Senin, 11 Juni 2012

Flash : Menuju Cahaya


Pintu belakang ambulans terbuka. Dengan sigap para perawat langsung mendorong brankar berisi Audrey keluar. Aku juga ikut bergegas bersama-sama para perawat masuk ke dalam IGD. Jantungku berdetak begitu kencang sehingga rasanya kaki-kakiku melayang tidak menjejak bumi. Darah dari luka di wajahnya sudah dibersihkan selama perjalanan tadi, tapi aku tahu dia masih belum benar-benar jauh dari maut.

Pintu ruang ICU tertutup tepat di depan wajahku. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdoa agar Audrey bisa melalui semuanya dengan selamat. Aku harus yakin pada kemampuan dokter-dokter di rumah sakit yang bergengsi ini. Audrey akan baik-baik saja. Semoga.

”Tidak perlu mencemaskannya. Dia akan baik-baik saja.” ujar seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh dariku. Penampilannya sangat rapi dan bersahaja. Wajahnya terlihat ramah dan aku langsung merasa kecemasanku berkurang separuh.
”Ya. Dia akan baik-baik saja.” sahutku. Sesaat kemudian rasa sesal menyeruak di relungku. Ah, seandainya saja aku bisa sedikit saja lebih bersabar. Hal ini tidak akan terjadi. Kami tidak perlu menghabiskan malam di rumah sakit ini. Tapi semua sudah terjadi, menyesal pun tidak ada artinya.

”Tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Tidak ada yang salah. Semua terjadi karena memang harus terjadi.” ujarnya lagi. Aku menatapnya bingung. Kenapa sepertinya dia bisa begitu mudah membaca pikiranku?
”Aku hanya ingin diberi kesempatan untuk meminta maaf padanya.” ujarku lagi dengan suara tercekat. Tidak berani berpikir jika tadi adalah pertemuan kami yang terakhir. Pertemuan yang harus berakhir tragis seperti ini.

Masih tergambar jelas di mataku pertengkaran kami tadi. Suara-suara kami yang saling meninggi tanpa jeda menyesakkan seisi mobil. Membuatku kehilangan konsentrasi dan melanggar lampu merah di perempatan. Aku menutup mataku seolah dengan begitu kenangan itu akan pupus, tapi kejadian itu terus berulang di benakku.

Dan saat itu mendadak bahuku disentuh. Audrey berdiri di sisiku. Aku langsung memeluknya. Mengucapkan maaf berkali-kali diselingi isak tangis. Audrey hanya memelukku erat berbisik bahwa tidak ada yang harus dimaafkan. Semuanya baik-baik saja. Setelahnya kami bertatapan, tapi ada yang aneh. Luka di keningnya tidak berbekas sama sekali. 

”Audrey, luka kamu...” tanyaku seraya menyentuh keningnya. Audrey tidak menyahut. Dia hanya berdia diam di hadapanku seolah menunggu sesuatu. Laki-laki berwajah ramah yang sedari tadi berdiri di dekatku menyentuh pundaknya.
”Kau harus kembali.” ujarnya. Audrey langsung menurutinya. Berjalan pelan meninggalkanku tanpa sempat kucegah. Sekarang laki-laki itu menatapku lalu berujar, ”Dia harus kembali. Bukankah kamu hanya ingin meminta maaf padanya?”
”Ya. Tapi dia harus kembali kemana? Dia tidak apa-apa. Lukanya bahkan sudah sembuh...”

Suara roda brankar yang didorong buru-buru mengalihkan perhatianku. Brankar itu berhenti di depan kami. Di sana terbaring seorang laki-laki yang bermandikan darah. Aku mengenali kemeja yang dia kenakan. Kemeja itu mirip seperti yang sedang kukenakan sekarang. Mataku terpaku pada kertas yang tergantung di jari kakinya.

”Jason Handoko.” Dia mengucapkan nama itu bersamaan dengan saat aku membacanya. Sekarang kami bertatapan. ”Sudah tiba waktunya...” sambungnya. Aku tidak membantahnya. Kesadaran menghampiriku dan air mataku mendadak menitik.

”Audrey sudah melalui masa kritisnya.” ujar laki-laki itu lagi. Aku hanya meneguhkan langkah menuju ke arah pintu yang dari celah-celahnya menyeruak cahaya.
”Ya. Dia akan baik-baik saja.” ujarku.

Pintu membuka. Aku pulang. Menyatu dengan cahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar