Aku berjalan pelan tidak ingin membuat jubah yang tergolek di sepasang tanganku yang menadah kusut. Ketika tiba di depan pintu ruangan yang dipisahkan dengan selenbar tirai tipis nyaris kasat mata aku menghentikan langkah. ”Masuklah!” perintah suara Tuanku yang penuh wibawa dari dalam. Maka dengan tetap berhati-hati aku pun berjalan melalui tirai yang berayun lembut di belakangku.
Tuanku sedang
mematut-matut diri di depan cermin. Aku berdiri tidak jauh darinya memandang
takjub. Bagaimana tidak? Sepasang tanduknya terlihat begitu berkilau keemasan
senada dengan sepasang matanya yang menyorot tajam. Sorotan yang meskipun hanya
kulihat dari cermin tetap menghadirkan rasa hormat dan takjub yang dalam.
”Oh, jubahku yang
baru...” ujarnya seolah baru menyadari kehadiranku. Dia pun berjalan setengah
melayang menghampiriku lalu meraih jubah indah itu dari kedua tanganku.
Langsung mengenakannya dan kembali mematut-matutkan diri. Dia tersenyum puas. ”Saatnya
beraksi.” ujarnya lagi. Tangannya terulur dan aku langsung meraihnya.
Bersama-sama kami berjalan keluar dari ruangan itu.
Aku mengiringinya
yang melangkah anggun melewati lorong panjang yang remang. Lorong yang berdegub
teratur seolah mengikuti irama langkahnya. Kami akhirnya tiba di ujung lorong,
berhadapan dengan sebuah pintu. Pintu yang lumayan usang, entah sudah berapa
lama umurnya.
”Kau tahu pintu
ini menuju ke mana?” Aku menggeleng. ”Ke suatu tempat yang sangat nyaman. Ada
kalanya makhluk-makhluk rendahan nirwana yang menempatinya, tapi belakangan ini
aku yang lebih sering mendiaminya.” Dengan kukunya yang panjang dan runcing dia
menyentuh lubang kunci dan pintu pun berderak membuka. Di sana aku melihat
beraneka ragam gumpalan yang melayang-layang. Ada dendam, marah, benci, bohong
dan banyak lagi dan semuanya berwarna gelap.
”Itu beberapa
karyaku selama mendiami tempat ini. Aku menjadi sangat kreatif di sini. Sangat
nyaman berada di sini tanpa gangguan dari siapa pun. Bahkan Dia yang katanya
Maha Segalanya itu...” Tuanku menatapku sembari membelai kepalaku.
”Masing-masing
kita harus bisa menemukan tempat seperti ini. Mengisinya dengan karya-karya
kita sepenuhnya. Kau tahu, zaman sekarang pemilik tempat ini semuanya sangat
lemah dan mudah sekali terpengaruh. Jadi kita punya banyak kesempatan. Jika
makhluk rendahan nirwana harus diundang terlebih dahulu baru bisa menempatinya,
maka kita lebih istimewa karena bisa menempatinya kapan pun dan mengarahkan
haluan semau kita. Menjadi satu-satunya suara yang didengar di sini.”
Ini adalah baru kali
pertama aku ke tempat ini sehingga sepanjang penjelasan aku hanya diam
mendengarkan. Tuanku tahu itu, oleh karenanya sorot matanya tidak menusuk. Dia
sedang mengajariku. Sebuah pelajaran yang sangat berharga buatku kelak.
”Hanya hati
manusia yang bisa senyaman ini buat kita. Manusia-manusia lemah yang tidak akan
pernah melawan bisikan perintah kita. Karena baginya kita adalah Tuannya. Tuan
yang harus dipatuhi.” Tuanku mengakhiri kalimatnya dengan seringai puas. Aku semakin takjub padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar