Pintu belakang ambulans terbuka. Dengan sigap para perawat langsung mendorong brankar berisi Audrey keluar. Aku juga ikut bergegas bersama-sama para perawat masuk ke dalam IGD. Jantungku berdetak begitu kencang sehingga rasanya kaki-kakiku melayang tidak menjejak bumi. Darah dari luka di wajahnya sudah dibersihkan selama perjalanan tadi, tapi aku tahu dia masih belum benar-benar jauh dari maut.
Pintu ruang ICU
tertutup tepat di depan wajahku. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdoa
agar Audrey bisa melalui semuanya dengan selamat. Aku harus yakin pada
kemampuan dokter-dokter di rumah sakit yang bergengsi ini. Audrey akan
baik-baik saja. Semoga.
”Tidak perlu
mencemaskannya. Dia akan baik-baik saja.” ujar seorang laki-laki yang berdiri
tidak jauh dariku. Penampilannya sangat rapi dan bersahaja. Wajahnya terlihat
ramah dan aku langsung merasa kecemasanku berkurang separuh.
”Ya. Dia akan
baik-baik saja.” sahutku. Sesaat kemudian rasa sesal menyeruak di relungku. Ah,
seandainya saja aku bisa sedikit saja lebih bersabar. Hal ini tidak akan
terjadi. Kami tidak perlu menghabiskan malam di rumah sakit ini. Tapi semua
sudah terjadi, menyesal pun tidak ada artinya.
”Tidak perlu
menyalahkan diri sendiri. Tidak ada yang salah. Semua terjadi karena memang
harus terjadi.” ujarnya lagi. Aku menatapnya bingung. Kenapa sepertinya dia
bisa begitu mudah membaca pikiranku?
”Aku hanya ingin
diberi kesempatan untuk meminta maaf padanya.” ujarku lagi dengan suara
tercekat. Tidak berani berpikir jika tadi adalah pertemuan kami yang terakhir.
Pertemuan yang harus berakhir tragis seperti ini.
Masih tergambar
jelas di mataku pertengkaran kami tadi. Suara-suara kami yang saling meninggi
tanpa jeda menyesakkan seisi mobil. Membuatku kehilangan konsentrasi dan
melanggar lampu merah di perempatan. Aku menutup mataku seolah dengan begitu
kenangan itu akan pupus, tapi kejadian itu terus berulang di benakku.
Dan saat itu mendadak
bahuku disentuh. Audrey
berdiri di sisiku. Aku langsung memeluknya. Mengucapkan maaf berkali-kali diselingi
isak tangis. Audrey hanya memelukku erat berbisik bahwa tidak ada yang harus
dimaafkan. Semuanya baik-baik saja. Setelahnya kami bertatapan, tapi ada yang
aneh. Luka di keningnya tidak berbekas sama sekali.
”Audrey, luka
kamu...” tanyaku seraya menyentuh keningnya. Audrey tidak menyahut. Dia hanya
berdia diam di hadapanku seolah menunggu sesuatu. Laki-laki berwajah ramah yang
sedari tadi berdiri di dekatku menyentuh pundaknya.
”Kau harus
kembali.” ujarnya. Audrey langsung menurutinya. Berjalan pelan meninggalkanku
tanpa sempat kucegah. Sekarang laki-laki itu menatapku lalu berujar, ”Dia harus
kembali. Bukankah kamu hanya ingin meminta maaf padanya?”
”Ya. Tapi dia
harus kembali kemana? Dia tidak apa-apa. Lukanya bahkan sudah sembuh...”
Suara roda brankar
yang didorong buru-buru mengalihkan perhatianku. Brankar itu berhenti di depan
kami. Di sana terbaring seorang laki-laki yang bermandikan darah. Aku mengenali
kemeja yang dia kenakan. Kemeja itu mirip seperti yang sedang kukenakan
sekarang. Mataku terpaku pada kertas yang tergantung di jari kakinya.
”Jason Handoko.” Dia
mengucapkan nama itu bersamaan dengan saat aku membacanya. Sekarang kami
bertatapan. ”Sudah tiba waktunya...” sambungnya. Aku tidak membantahnya. Kesadaran
menghampiriku dan air mataku mendadak menitik.
”Audrey sudah
melalui masa kritisnya.” ujar laki-laki itu lagi. Aku hanya meneguhkan langkah
menuju ke arah pintu yang dari celah-celahnya menyeruak cahaya.
”Ya. Dia akan
baik-baik saja.” ujarku.
Pintu membuka.
Aku pulang. Menyatu dengan cahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar