Senin, 09 Juli 2012

Flash : Bunga yang kukalungkan ini...


Aku menyematkan anggrek putih di sela telingaku. Menatap bayanganku dengan penuh percaya diri, mengacuhkan kasak-kusuk di sekitarku lalu keluar melewati rombongan yang sedari tadi mengikuti gerak-gerikku dengan rasa iri. Koordinator menemuiku lalu memberi wajangan terakhir. Wejangan yang lebih bersifat formalitas belaka karena gladi resik sudah kami lalui dengan sempurna. Tapi aku tidak akan menyalahkannya. Bukan hanya dirinya. Aku juga tetap gugup menanti saat itu tiba.

Terdengar pengumuman bahwa tamu yang kami nantikan sudah tiba. Maka aku dan teman-temanku segera mengambil posisi masing-masing sesuai dengan instruksi yang sudah diberikan. Aku berdiri paling depan dengan kalungan bunga paling indah teruntuk tamu agung yang kami nantikan.

Sekujurku berdenyar penuh pengharapan dan sukacita. Mataku menatap kalungan bunga di tanganku. Kalungan bunga yang sesaat lagi akan kukalungkan dengan anggun di lehernya. Bisa kubayangkan berapa pasang mata yang akan menjadikan kami pusat perhatian. Berapa banyak kilatan blitz kamera yang akan menjilati tubuh kami. Fotoku dan tamu agung pasti akan menghiasi halaman pertama suratkabar ternama.

Bunga-bunga yang terjalin rapi serupa kalung ini bukanlah bunga biasa. Bunga ini aku yang merangkainya sendiri. Masing-masing berisi kisah yang tidak biasa. Masing-masing adalah saksi perjalananku hingga akhirnya terpilih untuk berdiri di tempat ini.

Bunga-bunga ini yang mendengar setiap rintih dan desah yang terlontar dari sela-sela mulutku bulan lalu di ranjang koordinator. Tubuh beliaku berkali-kali dengan pasrah menerima hunjamannya. Dengan segala kerelaan untuk menuntaskan nafsunya. Hanya demi posisi ini.

Bunga-bunga ini yang menjadi saksi air mata yang kuteteskan setiap kali mengingat kedua orang tuaku yang terbunuh lima tahun yang lalu. Orang tuaku yang dicap sebagai pemberontak dan provokator oleh para penguasa. Air mata yang mungkin sudah kering sejak aku dipaksa meninggalkan kampungku sebagai yang terbuang.

Bunga-bunga ini yang menjadi saksi janji-janji dan harapan-harapan mereka yang meyakinkanku bahwa di pundakku inilah harapan mereka tergantung. Bahwa hanya akulah satu-satunya orang yang bisa merubah semuanya. Bahwa hanya akulah yang bisa memberikan kebebasan yang mereka idam-idamkan.

Tatapan kami bertemu. Senyum yang menghiasi rautku langsung terpantul di wajahnya. Aku melangkah menghampirinya yang sekarang berdiri dengan kepala setengah menunduk. Kedua lenganku terangkat. Kalung bungaku yang indah terayun lembut berpindah dari tanganku ke lehernya.

Bunga-bunga yang kukalungkan ini bukanlah bunga biasa. Mereka sama sepertiku. Dibesarkan dan diharumkan oleh dendam dan derita menahun. Tapi semua itu akan berakhir. Tidak lama lagi.

Setelah detik-detik itu berhenti menghitung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar