“Memar kenapa lagi tuh?” Dia mengangkat lengannya lalu memperhatikan
pergelangan tangannya yang sebelah dalam. Sama terkejutnya dengan
diriku.
”Wah, iyah... Kok bisa yah?” tanyanya. Tampangnya malah lebih bengong dariku.
Aku
hanya menggeleng dibalas cengirannya. Seharusnya aku tidak perlu heran
lagi dengan reaksinya itu. Bukan kali ini saja kami sama-sama menemukan
memar di tubuhnya. Memar yang entah bagaimana sepertinya muncul begitu
saja, karena dia sendiri tidak tahu pasti.
Aneh? Awalnya
aku juga berpikir demikian. Aneh rasanya jika sebagai yang dititipi raga
ini, kita malah tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Seolah setelah
dititipi, kita hanya meletakkan titipan itu dengan sembarangan di sudut
gudang dan hanya akan memeriksanya saat butuh. Atau saat ada inspeksi
mendadak yang seringnya hanya bisa dijawab dengan cengiran tak berdosa.
Tapi
begitulah. Keanehan itu aku jumpai sendiri wujudnya setiap hari.
Keanehan yang berwujud dirinya. Keanehan yang awalnya terasa kental
begitu kental tapi semakin hari semakin biasa. Keanehan yang sekarang
berubah menjadi rutinitas bagiku. Rutinitas yang tidak membosankan.
Rutinitas yang selalu kutunggu-tunggu.
Aku langsung
mengulurkan obat memar yang akhir-akhir ini selalu kubawa ke arahnya.
Dan sama seperti sebelum-sebelumnya akan selalu ditolaknya. Aku sudah
tahu, tapi tetap saja aku mengulangi hal yang sama untuk lagi-lagi
menerima hasil yang sama. Penolakan yang sama. Penolakan yang selalu
dilontarkannya dengan manis. Semanis senyum yang menghiasi bibirnya yang
tipis dan basah berwarna merah muda. Membuatku selalu tidak mampu
menolak penolakannya.
”Gak perlu lah. Ntar juga sembuh
sendiri.” Selalu begitu jawabnya. Dan lucunya sedari awal aku tidak
memaksa untuk mengobatinya. Karena seperti ucapannya, memar itu memang
akhirnya sembuh dan kulitnya yang seputih susu itu kembali mulus tanpa
noda.
”Lain kali lebih hati-hati yah.” ujarku akhirnya. Mengalah. Dia mengangguk. Masih dengan cengirannya.
Kami
menyeberangi jalan. Agak tergesa karena meskipun sudah di jalur
penyeberangan yang benar, kendaraan-kendaraan itu tetap saja menganggap
kami gangguan yang menghalangi perjalanan mereka. Terlebih di jam pulang
kantor seperti sekarang. Sesampainya di seberang kami setengah
tersengal namun tidak kesal. Genggamanku di pergelangan tangannya pun
berakhir. Menyisakan rasa hangat yang segera memudar. Ah, andai memarnya
juga bisa secepat itu memudar.
Aku lebih dulu duduk di
bangku warung bakso yang kebetulan tidak terlalu ramai sementara dia
berdiri di sisi gerobak memesan untuk kami berdua. Setelahnya dia pun
menyusulku duduk di bangku, seperti biasa diikuti mata-mata mendamba.
Tatapan yang seringkali membuatku kesal karena tidak pernah kenal tempat
dan waktu.
Dia menyibak rambut panjangnya yang
dipermainkan angin. Mengeluarkan karet gelang lalu mengikatnya.
Mata-mata itu terus mengikuti geraknya. Mata yang ingin rasanya
kucongkel menyisakan lubang kosong gelap di kepala mereka. Aku tidak
akan peduli jika saat itu dia tidak sedang bersamaku, tapi bukan
sekarang. Ada aku di sisinya. Apa mereka tidak bisa melihat? Apa mereka
tidak bisa berpikir?
Ah, kenapa denganku? Setelah sekian
lama mengenalnya, rasanya wajar jika aku sudah membiasakan diri dengan
situasi itu. Tidak seharusnya menyalahkan atau menggerutu lagi. Semua
perhatian itu adalah hal yang wajar, terlebih jika ditujukan buat
makhluk seindah dirinya. Makhluk indah yang tidak pernah
melebih-lebihkan keindahannya. Makhluk indah yang kadang seolah tidak
sadar dengan keindahannya. Atau tidak peduli?
Entahlah.
Tapi segala ketidak peduliannya itu, justru membuatku semakin peduli.
Segala kelengahannya itu justru membuatku semakin awas. Segala
kekurangannya membuatku semakin lebih. Dan lebih setiap harinya. Setiap
waktu hingga sekarang. Seluruh relung ini seolah tersedia hanya untuk
diisi olehnya.
”Tuh satu lagi.” Mataku yang sedari tadi
menjelajah menyapu tengkuk jenjangnya menemukan memar lain. Ukurannya
memang jauh lebih kecil dari yang tadi, tapi tetap saja namanya memar.
”Dimana?
Ya ampuuunnn...” Dia malah lebih panik dariku. Tanganku bergetar ketika
menunjukkan letak memar itu. Merasakan setitik kehangatannya di ujung
telunjukku.
”Bisa-bisa kamu jadi dalmatian, lho...” ujarku
setengah bercanda sekedar untuk menetralisir getaran itu. Dia langsung
mengeluh tidak jelas tentang kemunculan memar itu. Keluhan yang
lagi-lagi hanya membuatku tersenyum maklum. Sudah biasa...
Pesanan
kami tiba. Dengan penuh semangat dia langsung meraih saos dan kecap.
Menghiasi baksonya yang semua kuahnya bening, menjadi merah bata dengan
aksen hijau cabe rawit. Hobinya yang satu itu sering membuatku bergidik,
tapi sekarang aku justru selalu menanti-nanti. Dengan tidak sabar ingin
menonton. Menonton bibirnya yang akan semakin merah diikuti desis pedas
dan keringat yang menitik halus di keningnya. Dengan senang hati aku
aku menghapus keringatnya dan dia lagi-lagi hanya akan berterima kasih
lewat cengirannya.
”Pelan-pelan dong...” tegurku ketika
pipinya terlihat semakin merona, langsung mengangsurkan minumannya. Dia
lagi-lagi hanya nyengir. Menontonnya melahap bakso itu sudah cukup
mengenyangkanku tanpa harus menghabiskan porsiku. Yah lagipula aku
memang tidak terlalu suka bakso. Aku hanya suka ke tempat ini karena dia
sangat suka bakso. Pecandu bakso.
”Bakso kamu blom abis tuh... Shh... Shhh...” sahutnya ditingkahi desis.
”Kalo
kamu masih sanggup, untuk kamu ajah...” Dia mengangguk lalu bola-bola
itu pun berpindah ke mangkuknya. Terjun bebas ke lautan saus. Aku seolah
bisa mendengar mereka berteriak kepanasan namun akhirnya hanya bisa
pasrah.
Kami tidak langsung beranjak setelah menghabiskan
pesanan kami. Ya tidak mengapa toh mungkin dia juga tidak sedang
buru-buru. Dia lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah katalog
belanja kosmetik, membentangkannya di atas meja. Aku ikut melihat-lihat
tanpa minat, hanya mendengarkannya yang sembari menunjuk-nunjuk produk
yang dia minati.
”Lipstick ini bagus. Kayaknya
cocok deh buat kamu.” cetusnya menunjukkan sebuah gambar lipstick
berwarna merah bata. Aku meliriknya tanpa minat.
”Jarang juga pake
lipstick. Untuk apa? Yang kemarin-kemarin masih belom abis...” Dia
terkekeh. Telunjuknya yang lentik mengacung lalu bergerak ke kiri dan
kanan.
”No.. No... No... Dari mana prinsip beli lipstick
kalo udah abis? Kalo semua berprinsip kayak gituh, dijamin perusahaan
kosmetik pada bangkrut...” Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
”Yah gak terlalu minat sih. Gak terlalu penting juga...”
”Sapa bilang? Harus punya minimal beberapa warna dasar. Kan banyak acara yang kita datangi. Masa lipstick-nya itu-itu mulu. Apalagi sampe gak pake. Secara cewek gituh. Kalo gak dandan aneh kan? Kayak teman kantor yang lain. Pada matching gituh bagus, kan?” ujarnya lagi masih belum mau menyerah.
”Biasa
ajah...” sahutku cuek. Dia akhirnya menyerah. Sekarang dia lebih
memusatkan perhatian dan menandai produk-produk yang lain.
Dia
melepas sepatu yang dikenakannya. Mungkin kegerahan. Dan lagi-lagi
mataku menangkap sosok lingkaran mungil di tumitnya. Memar yang lain.
Aku baru akan menyampaikan kabar itu ketika mendadak ponselnya
berdering. Dia menjawabnya lalu segera merapikan tasnya. Mengenakan
kembali sepatunya. Menyimpan kembali memar itu dari dunia. Biarlah aku
memberitahunya nanti, kalau memar itu masih nekad tetap bertahan di
sana. Kalau aku melihatnya lagi.
Tidak lama kemudian
sebuah sepeda motor mendekat dan berhenti di tepi jalan. Kami segera
bangkit. Si pengendara motor itu tersenyum ke arah kami yang sekarang
sudah di dekatnya. Setelah berbasa-basi sejenak, dia pun melambai dan
berlalu dengan manis di boncengan. Memeluk erat suaminya. Tinggal aku
yang masih berdiri sendirian di tepi jalan. Beberapa taksi yang lewat
kubiarkan berlalu. Tidak peduli meski langit sudah merambat gelap. Tak
peduli meski sudah sejak lama harapan itu pupus. Diam-diam luruh dari
relungku.
Dan mendadak mataku melihatnya. Begitu jelas
sekarang. Sebuah bundaran berwarna gelap. Bundaran itu sepertinya sudah
ada selama beberapa waktu sekarang. Bundaran yang kupikir bisa
kuabaikan. Bundaran yang kupikir bisa menghilang sendiri, seperti
bundaran lain di tubuhnya. Tapi bukannya menghilang, dia malah semakin
membesar seiring waktu. Sekarang sudah hampir menutupi seluruh
permukaan.
Memar. Di hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar