Aku menyematkan anggrek putih di sela telingaku. Menatap bayanganku dengan penuh percaya diri, mengacuhkan kasak-kusuk di sekitarku lalu keluar melewati rombongan yang sedari tadi mengikuti gerak-gerikku dengan rasa iri. Koordinator menemuiku lalu memberi wajangan terakhir. Wejangan yang lebih bersifat formalitas belaka karena gladi resik sudah kami lalui dengan sempurna. Tapi aku tidak akan menyalahkannya. Bukan hanya dirinya. Aku juga tetap gugup menanti saat itu tiba.
Terdengar
pengumuman bahwa tamu yang kami nantikan sudah tiba. Maka aku dan teman-temanku
segera mengambil posisi masing-masing sesuai dengan instruksi yang sudah
diberikan. Aku berdiri paling depan dengan kalungan bunga paling indah teruntuk
tamu agung yang kami nantikan.
Sekujurku
berdenyar penuh pengharapan dan sukacita. Mataku menatap kalungan bunga di
tanganku. Kalungan bunga yang sesaat lagi akan kukalungkan dengan anggun di
lehernya. Bisa kubayangkan berapa pasang mata yang akan menjadikan kami pusat
perhatian. Berapa banyak kilatan blitz
kamera yang akan menjilati tubuh kami. Fotoku dan tamu agung pasti akan
menghiasi halaman pertama suratkabar ternama.
Bunga-bunga yang
terjalin rapi serupa kalung ini bukanlah bunga biasa. Bunga ini aku yang
merangkainya sendiri. Masing-masing berisi kisah yang tidak biasa.
Masing-masing adalah saksi perjalananku hingga akhirnya terpilih untuk berdiri
di tempat ini.
Bunga-bunga ini
yang mendengar setiap rintih dan desah yang terlontar dari sela-sela mulutku
bulan lalu di ranjang koordinator. Tubuh beliaku berkali-kali dengan pasrah
menerima hunjamannya. Dengan segala kerelaan untuk menuntaskan nafsunya. Hanya
demi posisi ini.
Bunga-bunga ini
yang menjadi saksi air mata yang kuteteskan setiap kali mengingat kedua orang
tuaku yang terbunuh lima tahun yang lalu. Orang tuaku yang dicap sebagai
pemberontak dan provokator oleh para penguasa. Air mata yang mungkin sudah
kering sejak aku dipaksa meninggalkan kampungku sebagai yang terbuang.
Bunga-bunga ini
yang menjadi saksi janji-janji dan harapan-harapan mereka yang meyakinkanku
bahwa di pundakku inilah harapan mereka tergantung. Bahwa hanya akulah
satu-satunya orang yang bisa merubah semuanya. Bahwa hanya akulah yang bisa
memberikan kebebasan yang mereka idam-idamkan.
Tatapan kami
bertemu. Senyum yang menghiasi rautku langsung terpantul di wajahnya. Aku
melangkah menghampirinya yang sekarang berdiri dengan kepala setengah menunduk.
Kedua lenganku terangkat. Kalung bungaku yang indah terayun lembut berpindah dari
tanganku ke lehernya.
Bunga-bunga yang
kukalungkan ini bukanlah bunga biasa. Mereka sama sepertiku. Dibesarkan dan
diharumkan oleh dendam dan derita menahun. Tapi semua itu akan berakhir. Tidak
lama lagi.
Setelah
detik-detik itu berhenti menghitung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar