Rabu, 27 Juni 2012

Flash : XY


Aku membuka kelopak mataku. Tatapanku langsung bertemu dengan sosok asing yang bayangannya terpantul di cermin besar di hadapanku. Tanganku terangkat menyusuri wajahku perlahan. Rahangku sekarang terlihat lebih tegas. Tulang hidungku juga lurus menjulang. Aku menggerakkan kepalaku sedikit ke samping dan melihat semburat gelap kebiruan serupa jambang.

Pandanganku sekarang beralih ke dadaku yang sekarang sudah datar. Tidak ada lagi gumpalan kenyal yang selama hampir tiga puluh tahun ini bertengger di sana. Gumpalan yang serba nanggung karena tidak cukup layak ditampung sepasang mangkuk berwarna-warni beraneka model yang hanya bisa kupandang penuh rasa ingin dan iri. Tapi sudahlah. Sekarang masalah itu sudah usai. Aku tidak perlu lagi merasa iri karena sekarang aku tidak membutuhkannya lagi. Aku sudah terbebas!

Aku mengamati postur sosok di cermin. Hm, aku harus lebih banyak berlatih untuk membentuk otot di lengan dan pundakku yang masih terlalu kurus. Perutku juga harus dilatih lebih keras lagi.

Dan jantungku berdebar ketika pandanganku bergerak turun lebih ke bawah dan menemukan alat pelengkap yang juga menegaskan siapa diriku sekarang. Sekarang aku bisa bercinta total dengan kekasihku. Aku bisa benar-benar memasukinya. Memberinya kenikmatan tanpa harus merendahkan diri dengan segala alat pengganti itu. Dan jariku yang sudah lama gagal memuaskannya meski tidak pernah dia ungkapkan.

Akhirnya aku tersenyum yang langsung dibalas olehnya. Senyuman yang kumiliki masih sama. Demikian juga sorot mata hangat yang sedang menatapku. Tanganku terulur menyentuhnya. Ujung-ujung jari kami bertemu. Ya. Dia adalah aku.

Terdengar ketukan di pintu. Aku segera mengenakan kembali jubahku lalu membuka pintu. Dokter dan perawat sudah berdiri di hadapanku. Mereka memang sudah ada di sana sedari tadi menantiku. Mereka pun tidak mau kalah mengagumi sosok baruku. Membuat sekujur tubuhku menghangat oleh kebahagiaan.

”Terima kasih, Dok. Sekarang saya merasa lengkap. Tidak lagi terombang-ambing. Inilag saya.” ujarku. Dia mengangguk. Senyum masih menghiasi rautnya. Kami bersalaman.
”Sudah tidak ada masalah, namun sebaiknya Anda menginap dulu hingga lusa. Kami masih butuh pengamatan lebih lanjut.” Aku mengangguk.
”Baik, Dok.” sahutku. Kami berjalan bersama menuju ke kamarku. Aku melonjak girang ketika melihatnya berdiri di depan pintu dengan buket mawar yang indah. Dia menyapa dokter dan perawat sebelum akhirnya masuk bersamaku.

Begitu pintu ditutup aku langsung memeluknya mengabaikan buket bunga yang tergolek pasrah di lantai. Aku menghirup aromanya dalam-dalam sekedar untuk mengisi kekosongan di relungku selama hampir sebulan ini. Lengan-lenganku memeluknya erat ingin menyalurkan kehangatannya menghapus dingin yang kurasakan tanpanya. Ketika akhirnya kami berpisah tatapan kami masih bertemu, saling mengabarkan kerinduan yang dirasa selama ini.

”Aku kangen...” ujarku terbata yang langsung dikunci oleh ciumannya. Bibir-bibir kami bertemu saling melepas kerinduan yang rasanya tidak pernah surut. Lidah-lidah kami saling berpilin dan menari geregetan menghisap semua oksigen, mengabaikan paru-paru kami yang mengempis.

Ketika ciuman itu harus berakhir, tatapan kami tetap bertautan. Tanganku membelai bingkai wajahnya. Mengusap pipinya. Membelai hidungnya. Memijit bibirnya. Dan akhirnya mengecup dagunya yang kasar oleh janggut yang baru tumbuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar