Bagian tubuh mana yang paling kalian sukai?
Bagian tubuh mana
yang kalian rasa paling indah?
Bagian tubuh mana
yang membuat kalian tergila-gila?
Mata? Bibir?
Dagu? Geligi? Alis? Payudara yang montok? Pinggul yang serupa gitar? Atau gundukan
serupa perut padi di tungkainya?
Menurutku bagian
terindah di tubuh kekasihku adalah tangannya. Bukan lengan. Hanya tangan yang
dibatasi oleh pergelangan yang ramping. Tangan dengan jari lentik yang bergerak
lincah. Jari lentik yang dihiasi kuku sehat mengkilap berwarna merah muda. Kuku-kuku
yang tidak harus panjang tapi terawat baik. Aku bisa begitu tergila-gila
sehingga waktu saat bersamanya habis untuk bermesraan dengan tangannya yang
indah. Tangan yang tidak akan bosan-bosannya kuciumi, kubelai, kujilat dan apa
pun sekedar untuk menunjukkan kecintaanku.
”Aku rasa kita tidak
bisa meneruskan hubungan ini,” kata kekasihku kemarin malam. Saat itu makan
malam yang kusendokkan langsung terhenti di udara. Dia menarik tangannya dari
genggamanku. Menyisakan kekecewaan.
Kenapa?
Pertanyaan itu hanya muncul di kepalaku. Aku tidak melontarkannya. Mataku hanya
bisa pasrah mengikuti gerakan tangannya yang berpindah-pindah. Meraih gelas
berisi anggur lalu meneguk isinya. Meraih serbet untuk mengusap sisa-sisa cairan
yang mungkin belepotan dari bibirnya. Bibir yang mungkin tidak pernah kulumat
dan kuciumi sesering jari-jarinya.
”Kenapa kau hanya
diam?” tegurnya lagi. Pertanyaan aneh sebenarnya. Apa yang harus kukatakan jika
memang itulah keinginannya? Selain rasa sedih karena harus berpisah dengan
tangan indah miliknya, tidak ada perasaan lain yang muncul di benakku.
”Aku tidak akan
menentang keinginanmu,” ujarku akhirnya sembari menyuapkan makan malamku.
Mengunyahnya dengan tenang. Dia masih menatapku, menungguku melanjutkan, ”Tapi
lusa kamu berulang tahun dan aku sangat ingin merayakannya bersama...”
Sekilas aku bisa
melihat gurat tidak tega muncul di matanya yang bening. Jari-jarinya juga
sekarang bergerak gelisah. Dia menggigit bibirnya sebelum akhirnya mendecak.
Mungkin dia sedang bimbang antara mengabulkan harapanku atau tidak.
”Hanya sampai
lusa.” ujarku lagi.
Akhirnya dengan
desah kalah dia mengangguk. Aku tersenyum lega. Aku tidak ingat pernah ada
perempuan yang bisa benar-benar menolakku dalam sekali usaha. Mungkin karena
aku terlalu mempesona atau ngotot? Entahlah. Tanganku kembali terjulur meraih
tangannya. Meremasnya lembut. Dia hanya diam, namun tidak menolak. Biasanya aku
akan memintanya berlama-lama atau menginap hanya agar aku bisa berdekatan terus
dengan tangannya yang indah, tapi malam itu aku memilih untuk mengalah. Aku
tidak ingin membuatnya berubah pikiran.
***
’Kasus korban mutilasi yang potongan sebelah
kakinya ditemukan di tong sampah minggu lalu masih ditelusuri. Setelah kepala
korban yang berhasil ditemukan dua hari yang lalu, hingga hari ini polisi masih
berusaha mencari potongan tubuh korban yang lain...’
Aku bergidik
ngeri lalu berpindah ke saluran lain. Wah, masih berita yang sama. Akhirnya aku
mematikan televisi lalu turun ke bawah. Mengisi gelas dengan air putih lalu
meneguknya. Hari ini aku sengaja tidak masuk kerja karena ingin mempersiapkan
semua dengan baik. Meskipun mungkin hari ini adalah terakhir kali kami bersama,
aku tetap ingin menyisakan kenangan manis di benaknya.
Aku sudah memesan
tempat di restoran kesukaannya. Setidaknya di sana nanti aku bisa sepuasnya
menggenggam tangannya. Aku aku memuaskan diri sebelum akhirnya kami benar-benar
berpisah. Kado buatnya juga sudah kusiapkan. Sebuah gelang emas dengan aksen
kristal. Tangannya yang indah akan semakin berkilau dengannya.
Koran pagi yang
belum kubaca masih tergeletak di meja. Aku meraihnya. Lagi-lagi tentang kasus
mutilasi yang sama. Di sana juga disebutkan pendapat para psikolog tentang
pelaku jika dilihat dari proses mutilasi yang dilakukan.
’Pelaku merusak wajah korban, bisa dijadikan
indikasi bahwa pelaku dan korban sebenarnya saling mengenal...’
Aku
manggut-manggut lalu merenung. Seperti apa perasaan pelaku saat melakukan semua
itu kepada orang yang dia kenal? Apa yang membuatnya bisa semarah itu? Apalagi
sampai harus memotong-motong tubuh korbannya sedemikian rupa. Ck ck ck... Tidak
terbayangkan sama sekali situasi saat itu. Aku meneruskan membaca.
’Kasus yang terakhir ini bukanlah yang pertama. Dalam
setahun belakangan sudah ada tiga kasus yang mirip, namun hingga kini polisi
tidak berhasil mengumpulkan semua bagian tubuh para korban...’
Kedua alisku sekarang
bertaut. Jadi ini kasus pembunuhan berantai? Jadi sudah bukan hanya karena
tersulut amarah, pelaku juga ketagihan memotong-motong tubuh korbannya? Korban
yang semuanya perempuan muda.
Pikiranku
melayang kepada kekasih yang sebentar lagi akan menyudahi statusnya sebagai
milikku. Perempuan muda yang selama ini sering diincar karena kemolekannya.
Semua berlomba-lomba ingin memilikinya. Ingin mencicipi madunya. Meskipun
akhirnya aku yang berhasil memenangkannya, tapi ternyata bukan aku pemenang
sejatinya. Bagaimana kalau nanti setelah dia sendiri lagi, ada laki-laki
psikopat yang mendekatinya? Dengan rayuan manis berhasil mendapatkannya lalu
setelah bosan langsung dicabik dan dipotong-potong?
'Bagian yang masih belum ditemukan adalah sepasang tangan dari masing-masing korban...'
'Bagian yang masih belum ditemukan adalah sepasang tangan dari masing-masing korban...'
Aku langsung
membanting koran itu.
***
Aku mencium kedua
pipinya dengan lembut sebelum membantunya duduk selayaknya sikap seorang gentleman lalu duduk di tempatku. Dia terlihat
sangat cantik malam ini. Entah hanya karena pencahayaan restoran yang syahdu.
Tapi kekasihku memang selalu terlihat cantik mempesona setiap kali kami
bertemu. Terlebih lagi jemari lentiknya.
Kami segera
memesan lalu tanganku langsung bersilaturahmi dengan jemarinya. Mengusap-usap
lalu meremasnya penuh kerinduan. Dia tidak menolak. Dia pasti sama denganku
yang ingin benar-benar menikmati momen ini sepenuhnya meskipun kami sama-sama
tahu setelah malam ini kami bukan lagi siapa-siapa. Kenyataan itu tidak urung
menyesakkanku.
Anggur pesanan
sudah tiba. Pelayan membantu menuangkannya ke gelas kami masing-masing. Kami
meraihnya lalu bersulang bersama. ”Selamat ulang tahun, sayangku...” bisikku.
Dia tersenyum seraya mengangguk. Musik yang mengalun syahdu semakin membuat
riak-riak di relungku bertebaran. Hatiku goyah. Makanan pesanan kami sudah tiba
dan kami menikmatinya dalam keheningan meskipun benakku riuh rendah dengan
segala pikiran aneh dan pertanyaan yang hilir mudik.
Kenapa aku
langsung mengabulkan keinginannya? Kenapa aku tidak menanyakan alasannya ingin
berpisah dariku? Dan sekarang ada psikopat gila di luar sana. Bagaimana jika
dia berhasil merayu perempuan di hadapanku ini?
”Meskipun ini
hari terakhir... Tapi karena kamu berulang tahun, aku tetap membelikanmu
hadiah.” ujarku. Dia tidak terlalu terkejut. Tentu saja. Menerima hadiah saat
kita berulang tahun adalah hal yang wajar, kan? Aku mengeluarkan kotak mungil
dari saku. Membukanya dan matanya berbinar melihat gelang yang dengan hati-hati
kusematkan di pergelangan tangannya diikuti kecupan.
”Terima kasih...
Gelangnya sangat indah...” Aku hanya tersenyum.
”Mungkin kau akan
langsung menolak, tapi aku tidak bisa jika tidak menanyakannya...” cetusku
ragu-ragu. Tapi tatapannya yang tidak menyiratkan apa pun memberiku kekuatan
untuk meneruskan, ”Apa kamu bersedia menghabiskan malam ini bersama?”
***
Udara sejuk yang
dialirkan pendingin ruangan di kamarku ini tidak mampu meredakan hawa panas
yang menguar di antara pergumulan kami. Mungkin itu pengaruh anggur yang kami
teguk lagi beberapa saat yang lalu. Aku mencecapkan lidahku ke seluruh penjuru
tubuh moleknya. Tanganku tidak melepaskan tangannya saat akhirnya kami menyatu.
Perempuan ini
memang untukku. Kami begitu pas. Tidak terpisahkan. Dibandingkan
perempuan-perempuan lain yang pernah singgah di hidupku, hanya dia yang rasanya
tidak akan pernah puas-puas kunikmati. Semua sentuhan di antara kami hanya
berisi kenikmatan yang tidak akan pernah puas kami reguk. Relungnya adalah
tempat paling hangat yang sangat enggan kutinggalkan meskipun sudah tidak
terhitung lagi banyaknya kunjunganku.
Tangan-tangan
kami semakin kencang bertautan seiring dengan lenguhan dan hentakan yang
semakin cepat. Kami akan segera tiba di sana. Melayang bersama-sama di tumpukan
awan warna-warni. Ketika akhirnya kami kembali lagi ke bumi, aku mencium bibirnya lembut. Dia tersenyum dengan gurat
kepuasan di sekujurnya.
”Aku
mencintaimu...” bisikku. Mungkin sudah terlalu terlambat mengucapkannya
sekarang. Buktinya dia tidak menjawab hanya menarikku lebih dekat ke dalam
pelukannya. Napasnya yang memburu sudah lebih tenang dan kami hanya diam
berpelukan di sana. Aku tahu tidak lama lagi dia akan terlelap. Tapi tidak
mengapa selama dia terlelap aku akan sepuasnya memandangi rautnya. Bercumbu
dengan tangannya. Karena mulai besok kami bukan siapa-siapa lagi.
Aku berguling
lalu bertelekan siku memandang rautnya yang damai dibuai mimpi. Dia memang
begitu indah. Bahkan remangnya malam tidak dapat menutupi pendarnya. Tanganku
terulur membelai wajahnya lalu mengecup matanya yang terpejam. Pandanganku lalu
beralih ke tangannya yang sekarang dihiasi gelang pemberianku. Aku meraihnya.
Mengusap-usapkan tangannya ke pipiku. Tangannya yang hangat dan lembut. Tangan
yang berlumur cinta di setiap jengkal kulitnya itu pun kuciumi. Air mataku
menitik.
Kenapa baru
sekarang aku rasakan semua sakit ini? Apakah karena waktu yang akan semakin
menipis di antara aku dan dirinya? Dengan tangan terindah yang tergolek pasrah
di genggamanku? Kenapa aku tidak menolak? Kenapa?
”Jika perpisahan
ini yang terbaik, maka aku akan mengabulkannya. Tapi aku tidak sanggup
kehilangan...” bisikku di telinganya. Ya itu adalah pengakuanku yang paling
jujur. Aku terlalu mencintai tangan indah miliknya dan sekarang aku tidak sanggup
jika dipaksa untuk berpisah.
”Aku tidak akan
menyakitimu. Aku janji. Kekasihku...”
Dia hanya
terlelap. Tidak menyahut. Tidak juga bereaksi. Tidak mengapa. Aku tidak akan
mengusiknya lagi. Dia berhak untuk bahagia dengan pilihannya sendiri. Demikian
juga aku. Kami sama-sama berhak meraih kebahagiaan kami masing-masing tanpa
harus menyakiti lagi. Dia berbeda dari perempuan-perempuan yang sebelumnya. Dia
paling istimewa dibandingkan mereka. Maka aku tidak akan menyakitinya seperti
yang lain. Dia lebih terhormat dibanding mereka.
Aku terbangun
kala fajar mulai merayap naik. Kekasihku masih terlelap. Aku bergegas
menyiapkan air hangat untuk membasuh sekujur tubuhnya. Membersihkannya dari
sisa-sisa pergumulan tadi malam sembari bersenandung lembut. Mataku menyapu
sekujur tubuhnya yang sekarang sudah bersih dengan puas.
Setelahnya aku
mengumpulkan pakaian kami yang berserakan lalu memasukkannya ke dalam kantungan
yang sudah kusiapkan. Aku membawanya keluar untuk membereskannya nanti. Merapikan
gelas berisi anggur di meja bar. Membuang sisa anggur yang masih ada bersama-sama
dengan kantung plastik mungil dengan jejak serbuk di dalamnya. Serbuk ajaib
yang kubeli kemarin. Aku hanya ingin dia terpulas di kamarku tanpa harus
meributkan waktu pulang. Dan seperti harapanku serbuk itu sangat manjur.
Buktinya hingga sekarang kekasihku masih asik terbuai mimpinya yang abadi. Aku
tersenyum lalu mengecup keningnya. Tidak bergidik dengan rasa asin dan anyir yang
menghampiri lidahku.
Ada selusin
kantung plastik berwarna hitam yang masih terlipat rapi di sisi ranjang. Jumlah
standar yang selalu kusiapkan. Pas untuk masing-masing bagian tubuhnya yang
molek, selain tangannya yang akan tetap tinggal untuk kumiliki. Mataku berbinar
penuh kebahagiaan menatap sepasang tangan indah yang sebelahnya masih berhias
gelang emas dengan aksen kristal yang tergolek diam di pangkuanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar