Senin, 09 Juli 2012

Cerpen : LiLa


Malam sudah beranjak jauh, beberapa lampu di kafe itu juga sudah dipadamkan. Tapi di pojokan, di sofa yang diisi empat orang perempuan masih terlihat gegap gempita seolah hari baru marayap menjelang sore. Cangkir dan gelas mereka juga sudah kosong. Yang tersisa di piring-piring mereka hanyalah remah yang turut dibagi sebagian ke taplak putih bersih.

Para kru kafe yang sudah bersiap-siap mau merapikan tempat itu, masih menunggu meski pastinya dengan kesabaran yang semakin menipis. Mereka tidak boleh mengusir tamu, meskipun hanya tinggal seorang. Yang mereka butuhkan adalah pengertian dari para tamu terakhir di pojokan itu.

Seolah tersadar dari mimpi, salah seorang tamu akhirnya melambai dan meminta tagihan. Setelah membayar mereka pun akhirnya bangkit dan meninggalkan kafe itu diikuti senyum dan ucapan terima kasih karena tips besar yang mereka tinggalkan. Cukup pantas untuk mengembalikan kesabaran para kru ke posisi awal.

Keempat perempuan itu masuk ke dalam mobil dan melaju santai meninggalkan pelataran parkir yang sepi bergabung dengan kendaraan lain di jalanan. Ternyata obrolan masih dilanjutkan di jalan. Ke empat perempuan itu menamakan grup mereka LiLa sesuai dengan inisial awal nama mereka masing-masing, Liana, Linda, Lanny dan Laras.

”Nah, trus gimana tadi urusan kamu ke PT, Lan?” Yang ditanya hanya memberengut. Padahal dia sudah wanti-wanti dan berdoa dalam hati agar topik itu tidak ikutan dibahas. Taunya Linda si mulut ember udah nyerocos duluan.
”Lah emang kenapa Lan? Bikin salah apa lagi?” Laras langsung menimpali. Liana yang mengemudi tidak buka suara, hanya memasang kuping mendengarkan.
”Ya gitu deh... Cuma karena salah paham deadline. Aku kelupaan karena ada proyek lain yang berdekatan. Tau deh, males dibahas lagi.” sahutnya ketus.
”Halah gak harus cemberut gitu juga. Toh bukan kali ini aja si PT itu bikin kesel kan? Tau deh entah makan apa dia sampe bisa ngeselin sebegitunya.” cerosos Linda diikuti tawa yang lain.

”Yah maklum ajalah... Udah umur segitu masih single. Udah ramuan biasa tuh. Umur merangkak naik, sifat malah merosot turun.” Laras mengedipkan mata. Lanny akhirnya menyunggingkan sedikit senyum.
”Nggak kebayang deh laki-laki gimana yang bisa sabar menghadapi si PT itu.” cecar Linda lagi.
”Pastinya gak jauh-jauh dari Ian deh sifatnya. Sabaaarrr ngadepin kamu.” Akhirnya Liana buka suara dan tawa membahana semakin keras. Yang disindir langsung mengacungkan tinju ke spion.

Ya setidaknya seminggu sekali mereka berempat pasti akan berkumpul. Kebetulan mereka bekerja di perusahaan yang sama, bahkan masuk pada waktu yang berdekatan sehingga langsung cepat menjalin keakraban. Meskipun awalnya mereka ditempatkan di divisi yang berlainan, akhirnya sekarang mereka bertemu di divisi yang sama dan memiliki atasan yang sama pula. PT singkatan dari Perawan Tua. Terlepas yang diberi julukan itu masih perawan atau tidak lagi, tapi LiLa sudah sepakat untuk menghadiahkan nickname itu buat atasan mereka, setidaknya bisa membicarakan yang bersangkutan dengan lebih santai.

Linda yang bawel juga sudah menikah dengan pria yang sangat penyabar. Terlebih lagi dengan segala kebawelannya Ian, suaminya itu masih tetap bisa meredamnya. Setelah lima tahun tanpa kehadiran buah hati, tahun ini dia berencana memiliki momongan dan rumah sendiri, karena sudah tidak betah lagi tinggal di Pondok Mertua Indah. Anggota LiLa sering meledek kalau dia masih terus bawel suaminya bisa terbang ke pelukan perempuan lain. Sebuah senjata ampuh terlebih lagi ketika dia sedang kumat bawelnya, ledekan itu bisa langsung membungkamnya.

Jika Linda bawel, maka Liana justru kebalikannya. Perempuan lajang itu sangat tenang pembawaannya meskipun tak jarang sekali bicara akan langsung menohok lawannya. Tak peduli laki-laki atau perempuan, tua atau muda semua ditebas. Sering diledek pilih-pilih pasangan sehingga masih menjomblo sampai sekarang, namun meskipun menjomblo, kehidupannya terbilang sangat mapan karena latar belakang keluarganya yang cukup terpandang. Untuk mengisi kekosongan dia berencana melanjutkan pendidikannya.

Lanny yang anggun sudah menikah dengan seorang bankir senior yang sudah sangat mapan. Kehadiran sepasang buah hati sudah melengkapi kebahagiaannya. Bekerja baginya hanyalah untuk mengisi waktu luang agar tidak dilanda kebosanan sendiri di rumah. Anggota LiLa yang lain sering bercanda, gajinya hanya untuk membeli camilan di rumah karena melihat kondisinya pastinya dia tidak butuh pekerjaan itu. Cukup bersantai di rumah, dia tidak akan kekurangan apa pun.

Laras adalah anggota LiLa yang paling junior, namun sikapnya justru jauh lebih dewasa ketimbang anggota yang lain. Keluarganya terbilang sederhana dan Laras harus berperan sebagai tulang punggung menggantikan ayahnya yang sudah tidak mampu bekerja lagi. Laras berhati lembut dan mudah merasa empati kepada orang lain. Banyak laki-laki yang mendekat tapi dia selalu menghindar dengan beragam alasan khususnya yang menyangkut keluarganya.

”Omong-omong kalo si PT itu manis ajah dikit, bisa join tuh ke grup kita. Masuk juga tuh. Namanya kan Lasma.” celetuk Linda lagi.
”Idih, serius mau ngajak dia gabung? Ada-ada aja kamu.” Lanny langsung menghadiahinya jeweran diikuti tawa yang lain.
”Yah kan kalo dia gak segalak sekarang gituh... Gak ada salahnya juga. Iya kan, Na?”
”Kok nanya ke aku? Kamu yang mau ngajak dia kok.”
”Itu kan misalnyaaa... Ah pada gak rame deh.”
”Dah nyampe tempat kamu nih, Lan...” Liana menepikan mobilnya di depan bangunan indah berpagar tinggi. Lanny pun turun. Melambai dan mobil pun berlalu.

Sepeninggal teman-temannya dia membuka pagar lalu melangkah gontai masuk ke dalam rumah. Melepas sepatunya lalu melempar tasnya sembarangan di atas meja. Tinggal dia sendirian yang mendiami rumahnya sekarang. Kedua buah hatinya sedang dititipkan ke rumah orang tuanya.

Dia masuk ke kamar. Memandang tanpa minat ke arah deretan koper-koper besar yang sudah tersusun rapi. Secarik amplop berisi tiket untuknya dan kedua buah hatinya juga sudah siap. Besok mereka akan pergi meninggalkan negara ini, menyusul suaminya yang sudah pergi lebih dulu. Dia duduk tepekur di ranjang. Mendesah. Dia bahkan tidak mengucapkan apa pun kepada sahabat-sahabatnya. Ucapan selamat tinggal...

Linda yang duduk di jok belakang mencondongkan tubuhnya ke depan. ”Kalian udah dengar kabar, blom? Gosipnya kan suami Lanny itu lagi kabur ke luar negeri. Menggelapkan uang perusahaan deh kayaknya.” ujarnya penuh rahasia.
”Ah, yang bener? Yah, emang sih suaminya itu udah lama jadi Account Manager di Bank ABC, tapi menggelapkan uang? Wah...” Laras dan Liana saling pandang.
”Maka itu... Malah pake acara kabur sgala. Nggak mikir keluarga banget kan?” cerocos Linda lagi lebih bersemangat.
”Wah, kasian Lanny dong kalo begitu...” cetus Laras.
”Iyah. Blom lagi rumahnya yang gede itu bisa-bisa disita juga lho...”
”Pantesan jadi berkasus ama si PT. Dia pasti lagi stress makanya jadi salah deadline. Tapi kenapa dia nggak ngomong-ngomong yah?” timpal Laras.
”Nggak mungkin dong! Bisa-bisa jatuh gengsi dia. Kan selama ini dia selalu heboh soal merek terkenal dan jalan-jalan ke luar negerinya. Kalo ketauan lagi ada masalah gituh, bisa jatuh pamornya dong...!” Linda semakin berapi-api penuh kemenangan.

Liana lagi-lagi menepikan mobilnya dan kali ini Linda yang turun. Setelahnya mobil kembali melaju. Linda tidak langsung masuk. Dia berdiri beberapa saat di depan rumah itu seolah mempersiapkan dirinya untuk berperang. Dan benar saja, ”Sudah jam segini kamu baru pulang?!” teguran itu langsung menyambut begitu dia membuka pintu. Ibu mertuanya sepertinya memang sedang menunggunya dari tadi.

”Kalian ini suami istri, tapi masing-masing berjalan sendiri. Kalau begitu bagaimana bisa meneruskan pernikahan kalian?”
”Mas Ian masih belum pulang, Bu?” Mertuanya langsung tersenyun sinis.
”Kamu istrinya. Bisa nggak tau kemana suami kamu?” Setelahnya mertuanya langsung melengos pergi meninggalkannya yang masih berdiri dengan perasaan campur aduk. Dia mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi suaminya. Tidak aktif.

Linda melangkah linglung ke kamar. Kamar mereka berdua yang kosong dan dingin. Duduk tepekur di sana. Dia membuka tasnya. Menemukan amplop coklat dari dokter kandungannya dua hari yang lalu. Kabar yang sampai sekarang masih dia simpan sendiri. Tangannya gemetar memegang amplop itu. Sebuah vonis yang memupuskan harapannya ke titik nadir. Dia mandul.

Kali ini agak hening karena biang rame sudah turun semua. Jalanan sudah sepi, hanya beberapa kendaraan lain yang mereka temui di jalan. Liana menyalakan radio sekedar untuk mengisi keheningan. Keheningan yang berbanding terbalik dengan kebisingan yang tertinggal di benak mereka.

”Beberapa waktu yang lalu Lanny sempat ngobrol berdua denganku. Katanya target Linda mau punya momongan tahun ini bakalan batal.” Liana memulai.
”Kok bisa?”
”Hm... Yah nggak jelas juga sih penjelasannya ke aku, tapi intinya rumah tangganya sedang ada masalah. Linda curiga Ian selingkuh. Yah kapan hari Linda curhat gituh ke Lanny...” Liana menatapnya. Membuat perasaan Laras campur aduk.

Setelahnya mereka terdiam. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gang rumah Laras yang sepi yang gelap. Laras turun, tapi Liana tidak langsung beranjak.
”Ras...!” Laras berbalik. ”Take care...” Dia mengangguk. Liana menunggunya hingga tidak terlihat lagi dari pandangan sebelum berlalu.

Laras baru akan membuka pagar ketika ponselnya berdering. Dengan malas-malasan dia akhirnya menjawab panggilan itu.
”Aku akan segera tiba di depan gang.” ujar laki-laki itu di telepon.
”Aku lelah, barusan pulang...”
”Tempo hari kamu udah nolak. Hari ini juga. Kenapa sih?”
”Ya karena memang lelah.”
”Kamu sedang menghindar? Emang mereka sudah tau tentang kita?”
Please... Aku cuma mau istirahat malam ini.” Laki-laki itu menghela napas berat.
”Baiklah. Besok kita harus ketemu. Tidak boleh lagi menghindar.”

Laras menutup ponselnya. Masuk ke dalam rumahnya dengan parasaan gamang. Sedari awal dia sudah tahu akan seperti ini. Tapi tetap saja penyesalan akan selalu muncul belakangan. Seperti yang sekarang dia rasakan. Dia masuk ke kamarnya. Berdiri beberapa saat bersandar di pintu dan air matanya mulai menitik. Masih jelas tergambar di matanya dua garis di alat periksa kehamilannya. Anak laki-laki itu... Suami sahabatnya sendiri.

Liana tidak langsung pulang ke rumahnya. Mobilnya berhenti di perempatan lampu merah lalu dia meraih ponselnya lalu memasang handsfree-nya. Menekan beberapa tombol dan terdengar nada sambung.
”Sayang... Sudah bobo?” sapanya lembut. Bibirnya tersungging lalu meneruskan, ”Aku on the way nih... Can’t wait to see you…”

Dia mengakhiri panggilan lalu bersenandung pelan mengikuti lagu yang diputar di radio mobilnya. Mobilnya berbelok masuk ke bangunan menjulang di tengah kota. Setelah memarkir mobilnya dia melangkah ringan menuju lift dan langsung menekan tombol lantai tujuannya. Lift bergerak seolah terbang dan sesaat kemudian dia sudah tiba. Tangannya membawa buket bunga yang dia beli tadi sore sebelum acara kumpul-kumpul dan tergolek aman di bagasinya. Menekan bel pintu sembari menyembunyikan buket di punggungnya. Sebuah kecupan di bibir menyambutnya. Disusul kecupan lain saat dia sudah menyerahkan buket bunga itu.

”Gimana kumpul-kumpulnya?” Liana menghenyakkan tubuhnya ke sofa yang nyaman seraya mengamati kekasihnya menyusun bunga-bunga itu di vas.
”Biasalah... Gak ada yang baru. Bosan juga.”
”Ngomongin aku pastinya?” Liana mengulurkan tangannya lalu menarik kekasihnya ke pangkuannya. Mendekapnya.
”Sudah tentu. Apa lagi bahan pembicaraan yang seru selain itu?” ujarnya lalu mengecup pipi lembut kekasihnya.
”Dasar ih...Masih nyebut-nyebut PT?” Liana menatapnya nakal.
”Hm... Memang gak sesuai sih, secara udah nggak Pera...”

Ucapannya dibungkam dengan kecupan yang berganti cepat menjadi ciuman yang menggelora. Setelah bibir-bibir mereka berpisah, Liana tetep mendekap kekasihnya lalu berbisik, ”Apa pun itu... Kau tetap kekasihku yang nomor satu....”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar