‘Apakah yang kulakukan sekarang ini termasuk main api?’
Aku tercenung membaca pesan singkat yang baru tiba. Darinya. Ibu jariku bergerak menuju ke tombol ’Reply’,
tapi terhenti dan setelahnya aku tepekur. Hari sudah berganti satu jam
yang lalu dan lajunya seolah terhenti dengan kemunculan pesan singkat
itu. Pesan singkat yang memotong aliran waktuku. Membuatku terhenti.
Suara
hembusan napas teratur perlahan menyapa telingaku. Betapa ingin aku
menyusulnya segera, napasku yang teratur beradu mesra dengannya. Tapi
aku hanya bisa ingin, tanpa bisa memilikinya. Kedamaian serupa yang
tergambar di wajahnya sekarang. Entah dimana dia saat ini, sementara aku
masih tertahan.
Tanganku terulur. Menyibak helaian rambut
panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Menatapnya lekat. Kekasihku
yang sedang berada di antah berantah. Kekasihku yang sekarang
menyerahkan dirinya penuh kepada penguasa mimpi. Kekasihku yang dingin
betapapun hangat yang menjalar dari kulitnya menyapa jariku. Kekasihku
yang entah sudah sejak kapan sudah bukan kekasihku lagi.
Kulitnya
masih berpendar lembut sisa percintaan kami tadi. Percintaan yang
akhir-akhir ini tidak lebih baik dari masturbasi yang sekarang lebih
sering kulakukan. Masturbasi yang membuatku orgasme berkali-kali tanpa
usaha keras seperti saat kami bergumul bermandi keringat. Aku bahkan
melakukannya sepanjang hari, dimana pun tanpa rasa malu menjadi tontonan
orang lain. Masturbasi yang begitu memuaskan meski aku hanya
memikirkannya sedetik. Memikirkannya yang bukan kekasihku.
Ya.
Kalian pasti jijik mengetahui kebenaran itu, kan? Tapi apa yang kalian
pikirkan tidak penting buatku. Karena kalian tidak berada di posisiku
sekarang. Karena kalian tidak mengalaminya seperti aku. Atau karena
kalian lebih cerdas daripada aku? Entahlah.
Pertemuanku
dengannya terjadi tidak sengaja bahkan terlalu picisan untuk dimasukkan
ke dalam risalah kisah cinta romantis sepanjang sejarah. Aku bahkan
tidak ingat pernah berkenalan dengannya. Suatu hari dia muncul di kotak
pesanku sebagai sosok asing tidak penting yang entah kenapa jadi
kuanggap penting ketika dengan kesadaran penuh aku melepas selubung itu,
menguaknya dan masuk menemuinya. Sosok yang sama denganku namun tidak
sedingin aku.
Setelahnya aku jadi rajin menemuinya. Setiap
hari kami bertemu di depan pagar rumahnya, berbincang tentang apa pun.
Hal-hal tak penting yang mendadak menjadi begitu penting dan
menggairahkan buat dibicarakan. Tidak ada hari yang berlalu tanpa aku
sempatkan untuk menyapanya. Kadang dia sedang memotong rumput, menyiram
bunga atau hanya sedang duduk di sore yang indah di beranda bersama
teman-temannya yang lain.
Semakin hari, aku tidak lagi
ingin sekedar lewat menyapanya. Aku ingin masuk. Ingin menghabiskan
waktu minum teh atau sekedar duduk diam bersamanya. Di berandanya.
Beranda yang indah dan hangat berhiaskan bunga-bunga. Pasti sangat
syahdu saat matahari terbenam di sana dan aku ingin menikmati
pemandangan itu berdua dengannya di beranda. Tapi kami masih belum cukup
mengenal, atau sudah? Yang pasti hatiku berlonjak kegirangan saat
akhirnya dengan ramah dia membuka pagar dan mengajakku ke berandanya.
Dan aku langsung betah di sana.
Setiap hari aku seolah
mendapat semburan semangat baru karena sekarang ada dia yang ganti rajin
menyapaku. Meski terkadang aku tidak bisa singgah di berandanya karena
kesibukan yang berlipat-lipat, tapi membayangkan esok bisa menemuinya
lagi membuatku lebih kuat menjalani hari. Orang-orang bahkan
menyadarinya juga ketika mereka terlihat heran dengan semangatku yang
menggebu-gebu entah mendapat suntikan vitamin apa. Orang-orang juga
menyadari wajahku yang sekarang kembali berbinar seperti matahari.
Bahkan
kekasihku. Kekasihku yang selama beberapa waktu ini seolah menghilang
meskipun kami berdiam di rumah yang sama. Rumah yang mungkin sudah
sebegitu dinginnya sehingga meredam segala kehangatan dan keberadaan apa
pun di dalamnya. Dia juga menyadari dan turut menikmati pendaran
sinarku yang hangat. Aku tidak bisa mencegahnya karena pendaran itu ruah
kemana-mana. Siapapun akan terkena rambatan hangatnya.
Rumah
kami kembali hangat. Tempat tidur kami juga meski perlahan mulai
menghangat kembali. Kekasihku mulai terlihat kembali dan sedikit demi
sedikit aku kembali bisa merasakan kehadirannya. Tapi dengan segala
kehangatan itu kenapa sekarang rasanya kami butuh usaha lebih keras
untuk bisa menyatu kembali? Kenapa malam-malam hangat yang kami lalui
malah terasa hambar? Dan semakin parah sehingga akhirnya aku memutuskan
untuk masturbasi.
Jika orang lain cemas ketika sudah tidak
bisa lagi mendapat kepuasan dari kebersamaan sehingga memutuskan untuk
meraihnya dari masturbasi, entah kenapa aku malah merasa lega. Jika
orang lain mungkin butuh usaha keras untuk mendapat kepuasan dari
masturbasi, entah kenapa aku bisa meraih kepuasan itu kapan pun aku mau
seolah sekarang di hadapanku terbentang samudera kepuasan yang bisa
kureguk airnya kapan pun. Karena ada dia di sana. Di tengah-tengah
samudera. Segala kepuasan yang kureguk berasal dari keringatnya yang
menyatu dengan samudera. Memberi rasa kepada samuderaku yang hambar.
Rumahku
hangat, namun kekasihku memang tetap dingin, betapapun keras usahaku
untuk ikut menghangatkannya hanya akan berhasil di kulitnya saja.
Kehangatanku mungkin memang tidak akan pernah bisa menembusnya, masuk ke
dalam relungnya. Jika aku bisa meraih kepuasan lewat masturbasi, maka
darimana dia mendapatkannya? Apakah usahanya yang keras untuk selalu
tampak puas itu bisa benar-benar memuaskannya? Entahlah, tapi yang pasti
usahanya itu sudah membunuh kepuasanku bersamanya.
Sore
ini aku tidak langsung pulang. Aku tidak tahan lagi jika harus
berlama-lama di rumah itu. Maka aku kembali menyapanya. Sore itu dia
sedang merapikan bunga-bunga di kebun mungilnya. Dia langsung menyuruhku
masuk, dan kami sama-sama melangkah ke berandanya. Sepiring biskuit dan
sepoci teh sudah menanti. Dia basa basi bertanya kabarku karena sudah
beberapa waktu ini aku memang tidak singgah untuk menyapanya. Aku hanya
menjawab sibuk di kantor betapapun ingin aku mengaku bahwa selama
beberapa waktu ini aku sedang berusaha menghidupkan kembali rumahku.
Menghangatkan kembali relung kekasihku.
Dia tidak bertanya
lagi dan entah kenapa aku merasa seperti tertangkap basah. Selanjutnya
kami mulai berbincang, tapi tidak seperti biasanya kali ini dia
menatapku dengan matanya yang bening keemasan oleh cahaya senja. Tatapan
yang sedemikian syahdu tapi mampu merobek-robek pertahananku. Membuat
tsunami di setiap relungku. Suatu perasaan yang sudah lama terkubur
mendadak bermunculan kembali. Musim dingin di hatiku langsung lumer
berganti musim semi.
Saat berpamitan pulang, rasanya
jiwaku sudah habis meninggalkan ragaku. Memutuskan untuk menikmati senja
bersamanya di beranda itu. Di tempat yang begitu jauh, meninggalkan
ragaku yang sekarang kosong dan dingin.
Setibanya di rumah
aku melepas pakaian yang kukenakan. Menghapus riasan di wajahku.
Kekasihku tiba tidak lama setelahnya. Kami hanya saling tersenyum.
Senyum formal seperti yang selalu kulontarkan kepada mitra dan klien
bisnis. Senyum yang begitu mudahnya sekarang kulontarkan juga kepadanya.
Dia melepas stiletonya, menyampirkan tasnya di ranjang lalu masuk ke
kamar mandi. Aku tidak berniat mengikutinya seperti sebelum-sebelumnya,
berharap bisa mengobarkan asa di bawah kucuran shower.
Setelah
makan malam aku langsung mengeluarkan laptop. Menghubungkannya ke dunia
dan tersenyum ketika melihatnya. Aku menyapanya kembali dan lagi-lagi
hanyut tanpa peduli waktu yang merayap semakin larut. Dia pernah
bertanya apakah kekasihku tidak marah karena aku lebih suka menghabiskan
waktu di depan laptop ketimbang bersamanya. Pertanyaan yang ingin
rasanya kujawab asal, bahwa laptop seiring waktu akan menghangat dan
memanas sementara kekasihku tidak dan aku lebih suka yang hangat.
Jawaban yang pastinya hanya akan dijawab dengan icon ngakak olehnya.
Menghabiskan
waktu di depan laptop lebih menyenangkan karena bisa bertemu dengannya.
Itulah sebenarnya yang ingin kujawab, tapi aku ragu. Aku takut jika
setelahnya, kehangatannya akan berakhir dan aku tidak akan punya
kesempatan untuk menghabiskan waktu di berandanya lagi.
Dia : Minggu depan aku akan ke kotamu. Mau ketemuan?
Aku : Wah, aku lagi di kota lain.
Dia : Hm, ya udah gak apa-apa. Lain kali ajah...
Aku : Ok. Lain kali...
Sangat
berat ketika raga harus berjauhan dengan jiwa yang begitu kuat
memanggil-manggil. Dengan jarak yang begitu jauh saja sudah membuatku
kehabisan napas. Bagaimana lagi jika jarak kami menjadi lebih dekat?
Bisa-bisa aku hancur berkeping. Dan seiring waktu hingga ketibaannya aku
semakin kelimpungan.
”Hm, kayaknya aku gak bisa nemani
kamu besok. Mendadak ada urusan penting di kantor.” ujarku saat makan
malam. Kekasihku diam sejenak.
”Kan udah minta izin?”
”Emang,
tapi urusan yang ini mendadak dan aku harus ada juga... Lain kali ya?”
Dia tidak menjawab. Aku tahu dia merajuk, tapi biarlah. Urusan yang ini
memang lebih penting. Urusan ini menyangkut hidup dan matiku.
Aku
tidak butuh waktu lama untuk mencari-carinya di tengah keramaian
bandara. Ragaku seolah dituntun dan dipandu jiwanya hingga akirnya untuk
pertama kali aku bisa melihat langsung sosoknya. Sosok yang langsung
mengisiku dengan kelegaan atas kerinduan ragaku pada jiwanya yang sudah
berlari lebih dulu kepadanya. Kerinduan yang membuat mataku panas oleh
desakan air mata. Dan saat kami akhirnya saling menatap, aku tahu
akhirnya sekarang aku menemukannya. Rumahku. Di matanya.
Ting Ting Ting...!!!
Sudah
pukul tiga pagi. Sudah dari tadi dan aku masih tepekur memandang
ponselku yang sudah gelap diiringi hembusan napas lelap di sisiku.
Akhirnya aku bisa bergerak lagi ketika ibu jariku menekan tombol ’Reply’ lalu jari-jariku yang lain mulai menyusul menekan tombol-tombolnya.
’Mungkin. Karena aku sudah terbakar. Olehmu.’
Lalu setelahnya ibu jariku langsung menekan ’Send’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar