Aku membuka pintu ruangan dan dua orang petugas yang sudah lebih dulu ada di sana menghentikan interogasi mereka, mengangguk dengan hormat ke arahku. Aku membalas anggukan mereka lalu tatapanku berpindah ke pria yang wajahnya sudah dihiasi memar. Pasti dia mendapatkannya selama proses interogasi.
“Dia masih belum
mau mengaku, Pak,” lapor seorang petugas sembari menatap garang ke arah
tersangka yang sekarang menunduk.
”Alibinya tidak
valid. Dia mengaku tidak berada di apartemen saat malam kejadian pembunuhan
itu, namun dia tidak bisa menjelaskan kemana dan sedang apa di waktu perkiraan
kejadian. Tidak ada juga saksi yang dapat membenarkan alibinya.” sambung
rekannya.
Aku tidak
berkomentar, hanya menatap ke sosok itu. Dia terlihat begitu lelah dan tak
berdaya. Sudah hampir dua hari dia ditahan dan diinterogasi untuk kasus itu.
Aku tidak menyalahkan petugas yang begitu ngotot ingin mengorek kebenaran
darinya. Kebenaran memang harus terungkap, namun jangan sampai orang yang tidak
bersalah menanggung segala akibatnya.
”Bukan dia
pelakunya.” ujarku yang langsung disambut tatapan heran kedua petugas. Bahkan
pria itu juga ikut mengangkat wajahnya. Matanya nanar menatapku.
”Tapi, Pak...
Semua bukti yang kuat mengarah kepadanya. Selain itu alibinya...”
”Saat itu dia
memang tidak berada di apartemennya. Dia tidak berbohong.” Aku menghela napas
dalam-dalam.
”Dia bersamaku
malam itu. Sampai pagi...” tandasku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar