Malam masih muda dengan sisa-sisa semburat senja yang dengan berat
hati melangkah pergi untuk digantikan dengan rembulan dan gemintang. Aku
memacu motorku meliuk-liuk di antara mobil dan motor yang juga berpacu
mengejar waktu. Di perempatan aku berhenti sembari menunggu detik-detik
yang semakin berkurang untuk bisa bergerak kembali. Aku sempatkan
melirik arlojiku. Tersenyum tipis. Hm, sepertinya aku tidak terlambat.
Aku
akhirnya tiba dan langsung menemukanmu duduk manis di meja favorit
kita. Meja yang sama, yang selalu menjadi saksi kebersamaan kita. Aku
melambai dan kau balas dengan senyum lega. Aku menghampirimu yang
berdiri menyambutku. Mencium pipimu sebelum duduk. Kita segera memesan
dan sembari menunggu menghabiskan waktu dengan obrolan seperti biasa.
Meski kita sama-sama tidak bisa memungkiri hari ini tidak biasa.
Hari ini tepat setahun yang lalu...
Ketika
menciummu untuk pertama kalinya, aku tahu, bibirku telah menemukan
sajak baru yang takkan letih-letihnya dia bacakan yang bahkan akan
melebihi keabadian di mata dewa-dewa Olimpus. Di kamar remang dan syahdu
yang sama, untuk pertama kalinya, bibir-bibir kita saling menemukan
satu sama lain. Membuat kita terhanyut dalam luapan rasa yang tidak
merangkai dirinya dalam kata. Tidak buru-buru memasrahkan diri ke dalam
gelombang kerinduan yang memecah buih birahi.
Sejak itu
selalu akan ada yang berdenyut dalam sajakku selalu, ciumanmu. Mengalun
lembut berkejar-kejaran dengan desiran di sekujur pembuluhku. Menguasai
relungku yang sudah kupasrahkan sejak awal untuk kau tempati.
Sepenuhnya.
Aku mengusap titik mungil berkilau di dahimu
yang langsung pecah menguarkan aroma cinta. Jemari kita masih bertautan.
Kau tersenyum. Menatapku syahdu. Bibirku kembali menemukan belahan
jiwanya. Menciummu adalah cara terbaik mengatakan betapa aku merindumu,
tanpa harus berucap. Cara terbaik untuk mendengar bisikan cintamu, tanpa
harus terpisah oleh jarak.
”Happy Anniversary, Love...”
bisikku lirih seolah takut sedikit saja suaraku lebih keras maka segala
kesyahduan ini akan berantakan. Kau tidak berkata-kata, hal yang memang
tidak kubutuhkan sekarang. Kita kembali berpagutan. Menyatu dalam
deburan. Menyatu dalam nyanyian malam yang merangkak semakin jauh. Dan
itu sudah cukup.
Malam itu aku bergadang karena terlalu
sibuk mengagumi betapa hebatnya bibirku yang menyatu sempurna dengan
bibirmu. Mengamati dalam kedamaian rautmu yang lelap tak berdosa. Tak
bercela. Dengan kemilau berlian mungil di logam yang melingkar manis di
jarimu, yang tidak ingin berjauhan dengan kembarannya yang bertengger di
jariku.
***
Aku tidak bisa mengingat sudah
berapa hari sekarang. Mungkin aku terlalu lelah menghitung sehingga
memutuskan berhenti menghitung dan melupakannya. Meski orang-orang
selalu berkata jangan pernah berhenti berharap. Pengharapan akan tetap
memastikan kita hidup. Harapan akan hari esok membuat kita kuat melalui
hari ini.
Tapi aku tidak kuat lagi. Pengharapan itu
semakin hari terasa semakin berat. Harapan akan hari esok malah menyedot
habis kekuatanku. Karena selalu ada yang tertinggal hari ini, yaitu
gumam rinduku yang lupa kuselipkan di bibirmu. Entah sudah untuk kali
yang ke berapa. Apakah aku masih harus berharap? Apakah aku masih harus
memasrahkan diriku ke dalam pengharapan tak berujung ini?
Aku
masih bisa mengingat dengan jelas, seolah baru saja terucap. Ketika kau
mencandaiku akan membayar setiap rindumu padaku dengan ribuan ciuman.
Memandikanku dengan hujan ciumanmu. Aku tidak ingat sejak kapan, kau tak
pernah memintanya lagi. Mungkin sudah lunas. Entah aku harus bersyukur
atau menekur.
Hari ini tepat setahun yang lalu...
Setelah
ribuan hari yang kita lalui, kau akhirnya memutuskan untuk menarik diri
dari relungku. Setelah hujan dan badai yang membuncah akhirnya kau
benar-benar berlalu tanpa sanggup kutahan. Kembali ke dunia yang hiruk
pikuk. Dunia mereka yang tidak sama seperti kita. Menyisakan sedikit
pengharapan sia-sia yang semakin hari semakin berkurang. Menguap oleh
luka yang kian merajai tempat yang sebelumnya berpendar penuh kehidupan.
Berdenyut oleh cintamu.
Kafe ini tetap sama. Tidak ada
yang berubah. Meja yang kutempati juga sama. Makanan yang kupesan juga
sama. Namun aku sudah tidak sama lagi. Aku yang dulu selalu berpendar
warna warni penuh dengan kehidupan yang kau alirkan, sekarang kelabu.
Menatap lunglai ke titik di hadapanku, yang sekarang hanya digantikan
lingkaran mungil bermahkota berlian sebagai pengganti wujudmu.
Apakah
kau sudah lupa? Dari sembilan nyawa yang kupunya, isinya satu cintamu,
dua pelukanmu, dan sisanya adalah ciumanmu. Apakah dari ribuan bahkan
jutaan ciumanku, kau tidak bisa membacanya? Tidak bisa mendengarnya?
Tidak bisa mengingatnya? Sehingga begitu teguh kau menarik semua itu,
meninggalkanku kosong tak bernyawa.
”Maaf, Bu... Sebentar lagi kami tutup...”
Teguran
itu menyadarkanku. Aku mengangguk lalu meminta tagihan. Setelahnya
melangkah keluar disambut rintik lembut. Setengah berlari, aku
menghampiri mobilku yang terparkir tidak jauh. Masuk dan tidak langsung
beranjak pergi. Mengamati sekelilingku mobilku. Bayanganmu perlahan
sudah mulai memudar di sana. Yang tersisa hanya rasa perih. Rasa perih
yang begitu ingin kuakrabi, namun tetap terasa berat.
Mataku
menatap kilau mungil yang masih bertengger diam di jariku. Kilauan yang
semakin memudar sejak kehilangan kembarannya. Tanganku mengepal kuat.
Buku-bukunya memutih. Apa aku masih butuh segala pengharapan ini?
Semakin aku berharap, semakin tidak ada harapan yang tersisa. Dan
seiring dengan buliran yang semakin deras menerpa mobilku. Air mataku
mengalir. Air mata yang sudah sekian lama berusaha kutahan. Air mata
yang masih berisi bulir-bulir cintaku untukmu. Cinta yang ingin kusimpan
sampai tiba harinya kau kembali lagi.
***
”Hati-hati,
Felix..!” ujarku memperingatkan ketika jagoan kecil itu mulai berlarian
mengejar kelinci yang memang sengaja kupelihara di kebun belakang
rumahku, sebagai teman bermainnya sekaligus temannya belajar.
Aku
lalu menghampiri bangku kayu di dekatku, sembari mataku tetap mengawasi
Felix yang sedang tekun mengangsurkan potongan-potongan wortel dengan
sabar kepada kelinci-kelinci yang mengerumuninya. Dia jadi terlihat
seperti sedang jongkok di atas awan. Kau menyusul tidak lama kemudian.
Menikmati senja ditemani sepoci teh dan sepiring biskuit berdua
denganmu. Tidak ada kemewahan lain yang kuharapkan. Tanganmu meraihku.
Jemari kita kembali bertautan.
Hari ini tepat setahun yang lalu...
Kau
muncul begitu saja bagai kilau mentari sehabis badai di hadapanku.
Meski tidak lagi sendirian. Kau membawa serta pengawal mungilmu. Hadiah
terindah hidupmu selama tidak bersamaku. Oleh-oleh dari dunia lain yang
sempat kau jelajahi dan diami. Bukti keindahanmu yang baru. Tapi di
mataku kau masih tetap sama, berhadapan denganku yang juga masih sama.
Diriku yang kosong sebelum bertemu denganmu. Diriku yang kosong setelah
kepergianmu.
Diriku yang setelah sekian lama. Dengan sisa
luka-luka yang masih tergurat, sadar bahwa ada satu hal yang tetap tidak
berubah. Bahwa kebahagiaanku, berada tepat di bibirmu, sehingga
ciumanmulah yang paling kuburu, bukan yang lain. Gagas kata-kataku dalam
sajak, takkan pernah membuat rindu terbebas, namun tegas ciumanmu
selalu bisa membuatnya pulas. Ciumanmu langsung membuatku memaafkan
segalanya. Membuka relungku lebih lebar untuk kembali kau huni. Ciumanmu
mengoles obat yang langsung menyembuhkan relungku.
Mataku
menemukan kilau yang sama di jemari kita. Kilauan yang kembali setelah
yang lain kembali. Kali ini berpijar dengan penuh percaya diri. Mata
kita bertemu. Matamu yang tetap syahdu. Ada kelegaan di sana. Bibir kita
bertemu. Memagut sedikit demi sedikit asa yang masih tersisa di sana.
Aku dan sajak, saling berlomba untuk menyatakan rindu padamu, dan yang
menang ternyata tetap ciumanku.
Bibir-bibir kita berpisah.
Untuk kembali bertemu. Kali ini lebih dalam dan kuat. Menghayati tiap
denyut penuh nyawa yang kembali menghubungkan kita. Mengikat lebih erat.
Menyatu. Karena ciuman kita kasih, serupa tasbih yang takkan sempurna
hanya dengan sekali putaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar