Aku membuka kelopak mataku. Tatapanku langsung bertemu dengan sosok asing yang bayangannya terpantul di cermin besar di hadapanku. Tanganku terangkat menyusuri wajahku perlahan. Rahangku sekarang terlihat lebih tegas. Tulang hidungku juga lurus menjulang. Aku menggerakkan kepalaku sedikit ke samping dan melihat semburat gelap kebiruan serupa jambang.
Pandanganku
sekarang beralih ke dadaku yang sekarang sudah datar. Tidak ada lagi gumpalan
kenyal yang selama hampir tiga puluh tahun ini bertengger di sana. Gumpalan
yang serba nanggung karena tidak cukup layak ditampung sepasang mangkuk
berwarna-warni beraneka model yang hanya bisa kupandang penuh rasa ingin dan
iri. Tapi sudahlah. Sekarang masalah itu sudah usai. Aku tidak perlu lagi
merasa iri karena sekarang aku tidak membutuhkannya lagi. Aku sudah terbebas!
Aku mengamati
postur sosok di cermin. Hm, aku harus lebih banyak berlatih untuk membentuk
otot di lengan dan pundakku yang masih terlalu kurus. Perutku juga harus
dilatih lebih keras lagi.
Dan jantungku
berdebar ketika pandanganku bergerak turun lebih ke bawah dan menemukan alat
pelengkap yang juga menegaskan siapa diriku sekarang. Sekarang aku bisa
bercinta total dengan kekasihku. Aku bisa benar-benar memasukinya. Memberinya
kenikmatan tanpa harus merendahkan diri dengan segala alat pengganti itu. Dan
jariku yang sudah lama gagal memuaskannya meski tidak pernah dia ungkapkan.
Akhirnya aku
tersenyum yang langsung dibalas olehnya. Senyuman yang kumiliki masih sama.
Demikian juga sorot mata hangat yang sedang menatapku. Tanganku terulur
menyentuhnya. Ujung-ujung jari kami bertemu. Ya. Dia adalah aku.
Terdengar ketukan
di pintu. Aku segera mengenakan kembali jubahku lalu membuka pintu. Dokter dan
perawat sudah berdiri di hadapanku. Mereka memang sudah ada di sana sedari tadi
menantiku. Mereka pun tidak mau kalah mengagumi sosok baruku. Membuat sekujur
tubuhku menghangat oleh kebahagiaan.
”Terima kasih,
Dok. Sekarang saya merasa lengkap. Tidak lagi terombang-ambing. Inilag saya.”
ujarku. Dia mengangguk. Senyum masih menghiasi rautnya. Kami bersalaman.
”Sudah tidak ada
masalah, namun sebaiknya Anda menginap dulu hingga lusa. Kami masih butuh
pengamatan lebih lanjut.” Aku mengangguk.
”Baik, Dok.”
sahutku. Kami berjalan bersama menuju ke kamarku. Aku melonjak girang ketika
melihatnya berdiri di depan pintu dengan buket mawar yang indah. Dia menyapa
dokter dan perawat sebelum akhirnya masuk bersamaku.
Begitu pintu
ditutup aku langsung memeluknya mengabaikan buket bunga yang tergolek pasrah di
lantai. Aku menghirup aromanya dalam-dalam sekedar untuk mengisi kekosongan di
relungku selama hampir sebulan ini. Lengan-lenganku memeluknya erat ingin
menyalurkan kehangatannya menghapus dingin yang kurasakan tanpanya. Ketika
akhirnya kami berpisah tatapan kami masih bertemu, saling mengabarkan kerinduan
yang dirasa selama ini.
”Aku kangen...”
ujarku terbata yang langsung dikunci oleh ciumannya. Bibir-bibir kami bertemu
saling melepas kerinduan yang rasanya tidak pernah surut. Lidah-lidah kami
saling berpilin dan menari geregetan menghisap semua oksigen, mengabaikan
paru-paru kami yang mengempis.
Ketika ciuman itu
harus berakhir, tatapan kami tetap bertautan. Tanganku membelai bingkai
wajahnya. Mengusap pipinya. Membelai hidungnya. Memijit bibirnya. Dan akhirnya
mengecup dagunya yang kasar oleh janggut yang baru tumbuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar