanan yang kulalui bersamanya di hari itu. Mataku tetap siaga memandang tepi jalan berharap semoga bisa melihat sosoknya sedang berdiri menunggu bus atau tumpangan. Tapi lagi-lagi hanya gelembung kecewa yang pecah di tenggorokanku.

Persimpangan itu semakin dekat, tapi sosoknya tetep tidak kelihatan. Ya sudahlah. Mungkin aku memang harus menyudahinya. Kehadirannya bukan apa-apa. Hanya riak kecil yang tidak penting di permukaan telagaku. Hanya sekejap sebelum akhirnya permukaan itu kembali datar seperti cermin.

Persimpangan lengang. Lampu merah baru saja berubah menjadi hijau bertepatan saat tanpa diperintah kepalaku menoleh dan darahku berdesir. Dia berdiri di sana. Sendirian. Jadi ternyata aku memang salah. Rasa bahagiaku membuncah. Berdebur keras berlomba-lomba dengan desiran darah yang mengalir begitu kencangnya sehingga mengeluarkan suara denging panjang di telingaku.

Denging yang langsung lenyap ketika tubuhku terpental setelah ditubruk dari sebelah kanan. Sekilas aku bisa melihat motorku yang ringsek terseret di aspal sebelum tubuhku terhenyak di sisinya. Sosok itu lenyap bersama berkas cahaya menyilaukan di mataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar