Rabu, 06 Juni 2012

Flash : Dear Diary

Aku baru mulai terlelap ketika kau menyibak selimutku. Cahaya lampu kamar begitu menyilaukan hingga aku harus mengerjap-ngerjapkan mataku berusaha menyesuaikan diri. Padahal belum sampai tiga jam sejak pembicaraan kita yang terakhir. Itu juga kalau aku boleh menyebutkan pembicaraan, karena sebenarnya hanya kau yang bicara sementara aku hanya diam mendengar dan menonton.

Tapi aku bukan sedang mengeluh.

Bahkan sejujurnya aku selalu menyukai saat kau bercerita tentang apa pun itu. Suka menonton raut dan rona wajahmu yang berubah-ubah seperti awan di langit. Awan yang kelihatannya begitu lembut seperti permen kapas yang pernah kau bawa saat mengobrol denganku. Yang ingin aku cicipi namun tidak berani, karena kau sepertinya tidak ingin berbagi sehingga tidak menawariku. Tapi tidak apa-apa. Aku cukup senang menontonmu menikmati permen kapas itu dengan raut puas sendirian.

Sekarang akhirnya mataku sudah terbiasa. Tidak lagi merasa silau dengan lampu kamar. Bisa menatapmu dengan leluasa lagi. Sudah siap menonton dan mendengarmu lagi, tapi kau tidak langsung bercakap-cakap. Matamu masih sembab. Memandang nanar ke satu titik di belakangku, yang tanpa menoleh aku sudah tau apa yang ada di sana. Kau rajin menceritakannya beberapa tahun belakangan ini, diiringi raut dan alunan suara yang berubah-ubah seperti pelangi. Kadang aku ikut terbahak oleh kekocakan kisah yang kau untaikan. Atau ikut tersipu saat kau bercerita dengan pipi merona. Bahkan tidak jarang juga mengkeret ketika dengan berapi-api kau bercerita dengan keras dan penuh emosi.

Sejak kita saling mengenal, rasanya aku sudah sangat berusaha untuk menjadi sahabat tempat curahan hatimu yang paling setia. Apa pun bisa dengan bebas kau ceritakan kepadaku karena tidak seperti teman-temanmu yang lain, aku tidak akan lancang menyela saat kau sedang asik, atau malah menghakimi dengan segudang nasehat. Aku juga tidak akan sibuk menggosipkanmu di belakang seperti mereka, meskipun aku tahu rahasiamu yang paling dalam dan gelap. Tapi itu adalah kebanggaanku, saat kau mempercayakannya untuk kusimpan.

Dan itu yang selalu kulakukan selama ini.

Ada kalanya kau akan menjauh dan melupakanku selama beberapa waktu karena terlalu asik dengan kekasihmu. Kekasih yang sangat berjasa karena telah menghadirkan ’pelangi’ itu di hadapanku. Kekasih dari Venus dengan nama dan sosok yang sangat indah, seperti yang selalu kau ceritakan dengan wajah berbinar. Binar yang sangat ingin kupetik untuk kusimpan sendiri.

Tapi tadi mendadak kau muncul dengan wajah semuram mendung menjelang badai. Badai hebat yang langsung membuat perasaanku terkoyak, bersamaan dengan bulir-bulir bening yang berjatuhan dari matamu. Kau menyebut nama kekasihmu yang berharga dengan begitu getir hingga membuatku ingin merengkuhmu erat dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja, tapi tampaknya itu tidak akan cukup untuk lukamu yang menganga. Luka yang membuat kita sama-sama kelelahan hingga kau memutuskan untuk menyudahi pembicaraan kita, meninggalkanku kebingungan dan berkutat sendirian di kegelapan.

Sekarang kita berhadapan lagi. Kau masih belum mengatakan apa pun, tapi matamu yang sembab sekarang akhirnya kembali kepadaku. Dua bulir air mata kembali mengintip di sudut matamu, mengalir lembut di pipi. Hatiku pilu ketika melihat getaran samar di bibirmu yang berusaha menahan tangis. Semua luka itu.

Kau menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dan disini aku sudah sangat siap menampung kisahmu.

"Dear Diary..." Kau memulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar