Aku baru mulai terlelap ketika kau menyibak selimutku. Cahaya lampu
kamar begitu menyilaukan hingga aku harus mengerjap-ngerjapkan mataku
berusaha menyesuaikan diri. Padahal belum sampai tiga jam sejak
pembicaraan kita yang terakhir. Itu juga kalau aku boleh menyebutkan
pembicaraan, karena sebenarnya hanya kau yang bicara sementara aku hanya
diam mendengar dan menonton.
Tapi aku bukan sedang mengeluh.
Bahkan
sejujurnya aku selalu menyukai saat kau bercerita tentang apa pun itu.
Suka menonton raut dan rona wajahmu yang berubah-ubah seperti awan di
langit. Awan yang kelihatannya begitu lembut seperti permen kapas yang
pernah kau bawa saat mengobrol denganku. Yang ingin aku cicipi namun
tidak berani, karena kau sepertinya tidak ingin berbagi sehingga tidak
menawariku. Tapi tidak apa-apa. Aku cukup senang menontonmu menikmati
permen kapas itu dengan raut puas sendirian.
Sekarang
akhirnya mataku sudah terbiasa. Tidak lagi merasa silau dengan lampu
kamar. Bisa menatapmu dengan leluasa lagi. Sudah siap menonton dan
mendengarmu lagi, tapi kau tidak langsung bercakap-cakap. Matamu masih
sembab. Memandang nanar ke satu titik di belakangku, yang tanpa menoleh
aku sudah tau apa yang ada di sana. Kau rajin menceritakannya beberapa
tahun belakangan ini, diiringi raut dan alunan suara yang berubah-ubah
seperti pelangi. Kadang aku ikut terbahak oleh kekocakan kisah yang kau
untaikan. Atau ikut tersipu saat kau bercerita dengan pipi merona.
Bahkan tidak jarang juga mengkeret ketika dengan berapi-api kau
bercerita dengan keras dan penuh emosi.
Sejak kita saling
mengenal, rasanya aku sudah sangat berusaha untuk menjadi sahabat tempat
curahan hatimu yang paling setia. Apa pun bisa dengan bebas kau
ceritakan kepadaku karena tidak seperti teman-temanmu yang lain, aku
tidak akan lancang menyela saat kau sedang asik, atau malah menghakimi
dengan segudang nasehat. Aku juga tidak akan sibuk menggosipkanmu di
belakang seperti mereka, meskipun aku tahu rahasiamu yang paling dalam
dan gelap. Tapi itu adalah kebanggaanku, saat kau mempercayakannya untuk
kusimpan.
Dan itu yang selalu kulakukan selama ini.
Ada
kalanya kau akan menjauh dan melupakanku selama beberapa waktu karena
terlalu asik dengan kekasihmu. Kekasih yang sangat berjasa karena telah
menghadirkan ’pelangi’ itu di hadapanku. Kekasih dari Venus dengan nama
dan sosok yang sangat indah, seperti yang selalu kau ceritakan dengan
wajah berbinar. Binar yang sangat ingin kupetik untuk kusimpan sendiri.
Tapi
tadi mendadak kau muncul dengan wajah semuram mendung menjelang badai.
Badai hebat yang langsung membuat perasaanku terkoyak, bersamaan dengan
bulir-bulir bening yang berjatuhan dari matamu. Kau menyebut nama
kekasihmu yang berharga dengan begitu getir hingga membuatku ingin
merengkuhmu erat dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja, tapi
tampaknya itu tidak akan cukup untuk lukamu yang menganga. Luka yang
membuat kita sama-sama kelelahan hingga kau memutuskan untuk menyudahi
pembicaraan kita, meninggalkanku kebingungan dan berkutat sendirian di
kegelapan.
Sekarang kita berhadapan lagi. Kau masih belum
mengatakan apa pun, tapi matamu yang sembab sekarang akhirnya kembali
kepadaku. Dua bulir air mata kembali mengintip di sudut matamu, mengalir
lembut di pipi. Hatiku pilu ketika melihat getaran samar di bibirmu
yang berusaha menahan tangis. Semua luka itu.
Kau menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dan disini aku sudah sangat siap menampung kisahmu.
"Dear Diary..." Kau memulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar