Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : Hadiah dari Jane

Pagi masih jauh, tapi sesosok laki-laki bergerak diam-diam di antara deretan meja dan lemari pasar yang masih gelap dan sepi. Dia mencari-cari beberapa saat sebelum akhirnya berhenti seraya menyeringai senang ketika menemukan yang dicari-carinya dari tadi. Di kolong itu tergolek sembarangan seorang perempuan.

Tangannya terulur dan yang disentuh pun terperanjat bangun, tapi tidak seperti yang sudah-sudah ketika dia harus berjuang keras mengunci gerakan melawan dan meredam suara penolakan yang dilancarkan objeknya. Sekarang perempuan itu tidak menolak sedikitpun, bahkan terlihat tidak sabar dengan yang akan terjadi selanjutnya. Di relungnya yang gelap, instingnya seolah berkata bahwa inilah yang dia tunggu-tunggu.

Laki-laki itu tidak buang waktu lagi. Dengan cepat dia melucuti diri dan calon pemuas birahinya. Tidak lama kemudian gerakan menghentak dan lenguhan saling bersahutan di kolong meja pasar yang sepi. Setelahnya dia pun beranjak pergi meninggalkan objeknya yang masih tergolek dengan sisa-sisa kenikmatan di sekujurnya. Kenikmatan dari insting yang tetap dia miliki. Insting yang tidak butuh pengarahan karena sudah ada jalan setapak mungil abadi menuju kenikmatan birahi.

***
Aku barusan kelar mencatat data para tuna wisma dan pengemis yang hari ini kami tampung ketika sebuah becak berhenti di depan pagar yayasan kami. Seorang laki-laki setengah baya dibantu oleh tukang becak, menurunkan seorang perempuan. Perempuan itu berpenampilan acak-acakan dengan perut yang membuncit.

Aku langsung meninggalkan papan catatanku di meja lalu buru-buru menghampiri mereka yang terlihat kepayahan.
”Bu Lis, kami temukan dia luntang-lantung di pasar. Karena kasihan jadi kami bawa kemari.” ujar si Bapak.
”Entah siapa yang begitu tega menghamilinya...” timpal tukang becak itu.
”Oh, bawa kemari Pak. Dudukkan di bangku itu.” ujarku. Fiona yang kebetulan turun langsung menghampiri. ”Perempuan ini sedang hamil, jadi daripada luntang-lantung di pasar mereka mau menitipkannya ke sini.” jelasku lagi. Dia mengangguk paham lalu mengucapkan terima kasih kepada dua laki-laki yang sudah membawa perempuan itu untuk dititipkan ke tempat ini.

Sepeninggal mereka, kami masih berdiri di sana mengamati penghuni baru yayasan kami. Perempuan itu masih muda. Dia terlihat begitu tenang. Tidak liar dan memberontak. Hanya asik dengan pikirannya sendiri.

”Kita bersihkan dulu dia.” cetus Fiona. Aku mengangguk. Kami lalu memapah perempuan itu ke kamar mandi. Menyiramkan air dengan hati-hati ke sekujurnya. Mencuci rambutnya yang mulai gimbal dengan lembut agar tidak menyakitinya. Menyabuninya berkali-kali hingga akhirnya dia benar-benar bersih. Tidak lupa memotong kuku-kukunya yang sudah mulai panjang dan kotor dengan hati-hati. Aku lalu mengambil daster untuk dia kenakan. Setelahnya kami terkagum-kagum dalam hati. Setelah dibersihkan dan mengenakan pakaian yang layak, perempuan muda itu terlihat cukup cantik sekarang.

Fiona melirik jam dinding. Sudah waktunya dia bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Dia segera bergegas mandi, sementara aku  menyiapkan pakaian kerjanya. Sarapan sudah sedari tadi aku hidangkan di meja makan untuknya. Setelah selesai, dia mengecup keningku sembari berpamitan. Aku mengantarnya hingga ke depan pintu. Setelahnya aku pun menyuapi perempuan itu makan berlanjut dengan beres-beres rumah. Masih cukup pagi sebelum sukarelawan yang lain berdatangan.

Sudah hampir tiga tahun aku menjalankan yayasan nirlaba yang menampung para tuna wisma dan pengemis di rumah yang sudah hampir delapan tahun kami tempati bersama. Memberi mereka tempat bernaung sementara sembari mengajari beberapa keterampilan hingga setelah tidak tinggal di sini, mereka diharapkan bisa bertahan. Beberapa dari mereka cukup berhasil dan sekarang ikut membantu menjadi sukarelawan di sini. Menurunkan ilmu yang sudah mereka miliki kepada teman-teman yang senasib.

Dan baru kali ini kami menampung pesakitan yang tidak waras. Tapi tidak mengapalah. Dititipkan di sini pastinya jauh lebih baik daripada membiarkannya berkeliaran di jalanan, apalagi dia sekarang sedang hamil. Setelah melakukan serah terima tugas kepada relawan yang sudah berdatangan, aku kembali ke atas. Perempuan itu masih duduk di tempat yang sama saat aku tinggalkan tadi.

”Entah aku harus memanggilmu apa?” cetusku. Dia hanya acuh.

Tanganku perlahan terulur menyentuh perutnya yang membuncit. Hm, mungkin sudah lima bulan. Jika besok ada waktu aku akan membawanya ke dokter kandungan untuk memeriksakan kandungannya. Tanganku yang masih bertengger di perutnya sekarang bergerak-gerak, mengusap-usap. Dia sekarang menatapku. Tatapan yang tidak kumengerti namun entah kenapa membuat sesuatu bergerak di dalam diriku. Aku langsung memeluknya.

***
Aku merebahkan kepalaku ke dada kekasihku yang masih menyisakan peluh. Dia balas membelai punggungku yang masih telanjang. Untuk sesaat kami hanya berdiam diri dalam posisi itu sebelum akhirnya aku bergerak untuk lebih merapatkan diri di dalam dekapannya yang hangat.

”Fi, aku tadi udah ke dokter kandungan. Syukurlah kandungannya baik-baik saja. Udah jalan enam bulan.” cetusku.
”Oh. Ya syukurlah... Membayangkan apa yang sudah dia makan selama hamil. Suatu keajaiban jika kandungannya normal.” Aku mengangguk setuju.
”Aku suka bingung mau memanggilnya apa. Kita juga tidak tahu namanya.”
”Hm... Trus mau kita panggil apa? Mau dinamai siapa?”
”Jane aja yah? Dari Jane Doe.” Dia langsung menjawil hidungku. Aku hanya nyengir.
”Boleh deh. Kita panggil Jane ajah.”

Aku menatap kekasihku. Menimbang-nimbang untuk menyampaikan perasaan yang sempat kurasakan waktu itu. Perasaan yang mungkin dimiliki oleh semua perempuan. Rasa sayang dan jalinan yang seolah mendadak muncul antara aku dan janin di dalam kandungan Jane. Rasa keibuan.

”Ada yang mau kamu omongin?” bisiknya lembut. Untuk sesaat aku ragu, sebelum akhirnya menggeleng.
”Nggak kok. Kita bobo ajah yah...” ujarku akhirnya sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh kami berdua. Biarlah hanya aku yang tahu. Karena aku tidak yakin dia akan bisa mengerti. Dia yang sangat tidak menyukai anak-anak, pastinya tidak akan mengerti. Dan aku tidak ingin merusak malam ini.
”I love you...” bisiknya. Aku membalas dengan pelukan erat.

***
”Jadi kamu belum ngomong apa-apa ke Fiona?” Alis Beth naik sebelah. Aku menggeleng. Menyeruput jusku. Aku sengaja meminta bertemu dengannya, sekedar meminta pandangan tentang perasaan yang muncul belakangan ini sejak kehadiran Jane di rumah kami.
”Aku gak berani. Gak yakin juga. Kamu kan udah tahu seberapa anti-nya dia terhadap anak-anak. Membayangkan reaksinya saat tahu rencanaku pun aku nggak berani.” Beth hanya tersenyum. Meremas tanganku.
”Kalian udah hampir sepuluh tahun barengan. Bahkan waktu mendengar rencana gilamu yang mau keluar dari kerjaan bonafid untuk ngurusin yayasan itu dia sanggup kok. Malah mendukung. Kenapa malah takut menyampaikan yang ini?”
”Yah tetap aja beda... Yang ini menyangkut hal yang amat sangat dijauhinya. Anak-anak.” ujarku lagi ngotot.

Aku memang tidak bisa memungkiri perasaanku yang timbul seiring waktu terhadap makhluk yang sekarang masih berdiam, berdenyut lembut di dalam perut Jane. Setiap hari saat memandikannya dan melihat buncitnya yang semakin membesar, aku seolah merasa itu adalah perutku. Dan yang bersemayam di sana adalah janinku. Aku bahkan bisa merasakan denyutannya yang lembut beradu dengan nadiku.

Sementara Jane hanya terlihat pasrah dan acuh asik di dunianya sendiri, aku seolah menggantikan dia untuk merasakan setiap gerakan makhluk di dalam rahimnya itu. Betapa kerinduanku semakin memuncak. Tidak sabar untuk segera bertemu dengannya. Ingin merasakan jari-jari mungilnya menggenggam jemariku. Mendengar tangisnya. Ingin menyusuinya...

”Apa pun itu. Kamu tetap harus ngomong ke Fiona, Lis. Bagaimana pun reaksinya nanti, yang penting kamu sudah menyampaikan semua. Plong. Tidak harus menyimpan dan mereka-reka sendiri.” ujar Beth lagi.
”Entahlah, Beth...” sahutku pasrah. Betapa pun inginnya aku, lagi-lagi akan terpatahkan. Fiona tidak suka anak-anak. Itu kenyataan. Aku tidak mau jika harus dihadapkan pada pilihan antara si bayi dan dirinya.
”Yakinlah... Kalau kalian ini pasangan suami istri, sepuluh tahun rasanya sudah layak jika rumah kalian diributkan tangisan dan tawa si kecil...” Aku hanya melotot sementara Beth hanya cengengesan. Dasar, paling senang kalo melihat orang menderita.

***
Aku menutup pintu kamar yang sekarang ditempati Jane. Baru saja aku meminumkannya susu untuk ibu hamil agar janin di kandungannya tetap sehat. Tidak lama lagi dia akan menjalani persalinan dan seiring waktu aku ikut-ikutan merasa ketar-ketir seolah itu persalinanku sendiri.

Fiona sedang duduk membaca di ranjang saat aku masuk. Dia langsung menutup bukunya dan menepuk ranjang di sisinya untuk kutempati. Aku beringsut ke sisinya lalu mengecup pipinya.
”Gimana Jane?” cetusnya seraya merangkulku.
”Baik kok. Kalau gak ada masalah dia bisa lahiran normal.” sahutku se-biasa mungkin.
”Udah USG? Anaknya laki atau perempuan?” Telingaku tegak. Kenapa mendadak dia bertanya sedetil itu?
”Udah. Tempo hari, tapi belum kelihatan jelas. Tertutup arinya. Tapi kayaknya sih perempuan.” sahutku sembari menjaga agar suaraku tetap terdengar datar. Dia manggut-manggut lalu memadamkan lampu bacanya. Menarikku lebih mendekat.

Kami berpagutan lama dan dalam. Menikmati setiap detik yang seolah bergerak lambat di sekujur tubuhku. Di setiap inci kulitku ciumannya memecah, menguarkan cinta yang memenuhi seisi kamar. Aku tidak menyebut ranjang kami mendingin setelah sepuluh tahun, tapi entah kenapa malam ini kami seolah kembali lagi ke masa sepuluh tahun yang lalu. Saat semuanya masih begitu bergelora dan berapi-api.

***
Fiona berjalan setengah berlari menghampiriku yang sudah lebih dulu sedari tadi menunggu di klinik persalinan ini. Dia sedang di kantornya ketika kuhubungi. Jane sedang menjalani persalinan di dalam sana. Fiona menggenggam tanganku seolah ingin menguatkan.

”Jane akan baik-baik saja. Jane dan bayinya...” bisiknya. Aku mengangguk, tapi tidak sanggup berkata-kata. Kami lalu duduk berdampingan di bangku panjang yang ada di koridor, menanti kabar baik.
”Aku sedang pergi belanja. Pas pulang sukarelawan yang lain udah heboh membantunya turun. Ketubannya udah pecah...” sahutku akhirnya gemetar.

Fiona meremas tanganku yang dingin lebih keras. Ingin mengalirkan kehangatannya ke sana. Waktu seolah merambat. Begitu kejam merenggut ketenanganku. Merangkak sembari menyeringai menertawaiku yang panik. Bulir-bulir keringat membanjiri keningku. Menghalangi kehangatan apa pun untuk masuk.

Pintu ruang persalinan akhirnya terbuka dan kakiku mendadak lumpuh. Fiona yang bangkit menghampiri, bertanya tentang kondisi Jane. Aku tidak mendengar. Tidak berani mendengar. Hanya bisa merasakan kehangatan perlahan menjalari sekujurku ketika dia kembali dengan senyum mengembang di bibirnya. ”Dua-duanya selamat. Anaknya perempuan, Lis.” ujarnya bersemangat. Semangat yang langsung menulariku. Kami langsung berpelukan erat. Rasa lega mengaliri sekujur kami.

Jane masih belum sadar ketika dipindahkan ke ruang pemulihan. Fiona mendampinginya sekaligus mengurus administrasi  sementara aku memilih untuk ke ruang bayi. Ingin melihat sosok yang sudah kunanti-nantikan sejak tiga bulan yang lalu. Sosok yang sudah bisa kurasakan keberadaannya bahkan sebelum kemunculannya. Aku memandangnya dari balik kaca. Dia terlihat begitu indah. Tertidur damai di peraduannya.

Tanganku menyentuh kaca yang menghalangi kami. Dan saat itu aku dialiri jutaan perasaan yang tidak bisa kujelaskan satu per satu. Perasaan yang entah bagaimana menghubungkan kami berdua.

***
Aku bergegas kembali setelah mengurus administrasi untuk menemui Lilis dan saat itu aku melihatnya. Menatap penuh kerinduan ke makhluk mungil di balik kaca tebal yang memisahkan mereka. Tatapan yang semakin kuat kutangkap sejak kemunculan Jane di rumah kami. Tatapan yang membuatku tidak tega untuk tidak memenuhi apa pun keinginannya, seperti saat dia ingin berhenti bekerja dan fokus di yayasannya.

Sejak kehadiran Jane aku sudah memutuskan untuk memberikan satu hal yang selama ini sangat dia idam-idamkan. Hal yang begitu dia inginkan namun terus berusaha ditahannya demi diriku. Perempuan yang begitu mencintaiku. Tidak ada hal lain yang ingin kuberikan selain senyum bahagia di wajahnya setiap hari.

”Lis!” panggilku. Dia yang selama beberapa saat terhanyut di dunianya sendiri seolah tertangkap basah. Berusaha bersikap biasa lagi. Usaha yang hanya memancing senyumku.

Aku memang belum mengatakan apa-apa kepadanya. Tidak juga tentang selembar sertifikat adopsi yang sudah disetujui pihak berwenang. Biarlah itu menjadi kejutan manis di hari jadi ke sepuluh kami minggu depan. Saat yang tepat untuk membawa serta hadiahnya. Sosok makhluk mungil yang dia idamkan. Malaikat kecil kami berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar