Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : Surat Cinta Andrea

Aku melangkah masuk, lamat-lamat mengamati sekeliling ruangan seolah mencoba merekam ulang semua kejadian yang pernah berlangsung di sini. Ada tempat tidur tua dengan sprei berwarna ungu yang sudah pudar. Tempat tidur itu terlihat rapi dengan bantal, guling dan selimut yang diam di atasnya. Aku menghampirinya. Duduk. Memecah keheningan mereka.

Sayup aku bisa mendengar suara langkah kaki hilir mudik di luar sana ditingkahi suara-suara yang tidak mau kalah cepatnya. Aku menghela napas, berharap gumpalan di dadaku bisa mengempis sedikit, agar aku bisa kembali bernapas. Aku kembali mengamati ruangan ini. Foto-foto kenangan yang tergantung rapi. Lemari yang tadi sudah dikosongkan. Mataku berhenti di laci mungil yang masih tertutup di bagian bawah lemari. Tinggal itu saja.

Setelah menghimpun kekuatan aku bangkit diiringi derit lega ranjang lalu berjongkok di depan laci. Menariknya lalu perlahan mengeluarkan isinya. Ada album foto usang. Aku membuka-bukanya. Tersenyum ketika melihat diriku yang terlihat canggung dan ketakutan di sana. Tanganku memeluk erat lengan nenek terkasih yang tersenyum lembut seperti malaikat ke arah kamera. Senyum yang mampu memompa semangat ke dalam nadiku. Bahkan aku bisa merasakannya sekarang. Senyum yang seolah berkata, ”Jangan takut, Nenek ada di sini.”

Aku meletakkan album usang itu ke tepi lalu mulai mengeluarkan isi lainnya. Sebuah kotak musik mungil. Aku membukanya. Sudah tidak bersuara lagi. Lalu ada kotak beludru yang ketika kubuka ternyata berisi surat cinta kakek buat nenek. Kertasnya sudah kekuningan, tapi tetap indah kupandang. Iseng aku membuka-buka beberapa amplop dan membaca suratnya. Tersenyum haru membaca kata-kata yang terparkir indah di sana. Aku segera mengumpulkan semuanya ke tepi. Laci itu sudah kosong. Akhirnya...

Aku mendorong laci itu kembali, namun tersangkut. Yah, lemari ini memang sudah sangat tua. Aku berkutat berusaha memperbaikinya ketika mendadak saja bagian bawa laci itu runtuh. Aku memekik pelan karena kaget. Laci itu sekarang bolong dan bagian dasarnya tergeletak di lantai bermandikan kertas-kertas usang. Debu-debu beterbangan di sekitarnya.

Sembari mengibas-ngibaskan tangan, aku mulai meraih bagian yang runtuh tadi. Meraih kertas-kertas yang terlipas rapi itu satu per satu. Memisahkan mereka dari serpihan dan debu. Setelah mengumpulkan semuanya, lagi-lagi rasa ingin tahuku menggerakkan tanganku untuk membuka salah satu surat lalu mulai membacanya. Tulisan tangan yang tergores indah menyambutku.

’Malaikat kecilku...
Masihkah kau ingat kaktus yang kaubelikan untukku sebulan yang lalu? Kaktus mungil yang sangat mirip dirimu. Dia sudah berbunga. Bunganya bahkan lebih indah dari bayanganku karena dia adalah dirimu. Dirimu yang juga berbunga-bunga hari ini di altar itu...’
Andrea

Dahiku mengerut. Andrea? Siapa Andrea? Seolah diperintah aku pun langsung membuka lipatan kertas yang berikutnya.

’Malaikat kecilku...
Hari ini aku sakit. Seulas kecupanmu pasti sudah cukup untuk menyembuhkanku...’
Andrea

Lalu yang berikutnya.

’Malaikat kecilku...
Rasanya baru semenit yang lalu kau pergi. Ranjang ini langsung membeku. Entah apakah kehangatanmu yang tersisa di relungku masih bisa bertahan sampai nanti saat kau kembali?’
Andrea

Dan seterusnya aku membaca habis seluruh surat itu. Semuanya berisi kata-kata cinta dari Andrea yang ditujukan entah kepada siapa. Siapa malaikat kecilnya? Apakah nenek atau kakek tahu tentang surat-surat itu? Surat-surat yang tersembunyi entah sudah berapa lama di sana.

Entah kenapa mataku tertumbuk kepada foto nenek dan kakek saat mereka masih muda. Lalu terhenyak. Nenekku, tersenyum ramah ke arah kamera di sisi kakekku yang tingginya hanya sepundak.

***
Aku berdiri di sisi nenek yang sekarang sudah terbaring diam. Matanya terpejam, seperti saat sedang tertidur pulas. Perlahan tanganku terulur, membelai dahinya yang dingin. Barang-barang peninggalan nenek sudah kuserahkan seluruhnya kepada keluarga yang lain. Kecuali kumpulan surat dari Andrea. Biarlah hanya aku yang tahu. Tidak penting juga aku  mengungkapkan semuanya. Biarlah kakek dan nenek bersatu dengan tenang di sana.

Seorang perempuan tua didampingi kakakku mendekati peti jenazah. Pasti teman nenek yang lainnya. Dia sepertinya seumuran dengan nenek, tapi posturnya masih terlihat tegap. Sorot matanya juga masih terlihat penuh percaya diri. Aku menepi memberinya ruang. Dia berdiri sesaat di sisi peti, menghela napas, menahan tangisnya. Aku dan kakak hanya diam menonton tidak jauh darinya.

Dia mengeluarkan sapu tangan, mengusap air matanya, lalu tangannya terulur membelai dahi dan pipi nenek sembari mulutnya komat-kamit, tapi kami tidak bisa mendengar kata-katanya. Setelahnya dia mengeluarkan sepucuk kertas yang terlipat rapi dari sakunya lalu meletakkannya ke dalam genggaman tangan nenek sebelum meninggalkan peti dan ruangan didampingi kembali oleh kakakku.

Aku masih berdiri di tempatku. Cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri peti dan mencari tahu apa yang ditinggalkan perempuan tadi di sana. Aku bisa dengan mudah menemukan kertas itu. Aku yang berniat mengambil kertas itu langsung mengurungkan niatku. Tanpa perlu bersusah payah aku bisa langsung mengenali tulisan itu karena baru beberapa jam yang lalu aku mengenalinya.

Maka aku mengulurkan tanganku. Memperbaiki posisi surat itu agar tidak terlalu mencolok. Karena aku yakin, itu juga yang dikehendaki nenek karena setelahnya sekilas aku seolah melihatnya tersenyum sembari berkata, ”Terima kasih...”

Ya, Nek. Surat-surat yang lain akan kukirimkan belakangan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar