Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : Memar

“Memar kenapa lagi tuh?” Dia mengangkat lengannya lalu memperhatikan pergelangan tangannya yang sebelah dalam. Sama terkejutnya dengan diriku.
”Wah, iyah... Kok bisa yah?” tanyanya. Tampangnya malah lebih bengong dariku.

Aku hanya menggeleng dibalas cengirannya. Seharusnya aku tidak perlu heran lagi dengan reaksinya itu. Bukan kali ini saja kami sama-sama menemukan memar di tubuhnya. Memar yang entah bagaimana sepertinya muncul begitu saja, karena dia sendiri tidak tahu pasti.

Aneh? Awalnya aku juga berpikir demikian. Aneh rasanya jika sebagai yang dititipi raga ini, kita malah tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Seolah setelah dititipi, kita hanya meletakkan titipan itu dengan sembarangan di sudut gudang dan hanya akan memeriksanya saat butuh. Atau saat ada inspeksi mendadak yang seringnya hanya bisa dijawab dengan cengiran tak berdosa.

Tapi begitulah. Keanehan itu aku jumpai sendiri wujudnya setiap hari. Keanehan yang berwujud dirinya. Keanehan yang awalnya terasa kental begitu kental tapi semakin hari semakin biasa. Keanehan yang sekarang berubah menjadi rutinitas bagiku. Rutinitas yang tidak membosankan. Rutinitas yang selalu kutunggu-tunggu.

Aku langsung mengulurkan obat memar yang akhir-akhir ini selalu kubawa ke arahnya. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya akan selalu ditolaknya. Aku sudah tahu, tapi tetap saja aku mengulangi hal yang sama untuk lagi-lagi menerima hasil yang sama. Penolakan yang sama. Penolakan yang selalu dilontarkannya dengan manis. Semanis senyum yang menghiasi bibirnya yang tipis dan basah berwarna merah muda. Membuatku selalu tidak mampu menolak penolakannya.

”Gak perlu lah. Ntar juga sembuh sendiri.” Selalu begitu jawabnya. Dan lucunya sedari awal aku tidak memaksa untuk mengobatinya. Karena seperti ucapannya, memar itu memang akhirnya sembuh dan kulitnya yang seputih susu itu kembali mulus tanpa noda.
”Lain kali lebih hati-hati yah.” ujarku akhirnya. Mengalah. Dia mengangguk. Masih dengan cengirannya.

Kami menyeberangi jalan. Agak tergesa karena meskipun sudah di jalur penyeberangan yang benar, kendaraan-kendaraan itu tetap saja menganggap kami gangguan yang menghalangi perjalanan mereka. Terlebih di jam pulang kantor seperti sekarang. Sesampainya di seberang kami setengah tersengal namun tidak kesal. Genggamanku di pergelangan tangannya pun berakhir. Menyisakan rasa hangat yang segera memudar. Ah, andai memarnya juga bisa secepat itu memudar.

Aku lebih dulu duduk di bangku warung bakso yang kebetulan tidak terlalu ramai sementara dia berdiri di sisi gerobak memesan untuk kami berdua. Setelahnya dia pun menyusulku duduk di bangku, seperti biasa diikuti mata-mata mendamba. Tatapan yang seringkali membuatku kesal karena tidak pernah kenal tempat dan waktu.

Dia menyibak rambut panjangnya yang dipermainkan angin. Mengeluarkan karet gelang lalu mengikatnya. Mata-mata itu terus mengikuti geraknya. Mata yang ingin rasanya kucongkel menyisakan lubang kosong gelap di kepala mereka. Aku tidak akan peduli jika saat itu dia tidak sedang bersamaku, tapi bukan sekarang. Ada aku di sisinya. Apa mereka tidak bisa melihat? Apa mereka tidak bisa berpikir?

Ah, kenapa denganku? Setelah sekian lama mengenalnya, rasanya wajar jika aku sudah membiasakan diri dengan situasi itu. Tidak seharusnya menyalahkan atau menggerutu lagi. Semua perhatian itu adalah hal yang wajar, terlebih jika ditujukan buat makhluk seindah dirinya. Makhluk indah yang tidak pernah melebih-lebihkan keindahannya. Makhluk indah yang kadang seolah tidak sadar dengan keindahannya. Atau tidak peduli?

Entahlah. Tapi segala ketidak peduliannya itu, justru membuatku semakin peduli. Segala kelengahannya itu justru membuatku semakin awas. Segala kekurangannya membuatku semakin lebih. Dan lebih setiap harinya. Setiap waktu hingga sekarang. Seluruh relung ini seolah tersedia hanya untuk diisi olehnya.

”Tuh satu lagi.” Mataku yang sedari tadi menjelajah menyapu tengkuk jenjangnya menemukan memar lain. Ukurannya memang jauh lebih kecil dari yang tadi, tapi tetap saja namanya memar.
”Dimana? Ya ampuuunnn...” Dia malah lebih panik dariku. Tanganku bergetar ketika menunjukkan letak memar itu. Merasakan setitik kehangatannya di ujung telunjukku.
”Bisa-bisa kamu jadi dalmatian, lho...” ujarku setengah bercanda sekedar untuk menetralisir getaran itu. Dia langsung mengeluh tidak jelas tentang kemunculan memar itu. Keluhan yang lagi-lagi hanya membuatku tersenyum maklum. Sudah biasa...

Pesanan kami tiba. Dengan penuh semangat dia langsung meraih saos dan kecap. Menghiasi baksonya yang semua kuahnya bening, menjadi merah bata dengan aksen hijau cabe rawit. Hobinya yang satu itu sering membuatku bergidik, tapi sekarang aku justru selalu menanti-nanti. Dengan tidak sabar ingin menonton. Menonton bibirnya yang akan semakin merah diikuti desis pedas dan keringat yang menitik halus di keningnya. Dengan senang hati aku aku menghapus keringatnya dan dia lagi-lagi hanya akan berterima kasih lewat cengirannya.

”Pelan-pelan dong...” tegurku ketika pipinya terlihat semakin merona, langsung mengangsurkan minumannya. Dia lagi-lagi hanya nyengir. Menontonnya melahap bakso itu sudah cukup mengenyangkanku tanpa harus menghabiskan porsiku. Yah lagipula aku memang tidak terlalu suka bakso. Aku hanya suka ke tempat ini karena dia sangat suka bakso. Pecandu bakso.
”Bakso kamu blom abis tuh... Shh... Shhh...” sahutnya ditingkahi desis.
”Kalo kamu masih sanggup, untuk kamu ajah...” Dia mengangguk lalu bola-bola itu pun berpindah ke mangkuknya. Terjun bebas ke lautan saus. Aku seolah bisa mendengar mereka berteriak kepanasan namun akhirnya hanya bisa pasrah.

Kami tidak langsung beranjak setelah menghabiskan pesanan kami. Ya tidak mengapa toh mungkin dia juga tidak sedang buru-buru. Dia lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah katalog belanja kosmetik, membentangkannya di atas meja. Aku ikut melihat-lihat tanpa minat, hanya mendengarkannya yang sembari menunjuk-nunjuk produk yang dia minati.

Lipstick ini bagus. Kayaknya cocok deh buat kamu.” cetusnya menunjukkan sebuah gambar lipstick berwarna merah bata. Aku meliriknya tanpa minat.
”Jarang juga pake lipstick. Untuk apa? Yang kemarin-kemarin masih belom abis...” Dia terkekeh. Telunjuknya yang lentik mengacung lalu bergerak ke kiri dan kanan.
No.. No... No... Dari mana prinsip beli lipstick kalo udah abis? Kalo semua berprinsip kayak gituh, dijamin perusahaan kosmetik pada bangkrut...” Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
”Yah gak terlalu minat sih. Gak terlalu penting juga...”
”Sapa bilang? Harus punya minimal beberapa warna dasar. Kan banyak acara yang kita datangi. Masa lipstick-nya itu-itu mulu. Apalagi sampe gak pake. Secara cewek gituh. Kalo gak dandan aneh kan? Kayak teman kantor yang lain. Pada matching gituh bagus, kan?” ujarnya lagi masih belum mau menyerah.
”Biasa ajah...” sahutku cuek. Dia akhirnya menyerah. Sekarang dia lebih memusatkan perhatian dan menandai produk-produk yang lain.

Dia melepas sepatu yang dikenakannya. Mungkin kegerahan. Dan lagi-lagi mataku menangkap sosok lingkaran mungil di tumitnya. Memar yang lain. Aku baru akan menyampaikan kabar itu ketika mendadak ponselnya berdering. Dia menjawabnya lalu segera merapikan tasnya. Mengenakan kembali sepatunya. Menyimpan kembali memar itu dari dunia. Biarlah aku memberitahunya nanti, kalau memar itu masih nekad tetap bertahan di sana. Kalau aku melihatnya lagi.

Tidak lama kemudian sebuah sepeda motor mendekat dan berhenti di tepi jalan. Kami segera bangkit. Si pengendara motor itu tersenyum ke arah kami yang sekarang sudah di dekatnya. Setelah berbasa-basi sejenak, dia pun melambai dan berlalu dengan manis di boncengan. Memeluk erat suaminya. Tinggal aku yang masih berdiri sendirian di tepi jalan. Beberapa taksi yang lewat kubiarkan berlalu. Tidak peduli meski langit sudah merambat gelap. Tak peduli meski sudah sejak lama harapan itu pupus. Diam-diam luruh dari relungku.

Dan mendadak mataku melihatnya. Begitu jelas sekarang. Sebuah bundaran berwarna gelap. Bundaran itu sepertinya sudah ada selama beberapa waktu sekarang. Bundaran yang kupikir bisa kuabaikan. Bundaran yang kupikir bisa menghilang sendiri, seperti bundaran lain di tubuhnya. Tapi bukannya menghilang, dia malah semakin membesar seiring waktu. Sekarang sudah hampir menutupi seluruh permukaan.

Memar. Di hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar