Senin, 28 Mei 2012

Cerpen : Abang Pulang

“Dik, besok malam Abang pulang…”

Tepukan di lututku langsung mengembalikanku ke dunia setelah berkelana cukup lama di alam khayal. Aku segera bergeser memberi tempat untuk perempuan setengah baya itu duduk lalu angkot kembali melaju. Bukan sepenuhnya mengkhayal sih, aku hanya mengingat kembali mimpiku tadi malam. Mimpi yang tidak bisa kuingat dengan jelas selain kalimat terakhir yang begitu nyata dan terus menerus terngiang di telingaku.

Aku melemparkan pandangan ke luar jendela. Deretan pertokoan di sepanjang jalan mulai menyesaki trotoar dengan barang-barang dagangan mereka yang tidak tertampung lagi di dalam. Teriakan klakson pengguna jalanan yang saling bersahutan. Cahaya matahari mulai menyengat. Beberapa orang di angkot mulai mengusap dahi mereka yang berkeringat.

Pikiranku kembali dipenuhi mimpi itu lalu segaris senyum menghiasi bibirku. Tidak terasa sudah hampir dua tahun dia merantau ke negeri jiran. Benakku langsung dipenuhi rencana. Semangat langsung mengalir deras ke sekujur tubuhku. Kalau memang benar Abang pulang hari ini, nanti sepulang kerja aku akan singgah dulu membeli makanan kesukaannya. Martabak Mesir Jumbo di tempat langganannya. Dia pasti sangat senang.

Aku melirik jari manisku yang berhiaskan cincin pertunangan kami. Cincin sederhana yang dia sematkan sehari sebelum keberangkatannya. Cincin berisi cinta dan harapannya. Harapan yang hingga sekarang masih kujaga, tidak peduli cibiran dan godaan yang menghampiri. Karena aku yakin Abang pasti pulang dan memenuhi janjinya. Keyakinan yang sempat luntur ketika komunikasi kami terputus hampir setahun yang lalu, namun kemunculan suratnya langsung melunasi kerinduanku. Dia menjelaskan sudah berpindah pekerjaan dan tidak bisa sering-sering lagi menghubungiku. Dan sebagai kekasihnya aku hanya bisa mengerti dan mendoakannya.

Mendoakannya agar selalu dalam lindungan Yang Kuasa hingga akhirnya pulang kembali ke sisiku. Senyumku semakin merekah. Mungkin mimpi semalam itu adalah pertanda setelah puluhan suratku seolah raib ditelah kabut tanpa balasan darinya.

”Hei, Lis... Ceria amat. Daritadi senyum-senyum sendiri.” Teguran Galih langsung menyadarkanku. Ternyata lamunanku terus berlanjut hingga ke kantorku. Pipiku pun merona. ”Emang ada apa sih? Bulan tua gini senyam-senyum. Blom gajian juga.” sambungnya.

Ingin rasanya aku menceritakan mimpiku, tapi aku langsung menahan diri. Mendadak teringat cerita orang, bahwa jika mimpi diceritakan maka jadi batal. Atau kebalikannya yang terjadi. Aku tidak ingin yang lain selain Abang benar-benar pulang seperti janjinya di mimpi.

”Nggak apa-apa kok. Mau tau aja.” sahutku asal. Dia masih memandangku penuh selidik, tapi aku langsung menyibukkan diri. Hari ini semua pekerjaan harus kelar supaya tidak perlu lembur dan keburu membeli martabak langganan Abang.

Aku barusan menyelesaikan laporan terakhir hari ini lalu menatap jam dinding dan langsung mendesah. Kenapa hari ini rasanya lamban sekali? Semua pekerjaanku hari ini sudah selesai, tapi kenapa jarum itu tidak juga bergerak? Padahal tinggal satu jam lagi. Aku pun mulai mengerjakan beberapa pekerjaan yang tidak terlalu mendesak untuk menghabiskan waktu sambil sesekali melirik jam yang sedang mencibir penuh kemenangan di atas sana.

Dentang jam terdengar lima kali dan aku langsung memadamkan komputer dan bergegas merapikan meja kerja di kubikelku. Galih bangkit mengamatiku. Aku hanya melemparkan senyum termanisku lalu bergegas meninggalkan ruangan bersama beberapa orang lainnya. Masuk ke dalam lift langsung menuju ke lobi utama. Berjalan buru-buru lalu menyetop taksi kosong yang lewat.

Pembeli di penjual martabak langganan Abang ternyata sudah mulai ramai. Aku buru-buru mengambil antre-an. Menanti dengan tidak sabar hingga giliranku tiba dan Martabak Mesir Jumbo pesananku sudah diangsurkan ke arahku. Uapnya yang mengepul menguarkan aroma lezat. Aku segera menyetop angkot langsung pulang ke rumah.

Setibanya di rumah aku langsung menyusun martabak itu di piring lalu menghidangkannya di meja makan. Dan saat itu bel pintu berdentang. Itu pasti Abang! Maka aku langsung bergegas setengah berlari menuju ke pintu lalu membukanya. Tatapan kami bertemu, tapi meski penampilannya berbeda dengan saat akan berangkat aku langsung bisa mengenalinya. Abang benar-benar pulang. Tangannya menenteng tas yang lusuh. Aku langsung menghambur ke pelukannya.

”Abang benar-benar pulang!” seruku diikuti isak di pelukannya.

Dia balas memelukku. Mengusap punggungku. Selama beberapa saat kami hanya berpelukan di sana hingga akhirnya dia yang lebih dulu melerai pelukannya. Mengusap lembut air mataku yang berurai. Bibirnya mengulas senyum. Senyum yang sangat kukenal. Senyum Abang yang kucintai.

”Adik terus menunggu Abang...” sambungku.
”Iya. Abang tau.” balasnya lembut lalu meraih tanganku. Kami sama-sama memandang cincin yang masih setia melingkar di sana. Tangannya dingin. Di langit terdengar gemuruh.
”Kita masuk dulu, Bang.” Abang mengangguk lalu mengangkat tasnya. Aku menutup pintu lalu menyusulnya. Langkahnya terhenti di depan meja makan mungilku. Aku langsung menghampirinya lalu berkata dengan penuh semangat, ”Adik beli untuk Abang.”

Kami lalu duduk berdua di meja makan. Sama-sama menikmati martabak yang masih hangat. Kehangatan mengisi relungku yang hampir kosong selama dua tahun belakangan ini tatkala menyaksikannya menyantap martabak itu dengan lahap hingga tandas. Aku mendengarkan kisahnya selama di perantauan. Betapa berat dan sulit hidup yang dia jalani selama di sana. Semua terlihat di dirinya. Abang sekarang makin kurus. Matanya juga lebih cekung. Pipinya tirus. Kulitnya juga lebih gelap.

”Tapi sekarang Abang udah pulang. Adik udah tenang.” Dia mengangguk. Matanya yang sayu menatapku lembut.
”Makasih Adik tetap setia nungguin Abang.” Mataku kembali berkaca-kaca. Tidak perlu kuceritakan perjuanganku selama penantian. Semua karena harapan tulus yang dia titipkan kepadaku.
”Adik nggak mau ditinggal lagi.” Untuk sesaat dia tercenung sebelum akhirnya mengangguk.
”Abang nggak akan kemana-mana.” Aku mengangguk.

Setelahnya kami ngobrol berdua di ruang tengah sembari menonton televisi. Sesekali aku tertawa mendengar kisah konyolnya bersama teman-temannya di sana. Rasanya seperti mimpi bisa bersamanya sekarang. Mendengar suaranya lagi. Menatap sosoknya lagi. Entah kenapa pikiran aneh muncul di benakku, seandainya pun ini mimpi biarlah aku tidak terbangun.

***
Belaian angin dingin di wajahku membangunkanku. Ah, aku ketiduran di sofa rupanya. Televisi masih menyala menayangkan berita tengah malam dengan suara keras. Hanya aku sendirian di sini. Abang kemana? Aku segera bangkit dan mulai memanggil-manggilnya. Tidak ada sahutan. Mungkin dia keluar sebentar membeli rokok di warung depan gang? Tapi kenapa tasnya juga tidak kelihatan? Masa Abang membawa tas segala? Aku kembali ke ruang tengah melewati meja makan dan langsung terbelalak tidak percaya ketika melihat meja makan. Martabaknya...

’Dua orang TKI ilegal tewas ditembak petugas saat akan melarikan diri...’

Refleks aku menoleh ke arah berita yang ditayangkan dan langsung membeku. Mataku bertemu dengan sepasang mata di foto yang lumayan buram itu. Mata yang cekung dan sayu itu. Mata yang begitu akrab. Mata milik Abang.

“Dik, besok malam Abang pulang…”

Kata-kata itu kembali terngiang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar