Aku menebarkan remah roti ke tanah dan sekelompok burung Dara
langsung berkerumun di sana. Saling bertekur riuh. Kepala mereka
bergerak lincah mencari dan meraih remah yang tersebar. Aku tidak
menunggu hingga mereka menagih, langsung menebarkan kembali genggamanku
yang terakhir.
Taman masih sepi sehabis hujan
sepanjang siang menjelang sore. Mendung masih bergelayut di langit,
malas-malasan beranjak pergi. Aku melirik arlojiku lalu merapatkan syal
dan kardigan yang kukenakan untuk menghalau dingin. Syal berwarna peach pemberiannya. Dia pasti akan senang melihat aku mengenakan syal ini. Aku bisa membayangkan senyum girang memenuhi rautnya.
Pertemuan
kami terjadi tidak sengaja. Saat itu aku sedang di sini asik memberi
makan burung Dara tanpa sadar sepasang mata setajam elang sudah
membidikku sebelum akhirnya dia menghampiri dengan penuh percaya diri.
Suaranya yang ramah dengan lincah nyelonong di antara aku dan tekuran
burung Dara.
”Namaku Anton.” Senyumnya yang ramah bersahabat membuatku tidak bisa menolak uluran tangannya.
”Dara.” sahutku singkat lalu membetulkan syal yang kukenakan hanya untuk mengurangi rasa gugup karena sengatan kulitnya.
”Nama yang indah. Pas buat kamu...” Pipiku hanya menghangat menyahut pujiannya.
Setelahnya
kami sering bertemu hanya untuk bercakap-cakap meskipun tanpa membuat
janji temu. Duduk berdua di bangku yang sama. Sesekali dia akan
membantuku menebarkan remah roti untuk burung Dara. Aku lebih banyak
diam karena senang mendengar suaranya yang lembut mengalirkan kehangatan
di relungku. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan itu. Apakah ini
artinya aku akhirnya berhasil menemukan?
”Ini buat kamu, Ra.”
Saat
itu kami sedang berdua di ruang tamu rumahku yang kosong. Aku menerima
kantungan berwarna metalik yang dia angsurkan. Langsung mengeluarkan
isinya. Sebuah syal berwarna peach yang langsung dia bantu
kenakan di leherku. Aku hanya menunduk malu tidak sanggup menantang
tatapannya. Tidak juga menolak ketika dia mengangkat daguku dan
mendaratkan bibirnya di bibirku. Sekujur tubuhku bergetar hebat.
Relungku bergolak. Ketika tangannya yang besar mendarat di gumpalan
kenyal di dadaku, tanganku menahannya. Belum saatnya. Betapa pun aku
juga sangat menginginkannya.
Sepasang tangan menutup
mataku. Aku terpekik terkejut namun langsung menyebutkan namanya. Sesaat
kemudian wajahnya yang sumringah sudah memenuhi pandanganku.
”Sori, ya aku telat. Tadi mendadak ada tugas...” ujarnya.
”Iya nggak apa-apa.” sahutku menyunggingkan senyum.
”Selamat
ulang tahun, Cantik...” ujarnya masih berlutut di hadapanku. Aku hanya
mengangguk dengan pipi menghangat. ”Sekarang kita mau jalan ke mana?”
sambungnya. Sekarang kami sudah berjalan meninggalkan taman menuju
sepeda motornya. Aku bergelayut di lengannya.
”Ke rumah ajah...” sahutku. Entah kenapa suaraku serak.
Aku
sudah siap. Sangat siap untuk semua ini. Berkali-kali aku mengucapkan
kalimat itu seperti mendaraskan mantera saat bersiap-siap di kamar
mandi. Aku memandang sosok menawan di hadapanku. Babydoll seksi
berwarna hitam membalut tubuhnya. Kontras dengan kulitnya yang putih.
Memamerkan gumpalan kenyal yang menyembul indah. Aku melilitkan syal peach di leherku. Pandanganku terus menyapu pemandangan di hadapanku terus ke bawah dan tersenyum.
”Dara
sayang... Buruan dong...” panggilnya membuat senyumku lebih lebar
setengah menyeringai. Tanganku membelai sekilas gundukan keras yang
menyembul sebagian dari balik thong yang kukenakan memamerkan puncaknya yang kemerahan dengan liur membayang.
Ya, aku sudah siap.
Burungku juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar