”Hai cantik...” sapaku
ke arahnya.
Aku meraih sisir
lalu mulai menyisir rambutku perlahan. Menikmati setiap sentuhannya di kulit kepalaku yang lembut dan rambutku
yang tipis. Terus berulang-ulang karena kata nenek rambut akan berkilau dan
subur kalau disisir sampai seribu kali. Tapi baru yang kesepuluh tanganku sudah
pegal. Kapan-kapan lagi dicicil nggak apa-apa lah.
Setelahnya aku meraih
pelembab, memencet isinya hingga keluar di jari lalu mulai menotol-notolkannya
perlahan di jidat, kedua pipi, hidung dan dagu. Setelahnya dengan penuh kasih
sayang mengusapnya agar merata ke seluruh permukaan wajah meski mendecak karena
setelah begitu lama wajahku tetaplah tidak seperti yang dijanjikan iklan.
Aku melamurkan
bedak ke atasnya. Mengusap-usapnya beberapa kali agar merata di wajahku meski
tetap ada ketidaksempurnaan yang tidak dapat disembunyikannya. Orang bilang ada
kosmetik yang bisa menyamarkan bagian yang kurang sempurna, tapi itu tetap
tidak bekerja di wajahku hingga akhirnya aku memutuskan tidak memakainya lagi.
Semudah itu. Tidak ada hasil maka aku berhenti.
Aku tidak akan
memaksa menggunakan sesuatu yang tidak berhasil bagiku. Aku cukup berhenti,
meninggalkannya, menjauhinya. Tapi dia tidak. Dia akan berusaha begitu keras
mengupayakan agar segalanya berhasil. Dan jika ternyata upayanya sia-sia, maka
dia akan meninggalkan, berhenti dan menjauh setelah terlebih dahulu
melampiaskan kekecewaannya. Apakah sebegitu besarnya keinginnya untuk selalu
diingat?
Aku menatap
wajahku yang baru separuh kudandani. Bukan kali ini saja aku mendandaninya,
namun tetap saja aku masih sering kebingungan bagaimana cara mendandaninya.
Sepasang alis
yang dulu lebat hitam sekarang hanya tinggal sebelah. Yang tersisa di
sebelahnya hanya lahan gundul polos yang mati melengkapi kelopak di bawahnya
yang menyipit aneh, menutupi separuh mata yang sebelumnya bening bercahaya
menjadi kelabu.
Tanganku
terangkat membelai sebelah kepalaku yang setengah plontos dengan setumpuk
rambut yang menjurai berantakan. Aku mengaturnya setengah putus asa berusaha
menutupi gundukan tulang rawan aneh yang dulu biasa disebut telinga di
bawahnya.
Aku masih ingat
kejadian ketika kulit-kulit itu meleleh tanpa daya setelah terguyur cairan
dingin yang ternyata keras dan panas. Sebelah mataku yang masih bisa merasa
terasa panas oleh tangis yang menyesak, tapi aku buru-buru menahannya. Langsung
menyambar pensil lalu melukis lahan plontos itu agar menyerupai kembarannya
yang masih melentik indah. Aku memang tidak bisa menyulap sebelah mataku yang
sipit, tapi jika aku perhatikan lebih detail wajahku jadi terlihat eksotis
olehnya.
Akhirnya rambut
dan gumpalan di sisi kepala yang miris seadanya itu menghilang ditutupi rambut
tebal kecoklatan yang tergerai indai menawan. Sepasang tulang pipiku juga sudah
terlihat indah berwarna. Aku tidak lupa memulas bibirku yang tipis basah hingga
terlihat lebih ranum menggoda. Memonyongkannya lagi lalu tersenyum puas.
”Dasar cantik!”
seruku. Beneran lho!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar