“Aku sudah mengajukan gugatan cerai…” Pras seolah menahan diri sebelum melanjutkan, “Sesuai keinginan kamu.” Luna, istrinya tidak memalingkan pandangan dari televisi di hadapannya. Menghela napas berat, dia pun berlalu masuk ke kamar tamu yang dia tempati sendiri hampir setengah tahun belakangan.
Sepeninggalnya,
Luna menoleh ke penjuru ruangan memastikan dia sudah sendirian sebelum
menyambar ponselnya yang sedari tadi tergolek di meja. Sembari menahan senyum
dia menekan-nekan tombol yang langsung menghubungkannya ke orang di seberang
sana. Menunggu sesaat saat penggilannya disambungkan.
”Halo? Ya. Dia
sudah mengajukan gugatannya... Tidak ada masalah, paling lama sebulan sudah
terkabul. Hhh... Yah, aku juga mau lebih cepat, sayang. Nggak sabar pengen lekas
barengan dengan kamu. Tapi kamu sabar menunggu sebulan kan? Lagipula...”
Jerat kawat di
leher memotong pembicaraannya. Ponselnya terlepas dari genggaman tangannya yang
sibuk menggapai-gapai berusaha melepaskan diri. Tubuhnya meronta, mengejang
berusaha melawan. Tapi hanya sesaat. Setelahnya dia tak bergerak lagi. Pras
memandanginya dengan napas masih memburu oleh amarah. Seperti yang sudah dia
duga, memang pasti karena ada orang ketiga. Dasar perempuan jalang, makinya
dalam hati.
Sembari menyeka
keringat yang menitik di dahi, tangannya terulur meraih ponsel Luna yang
tergolek tidak jauh darinya. Menekan tombol untuk melihat panggilan terakhir
dan langsung tercekat.
Itu nomor mantan
istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar