Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : Udara

Langit sepertinya sedang sangat marah. Dengan garang menuangkan amarahnya tanpa ampun ke bumi dalam ujud jutaan tombak yang meluncur kencang, sebagian menampar-nampar keras kaca tebal jendelaku diselingi kilatan cahaya dan raung menggelegar.

Aku merapatkan dekapanku. Menarik selimut lebih tinggi. Dia sudah pulas. Setelah hujan air mata dan emosi yang tumpah ruah, akhirnya dia terlelap. Aku menatapnya lekat. Matanya yang terpejam masih tampak sembab karena dipaksa sedemikian rupa untuk mengeluarkan air mata. Air mata yang kupikir sudah kering sekarang. Mataku nyalang menatap langit-langit kamarku. Mendesah pelan. Mau sampai kapan aku begini?

Entah sudah kali ke berapa dia muncul ke hadapanku, mengadu dengan bilur luka yang baru. Bilur luka yang akan berusaha kuobati meski semakin sulit belakangan ini karena entah sejak kapan aku baru tersadar bahwa yang kulakukan bukanlah mengobati lukanya. Aku hanya memindahkan luka itu ke tubuhku. Aku baru tersadar beberapa waktu yang lalu ketika sekujur tubuhku mendadak sakit dan nyeri. Dan hanya bisa menahan napas ketika menyaksikan sekujur tubuhku yang penuh goresan luka. Luka yang semula ada di dirinya.

Bukan pertama kalinya aku menasehati bahkan mengemis agar dia berhenti. Berhenti mencari luka baru setiap kali luka lamanya mulai mengering. Jika dia tidak peduli denganku, setidaknya dia bisa peduli pada dirinya. Dirinya yang seiring waktu pasti semakin rapuh karena luka-luka yang tak terhitung lagi.

”Tinggallah denganku di sini. Aku akan menghilangkan semua lukamu. Kau tidak akan terluka lagi. Aku janji.” ujarku suatu ketika ketika dia muncul dengan luka yang cukup parah sehingga membuatnya kesulitan bernapas.

Tapi dia hanya menatapku seolah aku ini alien. Menggeleng lalu berlalu untuk merajut luka yang baru. Meninggalkan lukanya yang lama bersemayam di tubuhku. Meninggalkan aku kesakitan, bersusah payah mengobatinya sendiri.

”Aku nggak bisa, Ndra...” ujarnya suatu ketika. Mungkin dia sudah bosan mendengar rengekanku yang terus memintanya untuk berhenti. Untuk tinggal.
”Kenapa? Aku akan jadi orang yang jauh lebih baik buatmu dibanding mereka, Nda.” ujarku lagi setengah ngotot. Aku meraih tangannya. Meremasnya penuh harap. Harapan yang lagi-lagi harus pupus ketika dengan mantap dia menggeleng.
”Sori, Ndra. Aku memang nggak bisa.”

Ada kejujuran yang begitu nyata di matanya yang bening. Mata yang selalu tidak pernah puas kupandangi. Seperti telaga yang tersembunyi dari dunia. Betapa inginnya aku menjadi satu-satunya orang yang bisa menikmatinya. Tanpa segala gangguan itu. Tapi itu hanyalah karena aku terlalu egois. Bukankah seharusnya aku sudah puas dengan posisiku di hidupnya seperti sekarang?

Setelahnya aku pun menyerah. Tidak lagi mencoba menahannya. Tidak juga menolak ketika dia muncul dengan guratan luka lain. Hanya bisa meringis menahan sakit sendirian ketika akhirnya semua luka itu berpindah. Bergabung dengan luka-luka lama miliknya yang bersemayam di sekujur tubuhku.

”Mau sampai kapan kamu begitu?” Tito, sahabatku mucul suatu waktu. Aku memilih untuk tidak menggubrisnya, meski dalam hati aku juga selalu mempertanyakan hal yang sama kepada diriku. Mau sampai kapan?

”Aku paham kamu merasa tidak tega. Tak kuasa menolak setiap dia datang mengadu padamu. Tapi hanya itu artimu di matanya, Ndra. Tong sampah yang selalu siap sedia menampung semua sampahnya. Sampah yang sangat tidak pantas buatmu.” Aku hanya tersenyum pasrah.
”Mau gimana lagi, To?”
”Mau bilang karena kamu cinta mati ke dia? Apa gak salah? Udah dibegitukan masih juga mau mengemis-ngemis. Udah bertahun-tahun, Ndra. Apa benar ungkapan perempuan cuma bisa jatuh cinta sekali seumur hidupnya? Tapi itu pastinya tidak termasuk jatuh cinta dengan orang yang salah!”
Aku kali ini tersenyum lucu melihat tampang sahabatku yang sekarang merah padam karena kesal. Atau miris?

”Dia dengan pasrah begitu rela dilukai. Kecanduan dilukai, menurutku. Kamu lihat sendiri semua laki-laki brengsek yang didekatinya? Dan setelah sekarat dia akan merangkak kembali kepadamu. Tong sampahnya.” Dia menatapku, seolah kehabisan kata-kata untuk melanjutkan.
”Makasih.” ucapku singkat setelah menelan ludah.
Dia akhirnya hanya bisa menggeleng sembari menghela napas. Dia tidak akan pernah mengerti dan aku tidak ingin memaksanya untuk mengerti. Karena aku juga semakin tidak mengerti kenapa aku masih mau terus bertahan dengan semua ini.

Apakah memang sebegitu besar aku mencintainya? Entahlah.

Dia bergerak di dekapanku. Aku tersadar lalu buru-buru menyelimutinya lagi. Membuatnya lebih nyaman. Di luar hujan mulai reda meskipun sesekali kilat dan guruh masih mengisi langit malam.
”Kamu blom tidur?” ujarnya.
”Iya bentar lagi. Kamu terusin bobo ajah...” sahutku setengah berbisik. Mengusap-usap punggungnya. Bukannya langsung tidur, dia masih menatapku.
”Ndra, makasih...” Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan terima kasihnya yang sudah terhitung lagi.
”Gak apa-apa...”

Dan darahku berdesir ketika bibirnya yang lembut menyentuh pelan bibirku. Untuk beberapa saat kami tidak bergerak, seolah ingin memastikan langkah selanjutnya. Aku memberanikan diri memagut bibirnya sedikit lebih jauh dan dia tidak menolak. Setelahnya kami berpagutan dalam. Aku tidak ingat berada di mana hingga akhirnya ketika bibir-bibir kami terpisah aku kembali menemukan matanya.

Tangannya membelai wajahku. Mataku terpejam menikmati setiap sentuhannya. Ingin mengingat semuanya dalam hati.
”Makasih...” bisiknya lagi lalu menyurukkan tubuhnya lebih dalam ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya lebih erat. Dia terlelap kembali. Meninggalkanku yang masih menerawang menatap kosong ke langit-langit dengan rembesan luka di sekujur tubuhku yang semakin rapuh.

Mau sampai kapan aku begini?

Dua bulir air mata menetes pelan dari sudut-sudut mataku. Disusul aliran sungai kecil yang tidak berusaha kubendung lagi. Setelah sekian lama menanggung rasa sakit akibat luka-lukanya, baru kali ini aku menitikkan air mata. Setelah sekian lama aku menguatkan dan menabahkan diri, akhirnya aku menyerah kalah. Sekalah-kalahnya.

Yah, mungkin memang sudah waktunya...

***
Matahari menyapaku dengan cahayanya yang menyilaukan. Aku berusaha menghalangi pancaran cahayanya. Usaha yang sia-sia. Akhirnya aku menyerah dan mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih sakit karena sembab sebelum mulai mengamati sekelilingku. Cuma ada aku sendiri di ranjang. Kemana Diandra? Hm, mungkin dia sudah duluan berangkat kerja.

Aku duduk di ranjang dan langsung merasakan keanehan. Kamar itu kosong. Tidak ada yang tersisa selain tasku dan selimut yang masih menutupi tubuhku. Perasaan aneh merayapi tubuhku. Aku bergegas bangkit dan membuka lemari. Tercenung berdiri di depan lemari yang sekarang kosong. Bergegas keluar dan menemui induk semang-nya.

”Nak Dian? Oh dia udah pergi ke stasiun sejam yang lalu. Katanya dia dipindah tugaskan, jadi nggak nge-kost di sini lagi.” ujar induk semangnya.
”Oh begitu?” Hanya itu yang bisa terucap dari mulutku. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa soal itu kepadaku.

Perasaan aneh menjalariku. Aku kembali berlari ke kamar lalu menyambar ponselku lalu menghubunginya. Tidak bisa dihubungi. Aku bergegas merapikan diri. Mungkin aku masih keburu. Dengan panik menyambar tasku dan saat itu aku melihat sebuah kertas berwarna gading.

’Dinda,
Setelah beberapa waktu ini
aku berpikir tidak ada salahnya menjadi udara
yang memang tidak pernah kau sadari keberadaannya
tapi tetap kau butuhkan.

Tapi aku salah
ternyata aku tidak sekuat dugaanku
atau dugaanmu

Maafkan aku
Aku juga butuh udara...’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar