Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : Hari ini tepat setahun yang lalu...

Malam masih muda dengan sisa-sisa semburat senja yang dengan berat hati melangkah pergi untuk digantikan dengan rembulan dan gemintang. Aku memacu motorku meliuk-liuk di antara mobil dan motor yang juga berpacu mengejar waktu. Di perempatan aku berhenti sembari menunggu detik-detik yang semakin berkurang untuk bisa bergerak kembali. Aku sempatkan melirik arlojiku. Tersenyum tipis. Hm, sepertinya aku tidak terlambat.

Aku akhirnya tiba dan langsung menemukanmu duduk manis di meja favorit kita. Meja yang sama, yang selalu menjadi saksi kebersamaan kita. Aku melambai dan kau balas dengan senyum lega. Aku menghampirimu yang berdiri menyambutku. Mencium pipimu sebelum duduk. Kita segera memesan dan sembari menunggu menghabiskan waktu dengan obrolan seperti biasa. Meski kita sama-sama tidak bisa memungkiri hari ini tidak biasa.

Hari ini tepat setahun yang lalu...

Ketika menciummu untuk pertama kalinya, aku tahu, bibirku telah menemukan sajak baru yang takkan letih-letihnya dia bacakan yang bahkan akan melebihi keabadian di mata dewa-dewa Olimpus. Di kamar remang dan syahdu yang sama, untuk pertama kalinya, bibir-bibir kita saling menemukan satu sama lain. Membuat kita terhanyut dalam luapan rasa yang tidak merangkai dirinya dalam kata. Tidak buru-buru memasrahkan diri ke dalam gelombang kerinduan yang memecah buih birahi.

Sejak itu selalu akan ada yang berdenyut dalam sajakku selalu, ciumanmu. Mengalun lembut berkejar-kejaran dengan desiran di sekujur pembuluhku. Menguasai relungku yang sudah kupasrahkan sejak awal untuk kau tempati. Sepenuhnya.

Aku mengusap titik mungil berkilau di dahimu yang langsung pecah menguarkan aroma cinta. Jemari kita masih bertautan. Kau tersenyum. Menatapku syahdu. Bibirku kembali menemukan belahan jiwanya. Menciummu adalah cara terbaik mengatakan betapa aku merindumu, tanpa harus berucap. Cara terbaik untuk mendengar bisikan cintamu, tanpa harus terpisah oleh jarak.

Happy Anniversary, Love...” bisikku lirih seolah takut sedikit saja suaraku lebih keras maka segala kesyahduan ini akan berantakan. Kau tidak berkata-kata, hal yang memang tidak kubutuhkan sekarang. Kita kembali berpagutan. Menyatu dalam deburan. Menyatu dalam nyanyian malam yang merangkak semakin jauh. Dan itu sudah cukup.

Malam itu aku bergadang karena terlalu sibuk mengagumi betapa hebatnya bibirku yang menyatu sempurna dengan bibirmu. Mengamati dalam kedamaian rautmu yang lelap tak berdosa. Tak bercela. Dengan kemilau berlian mungil di logam yang melingkar manis di jarimu, yang tidak ingin berjauhan dengan kembarannya yang bertengger di jariku.


***
Aku tidak bisa mengingat sudah berapa hari sekarang. Mungkin aku terlalu lelah menghitung sehingga memutuskan berhenti menghitung dan melupakannya. Meski orang-orang selalu berkata jangan pernah berhenti berharap. Pengharapan akan tetap memastikan kita hidup. Harapan akan hari esok membuat kita kuat melalui hari ini.

Tapi aku tidak kuat lagi. Pengharapan itu semakin hari terasa semakin berat. Harapan akan hari esok malah menyedot habis kekuatanku. Karena selalu ada yang tertinggal hari ini, yaitu gumam rinduku yang lupa kuselipkan di bibirmu. Entah sudah untuk kali yang ke berapa. Apakah aku masih harus berharap? Apakah aku masih harus memasrahkan diriku ke dalam pengharapan tak berujung ini?

Aku masih bisa mengingat dengan jelas, seolah baru saja terucap. Ketika kau mencandaiku akan membayar setiap rindumu padaku dengan ribuan ciuman. Memandikanku dengan hujan ciumanmu. Aku tidak ingat sejak kapan, kau tak pernah memintanya lagi. Mungkin sudah lunas. Entah aku harus bersyukur atau menekur.

Hari ini tepat setahun yang lalu...

Setelah ribuan hari yang kita lalui, kau akhirnya memutuskan untuk menarik diri dari relungku. Setelah hujan dan badai yang membuncah akhirnya kau benar-benar berlalu tanpa sanggup kutahan. Kembali ke dunia yang hiruk pikuk. Dunia mereka yang tidak sama seperti kita. Menyisakan sedikit pengharapan sia-sia yang semakin hari semakin berkurang. Menguap oleh luka yang kian merajai tempat yang sebelumnya berpendar penuh kehidupan. Berdenyut oleh cintamu.

Kafe ini tetap sama. Tidak ada yang berubah. Meja yang kutempati juga sama. Makanan yang kupesan juga sama. Namun aku sudah tidak sama lagi. Aku yang dulu selalu berpendar warna warni penuh dengan kehidupan yang kau alirkan, sekarang kelabu. Menatap lunglai ke titik di hadapanku, yang sekarang hanya digantikan lingkaran mungil bermahkota berlian sebagai pengganti wujudmu.

Apakah kau sudah lupa? Dari sembilan nyawa yang kupunya, isinya satu cintamu, dua pelukanmu, dan sisanya adalah ciumanmu. Apakah dari ribuan bahkan jutaan ciumanku, kau tidak bisa membacanya? Tidak bisa mendengarnya? Tidak bisa mengingatnya? Sehingga begitu teguh kau menarik semua itu, meninggalkanku kosong tak bernyawa.

”Maaf, Bu... Sebentar lagi kami tutup...”

Teguran itu menyadarkanku. Aku mengangguk lalu meminta tagihan. Setelahnya melangkah keluar disambut rintik lembut. Setengah berlari, aku menghampiri mobilku yang terparkir tidak jauh. Masuk dan tidak langsung beranjak pergi. Mengamati sekelilingku mobilku. Bayanganmu perlahan sudah mulai memudar di sana. Yang tersisa hanya rasa perih. Rasa perih yang begitu ingin kuakrabi, namun tetap terasa berat.

Mataku menatap kilau mungil yang masih bertengger diam di jariku. Kilauan yang semakin memudar sejak kehilangan kembarannya. Tanganku mengepal kuat. Buku-bukunya memutih. Apa aku masih butuh segala pengharapan ini? Semakin aku berharap, semakin tidak ada harapan yang tersisa. Dan seiring dengan buliran yang semakin deras menerpa mobilku. Air mataku mengalir. Air mata yang sudah sekian lama berusaha kutahan. Air mata yang masih berisi bulir-bulir cintaku untukmu. Cinta yang ingin kusimpan sampai tiba harinya kau kembali lagi.

***
”Hati-hati, Felix..!” ujarku memperingatkan ketika jagoan kecil itu mulai berlarian mengejar kelinci yang memang sengaja kupelihara di kebun belakang rumahku, sebagai teman bermainnya sekaligus temannya belajar.

Aku lalu menghampiri bangku kayu di dekatku, sembari mataku tetap mengawasi Felix yang sedang tekun mengangsurkan potongan-potongan wortel dengan sabar kepada kelinci-kelinci yang mengerumuninya. Dia jadi terlihat seperti sedang jongkok di atas awan. Kau menyusul tidak lama kemudian. Menikmati senja ditemani sepoci teh dan sepiring biskuit berdua denganmu. Tidak ada kemewahan lain yang kuharapkan. Tanganmu meraihku. Jemari kita kembali bertautan.

Hari ini tepat setahun yang lalu...

Kau muncul begitu saja bagai kilau mentari sehabis badai di hadapanku. Meski tidak lagi sendirian. Kau membawa serta pengawal mungilmu. Hadiah terindah hidupmu selama tidak bersamaku. Oleh-oleh dari dunia lain yang sempat kau jelajahi dan diami. Bukti keindahanmu yang baru. Tapi di mataku kau masih tetap sama, berhadapan denganku yang juga masih sama. Diriku yang kosong sebelum bertemu denganmu. Diriku yang kosong setelah kepergianmu.

Diriku yang setelah sekian lama. Dengan sisa luka-luka yang masih tergurat, sadar bahwa ada satu hal yang tetap tidak berubah. Bahwa kebahagiaanku, berada tepat di bibirmu, sehingga ciumanmulah yang paling kuburu, bukan yang lain. Gagas kata-kataku dalam sajak, takkan pernah membuat rindu terbebas, namun tegas ciumanmu selalu bisa membuatnya pulas. Ciumanmu langsung membuatku memaafkan segalanya. Membuka relungku lebih lebar untuk kembali kau huni. Ciumanmu mengoles obat yang langsung menyembuhkan relungku.

Mataku menemukan kilau yang sama di jemari kita. Kilauan yang kembali setelah yang lain kembali. Kali ini berpijar dengan penuh percaya diri. Mata kita bertemu. Matamu yang tetap syahdu. Ada kelegaan di sana. Bibir kita bertemu. Memagut sedikit demi sedikit asa yang masih tersisa di sana. Aku dan sajak, saling berlomba untuk menyatakan rindu padamu, dan yang menang ternyata tetap ciumanku.

Bibir-bibir kita berpisah. Untuk kembali bertemu. Kali ini lebih dalam dan kuat. Menghayati tiap denyut penuh nyawa yang kembali menghubungkan kita. Mengikat lebih erat. Menyatu. Karena ciuman kita kasih, serupa tasbih yang takkan sempurna hanya dengan sekali putaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar