Aku melangkah masuk, lamat-lamat mengamati sekeliling ruangan seolah
mencoba merekam ulang semua kejadian yang pernah berlangsung di sini.
Ada tempat tidur tua dengan sprei berwarna ungu yang sudah pudar. Tempat
tidur itu terlihat rapi dengan bantal, guling dan selimut yang diam di
atasnya. Aku menghampirinya. Duduk. Memecah keheningan mereka.
Sayup
aku bisa mendengar suara langkah kaki hilir mudik di luar sana
ditingkahi suara-suara yang tidak mau kalah cepatnya. Aku menghela
napas, berharap gumpalan di dadaku bisa mengempis sedikit, agar aku bisa
kembali bernapas. Aku kembali mengamati ruangan ini. Foto-foto kenangan
yang tergantung rapi. Lemari yang tadi sudah dikosongkan. Mataku
berhenti di laci mungil yang masih tertutup di bagian bawah lemari.
Tinggal itu saja.
Setelah menghimpun kekuatan aku bangkit
diiringi derit lega ranjang lalu berjongkok di depan laci. Menariknya
lalu perlahan mengeluarkan isinya. Ada album foto usang. Aku
membuka-bukanya. Tersenyum ketika melihat diriku yang terlihat canggung
dan ketakutan di sana. Tanganku memeluk erat lengan nenek terkasih yang
tersenyum lembut seperti malaikat ke arah kamera. Senyum yang mampu
memompa semangat ke dalam nadiku. Bahkan aku bisa merasakannya sekarang.
Senyum yang seolah berkata, ”Jangan takut, Nenek ada di sini.”
Aku
meletakkan album usang itu ke tepi lalu mulai mengeluarkan isi lainnya.
Sebuah kotak musik mungil. Aku membukanya. Sudah tidak bersuara lagi.
Lalu ada kotak beludru yang ketika kubuka ternyata berisi surat cinta
kakek buat nenek. Kertasnya sudah kekuningan, tapi tetap indah
kupandang. Iseng aku membuka-buka beberapa amplop dan membaca suratnya.
Tersenyum haru membaca kata-kata yang terparkir indah di sana. Aku
segera mengumpulkan semuanya ke tepi. Laci itu sudah kosong. Akhirnya...
Aku
mendorong laci itu kembali, namun tersangkut. Yah, lemari ini memang
sudah sangat tua. Aku berkutat berusaha memperbaikinya ketika mendadak
saja bagian bawa laci itu runtuh. Aku memekik pelan karena kaget. Laci
itu sekarang bolong dan bagian dasarnya tergeletak di lantai bermandikan
kertas-kertas usang. Debu-debu beterbangan di sekitarnya.
Sembari
mengibas-ngibaskan tangan, aku mulai meraih bagian yang runtuh tadi.
Meraih kertas-kertas yang terlipas rapi itu satu per satu. Memisahkan
mereka dari serpihan dan debu. Setelah mengumpulkan semuanya, lagi-lagi
rasa ingin tahuku menggerakkan tanganku untuk membuka salah satu surat
lalu mulai membacanya. Tulisan tangan yang tergores indah menyambutku.
’Malaikat kecilku...
Masihkah
kau ingat kaktus yang kaubelikan untukku sebulan yang lalu? Kaktus
mungil yang sangat mirip dirimu. Dia sudah berbunga. Bunganya bahkan
lebih indah dari bayanganku karena dia adalah dirimu. Dirimu yang juga
berbunga-bunga hari ini di altar itu...’
Andrea
Dahiku mengerut. Andrea? Siapa Andrea? Seolah diperintah aku pun langsung membuka lipatan kertas yang berikutnya.
’Malaikat kecilku...
Hari ini aku sakit. Seulas kecupanmu pasti sudah cukup untuk menyembuhkanku...’
Andrea
Lalu yang berikutnya.
’Malaikat kecilku...
Rasanya
baru semenit yang lalu kau pergi. Ranjang ini langsung membeku. Entah
apakah kehangatanmu yang tersisa di relungku masih bisa bertahan sampai
nanti saat kau kembali?’
Andrea
Dan
seterusnya aku membaca habis seluruh surat itu. Semuanya berisi
kata-kata cinta dari Andrea yang ditujukan entah kepada siapa. Siapa
malaikat kecilnya? Apakah nenek atau kakek tahu tentang surat-surat itu?
Surat-surat yang tersembunyi entah sudah berapa lama di sana.
Entah
kenapa mataku tertumbuk kepada foto nenek dan kakek saat mereka masih
muda. Lalu terhenyak. Nenekku, tersenyum ramah ke arah kamera di sisi
kakekku yang tingginya hanya sepundak.
***
Aku
berdiri di sisi nenek yang sekarang sudah terbaring diam. Matanya
terpejam, seperti saat sedang tertidur pulas. Perlahan tanganku terulur,
membelai dahinya yang dingin. Barang-barang peninggalan nenek sudah
kuserahkan seluruhnya kepada keluarga yang lain. Kecuali kumpulan surat
dari Andrea. Biarlah hanya aku yang tahu. Tidak penting juga aku
mengungkapkan semuanya. Biarlah kakek dan nenek bersatu dengan tenang di
sana.
Seorang perempuan tua didampingi kakakku mendekati
peti jenazah. Pasti teman nenek yang lainnya. Dia sepertinya seumuran
dengan nenek, tapi posturnya masih terlihat tegap. Sorot matanya juga
masih terlihat penuh percaya diri. Aku menepi memberinya ruang. Dia
berdiri sesaat di sisi peti, menghela napas, menahan tangisnya. Aku dan
kakak hanya diam menonton tidak jauh darinya.
Dia
mengeluarkan sapu tangan, mengusap air matanya, lalu tangannya terulur
membelai dahi dan pipi nenek sembari mulutnya komat-kamit, tapi kami
tidak bisa mendengar kata-katanya. Setelahnya dia mengeluarkan sepucuk
kertas yang terlipat rapi dari sakunya lalu meletakkannya ke dalam
genggaman tangan nenek sebelum meninggalkan peti dan ruangan didampingi
kembali oleh kakakku.
Aku masih berdiri di tempatku. Cukup
lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri peti dan mencari
tahu apa yang ditinggalkan perempuan tadi di sana. Aku bisa dengan mudah
menemukan kertas itu. Aku yang berniat mengambil kertas itu langsung
mengurungkan niatku. Tanpa perlu bersusah payah aku bisa langsung
mengenali tulisan itu karena baru beberapa jam yang lalu aku
mengenalinya.
Maka aku mengulurkan tanganku. Memperbaiki
posisi surat itu agar tidak terlalu mencolok. Karena aku yakin, itu juga
yang dikehendaki nenek karena setelahnya sekilas aku seolah melihatnya
tersenyum sembari berkata, ”Terima kasih...”
Ya, Nek. Surat-surat yang lain akan kukirimkan belakangan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar