Senin, 18 Juni 2012

Flash : Burung Dara

Aku menebarkan remah roti ke tanah dan sekelompok burung Dara langsung berkerumun di sana. Saling bertekur riuh. Kepala mereka bergerak lincah mencari dan meraih remah yang tersebar. Aku tidak menunggu hingga mereka menagih, langsung menebarkan kembali genggamanku yang terakhir.

Taman masih sepi sehabis hujan sepanjang siang menjelang sore. Mendung masih bergelayut di langit, malas-malasan beranjak pergi. Aku melirik arlojiku lalu merapatkan syal dan kardigan yang kukenakan untuk menghalau dingin. Syal berwarna peach pemberiannya. Dia pasti akan senang melihat aku mengenakan syal ini. Aku bisa membayangkan senyum girang memenuhi rautnya.

Pertemuan kami terjadi tidak sengaja. Saat itu aku sedang di sini asik memberi makan burung Dara tanpa sadar sepasang mata setajam elang sudah membidikku sebelum akhirnya dia menghampiri dengan penuh percaya diri. Suaranya yang ramah dengan lincah nyelonong di antara aku dan tekuran burung Dara.

”Namaku Anton.” Senyumnya yang ramah bersahabat membuatku tidak bisa menolak uluran tangannya.
”Dara.” sahutku singkat lalu membetulkan syal yang kukenakan hanya untuk mengurangi rasa gugup karena sengatan kulitnya.
”Nama yang indah. Pas buat kamu...” Pipiku hanya menghangat menyahut pujiannya.

Setelahnya kami sering bertemu hanya untuk bercakap-cakap meskipun tanpa membuat janji temu. Duduk berdua di bangku yang sama. Sesekali dia akan membantuku menebarkan remah roti untuk burung Dara. Aku lebih banyak diam karena senang mendengar suaranya yang lembut mengalirkan kehangatan di relungku. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan itu. Apakah ini artinya aku akhirnya berhasil menemukan?

”Ini buat kamu, Ra.”

Saat itu kami sedang berdua di ruang tamu rumahku yang kosong. Aku menerima kantungan berwarna metalik yang dia angsurkan. Langsung mengeluarkan isinya. Sebuah syal berwarna peach yang langsung dia bantu kenakan di leherku. Aku hanya menunduk malu tidak sanggup menantang tatapannya. Tidak juga menolak ketika dia mengangkat daguku dan mendaratkan bibirnya di bibirku. Sekujur tubuhku bergetar hebat. Relungku bergolak. Ketika tangannya yang besar mendarat di gumpalan kenyal di dadaku, tanganku menahannya. Belum saatnya. Betapa pun aku juga sangat menginginkannya.

Sepasang tangan menutup mataku. Aku terpekik terkejut namun langsung menyebutkan namanya. Sesaat kemudian wajahnya yang sumringah sudah memenuhi pandanganku.
”Sori, ya aku telat. Tadi mendadak ada tugas...” ujarnya.
”Iya nggak apa-apa.” sahutku menyunggingkan senyum.
”Selamat ulang tahun, Cantik...” ujarnya masih berlutut di hadapanku. Aku hanya mengangguk dengan pipi menghangat. ”Sekarang kita mau jalan ke mana?” sambungnya. Sekarang kami sudah berjalan meninggalkan taman menuju sepeda motornya. Aku bergelayut di lengannya.
”Ke rumah ajah...” sahutku. Entah kenapa suaraku serak.

Aku sudah siap. Sangat siap untuk semua ini. Berkali-kali aku mengucapkan kalimat itu seperti mendaraskan mantera saat bersiap-siap di kamar mandi. Aku memandang sosok menawan di hadapanku. Babydoll seksi berwarna hitam membalut tubuhnya. Kontras dengan kulitnya yang putih. Memamerkan gumpalan kenyal yang menyembul indah. Aku melilitkan syal peach di leherku. Pandanganku terus menyapu pemandangan di hadapanku terus ke bawah dan tersenyum.

”Dara sayang... Buruan dong...” panggilnya membuat senyumku lebih lebar setengah menyeringai. Tanganku membelai sekilas gundukan keras yang menyembul sebagian dari balik thong yang kukenakan memamerkan puncaknya yang kemerahan dengan liur membayang.


Ya, aku sudah siap.

Burungku juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar