Langit masih gelap. Semburat matahari masih malu-malu merangkak naik,
tapi kesibukan dan keributan di desa itu langsung membawa siang lebih
awal. Beberapa laki-laki hilir mudik dan kasak kusuk ke rumah-rumah
lain.
Sementara itu di sebuah rumah yang cukup megah,
sebuah tenda biru sudah terpancang kokoh. Kursi-kursi juga sudah
ditumpuk rapi di pojokan dan sebuah panggung sudah didirikan di depan.
Orang-orang ramai di sana, tapi bukan untuk antre di meja prasmanan.
Beberapa perempuan terlihat sedang menghibur seorang perempuan setengah
baya yang terlihat lemas putus asa.
”Udah kami tanya ke
penjuru desa, nggak ada yang ngeliat Non Dian.” lapor seorang laki-laki
yang menjadi pimpinan rombongan pencari. Mendengar laporan itu,
perempuan setengah baya tadi semakin lemas. Kali ini isaknya berloncatan
keluar sembari menyebut-nyebut nama putrinya.
”Kawinannya
lusa. Setidaknya kita harus sudah ngasih kabar ke besan paling lambat
besok. Sekarang kita masih harus mencari. Kalo Dian nggak ada di desa
ini, kita cari ke desa-desa sebelah. Pokoknya harus nemu. Nggak mungkin
lenyap tanpa jejak.” Seorang laki-laki paruh baya yang terlihat sangat
berwibawa akhirnya angkat bicara. Setelah mendengar perintah itu,
rombongan pencari pun berlalu. Mereka kembali memulai pencarian.
Laki-laki
itu menepuk lembut pundak istrinya yang sekarang sesunggukan seolah
ingin menularkan kekuatannya. Bohong besar jika dia tidak risau. Bukan
hanya merisaukan keselamatan putrinya semata wayang. Dia juga merisaukan
hal yang lebih besar. Nama baik keluarganya. Bahkan nama baik desanya,
karena dia juga adalah pemimpin di desa itu. Apa kata orang jika
pernikahan ini batal? Mau ditaruh dimana mukanya?
Di rumah
lain tidak jauh dari sana, seorang perempuan masih berdiri di depan
pagar rumahnya. Matanya masih agak sembab karena baru dibangunkan dari
tidurnya. Dia baru saja ditanyai oleh rombongan pencari tentang calon
pengantin yang mendadak lenyap. Setelah rombongan itu berlalu dia pun
masuk kembali ke dalam. Harus bersiap-siap berangkat kerja.
”Mereka
nanya soal orang hilang.” ujarnya ketika melihat kekasihnya yang masih
mengenakan daster meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan. Dia
mengurungkan niatnya untuk langsung mandi.
”Pantesan heboh pagi-pagi buta.” Dia mengangguk. Mereka duduk berdua lalu mulai menikmati sarapan berdua dalam diam.
”Iya tuh. Padahal masih enak-enakan tidur yah.” sahutnya asal. Padahal setelah keributan itu dia langsung kehilangan kantuknya.
”Ya nggak apa-apa. Toh kamu juga harus lekas beres-beres.” Dia mengangguk.
”Siapa sih yang ngilang?” Ternyata topik masih berlanjut.
”Anak gadis Pak Kades. Yang mau kawinan lusa.”
”Wah... Kacau tuh. Nggak kebayang deh.”
Mereka
sudah selesai sarapan, tapi kekasihnya tidak langsung membereskan
piring-piring yang kotor. Dia juga tidak langsung mandi dan
bersiap-siap. Hanya pasrah mengikuti ajakan untuk kembali bergelung di
kasur yang masih hangat.
”Ntar aku kesiangan lho...” godanya.
”Alarm
kamu belum nyala kok... Jadi masih ada waktu.” bisik kekasihnya yang
langsung menghadiahinya kecupan mesra di bibirnya. Bibir yang rasanya
masih seperti nasi goreng. Nasi goreng hangat mengepul yang akan selalu
dinikmatinya dengan lahap.
Siangnya di kantor, pikirannya
masih mengingat kejadian pagi buta tadi. Anak gadis Pak Kades yang kabur
menjelang pernikahannya. Wajar saja terjadi keributan yang sedemikan
besar karena sebagai putri semata wayang, maka pesta pernikahan itu
rencananya akan dilangsungkan dengan megah dan meriah. Terlebih lagi
calon suaminya juga tidak berlatar belakang sembarangan. Maka tidak
heran jika acara pernikahan itu bahkan sudah menjadi perbincangan dan
kehebohan jauh hari. Betapa pasangan pengantin itu amat sangat serasi
dan lain-lainnya.
Dia dan kekasihnya juga diundang.
Kekasih yang sudah hampir tujuh tahun ini menemaninya. Kekasih yang
sampai sekarang hanya bisa diakui sebagai sepupu jauh kepada
orang-orang. Kekasih yang setelah sekian lama begitu ingin dia nikahi.
Meski tidak perlu semegah atau semeriah pernikahan putri Pak Kades.
Cita-cita yang masih berujud mimpi karena siapa yang bersedia menikahkan
mereka berdua? Hanya bintang dan desau angin yang sepertinya tidak
keberatan.
Tapi benarkah pernikahan itu sebegitu
pentingnya? Bukti nyata bahkan sudah muncul di depan hidungnya. Seorang
perempuan yang nekad kabur menjelang pernikahan. Apakah baginya
pernikahan itu penting? Apakah dia benar-benar menginginkan pernikahan
itu? Jika memang demikian, maka tidak akan ada keributan ini. Jadi jika
yang sudah jelas diberi keleluasaan untuk mengecap pernikahan malah
menganggapnya tidak penting, kenapa dia malah begitu menginginkannya?
Jika cinta yang mereka punya begitu kuat, apa masih butuh bukti?
Entahlah. Dia tidak mengerti alasannya, tapi yang dia tahu itulah
keinginannya.
Dia membuka laci kerjanya. Merogoh lebih
dalam dan menemukan kotak mungil berbalut beludru lalu mengeluarkannya.
Setelah memastikan hanya ada dirinya sendiri di ruangan itu, dia menekan
tombol mungil dan kotak mungil itu pun terbuka. Sepasang cincin mengisi
pandangannya. Rasa haru menyeruak cepat membuatnya buru-buru menghapus
titik yang mengintip di sudut matanya.
Akhirnya dia
menggenggam kotak mungil itu dengan penuh keyakinan dan tekad.
Menguatkan dirinya dan semburat senyum sekarang menghiasi bibirnya.
Biarlah jika hanya disaksikan desau angin dan bintang-bintang. Biarlah
alam mencibir, tapi dia sudah membulatkan tekad. Dia tidak menginginkan
yang lain. Hanya menghabiskan sisa hidupnya yang ada bersama perempuan
yang dicintainya.
***
Setelah membereskan dapur dan
meja makan, dia pun membersihkan seluruh penjuru rumah mungil itu. Rumah
yang sudah selama tujuh tahun ini menjadi tempat mereka bernaung
berdua. Rumah yang awalnya begitu dingin dan sepi, namun terasa begitu
hangat sekarang. Hangat yang sama. Tanpa percikan-percikan seperti saat
di awal-awal dulu. Kehangatan yang sekarang terasa hambar.
”Mereka masih berkeliling mencarimu. Sebaiknya kamu jangan berkeliaran dulu.” ujarnya ketika menyadari kehadiran seseorang.
”Ya.
Hanya sebentar. Bosan sendirian di dalam sana. Ingin melihatmu yang
sedang sibuk.” Dia tersenyum mendengar jawaban itu. Begitu kekanakan.
”Pantas saja kamu minggat. Masih anak-anak kok disuruh kawin, yah? Begitu pikirmu?” godanya lagi. Yang digoda hanya memberengut.
”Aku udah bilang dengan jelas, tapi mereka tidak mau mendengar. Apalagi yang bisa dilakukan anak-anak sepertiku selain minggat?”
”Orang tuamu akan sangat kecewa.”
”Mereka
hanya kecewa karena tidak bisa menyombongkan diri di pestaku nanti. Apa
yang kuinginkan tidak penting. Kekecewaanku tidak penting...”
Mereka lalu terdiam. Ruangan sudah bersih dan rapi.
”Barang-barang
sudah kusiapkan. Aku sudah menghubungi. Nanti akan ada mobil yang
menjemput. Hari ini Hani lembur di kantor, jadi tidak masalah...”
”Kamu yakin ini keputusanmu?” Dia terdiam sebelum akhirnya mengangguk yakin.
”Ya.
Ini yang terbaik buat kami. Dia tidak harus terus-terusan berbohong
tentang aku. Dan aku juga tidak harus terus-terusan berbohong tentang
perasaanku. Ini yang terbaik.”
Dia tidak menolak ketika
sepasang lengan itu merengkuhnya. Dia tidak lagi dilanda kebingungan dan
keraguan. Semua terlihat begitu jelas di matanya. Begitu jernih tanpa
menyisakan sesal setitik pun di relungnya. Ini yang dia inginkan.
***
Rumah
gelap ketika dia tiba. Mungkin kekasihnya sudah tidur lebih dulu. Tidak
mengapa. Justru itu lebih bagus untuk rencananya. Kejutannya. Maka dia
pun masuk, melepas sepatunya, mengeluarkan kotak mungil beludru lalu
langsung menuju ke kamarnya. Membuka pintunya dan disambut keheningan.
Tidak ada desah napas teratur yang samar selalu bisa didengarnya. Tidak
ada kehidupan di sana.
Dia langsung menyalakan semua
lampu. Rumah itu sekarang benderang. Dia berkeliling mencari-cari,
memanggil-manggil, tapi tidak juga menemukannya. Dia sudah mulai putus
asa ketika akhirnya menemukan carikan kertas yang terselip asal-asalan
di nampan meja makan. Pesan dari kekasihnya. Sekujur tubuhnya langsung
lunglai.
Kekasihnya. Pengantinnya. Minggat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar