Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : Terbakar

‘Apakah yang kulakukan sekarang ini termasuk main api?’

Aku tercenung membaca pesan singkat yang baru tiba. Darinya. Ibu jariku bergerak menuju ke tombol ’Reply’, tapi terhenti dan setelahnya aku tepekur. Hari sudah berganti satu jam yang lalu dan lajunya seolah terhenti dengan kemunculan pesan singkat itu. Pesan singkat yang memotong aliran waktuku. Membuatku terhenti.

Suara hembusan napas teratur perlahan menyapa telingaku. Betapa ingin aku menyusulnya segera, napasku yang teratur beradu mesra dengannya. Tapi aku hanya bisa ingin, tanpa bisa memilikinya. Kedamaian serupa yang tergambar di wajahnya sekarang. Entah dimana dia saat ini, sementara aku masih tertahan.

Tanganku terulur. Menyibak helaian rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Menatapnya lekat. Kekasihku yang sedang berada di antah berantah. Kekasihku yang sekarang menyerahkan dirinya penuh kepada penguasa mimpi. Kekasihku yang dingin betapapun hangat yang menjalar dari kulitnya menyapa jariku. Kekasihku yang entah sudah sejak kapan sudah bukan kekasihku lagi.

Kulitnya masih berpendar lembut sisa percintaan kami tadi. Percintaan yang akhir-akhir ini tidak lebih baik dari masturbasi yang sekarang lebih sering kulakukan. Masturbasi yang membuatku orgasme berkali-kali tanpa usaha keras seperti saat kami bergumul bermandi keringat. Aku bahkan melakukannya sepanjang hari, dimana pun tanpa rasa malu menjadi tontonan orang lain. Masturbasi yang begitu memuaskan meski aku hanya memikirkannya sedetik. Memikirkannya yang bukan kekasihku.

Ya. Kalian pasti jijik mengetahui kebenaran itu, kan? Tapi apa yang kalian pikirkan tidak penting buatku. Karena kalian tidak berada di posisiku sekarang. Karena kalian tidak mengalaminya seperti aku. Atau karena kalian lebih cerdas daripada aku? Entahlah.

Pertemuanku dengannya terjadi tidak sengaja bahkan terlalu picisan untuk dimasukkan ke dalam risalah kisah cinta romantis sepanjang sejarah. Aku bahkan tidak ingat pernah berkenalan dengannya. Suatu hari dia muncul di kotak pesanku sebagai sosok asing tidak penting yang entah kenapa jadi kuanggap penting ketika dengan kesadaran penuh aku melepas selubung itu, menguaknya dan masuk menemuinya. Sosok yang sama denganku namun tidak sedingin aku.

Setelahnya aku jadi rajin menemuinya. Setiap hari kami bertemu di depan pagar rumahnya, berbincang tentang apa pun. Hal-hal tak penting yang mendadak menjadi begitu penting dan menggairahkan buat dibicarakan. Tidak ada hari yang berlalu tanpa aku sempatkan untuk menyapanya. Kadang dia sedang memotong rumput, menyiram bunga atau hanya sedang duduk di sore yang indah di beranda bersama teman-temannya yang lain.

Semakin hari, aku tidak lagi ingin sekedar lewat menyapanya. Aku ingin masuk. Ingin menghabiskan waktu minum teh atau sekedar duduk diam bersamanya. Di berandanya. Beranda yang indah dan hangat berhiaskan bunga-bunga. Pasti sangat syahdu saat matahari terbenam di sana dan aku ingin menikmati pemandangan itu berdua dengannya di beranda. Tapi kami masih belum cukup mengenal, atau sudah? Yang pasti hatiku berlonjak kegirangan saat akhirnya dengan ramah dia membuka pagar dan mengajakku ke berandanya. Dan aku langsung betah di sana.

Setiap hari aku seolah mendapat semburan semangat baru karena sekarang ada dia yang ganti rajin menyapaku. Meski terkadang aku tidak bisa singgah di berandanya karena kesibukan yang berlipat-lipat, tapi membayangkan esok bisa menemuinya lagi membuatku lebih kuat menjalani hari. Orang-orang bahkan menyadarinya juga ketika mereka terlihat heran dengan semangatku yang menggebu-gebu entah mendapat suntikan vitamin apa. Orang-orang juga menyadari wajahku yang sekarang kembali berbinar seperti matahari.

Bahkan kekasihku. Kekasihku yang selama beberapa waktu ini seolah menghilang meskipun kami berdiam di rumah yang sama. Rumah yang mungkin sudah sebegitu dinginnya sehingga meredam segala kehangatan dan keberadaan apa pun di dalamnya. Dia juga menyadari dan turut menikmati pendaran sinarku yang hangat. Aku tidak bisa mencegahnya karena pendaran itu ruah kemana-mana. Siapapun akan terkena rambatan hangatnya.

Rumah kami kembali hangat. Tempat tidur kami juga meski perlahan mulai menghangat kembali. Kekasihku mulai terlihat kembali dan sedikit demi sedikit aku kembali bisa merasakan kehadirannya. Tapi dengan segala kehangatan itu kenapa sekarang rasanya kami butuh usaha lebih keras untuk bisa menyatu kembali? Kenapa malam-malam hangat yang kami lalui malah terasa hambar? Dan semakin parah sehingga akhirnya aku memutuskan untuk masturbasi.

Jika orang lain cemas ketika sudah tidak bisa lagi mendapat kepuasan dari kebersamaan sehingga memutuskan untuk meraihnya dari masturbasi, entah kenapa aku malah merasa lega. Jika orang lain mungkin butuh usaha keras untuk mendapat kepuasan dari masturbasi, entah kenapa aku bisa meraih kepuasan itu kapan pun aku mau seolah sekarang di hadapanku terbentang samudera kepuasan yang bisa kureguk airnya kapan pun. Karena ada dia di sana. Di tengah-tengah samudera. Segala kepuasan yang kureguk berasal dari keringatnya yang menyatu dengan samudera. Memberi rasa kepada samuderaku yang hambar.

Rumahku hangat, namun kekasihku memang tetap dingin, betapapun keras usahaku untuk ikut menghangatkannya hanya akan berhasil di kulitnya saja. Kehangatanku mungkin memang tidak akan pernah bisa menembusnya, masuk ke dalam relungnya. Jika aku bisa meraih kepuasan lewat masturbasi, maka darimana dia mendapatkannya? Apakah usahanya yang keras untuk selalu tampak puas itu bisa benar-benar memuaskannya? Entahlah, tapi yang pasti usahanya itu sudah membunuh kepuasanku bersamanya.

Sore ini aku tidak langsung pulang. Aku tidak tahan lagi jika harus berlama-lama di rumah itu. Maka aku kembali menyapanya. Sore itu dia sedang merapikan bunga-bunga di kebun mungilnya. Dia langsung menyuruhku masuk, dan kami sama-sama melangkah ke berandanya. Sepiring biskuit dan sepoci teh sudah menanti. Dia basa basi bertanya kabarku karena sudah beberapa waktu ini aku memang tidak singgah untuk menyapanya. Aku hanya menjawab sibuk di kantor betapapun ingin aku mengaku bahwa selama beberapa waktu ini aku sedang berusaha menghidupkan kembali rumahku. Menghangatkan kembali relung kekasihku.

Dia tidak bertanya lagi dan entah kenapa aku merasa seperti tertangkap basah. Selanjutnya kami mulai berbincang, tapi tidak seperti biasanya kali ini dia menatapku dengan matanya yang bening keemasan oleh cahaya senja. Tatapan yang sedemikian syahdu tapi mampu merobek-robek pertahananku. Membuat tsunami di setiap relungku. Suatu perasaan yang sudah lama terkubur mendadak bermunculan kembali. Musim dingin di hatiku langsung lumer berganti musim semi.

Saat berpamitan pulang, rasanya jiwaku sudah habis meninggalkan ragaku. Memutuskan untuk menikmati senja bersamanya di beranda itu. Di tempat yang begitu jauh, meninggalkan ragaku yang sekarang kosong dan dingin.

Setibanya di rumah aku melepas pakaian yang kukenakan. Menghapus riasan di wajahku. Kekasihku tiba tidak lama setelahnya. Kami hanya saling tersenyum. Senyum formal seperti yang selalu kulontarkan kepada mitra dan klien bisnis. Senyum yang begitu mudahnya sekarang kulontarkan juga kepadanya. Dia melepas stiletonya, menyampirkan tasnya di ranjang lalu masuk ke kamar mandi. Aku tidak berniat mengikutinya seperti sebelum-sebelumnya, berharap bisa mengobarkan asa di bawah kucuran shower.

Setelah makan malam aku langsung mengeluarkan laptop. Menghubungkannya ke dunia dan tersenyum ketika melihatnya. Aku menyapanya kembali dan lagi-lagi hanyut tanpa peduli waktu yang merayap semakin larut. Dia pernah bertanya apakah kekasihku tidak marah karena aku lebih suka menghabiskan waktu di depan laptop ketimbang bersamanya. Pertanyaan yang ingin rasanya kujawab asal, bahwa laptop seiring waktu akan menghangat dan memanas sementara kekasihku tidak dan aku lebih suka yang hangat. Jawaban yang pastinya hanya akan dijawab dengan icon ngakak olehnya.

Menghabiskan waktu di depan laptop lebih menyenangkan karena bisa bertemu dengannya. Itulah sebenarnya yang ingin kujawab, tapi aku ragu. Aku takut jika setelahnya, kehangatannya akan berakhir dan aku tidak akan punya kesempatan untuk menghabiskan waktu di berandanya lagi.

Dia       : Minggu depan aku akan ke kotamu. Mau ketemuan?
Aku      : Wah, aku lagi di kota lain.
Dia       : Hm, ya udah gak apa-apa. Lain kali ajah...
Aku      : Ok. Lain kali...

Sangat berat ketika raga harus berjauhan dengan jiwa yang begitu kuat memanggil-manggil. Dengan jarak yang begitu jauh saja sudah membuatku kehabisan napas. Bagaimana lagi jika jarak kami menjadi lebih dekat? Bisa-bisa aku hancur berkeping. Dan seiring waktu hingga ketibaannya aku semakin kelimpungan.

”Hm, kayaknya aku gak bisa nemani kamu besok. Mendadak ada urusan penting di kantor.” ujarku saat makan malam. Kekasihku diam sejenak.
”Kan udah minta izin?”
”Emang, tapi urusan yang ini mendadak dan aku harus ada juga... Lain kali ya?” Dia tidak menjawab. Aku tahu dia merajuk, tapi biarlah. Urusan yang ini memang lebih penting. Urusan ini menyangkut hidup dan matiku.

Aku tidak butuh waktu lama untuk mencari-carinya di tengah keramaian bandara. Ragaku seolah dituntun dan dipandu jiwanya hingga akirnya untuk pertama kali aku bisa melihat langsung sosoknya. Sosok yang langsung mengisiku dengan kelegaan atas kerinduan ragaku pada jiwanya yang sudah berlari lebih dulu kepadanya. Kerinduan yang membuat mataku panas oleh desakan air mata. Dan saat kami akhirnya saling menatap, aku tahu akhirnya sekarang aku menemukannya. Rumahku. Di matanya.

Ting Ting Ting...!!!

Sudah pukul tiga pagi. Sudah dari tadi dan aku masih tepekur memandang ponselku yang sudah gelap diiringi hembusan napas lelap di sisiku. Akhirnya aku bisa bergerak lagi ketika ibu jariku menekan tombol ’Reply’ lalu jari-jariku yang lain mulai menyusul menekan tombol-tombolnya.

’Mungkin. Karena aku sudah terbakar. Olehmu.’

Lalu setelahnya ibu jariku langsung menekan ’Send’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar