Tepukan di lututku langsung mengembalikanku ke dunia setelah
berkelana cukup lama di alam khayal. Aku segera bergeser memberi tempat untuk
perempuan setengah baya itu duduk lalu angkot kembali melaju. Bukan sepenuhnya
mengkhayal sih, aku hanya mengingat kembali mimpiku tadi malam. Mimpi yang tidak bisa kuingat dengan jelas selain
kalimat terakhir yang begitu nyata dan terus menerus terngiang di telingaku.
Aku melemparkan
pandangan ke luar jendela. Deretan pertokoan di sepanjang jalan mulai menyesaki
trotoar dengan barang-barang dagangan mereka yang tidak tertampung lagi di
dalam. Teriakan klakson pengguna jalanan yang saling bersahutan. Cahaya
matahari mulai menyengat. Beberapa orang di angkot mulai mengusap dahi mereka
yang berkeringat.
Pikiranku kembali
dipenuhi mimpi itu lalu segaris senyum menghiasi bibirku. Tidak terasa sudah
hampir dua tahun dia merantau ke negeri jiran. Benakku langsung dipenuhi
rencana. Semangat langsung mengalir deras ke sekujur tubuhku. Kalau memang
benar Abang pulang hari ini, nanti sepulang kerja aku akan singgah dulu membeli
makanan kesukaannya. Martabak Mesir Jumbo di tempat langganannya. Dia pasti
sangat senang.
Aku melirik jari
manisku yang berhiaskan cincin pertunangan kami. Cincin sederhana yang dia
sematkan sehari sebelum keberangkatannya. Cincin berisi cinta dan harapannya.
Harapan yang hingga sekarang masih kujaga, tidak peduli cibiran dan godaan yang
menghampiri. Karena aku yakin Abang pasti pulang dan memenuhi janjinya. Keyakinan
yang sempat luntur ketika komunikasi kami terputus hampir setahun yang lalu,
namun kemunculan suratnya langsung melunasi kerinduanku. Dia menjelaskan sudah
berpindah pekerjaan dan tidak bisa sering-sering lagi menghubungiku. Dan
sebagai kekasihnya aku hanya bisa mengerti dan mendoakannya.
Mendoakannya agar
selalu dalam lindungan Yang Kuasa hingga akhirnya pulang kembali ke sisiku.
Senyumku semakin merekah. Mungkin mimpi semalam itu adalah pertanda setelah
puluhan suratku seolah raib ditelah kabut tanpa balasan darinya.
”Hei, Lis...
Ceria amat. Daritadi senyum-senyum sendiri.” Teguran Galih langsung
menyadarkanku. Ternyata lamunanku terus berlanjut hingga ke kantorku. Pipiku
pun merona. ”Emang ada apa sih? Bulan tua gini senyam-senyum. Blom gajian juga.”
sambungnya.
Ingin rasanya aku
menceritakan mimpiku, tapi aku langsung menahan diri. Mendadak teringat cerita
orang, bahwa jika mimpi diceritakan maka jadi batal. Atau kebalikannya yang
terjadi. Aku tidak ingin yang lain selain Abang benar-benar pulang seperti
janjinya di mimpi.
”Nggak apa-apa
kok. Mau tau aja.” sahutku
asal. Dia masih memandangku penuh selidik, tapi aku langsung menyibukkan diri. Hari ini semua pekerjaan harus kelar
supaya tidak perlu lembur dan keburu membeli martabak langganan Abang.
Aku barusan
menyelesaikan laporan terakhir hari ini lalu menatap jam dinding dan langsung mendesah.
Kenapa hari ini rasanya lamban sekali? Semua pekerjaanku hari ini sudah
selesai, tapi kenapa jarum itu tidak juga bergerak? Padahal tinggal satu jam
lagi. Aku pun mulai mengerjakan beberapa pekerjaan yang tidak terlalu mendesak
untuk menghabiskan waktu sambil sesekali melirik jam yang sedang mencibir penuh
kemenangan di atas sana.
Dentang jam
terdengar lima kali dan aku langsung memadamkan komputer dan bergegas merapikan
meja kerja di kubikelku. Galih bangkit mengamatiku. Aku hanya melemparkan
senyum termanisku lalu bergegas meninggalkan ruangan bersama beberapa orang
lainnya. Masuk ke dalam lift langsung menuju ke lobi utama. Berjalan buru-buru
lalu menyetop taksi kosong yang lewat.
Pembeli di penjual
martabak langganan Abang ternyata sudah mulai ramai. Aku buru-buru mengambil
antre-an. Menanti dengan tidak sabar hingga giliranku tiba dan Martabak Mesir
Jumbo pesananku sudah diangsurkan ke arahku. Uapnya yang mengepul menguarkan
aroma lezat. Aku segera menyetop angkot langsung pulang ke rumah.
Setibanya di
rumah aku langsung menyusun martabak itu di piring lalu menghidangkannya di
meja makan. Dan saat itu bel pintu berdentang. Itu pasti Abang! Maka aku langsung
bergegas setengah berlari menuju ke pintu lalu membukanya. Tatapan kami
bertemu, tapi meski penampilannya berbeda dengan saat akan berangkat aku
langsung bisa mengenalinya. Abang benar-benar pulang. Tangannya menenteng tas
yang lusuh. Aku langsung menghambur ke pelukannya.
”Abang
benar-benar pulang!” seruku diikuti isak di pelukannya.
Dia balas
memelukku. Mengusap punggungku. Selama beberapa saat kami hanya berpelukan di
sana hingga akhirnya dia yang lebih dulu melerai pelukannya. Mengusap lembut air
mataku yang berurai. Bibirnya mengulas senyum. Senyum yang sangat kukenal.
Senyum Abang yang kucintai.
”Adik terus
menunggu Abang...” sambungku.
”Iya. Abang tau.”
balasnya lembut lalu meraih tanganku. Kami sama-sama memandang cincin yang
masih setia melingkar di sana. Tangannya dingin. Di langit terdengar gemuruh.
”Kita masuk dulu,
Bang.” Abang mengangguk lalu mengangkat tasnya. Aku menutup pintu lalu
menyusulnya. Langkahnya terhenti di depan meja makan mungilku. Aku langsung
menghampirinya lalu berkata dengan penuh semangat, ”Adik beli untuk Abang.”
Kami lalu duduk
berdua di meja makan. Sama-sama menikmati martabak yang masih hangat. Kehangatan
mengisi relungku yang hampir kosong selama dua tahun belakangan ini tatkala
menyaksikannya menyantap martabak itu dengan lahap hingga tandas. Aku
mendengarkan kisahnya selama di perantauan. Betapa berat dan sulit hidup yang
dia jalani selama di sana. Semua terlihat di dirinya. Abang sekarang makin
kurus. Matanya juga lebih cekung. Pipinya tirus. Kulitnya juga lebih gelap.
”Tapi sekarang
Abang udah pulang. Adik udah tenang.” Dia mengangguk. Matanya yang sayu
menatapku lembut.
”Makasih Adik
tetap setia nungguin Abang.” Mataku kembali berkaca-kaca. Tidak perlu
kuceritakan perjuanganku selama penantian. Semua karena harapan tulus yang dia
titipkan kepadaku.
”Adik nggak mau
ditinggal lagi.” Untuk sesaat dia tercenung sebelum akhirnya mengangguk.
”Abang nggak akan
kemana-mana.” Aku mengangguk.
Setelahnya kami
ngobrol berdua di ruang tengah sembari menonton televisi. Sesekali aku tertawa
mendengar kisah konyolnya bersama teman-temannya di sana. Rasanya seperti mimpi
bisa bersamanya sekarang. Mendengar suaranya lagi. Menatap sosoknya lagi. Entah
kenapa pikiran aneh muncul di benakku, seandainya pun ini mimpi biarlah aku
tidak terbangun.
***
Belaian angin dingin di wajahku membangunkanku. Ah, aku ketiduran di sofa rupanya. Televisi
masih menyala menayangkan berita tengah malam dengan suara keras. Hanya aku
sendirian di sini. Abang kemana? Aku segera bangkit dan mulai memanggil-manggilnya.
Tidak ada sahutan. Mungkin dia keluar sebentar membeli rokok di warung depan
gang? Tapi kenapa tasnya juga tidak kelihatan? Masa Abang membawa tas segala? Aku
kembali ke ruang tengah melewati meja makan dan langsung terbelalak tidak percaya
ketika melihat meja makan. Martabaknya...
’Dua orang TKI
ilegal tewas ditembak petugas saat akan melarikan diri...’
Refleks aku
menoleh ke arah berita yang ditayangkan dan langsung membeku. Mataku bertemu
dengan sepasang mata di foto yang lumayan buram itu. Mata yang cekung dan sayu
itu. Mata yang begitu akrab. Mata milik Abang.
“Dik, besok malam
Abang pulang…”
Kata-kata itu
kembali terngiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar