Minggu, 29 Juli 2012

Flash : Tempat Yang Paling Nyaman


Aku berjalan pelan tidak ingin membuat jubah yang tergolek di sepasang tanganku yang menadah kusut. Ketika tiba di depan pintu ruangan yang dipisahkan dengan selenbar tirai tipis nyaris kasat mata aku menghentikan langkah. ”Masuklah!” perintah suara Tuanku yang penuh wibawa dari dalam. Maka dengan tetap berhati-hati aku pun berjalan melalui tirai yang berayun lembut di belakangku.

Tuanku sedang mematut-matut diri di depan cermin. Aku berdiri tidak jauh darinya memandang takjub. Bagaimana tidak? Sepasang tanduknya terlihat begitu berkilau keemasan senada dengan sepasang matanya yang menyorot tajam. Sorotan yang meskipun hanya kulihat dari cermin tetap menghadirkan rasa hormat dan takjub yang dalam.

”Oh, jubahku yang baru...” ujarnya seolah baru menyadari kehadiranku. Dia pun berjalan setengah melayang menghampiriku lalu meraih jubah indah itu dari kedua tanganku. Langsung mengenakannya dan kembali mematut-matutkan diri. Dia tersenyum puas. ”Saatnya beraksi.” ujarnya lagi. Tangannya terulur dan aku langsung meraihnya. Bersama-sama kami berjalan keluar dari ruangan itu.

Aku mengiringinya yang melangkah anggun melewati lorong panjang yang remang. Lorong yang berdegub teratur seolah mengikuti irama langkahnya. Kami akhirnya tiba di ujung lorong, berhadapan dengan sebuah pintu. Pintu yang lumayan usang, entah sudah berapa lama umurnya.

”Kau tahu pintu ini menuju ke mana?” Aku menggeleng. ”Ke suatu tempat yang sangat nyaman. Ada kalanya makhluk-makhluk rendahan nirwana yang menempatinya, tapi belakangan ini aku yang lebih sering mendiaminya.” Dengan kukunya yang panjang dan runcing dia menyentuh lubang kunci dan pintu pun berderak membuka. Di sana aku melihat beraneka ragam gumpalan yang melayang-layang. Ada dendam, marah, benci, bohong dan banyak lagi dan semuanya berwarna gelap.

”Itu beberapa karyaku selama mendiami tempat ini. Aku menjadi sangat kreatif di sini. Sangat nyaman berada di sini tanpa gangguan dari siapa pun. Bahkan Dia yang katanya Maha Segalanya itu...” Tuanku menatapku sembari membelai kepalaku.

”Masing-masing kita harus bisa menemukan tempat seperti ini. Mengisinya dengan karya-karya kita sepenuhnya. Kau tahu, zaman sekarang pemilik tempat ini semuanya sangat lemah dan mudah sekali terpengaruh. Jadi kita punya banyak kesempatan. Jika makhluk rendahan nirwana harus diundang terlebih dahulu baru bisa menempatinya, maka kita lebih istimewa karena bisa menempatinya kapan pun dan mengarahkan haluan semau kita. Menjadi satu-satunya suara yang didengar di sini.”

Ini adalah baru kali pertama aku ke tempat ini sehingga sepanjang penjelasan aku hanya diam mendengarkan. Tuanku tahu itu, oleh karenanya sorot matanya tidak menusuk. Dia sedang mengajariku. Sebuah pelajaran yang sangat berharga buatku kelak.

”Hanya hati manusia yang bisa senyaman ini buat kita. Manusia-manusia lemah yang tidak akan pernah melawan bisikan perintah kita. Karena baginya kita adalah Tuannya. Tuan yang harus dipatuhi.” Tuanku mengakhiri kalimatnya dengan seringai puas. Aku semakin takjub padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar