Malam sudah beranjak jauh, beberapa lampu di kafe itu juga
sudah dipadamkan. Tapi di pojokan, di sofa yang diisi empat orang perempuan
masih terlihat gegap gempita seolah hari baru marayap menjelang sore. Cangkir
dan gelas mereka juga sudah kosong. Yang tersisa di piring-piring mereka
hanyalah remah yang turut dibagi sebagian ke taplak putih bersih.
Para kru kafe yang sudah
bersiap-siap mau merapikan tempat itu, masih menunggu meski pastinya dengan
kesabaran yang semakin menipis. Mereka tidak boleh mengusir tamu, meskipun
hanya tinggal seorang. Yang mereka butuhkan adalah pengertian dari para tamu
terakhir di pojokan itu.
Seolah tersadar
dari mimpi, salah seorang tamu akhirnya melambai dan meminta tagihan. Setelah
membayar mereka pun akhirnya bangkit dan meninggalkan kafe itu diikuti senyum
dan ucapan terima kasih karena tips besar yang mereka tinggalkan. Cukup pantas
untuk mengembalikan kesabaran para kru ke posisi awal.
Keempat perempuan
itu masuk ke dalam mobil dan melaju santai meninggalkan pelataran parkir yang
sepi bergabung dengan kendaraan lain di jalanan. Ternyata obrolan masih
dilanjutkan di jalan. Ke empat perempuan itu menamakan grup mereka LiLa sesuai
dengan inisial awal nama mereka masing-masing, Liana, Linda, Lanny dan Laras.
”Nah, trus gimana
tadi urusan kamu ke PT, Lan?” Yang ditanya hanya memberengut. Padahal dia sudah
wanti-wanti dan berdoa dalam hati agar topik itu tidak ikutan dibahas. Taunya
Linda si mulut ember udah nyerocos duluan.
”Lah emang kenapa
Lan? Bikin salah apa lagi?” Laras langsung menimpali. Liana yang mengemudi
tidak buka suara, hanya memasang kuping mendengarkan.
”Ya gitu deh...
Cuma karena salah paham deadline. Aku kelupaan karena ada proyek lain yang
berdekatan. Tau deh, males dibahas lagi.” sahutnya ketus.
”Halah gak harus
cemberut gitu juga. Toh bukan kali ini aja si PT itu bikin kesel kan? Tau deh
entah makan apa dia sampe bisa ngeselin sebegitunya.” cerosos Linda diikuti
tawa yang lain.
”Yah maklum
ajalah... Udah umur segitu masih single. Udah ramuan biasa tuh. Umur merangkak
naik, sifat malah merosot turun.” Laras mengedipkan mata. Lanny akhirnya
menyunggingkan sedikit senyum.
”Nggak kebayang
deh laki-laki gimana yang bisa sabar menghadapi si PT itu.” cecar Linda lagi.
”Pastinya gak
jauh-jauh dari Ian deh sifatnya. Sabaaarrr ngadepin kamu.” Akhirnya Liana buka
suara dan tawa membahana semakin keras. Yang disindir langsung mengacungkan
tinju ke spion.
Ya setidaknya
seminggu sekali mereka berempat pasti akan berkumpul. Kebetulan mereka bekerja
di perusahaan yang sama, bahkan masuk pada waktu yang berdekatan sehingga
langsung cepat menjalin keakraban. Meskipun awalnya mereka ditempatkan di
divisi yang berlainan, akhirnya sekarang mereka bertemu di divisi yang sama dan
memiliki atasan yang sama pula. PT singkatan dari Perawan Tua. Terlepas yang
diberi julukan itu masih perawan atau tidak lagi, tapi LiLa sudah sepakat untuk
menghadiahkan nickname itu buat
atasan mereka, setidaknya bisa membicarakan yang bersangkutan dengan lebih
santai.
Linda yang bawel
juga sudah menikah dengan pria yang sangat penyabar. Terlebih lagi dengan
segala kebawelannya Ian, suaminya itu masih tetap bisa meredamnya. Setelah lima
tahun tanpa kehadiran buah hati, tahun ini dia berencana memiliki momongan dan
rumah sendiri, karena sudah tidak betah lagi tinggal di Pondok Mertua Indah.
Anggota LiLa sering meledek kalau dia masih terus bawel suaminya bisa terbang
ke pelukan perempuan lain. Sebuah senjata ampuh terlebih lagi ketika dia sedang
kumat bawelnya, ledekan itu bisa langsung membungkamnya.
Jika Linda bawel,
maka Liana justru kebalikannya. Perempuan lajang itu sangat tenang pembawaannya
meskipun tak jarang sekali bicara akan langsung menohok lawannya. Tak peduli
laki-laki atau perempuan, tua atau muda semua ditebas. Sering diledek pilih-pilih
pasangan sehingga masih menjomblo sampai sekarang, namun meskipun menjomblo,
kehidupannya terbilang sangat mapan karena latar belakang keluarganya yang
cukup terpandang. Untuk mengisi kekosongan dia berencana melanjutkan
pendidikannya.
Lanny yang anggun
sudah menikah dengan seorang bankir senior yang sudah sangat mapan. Kehadiran
sepasang buah hati sudah melengkapi kebahagiaannya. Bekerja baginya hanyalah
untuk mengisi waktu luang agar tidak dilanda kebosanan sendiri di rumah.
Anggota LiLa yang lain sering bercanda, gajinya hanya untuk membeli camilan di
rumah karena melihat kondisinya pastinya dia tidak butuh pekerjaan itu. Cukup
bersantai di rumah, dia tidak akan kekurangan apa pun.
Laras adalah anggota
LiLa yang paling junior, namun sikapnya justru jauh lebih dewasa ketimbang
anggota yang lain. Keluarganya terbilang sederhana dan Laras harus berperan
sebagai tulang punggung menggantikan ayahnya yang sudah tidak mampu bekerja
lagi. Laras berhati lembut dan mudah merasa empati kepada orang lain. Banyak
laki-laki yang mendekat tapi dia selalu menghindar dengan beragam alasan
khususnya yang menyangkut keluarganya.
”Omong-omong kalo
si PT itu manis ajah dikit, bisa join tuh ke grup kita. Masuk juga tuh. Namanya
kan Lasma.” celetuk Linda lagi.
”Idih, serius mau
ngajak dia gabung? Ada-ada aja kamu.” Lanny langsung menghadiahinya jeweran
diikuti tawa yang lain.
”Yah kan kalo dia
gak segalak sekarang gituh... Gak ada salahnya juga. Iya kan, Na?”
”Kok nanya ke
aku? Kamu yang mau ngajak dia kok.”
”Itu kan
misalnyaaa... Ah pada gak rame deh.”
”Dah nyampe
tempat kamu nih, Lan...” Liana menepikan mobilnya di depan bangunan indah berpagar
tinggi. Lanny pun turun. Melambai dan mobil pun berlalu.
Sepeninggal
teman-temannya dia membuka pagar lalu melangkah gontai masuk ke dalam rumah.
Melepas sepatunya lalu melempar tasnya sembarangan di atas meja. Tinggal dia
sendirian yang mendiami rumahnya sekarang. Kedua buah hatinya sedang dititipkan
ke rumah orang tuanya.
Dia masuk ke
kamar. Memandang tanpa minat ke arah deretan koper-koper besar yang sudah
tersusun rapi. Secarik amplop berisi tiket untuknya dan kedua buah hatinya juga
sudah siap. Besok mereka akan pergi meninggalkan negara ini, menyusul suaminya
yang sudah pergi lebih dulu. Dia duduk tepekur di ranjang. Mendesah. Dia bahkan
tidak mengucapkan apa pun kepada sahabat-sahabatnya. Ucapan selamat tinggal...
Linda yang duduk
di jok belakang mencondongkan tubuhnya ke depan. ”Kalian udah dengar kabar,
blom? Gosipnya kan suami Lanny itu lagi kabur ke luar negeri. Menggelapkan uang
perusahaan deh kayaknya.” ujarnya penuh rahasia.
”Ah, yang bener?
Yah, emang sih suaminya itu udah lama jadi Account
Manager di Bank ABC, tapi menggelapkan uang? Wah...” Laras dan Liana saling
pandang.
”Maka itu...
Malah pake acara kabur sgala. Nggak mikir keluarga banget kan?” cerocos Linda
lagi lebih bersemangat.
”Wah, kasian
Lanny dong kalo begitu...” cetus Laras.
”Iyah. Blom lagi
rumahnya yang gede itu bisa-bisa disita juga lho...”
”Pantesan jadi
berkasus ama si PT. Dia pasti lagi stress makanya jadi salah deadline. Tapi kenapa dia nggak
ngomong-ngomong yah?” timpal Laras.
”Nggak mungkin
dong! Bisa-bisa jatuh gengsi dia. Kan selama ini dia selalu heboh soal merek
terkenal dan jalan-jalan ke luar negerinya. Kalo ketauan lagi ada masalah gituh,
bisa jatuh pamornya dong...!” Linda semakin berapi-api penuh kemenangan.
Liana lagi-lagi
menepikan mobilnya dan kali ini Linda yang turun. Setelahnya mobil kembali
melaju. Linda tidak langsung masuk. Dia berdiri beberapa saat di depan rumah
itu seolah mempersiapkan dirinya untuk berperang. Dan benar saja, ”Sudah jam
segini kamu baru pulang?!” teguran itu langsung menyambut begitu dia membuka
pintu. Ibu mertuanya sepertinya memang sedang menunggunya dari tadi.
”Kalian ini suami
istri, tapi masing-masing berjalan sendiri. Kalau begitu bagaimana bisa
meneruskan pernikahan kalian?”
”Mas Ian masih belum
pulang, Bu?” Mertuanya langsung tersenyun sinis.
”Kamu istrinya.
Bisa nggak tau kemana suami kamu?” Setelahnya mertuanya langsung melengos pergi
meninggalkannya yang masih berdiri dengan perasaan campur aduk. Dia
mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi suaminya. Tidak aktif.
Linda melangkah
linglung ke kamar. Kamar mereka berdua yang kosong dan dingin. Duduk tepekur di
sana. Dia membuka tasnya. Menemukan amplop coklat dari dokter kandungannya dua
hari yang lalu. Kabar yang sampai sekarang masih dia simpan sendiri. Tangannya
gemetar memegang amplop itu. Sebuah vonis yang memupuskan harapannya ke titik
nadir. Dia mandul.
Kali ini agak
hening karena biang rame sudah turun semua. Jalanan sudah sepi, hanya beberapa
kendaraan lain yang mereka temui di jalan. Liana menyalakan radio sekedar untuk
mengisi keheningan. Keheningan yang berbanding terbalik dengan kebisingan yang
tertinggal di benak mereka.
”Beberapa waktu
yang lalu Lanny sempat ngobrol berdua denganku. Katanya target Linda mau punya
momongan tahun ini bakalan batal.” Liana memulai.
”Kok bisa?”
”Hm... Yah nggak
jelas juga sih penjelasannya ke aku, tapi intinya rumah tangganya sedang ada
masalah. Linda curiga Ian selingkuh. Yah kapan hari Linda curhat gituh ke
Lanny...” Liana menatapnya. Membuat perasaan Laras campur aduk.
Setelahnya mereka
terdiam. Hingga akhirnya mereka tiba di depan gang rumah Laras yang sepi yang
gelap. Laras turun, tapi Liana tidak langsung beranjak.
”Ras...!” Laras
berbalik. ”Take care...” Dia
mengangguk. Liana menunggunya hingga tidak terlihat lagi dari pandangan sebelum
berlalu.
Laras baru akan
membuka pagar ketika ponselnya berdering. Dengan malas-malasan dia akhirnya menjawab
panggilan itu.
”Aku akan segera
tiba di depan gang.” ujar laki-laki itu di telepon.
”Aku lelah,
barusan pulang...”
”Tempo hari kamu
udah nolak. Hari ini juga. Kenapa sih?”
”Ya karena memang
lelah.”
”Kamu sedang
menghindar? Emang mereka sudah tau tentang kita?”
”Please... Aku cuma mau istirahat malam
ini.” Laki-laki itu menghela napas berat.
”Baiklah. Besok
kita harus ketemu. Tidak boleh lagi menghindar.”
Laras menutup
ponselnya. Masuk ke dalam rumahnya dengan parasaan gamang. Sedari awal dia
sudah tahu akan seperti ini. Tapi tetap saja penyesalan akan selalu muncul
belakangan. Seperti yang sekarang dia rasakan. Dia masuk ke kamarnya. Berdiri
beberapa saat bersandar di pintu dan air matanya mulai menitik. Masih jelas
tergambar di matanya dua garis di alat periksa kehamilannya. Anak laki-laki
itu... Suami sahabatnya sendiri.
Liana tidak
langsung pulang ke rumahnya. Mobilnya berhenti di perempatan lampu merah lalu
dia meraih ponselnya lalu memasang handsfree-nya. Menekan beberapa tombol dan
terdengar nada sambung.
”Sayang... Sudah bobo?” sapanya lembut. Bibirnya tersungging
lalu meneruskan, ”Aku on the way
nih... Can’t wait to see you…”
Dia mengakhiri panggilan lalu bersenandung pelan mengikuti
lagu yang diputar di radio mobilnya. Mobilnya berbelok masuk ke bangunan
menjulang di tengah kota.
Setelah memarkir mobilnya dia
melangkah ringan menuju lift dan langsung menekan tombol lantai tujuannya. Lift
bergerak seolah terbang dan sesaat kemudian dia sudah tiba. Tangannya membawa
buket bunga yang dia beli tadi sore sebelum acara kumpul-kumpul dan tergolek
aman di bagasinya. Menekan bel pintu sembari menyembunyikan buket di
punggungnya. Sebuah kecupan di bibir menyambutnya. Disusul kecupan lain saat
dia sudah menyerahkan buket bunga itu.
”Gimana
kumpul-kumpulnya?” Liana menghenyakkan tubuhnya ke sofa yang nyaman seraya
mengamati kekasihnya menyusun bunga-bunga itu di vas.
”Biasalah... Gak
ada yang baru. Bosan juga.”
”Ngomongin aku
pastinya?” Liana mengulurkan tangannya lalu menarik kekasihnya ke pangkuannya.
Mendekapnya.
”Sudah tentu. Apa
lagi bahan pembicaraan yang seru selain itu?” ujarnya lalu mengecup pipi lembut
kekasihnya.
”Dasar ih...Masih
nyebut-nyebut PT?” Liana menatapnya nakal.
”Hm... Memang gak
sesuai sih, secara udah nggak Pera...”
Ucapannya dibungkam
dengan kecupan yang berganti cepat menjadi ciuman yang menggelora. Setelah
bibir-bibir mereka berpisah, Liana tetep mendekap kekasihnya lalu berbisik,
”Apa pun itu... Kau tetap kekasihku yang nomor satu....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar