Jumat, 27 Juli 2012

Cerpen : Kontrak


Aku menghenyakkan tubuh ke kursi kerjaku sembari menarik napas panjang. Mataku masih buram memandang deretan huruf di secarik kertas harum berwarna gading keemasan di tanganku. Sebuah undangan. Darinya.

***
”Aku hanya akan memberimu kesempatan selama dua tahun. Ya. Dua tahun saja rasanya sudah cukup. Aku tidak pernah bisa bersama seseorang lebih lama dari itu.” Untuk sesaat matanya yang bening menatapku tak percaya. Tapi akhirnya mengerjap seolah baru terbangun dari mimpi. Aku tersenyum.

”Kenapa hanya dua tahun, Yan?” tanyanya. Aku mendecak tak sabar.
”Aku tidak perlu menjelaskan. Yang terpenting sekarang adalah, kau mau menerima tawaran itu atau tidak? Semudah itu.” Aku tahu dia tidak puas dengan kata-kataku, tapi kami sama-sama tahu aku tidak akan mengatakan lebih dari itu.
”Hanya dua tahun...” katanya seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Mengulangi kata-kata itu perlahan setengah berbisik.
”Mungkin kau butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku tidak akan mendesakmu. Kau bisa berpikir pelan-pelan lalu memutuskan.” tandasku mengakhiri. Aku bangkit, namun langsung tertahan.

”Aku tidak keberatan meski hanya punya waktu dua tahun. Tapi selama dua tahun, hanya aku yang akan mengisi relungmu. Kau tidak boleh melirik yang lain. Selama dua tahun... Kita adalah kekasih!”

Ingin rasanya aku terbahak mendapati raut seriusnya, tapi aku hanya ingin pembicaraan tak bermutu ini berakhir. Maka aku pun mengangguk mengiyakan semua syarat itu dan sebagai balasannya dia menghadiahiku senyum yang paling manis. Senyum lugu yang sempat kukira tidak akan kutemui lagi.

Kenapa hanya dua tahun?

Aku hampir tidak dapat menghitung hubungan yang kujalin, dan prestasiku untuk bertahan paling lama adalah dua tahun. Tidak jarang hubungan itu harus gugur meski baru hitungan bulan. Lenyap tak berbekas dari relungku. Entah siapa yang harus disalahkan, tapi seiring waktu aku jadi benar-benar yakin bahwa apa pun memiliki masa berlaku. Ketika masanya berakhir, maka aku merasa tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankannya. Aku hanya akan memandanginya berlalu tanpa harus bersusah payah menyesalinya. Semua kulalui dalam siklus yang sama. Dan dengan cara itu pula aku bisa bertahan hingga sekarang.

Dan itu tidak akan ada bedanya sekarang. Dengannya.

Namanya Ning. Dengan segala keluguannya. Kebeningan matanya yang sempat menghanyutkan. Tingkahnya yang polos seperti anak-anak. Keceriaannya yang alami dan tidak dibuat-buat. Dan juga keberaniannya yang cenderung nekad karena mau berurusan denganku meskipun dia bisa melihat dengan jelas jenis kehidupan yang kulalui selama ini.

Meskipun dalam segala kesiapan dan kepasrahannya itu dia begitu buta tentang dunia yang dia masuki. Dunia asing penuh intrik dan kebusukan yang mungkin belum terendus hidungnya. Dan aku? Aku tidak merasa perlu menjelaskan apa pun kepadanya. Karena di lubuk yang terdalam aku yakin dia juga akan gugur sebelum waktunya dan aku pun kembali sendiri.

Tapi sejelek-jeleknya aku, tidak sekalipun terbersit niat untuk mengingkari perjanjian kami. Aku akan tetap menepati dan memenuhi keinginannya untuk menjadi satu-satunya orang yang mengisi relungku hingga masa dua tahun berakhir. Dia akan menjadi satu-satunya kekasihku, sesuai keinginannya.

Ning memang tidak pernah berusaha membatasi pergaulanku, namun aku memastikan diriku akan tetap kembali padanya. Ning juga tidak ngotot ingin tinggal bersama di rumahku seperti mantan-mantanku yang meskipun awalnya tidak mengekang pada akhirnya mereka ingin mencampuri dan mengatur segala segitu kehidupanku. Ning mungkin memang berbeda.

Ada kalanya aku akan merindukan keberadaannya saat sedang terbaring sendirian di kamarku yang dingin. Merindukan harum rambutnya yang semakin akrab dengan kuncup-kuncup indera pembauku. Merindukan keriapan semangat di matanya yang jernih tanpa prasangka. Merindukan sepasang lengannya yang merangkulku. Merindukan semua tentangnya...

***
Bibir kami terpisah menyisakan untaian tipis nyaris tak kasat mata di ujung-ujungnya. Ning menatapku syahdu dan pasrah. Tergolek terlentang di bawahku dengan latar sprei satin berwarna merah di ranjangku. Aku kembali menghampirinya dan bibir kami kembali bertemu. Mengulum segala kelembutannya tanpa bosan dan letih. Menyusuri rongga-rongga lebih dalam menjemput lenguhan tertahan di ujungnya.

Paru-paruku nyaris meledak ketika akhirnya kami kembali berpisah dalam engah. Telapak tanganku menyusuri raut lembutnya yang entah bagaimana ikut menggelitik relungku. Aku mengecup kedua belah pipinya.
”Bermalamlah di sini...” bisikku. Kedua lengannya merangkulku. Menarikku lebih dekat. Semua itu aku yakin adalah jawabannya atas keinginanku.

Malam itu adalah pertama kali bagi Ning mencicipi kenikmatan dunia yang meskipun mungkin sudah sering kurasakan, entah kenapa terasa beda bersamanya. Dalam kepasrahannya dia terlihat begitu berkuasa. Dalam kebutaannya dia tahu harus melangkah kemana. Dalam kepolosannya dia terlihat berkilau. Membuatku begitu tergila-gila untuk mencecap setiap tetes madu yang keluar dari jutaan pori-pori di sekujurnya tanpa sisa. Membuatku ketagihan atas manisnya kepasrahan saat kami akhirnya menyatu, bersama-sama mendaki undakan-undakan yang ada menuju puncak. Puncak yang begitu licin yang akan membuatku tergelincir kapanpun.

Namun aku selamat menggapainya. Ada Ning bersamaku.

Setelahnya kami menjalani hari-hari yang lebih manis dari sebelumnya. Namun Ning tetaplah Ning. Tidak berupaya menghambat atau mengurungku dalam jemarinya. Dia membiarkanku bebas untuk kembali lagi padanya. Dan aku selalu memenuhi janjiku untuk pulang, tak singgah kemana pun.

Aku sudah begitu terbiasa dengan keberadaannya. Aku tidak lagi terbiasa dengan rumahku yang kosong tanpanya. Aku hanya menginginkan Ning di segala penjuru rumahku, mengisi kekosongannya yang dingin dengan kehangatan.
”Tinggallah bersamaku, Ning.” bisikku ke sela-sela rambutnya yang lembab berkeringat. Menghirup aroma surgawi yang samar-samar menguar dari sana.
”Kenapa, Yan? Bukankah selama ini tidak ada masalah kita tidak tinggal bersama?” Dia malah balik bertanya. Aku terdiam sejurus. Namun akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.
”Rumahku kosong tanpamu. Aku tidak suka...”

Tatapan kami masih saling mengunci dan aku bisa melihat berkas itu kembali berkeriapan di sana. Entah itu di matanya atau di mataku. Tak ada lagi bedanya. Waktu seolah berhenti, berganti debar jantungku menantikan jawabannya. Namun seulas senyum diikuti kecupan di daguku sudah cukup bagiku.

Setelahnya rumahku memang menjadi lebih hangat dan membuatku lebih betah berlama-lama di dalamnya. Beberapa temanku malah sangat heran dengan perubahan itu. Aku yang mereka kenal selama ini akan lebih memilih berlama-lama di klab ketimbang ngendon di rumah. Tapi rumahku sudah tidaklah sama. Ada Ning di sana. Ada kehangatan dan pendar kehidupan di setiap pojoknya sekarang. Dan semua itu menarikku  mendekat. Membuatku melupakan semuanya. Bahkan waktu.

”Minggu depan sudah genap dua tahun kita bersama.” cetus Ning lembut. Usapanku di pundaknya terhenti. Dan saat itu aku sangat berharap waktu juga ikut berhenti, membekukan kami yang masih berpendar di dalam kebahagiaan.

Meski hanya sedikit lebih lama lagi.

***
Aku pulang mendapati rumah kosong tanpa kehidupan. Di tengah keremangan aku meletak tas kerjaku di meja, melepas sepatuku lalu berjalan malas-malasan ke pantry menuangkan segelas air putih lalu meneguknya dalam keheningan. Keheningan yang belakangan semakin kuat sehingga perlahan mulai menulikanku.

Ning tidak ada.

Dan kenyataan itu mendadak melumpuhkanku. Membuatku kesulitan bernapas terhimpit oleh tangis yang semakin menjepit. Tangis yang sudah kutahan selama beberapa waktu. Tangis yang begitu mahal kutumpahkan meskipun aku tahu menumpahkannya adalah yang terbaik buatku. Buat kami. Aku dan Ning.

Aku tidak ingin Ning pergi.

Apa yang mencegahku mengucapkan kata-kata itu? Menyampaikan keinginanku yang sebenar-benarnya? Aku tidak akan menyalahkan apa pun selain egoku yang kelewat besar. Ego yang entah sejak kapan sudah kepelihara sebegitu baiknya sehingga menggerogoti hingga relungku yang terdalam.

Ego yang begitu tinggi dan kokoh memisahkanku dari keinginanku yang sebenarnya. Ego yang berubah menjadi topeng ketidak pedulian bahkan saat Ning menyampaikan keinginan keluarga agar dia segera menikah dengan pria yang memang sudah sejak lama dijodohkan dengannya. Ego yang menampilkan senyum palsu sembari mengucapkan selamat berbahagia padanya.

Semua hanya untuk mengingkari kenyataan bahwa setelah sekian lama, aku masih belum cukup puas dengan waktu yang telah kami habiskan bersama. Bahwa jika dimungkinkan aku tidak ingin hanya dua tahun bersamanya. Bahwa setelah sekian lama berkelana sendirian, aku sekarang tahu ingin meneruskan perjalanan dengan siapa.

Aku membuka tas kerjaku, meraih kertas berwarna gading yang bertuliskan nama lengkapnya dan pria yang menjadi pendampingnya. Diikuti tanggal pasti mereka mengikat janji dan lokasinya. Lalu menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya setelah berakhirnya masak waktu kami, pikiranku sejernih ini.

Aku meraih ponsel lalu menekan-nekan nomornya yang meskipun sudah kuhapus tetap bisa kuingat dengan jelas. Menunggu beberapa saat sebelum panggilanku tersambung.

”Halo?” Dadaku nyaris meletus ketika mendengar suara yang sudah beberapa waktu ini kurindukan.
”Ning... Ini aku.” sahutku. Dia terdiam sejurus.
”Ada apa menelepon, Yan? Dua tahun kita...”
”Aku tahu.” potongku cepat seolah tidak ingin kehilangan sesuatu entah apa. Dia akhirnya diam, menanti kata-kataku selanjutnya.

”Aku tahu mungkin sudah terlambat, tapi... Aku ternyata tidak bisa tanpamu, Ning. Aku tahu ini mungkin terdengar tolol, tapi bisakah meski untuk yang terakhir kali kita bertemu? Bisakah kamu ke rumahku sekarang?” Jantungku berdegub usai mengucapkan semua itu.
”Setengah jam lagi aku tiba...” ujarnya melegakanku.

Pembicaraan usai menyisakan denyar-denyar di sekujurku. Ning akan datang. Aku harus bersiap-siap. Dengan bersemangat aku mengeluarkan anggur yang kami nikmati berdua saat peringatan setahun bersama. Menuangkannya di dua gelas kristal dan menyusunnya dengan manis di meja.

Aku menatap bungkusan mungil berisi serbuk di tanganku, membukanya perlahan dan menuangkan isinya setengah di gelas yang satu, sisanya di gelas yang lain. Dengan ini aku memperbarui kontrak kami. Bukan lagi dengan tahun-tahun dunia yang begitu fana karena setelah ini kami tidak akan terpisah lagi.

Selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar