Jumat, 13 Juli 2012

Flash : Dasar Cantik

Aku menatap bayanganku yang terpantul sempurna dan bening di hadapanku. Aku menikmati pemandangan yang terpampang itu dengan puas sembari sesekali menelengkan kepala ke kiri kanan tanpa lupa tersenyum atau memonyongkan bibir ke depan. Setelahnya aku menatap tajam lurus ke matanya.

”Hai cantik...” sapaku ke arahnya.

Aku meraih sisir lalu mulai menyisir rambutku perlahan. Menikmati setiap sentuhannya di kulit kepalaku yang lembut dan rambutku yang tipis. Terus berulang-ulang karena kata nenek rambut akan berkilau dan subur kalau disisir sampai seribu kali. Tapi baru yang kesepuluh tanganku sudah pegal. Kapan-kapan lagi dicicil nggak apa-apa lah.

Setelahnya aku meraih pelembab, memencet isinya hingga keluar di jari lalu mulai menotol-notolkannya perlahan di jidat, kedua pipi, hidung dan dagu. Setelahnya dengan penuh kasih sayang mengusapnya agar merata ke seluruh permukaan wajah meski mendecak karena setelah begitu lama wajahku tetaplah tidak seperti yang dijanjikan iklan.

Aku melamurkan bedak ke atasnya. Mengusap-usapnya beberapa kali agar merata di wajahku meski tetap ada ketidaksempurnaan yang tidak dapat disembunyikannya. Orang bilang ada kosmetik yang bisa menyamarkan bagian yang kurang sempurna, tapi itu tetap tidak bekerja di wajahku hingga akhirnya aku memutuskan tidak memakainya lagi. Semudah itu. Tidak ada hasil maka aku berhenti.

Aku tidak akan memaksa menggunakan sesuatu yang tidak berhasil bagiku. Aku cukup berhenti, meninggalkannya, menjauhinya. Tapi dia tidak. Dia akan berusaha begitu keras mengupayakan agar segalanya berhasil. Dan jika ternyata upayanya sia-sia, maka dia akan meninggalkan, berhenti dan menjauh setelah terlebih dahulu melampiaskan kekecewaannya. Apakah sebegitu besarnya keinginnya untuk selalu diingat?

Aku menatap wajahku yang baru separuh kudandani. Bukan kali ini saja aku mendandaninya, namun tetap saja aku masih sering kebingungan bagaimana cara mendandaninya.

Sepasang alis yang dulu lebat hitam sekarang hanya tinggal sebelah. Yang tersisa di sebelahnya hanya lahan gundul polos yang mati melengkapi kelopak di bawahnya yang menyipit aneh, menutupi separuh mata yang sebelumnya bening bercahaya menjadi kelabu.

Tanganku terangkat membelai sebelah kepalaku yang setengah plontos dengan setumpuk rambut yang menjurai berantakan. Aku mengaturnya setengah putus asa berusaha menutupi gundukan tulang rawan aneh yang dulu biasa disebut telinga di bawahnya.

Aku masih ingat kejadian ketika kulit-kulit itu meleleh tanpa daya setelah terguyur cairan dingin yang ternyata keras dan panas. Sebelah mataku yang masih bisa merasa terasa panas oleh tangis yang menyesak, tapi aku buru-buru menahannya. Langsung menyambar pensil lalu melukis lahan plontos itu agar menyerupai kembarannya yang masih melentik indah. Aku memang tidak bisa menyulap sebelah mataku yang sipit, tapi jika aku perhatikan lebih detail wajahku jadi terlihat eksotis olehnya.

Akhirnya rambut dan gumpalan di sisi kepala yang miris seadanya itu menghilang ditutupi rambut tebal kecoklatan yang tergerai indai menawan. Sepasang tulang pipiku juga sudah terlihat indah berwarna. Aku tidak lupa memulas bibirku yang tipis basah hingga terlihat lebih ranum menggoda. Memonyongkannya lagi lalu tersenyum puas.

”Dasar cantik!” seruku. Beneran lho!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar