Langit sepertinya sedang sangat marah. Dengan garang menuangkan
amarahnya tanpa ampun ke bumi dalam ujud jutaan tombak yang meluncur
kencang, sebagian menampar-nampar keras kaca tebal jendelaku diselingi
kilatan cahaya dan raung menggelegar.
Aku merapatkan
dekapanku. Menarik selimut lebih tinggi. Dia sudah pulas. Setelah hujan
air mata dan emosi yang tumpah ruah, akhirnya dia terlelap. Aku
menatapnya lekat. Matanya yang terpejam masih tampak sembab karena
dipaksa sedemikian rupa untuk mengeluarkan air mata. Air mata yang
kupikir sudah kering sekarang. Mataku nyalang menatap langit-langit
kamarku. Mendesah pelan. Mau sampai kapan aku begini?
Entah
sudah kali ke berapa dia muncul ke hadapanku, mengadu dengan bilur luka
yang baru. Bilur luka yang akan berusaha kuobati meski semakin sulit
belakangan ini karena entah sejak kapan aku baru tersadar bahwa yang
kulakukan bukanlah mengobati lukanya. Aku hanya memindahkan luka itu ke
tubuhku. Aku baru tersadar beberapa waktu yang lalu ketika sekujur
tubuhku mendadak sakit dan nyeri. Dan hanya bisa menahan napas ketika
menyaksikan sekujur tubuhku yang penuh goresan luka. Luka yang semula
ada di dirinya.
Bukan pertama kalinya aku menasehati
bahkan mengemis agar dia berhenti. Berhenti mencari luka baru setiap
kali luka lamanya mulai mengering. Jika dia tidak peduli denganku,
setidaknya dia bisa peduli pada dirinya. Dirinya yang seiring waktu
pasti semakin rapuh karena luka-luka yang tak terhitung lagi.
”Tinggallah
denganku di sini. Aku akan menghilangkan semua lukamu. Kau tidak akan
terluka lagi. Aku janji.” ujarku suatu ketika ketika dia muncul dengan
luka yang cukup parah sehingga membuatnya kesulitan bernapas.
Tapi
dia hanya menatapku seolah aku ini alien. Menggeleng lalu berlalu untuk
merajut luka yang baru. Meninggalkan lukanya yang lama bersemayam di
tubuhku. Meninggalkan aku kesakitan, bersusah payah mengobatinya
sendiri.
”Aku nggak bisa, Ndra...” ujarnya suatu ketika.
Mungkin dia sudah bosan mendengar rengekanku yang terus memintanya untuk
berhenti. Untuk tinggal.
”Kenapa? Aku akan jadi orang yang jauh
lebih baik buatmu dibanding mereka, Nda.” ujarku lagi setengah ngotot.
Aku meraih tangannya. Meremasnya penuh harap. Harapan yang lagi-lagi
harus pupus ketika dengan mantap dia menggeleng.
”Sori, Ndra. Aku memang nggak bisa.”
Ada
kejujuran yang begitu nyata di matanya yang bening. Mata yang selalu
tidak pernah puas kupandangi. Seperti telaga yang tersembunyi dari
dunia. Betapa inginnya aku menjadi satu-satunya orang yang bisa
menikmatinya. Tanpa segala gangguan itu. Tapi itu hanyalah karena aku
terlalu egois. Bukankah seharusnya aku sudah puas dengan posisiku di
hidupnya seperti sekarang?
Setelahnya aku pun menyerah.
Tidak lagi mencoba menahannya. Tidak juga menolak ketika dia muncul
dengan guratan luka lain. Hanya bisa meringis menahan sakit sendirian
ketika akhirnya semua luka itu berpindah. Bergabung dengan luka-luka
lama miliknya yang bersemayam di sekujur tubuhku.
”Mau
sampai kapan kamu begitu?” Tito, sahabatku mucul suatu waktu. Aku
memilih untuk tidak menggubrisnya, meski dalam hati aku juga selalu
mempertanyakan hal yang sama kepada diriku. Mau sampai kapan?
”Aku
paham kamu merasa tidak tega. Tak kuasa menolak setiap dia datang
mengadu padamu. Tapi hanya itu artimu di matanya, Ndra. Tong sampah yang
selalu siap sedia menampung semua sampahnya. Sampah yang sangat tidak
pantas buatmu.” Aku hanya tersenyum pasrah.
”Mau gimana lagi, To?”
”Mau
bilang karena kamu cinta mati ke dia? Apa gak salah? Udah dibegitukan
masih juga mau mengemis-ngemis. Udah bertahun-tahun, Ndra. Apa benar
ungkapan perempuan cuma bisa jatuh cinta sekali seumur hidupnya? Tapi
itu pastinya tidak termasuk jatuh cinta dengan orang yang salah!”
Aku kali ini tersenyum lucu melihat tampang sahabatku yang sekarang merah padam karena kesal. Atau miris?
”Dia
dengan pasrah begitu rela dilukai. Kecanduan dilukai, menurutku. Kamu
lihat sendiri semua laki-laki brengsek yang didekatinya? Dan setelah
sekarat dia akan merangkak kembali kepadamu. Tong sampahnya.” Dia
menatapku, seolah kehabisan kata-kata untuk melanjutkan.
”Makasih.” ucapku singkat setelah menelan ludah.
Dia
akhirnya hanya bisa menggeleng sembari menghela napas. Dia tidak akan
pernah mengerti dan aku tidak ingin memaksanya untuk mengerti. Karena
aku juga semakin tidak mengerti kenapa aku masih mau terus bertahan
dengan semua ini.
Apakah memang sebegitu besar aku mencintainya? Entahlah.
Dia
bergerak di dekapanku. Aku tersadar lalu buru-buru menyelimutinya lagi.
Membuatnya lebih nyaman. Di luar hujan mulai reda meskipun sesekali
kilat dan guruh masih mengisi langit malam.
”Kamu blom tidur?” ujarnya.
”Iya
bentar lagi. Kamu terusin bobo ajah...” sahutku setengah berbisik.
Mengusap-usap punggungnya. Bukannya langsung tidur, dia masih menatapku.
”Ndra, makasih...” Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan terima kasihnya yang sudah terhitung lagi.
”Gak apa-apa...”
Dan
darahku berdesir ketika bibirnya yang lembut menyentuh pelan bibirku.
Untuk beberapa saat kami tidak bergerak, seolah ingin memastikan langkah
selanjutnya. Aku memberanikan diri memagut bibirnya sedikit lebih jauh
dan dia tidak menolak. Setelahnya kami berpagutan dalam. Aku tidak ingat
berada di mana hingga akhirnya ketika bibir-bibir kami terpisah aku
kembali menemukan matanya.
Tangannya membelai wajahku. Mataku terpejam menikmati setiap sentuhannya. Ingin mengingat semuanya dalam hati.
”Makasih...”
bisiknya lagi lalu menyurukkan tubuhnya lebih dalam ke dalam pelukanku.
Aku mendekapnya lebih erat. Dia terlelap kembali. Meninggalkanku yang
masih menerawang menatap kosong ke langit-langit dengan rembesan luka di
sekujur tubuhku yang semakin rapuh.
Mau sampai kapan aku begini?
Dua
bulir air mata menetes pelan dari sudut-sudut mataku. Disusul aliran
sungai kecil yang tidak berusaha kubendung lagi. Setelah sekian lama
menanggung rasa sakit akibat luka-lukanya, baru kali ini aku menitikkan
air mata. Setelah sekian lama aku menguatkan dan menabahkan diri,
akhirnya aku menyerah kalah. Sekalah-kalahnya.
Yah, mungkin memang sudah waktunya...
***
Matahari
menyapaku dengan cahayanya yang menyilaukan. Aku berusaha menghalangi
pancaran cahayanya. Usaha yang sia-sia. Akhirnya aku menyerah dan
mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih sakit karena sembab sebelum mulai
mengamati sekelilingku. Cuma ada aku sendiri di ranjang. Kemana
Diandra? Hm, mungkin dia sudah duluan berangkat kerja.
Aku
duduk di ranjang dan langsung merasakan keanehan. Kamar itu kosong.
Tidak ada yang tersisa selain tasku dan selimut yang masih menutupi
tubuhku. Perasaan aneh merayapi tubuhku. Aku bergegas bangkit dan
membuka lemari. Tercenung berdiri di depan lemari yang sekarang kosong.
Bergegas keluar dan menemui induk semang-nya.
”Nak Dian?
Oh dia udah pergi ke stasiun sejam yang lalu. Katanya dia dipindah
tugaskan, jadi nggak nge-kost di sini lagi.” ujar induk semangnya.
”Oh begitu?” Hanya itu yang bisa terucap dari mulutku. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa soal itu kepadaku.
Perasaan
aneh menjalariku. Aku kembali berlari ke kamar lalu menyambar ponselku
lalu menghubunginya. Tidak bisa dihubungi. Aku bergegas merapikan diri.
Mungkin aku masih keburu. Dengan panik menyambar tasku dan saat itu aku
melihat sebuah kertas berwarna gading.
’Dinda,
Setelah beberapa waktu ini
aku berpikir tidak ada salahnya menjadi udara
yang memang tidak pernah kau sadari keberadaannya
tapi tetap kau butuhkan.
Tapi aku salah
ternyata aku tidak sekuat dugaanku
atau dugaanmu
Maafkan aku
Aku juga butuh udara...’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar