Aku menghenyakkan tubuh ke kursi kerjaku sembari menarik napas panjang. Mataku masih buram memandang deretan huruf di secarik kertas harum berwarna gading keemasan di tanganku. Sebuah undangan. Darinya.
***
”Aku hanya akan
memberimu kesempatan selama dua tahun. Ya. Dua tahun saja rasanya sudah cukup.
Aku tidak pernah bisa bersama seseorang lebih lama dari itu.” Untuk sesaat matanya
yang bening menatapku tak percaya. Tapi akhirnya mengerjap seolah baru
terbangun dari mimpi. Aku tersenyum.
”Kenapa hanya dua
tahun, Yan?” tanyanya. Aku mendecak tak sabar.
”Aku tidak perlu
menjelaskan. Yang terpenting sekarang adalah, kau mau menerima tawaran itu atau
tidak? Semudah itu.” Aku tahu dia tidak puas dengan kata-kataku, tapi kami
sama-sama tahu aku tidak akan mengatakan lebih dari itu.
”Hanya dua
tahun...” katanya seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Mengulangi
kata-kata itu perlahan setengah berbisik.
”Mungkin kau
butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku tidak akan mendesakmu. Kau bisa
berpikir pelan-pelan lalu memutuskan.” tandasku mengakhiri. Aku bangkit, namun langsung
tertahan.
”Aku tidak
keberatan meski hanya punya waktu dua tahun. Tapi selama dua tahun, hanya aku
yang akan mengisi relungmu. Kau tidak boleh melirik yang lain. Selama dua tahun...
Kita adalah kekasih!”
Ingin rasanya aku
terbahak mendapati raut seriusnya, tapi aku hanya ingin pembicaraan tak bermutu
ini berakhir. Maka aku pun mengangguk mengiyakan semua syarat itu dan sebagai
balasannya dia menghadiahiku senyum yang paling manis. Senyum lugu yang sempat
kukira tidak akan kutemui lagi.
Kenapa hanya dua
tahun?
Aku hampir tidak
dapat menghitung hubungan yang kujalin, dan prestasiku untuk bertahan paling
lama adalah dua tahun. Tidak jarang hubungan itu harus gugur meski baru hitungan
bulan. Lenyap tak berbekas dari relungku. Entah siapa yang harus disalahkan,
tapi seiring waktu aku jadi benar-benar yakin bahwa apa pun memiliki masa
berlaku. Ketika masanya berakhir, maka aku merasa tidak perlu berusaha keras
untuk mempertahankannya. Aku hanya akan memandanginya berlalu tanpa harus
bersusah payah menyesalinya. Semua kulalui dalam siklus yang sama. Dan dengan
cara itu pula aku bisa bertahan hingga sekarang.
Dan itu tidak
akan ada bedanya sekarang. Dengannya.
Namanya Ning. Dengan segala
keluguannya. Kebeningan matanya yang sempat menghanyutkan. Tingkahnya yang
polos seperti anak-anak. Keceriaannya yang alami dan tidak dibuat-buat. Dan
juga keberaniannya yang cenderung nekad karena mau berurusan denganku meskipun dia
bisa melihat dengan jelas jenis kehidupan yang kulalui selama ini.
Meskipun dalam
segala kesiapan dan kepasrahannya itu dia begitu buta tentang dunia yang dia
masuki. Dunia asing penuh intrik dan kebusukan yang mungkin belum terendus
hidungnya. Dan aku? Aku tidak merasa perlu menjelaskan apa pun kepadanya.
Karena di lubuk yang terdalam aku yakin dia juga akan gugur sebelum waktunya
dan aku pun kembali sendiri.
Tapi
sejelek-jeleknya aku, tidak sekalipun terbersit niat untuk mengingkari
perjanjian kami. Aku akan tetap menepati dan memenuhi keinginannya untuk
menjadi satu-satunya orang yang mengisi relungku hingga masa dua tahun
berakhir. Dia akan menjadi satu-satunya kekasihku, sesuai keinginannya.
Ning memang tidak
pernah berusaha membatasi pergaulanku, namun aku memastikan diriku akan tetap
kembali padanya. Ning juga tidak ngotot ingin tinggal bersama di rumahku
seperti mantan-mantanku yang meskipun awalnya tidak mengekang pada akhirnya
mereka ingin mencampuri dan mengatur segala segitu kehidupanku. Ning mungkin memang
berbeda.
Ada kalanya aku akan
merindukan keberadaannya saat sedang terbaring sendirian di kamarku yang
dingin. Merindukan harum rambutnya yang semakin akrab dengan kuncup-kuncup
indera pembauku. Merindukan keriapan semangat di matanya yang jernih tanpa
prasangka. Merindukan sepasang lengannya yang merangkulku. Merindukan semua
tentangnya...
***
Bibir kami
terpisah menyisakan untaian tipis nyaris tak kasat mata di ujung-ujungnya. Ning
menatapku syahdu dan pasrah. Tergolek terlentang di bawahku dengan latar sprei
satin berwarna merah di ranjangku. Aku kembali menghampirinya dan bibir kami
kembali bertemu. Mengulum segala kelembutannya tanpa bosan dan letih. Menyusuri
rongga-rongga lebih dalam menjemput lenguhan tertahan di ujungnya.
Paru-paruku
nyaris meledak ketika akhirnya kami kembali berpisah dalam engah. Telapak
tanganku menyusuri raut lembutnya yang entah bagaimana ikut menggelitik
relungku. Aku mengecup kedua belah pipinya.
”Bermalamlah di
sini...” bisikku. Kedua lengannya merangkulku. Menarikku lebih dekat. Semua itu
aku yakin adalah jawabannya atas keinginanku.
Malam itu adalah
pertama kali bagi Ning mencicipi kenikmatan dunia yang meskipun mungkin sudah
sering kurasakan, entah kenapa terasa beda bersamanya. Dalam kepasrahannya dia
terlihat begitu berkuasa. Dalam kebutaannya dia tahu harus melangkah kemana.
Dalam kepolosannya dia terlihat berkilau. Membuatku begitu tergila-gila untuk
mencecap setiap tetes madu yang keluar dari jutaan pori-pori di sekujurnya
tanpa sisa. Membuatku ketagihan atas manisnya kepasrahan saat kami akhirnya
menyatu, bersama-sama mendaki undakan-undakan yang ada menuju puncak. Puncak
yang begitu licin yang akan membuatku tergelincir kapanpun.
Namun aku selamat
menggapainya. Ada Ning bersamaku.
Setelahnya kami
menjalani hari-hari yang lebih manis dari sebelumnya. Namun Ning tetaplah Ning.
Tidak berupaya menghambat atau mengurungku dalam jemarinya. Dia membiarkanku
bebas untuk kembali lagi padanya. Dan aku selalu memenuhi janjiku untuk pulang,
tak singgah kemana pun.
Aku sudah begitu
terbiasa dengan keberadaannya. Aku tidak lagi terbiasa dengan rumahku yang
kosong tanpanya. Aku hanya menginginkan Ning di segala penjuru rumahku, mengisi
kekosongannya yang dingin dengan kehangatan.
”Tinggallah
bersamaku, Ning.” bisikku ke sela-sela rambutnya yang lembab berkeringat.
Menghirup aroma surgawi yang samar-samar menguar dari sana.
”Kenapa, Yan?
Bukankah selama ini tidak ada masalah kita tidak tinggal bersama?” Dia malah balik
bertanya. Aku terdiam sejurus. Namun akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan
yang sebenarnya.
”Rumahku kosong
tanpamu. Aku tidak suka...”
Tatapan kami
masih saling mengunci dan aku bisa melihat berkas itu kembali berkeriapan di
sana. Entah itu di matanya atau di mataku. Tak ada lagi bedanya. Waktu seolah
berhenti, berganti debar jantungku menantikan jawabannya. Namun seulas senyum
diikuti kecupan di daguku sudah cukup bagiku.
Setelahnya
rumahku memang menjadi lebih hangat dan membuatku lebih betah berlama-lama di
dalamnya. Beberapa temanku malah sangat heran dengan perubahan itu. Aku yang mereka
kenal selama ini akan lebih memilih berlama-lama di klab ketimbang ngendon di
rumah. Tapi rumahku sudah tidaklah sama. Ada Ning di sana. Ada kehangatan dan
pendar kehidupan di setiap pojoknya sekarang. Dan semua itu menarikku mendekat. Membuatku melupakan semuanya.
Bahkan waktu.
”Minggu depan
sudah genap dua tahun kita bersama.” cetus Ning lembut. Usapanku di pundaknya
terhenti. Dan saat itu aku sangat berharap waktu juga ikut berhenti, membekukan
kami yang masih berpendar di dalam kebahagiaan.
Meski hanya
sedikit lebih lama lagi.
***
Aku pulang
mendapati rumah kosong tanpa kehidupan. Di tengah keremangan aku meletak tas
kerjaku di meja, melepas sepatuku lalu berjalan malas-malasan ke pantry menuangkan segelas air putih lalu
meneguknya dalam keheningan. Keheningan yang belakangan semakin kuat sehingga
perlahan mulai menulikanku.
Ning tidak ada.
Dan kenyataan itu
mendadak melumpuhkanku. Membuatku kesulitan bernapas terhimpit oleh tangis yang
semakin menjepit. Tangis yang sudah kutahan selama beberapa waktu. Tangis yang
begitu mahal kutumpahkan meskipun aku tahu menumpahkannya adalah yang terbaik
buatku. Buat kami. Aku dan Ning.
Aku tidak ingin
Ning pergi.
Apa yang
mencegahku mengucapkan kata-kata itu? Menyampaikan keinginanku yang
sebenar-benarnya? Aku tidak akan menyalahkan apa pun selain egoku yang kelewat
besar. Ego yang entah sejak kapan sudah kepelihara sebegitu baiknya sehingga
menggerogoti hingga relungku yang terdalam.
Ego yang begitu
tinggi dan kokoh memisahkanku dari keinginanku yang sebenarnya. Ego yang
berubah menjadi topeng ketidak pedulian bahkan saat Ning menyampaikan keinginan
keluarga agar dia segera menikah dengan pria yang memang sudah sejak lama
dijodohkan dengannya. Ego yang menampilkan senyum palsu sembari mengucapkan selamat
berbahagia padanya.
Semua hanya untuk
mengingkari kenyataan bahwa setelah sekian lama, aku masih belum cukup puas
dengan waktu yang telah kami habiskan bersama. Bahwa jika dimungkinkan aku
tidak ingin hanya dua tahun bersamanya. Bahwa setelah sekian lama berkelana
sendirian, aku sekarang tahu ingin meneruskan perjalanan dengan siapa.
Aku membuka tas
kerjaku, meraih kertas berwarna gading yang bertuliskan nama lengkapnya dan
pria yang menjadi pendampingnya. Diikuti tanggal pasti mereka mengikat janji dan
lokasinya. Lalu menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya setelah
berakhirnya masak waktu kami, pikiranku sejernih ini.
Aku meraih ponsel
lalu menekan-nekan nomornya yang meskipun sudah kuhapus tetap bisa kuingat
dengan jelas. Menunggu beberapa saat sebelum panggilanku tersambung.
”Halo?” Dadaku
nyaris meletus ketika mendengar suara yang sudah beberapa waktu ini kurindukan.
”Ning... Ini
aku.” sahutku. Dia terdiam sejurus.
”Ada apa
menelepon, Yan? Dua tahun kita...”
”Aku tahu.”
potongku cepat seolah tidak ingin kehilangan sesuatu entah apa. Dia akhirnya
diam, menanti kata-kataku selanjutnya.
”Aku tahu mungkin
sudah terlambat, tapi... Aku ternyata tidak bisa tanpamu, Ning. Aku tahu ini
mungkin terdengar tolol, tapi bisakah meski untuk yang terakhir kali kita
bertemu? Bisakah kamu ke rumahku sekarang?” Jantungku berdegub usai mengucapkan
semua itu.
”Setengah jam
lagi aku tiba...” ujarnya melegakanku.
Pembicaraan usai
menyisakan denyar-denyar di sekujurku. Ning akan datang. Aku harus
bersiap-siap. Dengan bersemangat aku mengeluarkan anggur yang kami nikmati
berdua saat peringatan setahun bersama. Menuangkannya di dua gelas kristal dan
menyusunnya dengan manis di meja.
Aku menatap
bungkusan mungil berisi serbuk di tanganku, membukanya perlahan dan menuangkan
isinya setengah di gelas yang satu, sisanya di gelas yang lain. Dengan ini aku
memperbarui kontrak kami. Bukan lagi dengan tahun-tahun dunia yang begitu fana
karena setelah ini kami tidak akan terpisah lagi.
Selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar