Di ruangan yang remang ini, udara dan kesibukan di sekitar kami mendadak lenyap, seolah terhisap habis oleh keterkejutan yang disusul kekecewaan di rautnya. Untuk beberapa saat kami sama-sama mematung.
“Ya. Maafkan aku…” cetusku. Lebih hanya untuk sopan santun.
Sebenarnya aku tidak perlu menunggu sampai sekarang untuk
menyampaikan jawabanku. Aku bahkan bisa langsung menjawab saat dia menyatakan
perasaannya. Toh jawabanku pasti tetap sama. Tapi dia seolah tidak ingin
membiarkanku terbebas dari beban yang dia tumpukan.
‘Aku nggak butuh
jawaban kamu sekarang. Kamu boleh mempertimbangkannya dulu.’ ujarnya waktu itu,
sekaligus menjatuhkan beban itu di pundakku tanpa sempat aku menghindar.
Ah, seandainya
saja dia tahu aku tidaklah sama seperti perempuan kebanyakan yang doyan tarik ulur
jual mahal. Seandainya dia tahu aku sudah punya dan bisa langsung menjawabnya
saat itu juga, agar aku tidak perlu menahan diri hingga sekarang. Seandainya
saja dia tahu getaran di hatinya tidak berbalas, kami tidak akan buang-buang
waktu di sini sekarang dan dia tidak perlu menelan rasa kecewanya sendirian.
“Kenapa?”
tanyanya lagi. Sepertinya dia tidak mau langsung menyerah. Aku yang sedang
memandang hidangan di piringku tanpa selera sekarang menatapnya lurus.
”Aku hanya ingin
setia.” pungkasku. Dia hanya membalas dengan senyum getir. Atau sinis? Terserahlah.
Apa pun tidak akan mengubah keputusanku. Keputusanku yang sudah bulat.
Ya. Aku. Hanya. Ingin.
Setia. Menjomblo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar