Pagi masih jauh, tapi sesosok laki-laki bergerak diam-diam di antara
deretan meja dan lemari pasar yang masih gelap dan sepi. Dia
mencari-cari beberapa saat sebelum akhirnya berhenti seraya menyeringai
senang ketika menemukan yang dicari-carinya dari tadi. Di kolong itu
tergolek sembarangan seorang perempuan.
Tangannya terulur
dan yang disentuh pun terperanjat bangun, tapi tidak seperti yang
sudah-sudah ketika dia harus berjuang keras mengunci gerakan melawan dan
meredam suara penolakan yang dilancarkan objeknya. Sekarang perempuan
itu tidak menolak sedikitpun, bahkan terlihat tidak sabar dengan yang
akan terjadi selanjutnya. Di relungnya yang gelap, instingnya seolah
berkata bahwa inilah yang dia tunggu-tunggu.
Laki-laki itu
tidak buang waktu lagi. Dengan cepat dia melucuti diri dan calon pemuas
birahinya. Tidak lama kemudian gerakan menghentak dan lenguhan saling
bersahutan di kolong meja pasar yang sepi. Setelahnya dia pun beranjak
pergi meninggalkan objeknya yang masih tergolek dengan sisa-sisa
kenikmatan di sekujurnya. Kenikmatan dari insting yang tetap dia miliki.
Insting yang tidak butuh pengarahan karena sudah ada jalan setapak
mungil abadi menuju kenikmatan birahi.
***
Aku
barusan kelar mencatat data para tuna wisma dan pengemis yang hari ini
kami tampung ketika sebuah becak berhenti di depan pagar yayasan kami.
Seorang laki-laki setengah baya dibantu oleh tukang becak, menurunkan
seorang perempuan. Perempuan itu berpenampilan acak-acakan dengan perut
yang membuncit.
Aku langsung meninggalkan papan catatanku di meja lalu buru-buru menghampiri mereka yang terlihat kepayahan.
”Bu Lis, kami temukan dia luntang-lantung di pasar. Karena kasihan jadi kami bawa kemari.” ujar si Bapak.
”Entah siapa yang begitu tega menghamilinya...” timpal tukang becak itu.
”Oh,
bawa kemari Pak. Dudukkan di bangku itu.” ujarku. Fiona yang kebetulan
turun langsung menghampiri. ”Perempuan ini sedang hamil, jadi daripada
luntang-lantung di pasar mereka mau menitipkannya ke sini.” jelasku
lagi. Dia mengangguk paham lalu mengucapkan terima kasih kepada dua
laki-laki yang sudah membawa perempuan itu untuk dititipkan ke tempat
ini.
Sepeninggal mereka, kami masih berdiri di sana
mengamati penghuni baru yayasan kami. Perempuan itu masih muda. Dia
terlihat begitu tenang. Tidak liar dan memberontak. Hanya asik dengan
pikirannya sendiri.
”Kita bersihkan dulu dia.” cetus
Fiona. Aku mengangguk. Kami lalu memapah perempuan itu ke kamar mandi.
Menyiramkan air dengan hati-hati ke sekujurnya. Mencuci rambutnya yang
mulai gimbal dengan lembut agar tidak menyakitinya. Menyabuninya
berkali-kali hingga akhirnya dia benar-benar bersih. Tidak lupa memotong
kuku-kukunya yang sudah mulai panjang dan kotor dengan hati-hati. Aku
lalu mengambil daster untuk dia kenakan. Setelahnya kami terkagum-kagum
dalam hati. Setelah dibersihkan dan mengenakan pakaian yang layak,
perempuan muda itu terlihat cukup cantik sekarang.
Fiona
melirik jam dinding. Sudah waktunya dia bersiap-siap untuk berangkat
bekerja. Dia segera bergegas mandi, sementara aku menyiapkan pakaian
kerjanya. Sarapan sudah sedari tadi aku hidangkan di meja makan
untuknya. Setelah selesai, dia mengecup keningku sembari berpamitan. Aku
mengantarnya hingga ke depan pintu. Setelahnya aku pun menyuapi
perempuan itu makan berlanjut dengan beres-beres rumah. Masih cukup pagi
sebelum sukarelawan yang lain berdatangan.
Sudah hampir
tiga tahun aku menjalankan yayasan nirlaba yang menampung para tuna
wisma dan pengemis di rumah yang sudah hampir delapan tahun kami tempati
bersama. Memberi mereka tempat bernaung sementara sembari mengajari
beberapa keterampilan hingga setelah tidak tinggal di sini, mereka
diharapkan bisa bertahan. Beberapa dari mereka cukup berhasil dan
sekarang ikut membantu menjadi sukarelawan di sini. Menurunkan ilmu yang
sudah mereka miliki kepada teman-teman yang senasib.
Dan
baru kali ini kami menampung pesakitan yang tidak waras. Tapi tidak
mengapalah. Dititipkan di sini pastinya jauh lebih baik daripada
membiarkannya berkeliaran di jalanan, apalagi dia sekarang sedang hamil.
Setelah melakukan serah terima tugas kepada relawan yang sudah
berdatangan, aku kembali ke atas. Perempuan itu masih duduk di tempat
yang sama saat aku tinggalkan tadi.
”Entah aku harus memanggilmu apa?” cetusku. Dia hanya acuh.
Tanganku
perlahan terulur menyentuh perutnya yang membuncit. Hm, mungkin sudah
lima bulan. Jika besok ada waktu aku akan membawanya ke dokter kandungan
untuk memeriksakan kandungannya. Tanganku yang masih bertengger di
perutnya sekarang bergerak-gerak, mengusap-usap. Dia sekarang menatapku.
Tatapan yang tidak kumengerti namun entah kenapa membuat sesuatu
bergerak di dalam diriku. Aku langsung memeluknya.
***
Aku
merebahkan kepalaku ke dada kekasihku yang masih menyisakan peluh. Dia
balas membelai punggungku yang masih telanjang. Untuk sesaat kami hanya
berdiam diri dalam posisi itu sebelum akhirnya aku bergerak untuk lebih
merapatkan diri di dalam dekapannya yang hangat.
”Fi, aku tadi udah ke dokter kandungan. Syukurlah kandungannya baik-baik saja. Udah jalan enam bulan.” cetusku.
”Oh.
Ya syukurlah... Membayangkan apa yang sudah dia makan selama hamil.
Suatu keajaiban jika kandungannya normal.” Aku mengangguk setuju.
”Aku suka bingung mau memanggilnya apa. Kita juga tidak tahu namanya.”
”Hm... Trus mau kita panggil apa? Mau dinamai siapa?”
”Jane aja yah? Dari Jane Doe.” Dia langsung menjawil hidungku. Aku hanya nyengir.
”Boleh deh. Kita panggil Jane ajah.”
Aku
menatap kekasihku. Menimbang-nimbang untuk menyampaikan perasaan yang
sempat kurasakan waktu itu. Perasaan yang mungkin dimiliki oleh semua
perempuan. Rasa sayang dan jalinan yang seolah mendadak muncul antara
aku dan janin di dalam kandungan Jane. Rasa keibuan.
”Ada yang mau kamu omongin?” bisiknya lembut. Untuk sesaat aku ragu, sebelum akhirnya menggeleng.
”Nggak
kok. Kita bobo ajah yah...” ujarku akhirnya sembari menarik selimut
untuk menutupi tubuh kami berdua. Biarlah hanya aku yang tahu. Karena
aku tidak yakin dia akan bisa mengerti. Dia yang sangat tidak menyukai
anak-anak, pastinya tidak akan mengerti. Dan aku tidak ingin merusak
malam ini.
”I love you...” bisiknya. Aku membalas dengan pelukan erat.
***
”Jadi
kamu belum ngomong apa-apa ke Fiona?” Alis Beth naik sebelah. Aku
menggeleng. Menyeruput jusku. Aku sengaja meminta bertemu dengannya,
sekedar meminta pandangan tentang perasaan yang muncul belakangan ini
sejak kehadiran Jane di rumah kami.
”Aku gak berani. Gak yakin
juga. Kamu kan udah tahu seberapa anti-nya dia terhadap anak-anak.
Membayangkan reaksinya saat tahu rencanaku pun aku nggak berani.” Beth
hanya tersenyum. Meremas tanganku.
”Kalian udah hampir sepuluh
tahun barengan. Bahkan waktu mendengar rencana gilamu yang mau keluar
dari kerjaan bonafid untuk ngurusin yayasan itu dia sanggup kok. Malah
mendukung. Kenapa malah takut menyampaikan yang ini?”
”Yah tetap aja beda... Yang ini menyangkut hal yang amat sangat dijauhinya. Anak-anak.” ujarku lagi ngotot.
Aku
memang tidak bisa memungkiri perasaanku yang timbul seiring waktu
terhadap makhluk yang sekarang masih berdiam, berdenyut lembut di dalam
perut Jane. Setiap hari saat memandikannya dan melihat buncitnya yang
semakin membesar, aku seolah merasa itu adalah perutku. Dan yang
bersemayam di sana adalah janinku. Aku bahkan bisa merasakan denyutannya
yang lembut beradu dengan nadiku.
Sementara Jane hanya
terlihat pasrah dan acuh asik di dunianya sendiri, aku seolah
menggantikan dia untuk merasakan setiap gerakan makhluk di dalam
rahimnya itu. Betapa kerinduanku semakin memuncak. Tidak sabar untuk
segera bertemu dengannya. Ingin merasakan jari-jari mungilnya
menggenggam jemariku. Mendengar tangisnya. Ingin menyusuinya...
”Apa
pun itu. Kamu tetap harus ngomong ke Fiona, Lis. Bagaimana pun
reaksinya nanti, yang penting kamu sudah menyampaikan semua. Plong.
Tidak harus menyimpan dan mereka-reka sendiri.” ujar Beth lagi.
”Entahlah,
Beth...” sahutku pasrah. Betapa pun inginnya aku, lagi-lagi akan
terpatahkan. Fiona tidak suka anak-anak. Itu kenyataan. Aku tidak mau
jika harus dihadapkan pada pilihan antara si bayi dan dirinya.
”Yakinlah...
Kalau kalian ini pasangan suami istri, sepuluh tahun rasanya sudah
layak jika rumah kalian diributkan tangisan dan tawa si kecil...” Aku
hanya melotot sementara Beth hanya cengengesan. Dasar, paling senang
kalo melihat orang menderita.
***
Aku menutup pintu
kamar yang sekarang ditempati Jane. Baru saja aku meminumkannya susu
untuk ibu hamil agar janin di kandungannya tetap sehat. Tidak lama lagi
dia akan menjalani persalinan dan seiring waktu aku ikut-ikutan merasa
ketar-ketir seolah itu persalinanku sendiri.
Fiona sedang
duduk membaca di ranjang saat aku masuk. Dia langsung menutup bukunya
dan menepuk ranjang di sisinya untuk kutempati. Aku beringsut ke sisinya
lalu mengecup pipinya.
”Gimana Jane?” cetusnya seraya merangkulku.
”Baik kok. Kalau gak ada masalah dia bisa lahiran normal.” sahutku se-biasa mungkin.
”Udah USG? Anaknya laki atau perempuan?” Telingaku tegak. Kenapa mendadak dia bertanya sedetil itu?
”Udah.
Tempo hari, tapi belum kelihatan jelas. Tertutup arinya. Tapi kayaknya
sih perempuan.” sahutku sembari menjaga agar suaraku tetap terdengar
datar. Dia manggut-manggut lalu memadamkan lampu bacanya. Menarikku
lebih mendekat.
Kami berpagutan lama dan dalam. Menikmati
setiap detik yang seolah bergerak lambat di sekujur tubuhku. Di setiap
inci kulitku ciumannya memecah, menguarkan cinta yang memenuhi seisi
kamar. Aku tidak menyebut ranjang kami mendingin setelah sepuluh tahun,
tapi entah kenapa malam ini kami seolah kembali lagi ke masa sepuluh
tahun yang lalu. Saat semuanya masih begitu bergelora dan berapi-api.
***
Fiona
berjalan setengah berlari menghampiriku yang sudah lebih dulu sedari
tadi menunggu di klinik persalinan ini. Dia sedang di kantornya ketika
kuhubungi. Jane sedang menjalani persalinan di dalam sana. Fiona
menggenggam tanganku seolah ingin menguatkan.
”Jane akan
baik-baik saja. Jane dan bayinya...” bisiknya. Aku mengangguk, tapi
tidak sanggup berkata-kata. Kami lalu duduk berdampingan di bangku
panjang yang ada di koridor, menanti kabar baik.
”Aku sedang pergi
belanja. Pas pulang sukarelawan yang lain udah heboh membantunya turun.
Ketubannya udah pecah...” sahutku akhirnya gemetar.
Fiona
meremas tanganku yang dingin lebih keras. Ingin mengalirkan
kehangatannya ke sana. Waktu seolah merambat. Begitu kejam merenggut
ketenanganku. Merangkak sembari menyeringai menertawaiku yang panik.
Bulir-bulir keringat membanjiri keningku. Menghalangi kehangatan apa pun
untuk masuk.
Pintu ruang persalinan akhirnya terbuka dan
kakiku mendadak lumpuh. Fiona yang bangkit menghampiri, bertanya tentang
kondisi Jane. Aku tidak mendengar. Tidak berani mendengar. Hanya bisa
merasakan kehangatan perlahan menjalari sekujurku ketika dia kembali
dengan senyum mengembang di bibirnya. ”Dua-duanya selamat. Anaknya
perempuan, Lis.” ujarnya bersemangat. Semangat yang langsung menulariku.
Kami langsung berpelukan erat. Rasa lega mengaliri sekujur kami.
Jane
masih belum sadar ketika dipindahkan ke ruang pemulihan. Fiona
mendampinginya sekaligus mengurus administrasi sementara aku memilih
untuk ke ruang bayi. Ingin melihat sosok yang sudah kunanti-nantikan
sejak tiga bulan yang lalu. Sosok yang sudah bisa kurasakan
keberadaannya bahkan sebelum kemunculannya. Aku memandangnya dari balik
kaca. Dia terlihat begitu indah. Tertidur damai di peraduannya.
Tanganku
menyentuh kaca yang menghalangi kami. Dan saat itu aku dialiri jutaan
perasaan yang tidak bisa kujelaskan satu per satu. Perasaan yang entah
bagaimana menghubungkan kami berdua.
***
Aku
bergegas kembali setelah mengurus administrasi untuk menemui Lilis dan
saat itu aku melihatnya. Menatap penuh kerinduan ke makhluk mungil di
balik kaca tebal yang memisahkan mereka. Tatapan yang semakin kuat
kutangkap sejak kemunculan Jane di rumah kami. Tatapan yang membuatku
tidak tega untuk tidak memenuhi apa pun keinginannya, seperti saat dia
ingin berhenti bekerja dan fokus di yayasannya.
Sejak
kehadiran Jane aku sudah memutuskan untuk memberikan satu hal yang
selama ini sangat dia idam-idamkan. Hal yang begitu dia inginkan namun
terus berusaha ditahannya demi diriku. Perempuan yang begitu
mencintaiku. Tidak ada hal lain yang ingin kuberikan selain senyum
bahagia di wajahnya setiap hari.
”Lis!” panggilku. Dia
yang selama beberapa saat terhanyut di dunianya sendiri seolah
tertangkap basah. Berusaha bersikap biasa lagi. Usaha yang hanya
memancing senyumku.
Aku memang belum mengatakan apa-apa
kepadanya. Tidak juga tentang selembar sertifikat adopsi yang sudah
disetujui pihak berwenang. Biarlah itu menjadi kejutan manis di hari
jadi ke sepuluh kami minggu depan. Saat yang tepat untuk membawa serta
hadiahnya. Sosok makhluk mungil yang dia idamkan. Malaikat kecil kami
berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar