Aku mengamati sekelilingku. Stasiun sudah ramai pagi ini. Aku memanggul ransel bututku lalu bergegas menghampiri sebuah telepon umum berwarna biru yang kebetulan sedang tidak digunakan.
Aku meletakkan ranselku yang cukup berat dengan hati-hati di
lantai lalu merogoh saku celanaku meraih tiga keping receh yang sudah
kusiapkan. Memasukkan satu ke dalam
mulut mesin yang menganga lalu mulai menekan deretan nomor yang sudah sangat
kuhapal. Menunggu ketika panggilanku tersambung.
”Operator...”
Suara bariton menyahut.
”Segera hubungi
tim GEGANA. Ada bom di stasiun ini.” ujarku.
”Tolong jangan
main-main. Ini adalah telepon ancaman yang ke tiga minggu ini. Jika anda
terlalu santai silakan cari kesibukan daripada berbuat iseng!” Lalu telepon
terputus. Reaksi yang memang sudah kuperkirakan.
Aku
menggantungkan gagang telepon ke tempatnya semula. Mengamati sisa dua keping
receh di atas pesawat lalu ke tasku yang masih tergolek sabar di lantai. Aku
mengamati sekelilingku. Kesibukan yang memenuhi pandanganku. Menghela napas
lalu berjalan meninggalkan telepon umum itu. Meninggalkan ransel bututku di
sana.
Aku tidak
membutuhkannya lagi.
Keluar dari
stasiun, tanganku langsung merogoh ke dalam saku jaketku, menemukan benda
mungil yang sudah seminggu belakangan ini kubawa-bawa. Menekan satu-satunya
tombol yang ada di sana.
Masih jelas di
mataku pemandangan yang barusan terekam di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar