Langit mendung. Gemuruh yang mulanya sayup-sayup sekarang semakin
dekat. Aku mempercepat langkahku. Tinggal sedkit lagi aku akan mencapai
halte. Bulir hujan pertama mencium pundakku tepat ketika sebelah kakiku
sudah menginjak halte. Fiuh, tepat waktu.
Bulir-bulir
hujan turun lebih rapat sesaat setelahnya. Langsung mengaburkan
pandanganku ke jalanan. Ke mobil-mobil yang sekarang bergerak lebih
perlahan. Suara riuh mengaburkan suara-suara lain di sekitarku. Beberapa
orang masih berlari-lari menembus panah-panah hujan untuk berlindung di
halte. Aku mundur untuk memberi mereka tempat.
"Hah...
Untunglah..." ujar salah seorang dari mereka yang kebetulan berhenti di
dekatku. Dia menatapku dengan mata coklatnya yang tersenyum ramah. Aku
balas tersenyum seraya mengangguk. Yah, itu hal yang wajar jika orang
lain bersikap demikian kepada kita, kan?
Dia mengeluarkan
sapu tangan dari tasnya lalu mulai mengusap-usapnya ke wajah dan
lehernya yang basah. Dua orang yang tadi bersama-samanya juga melakukan
hal yang sama. Mereka asik sendiri di pojokan dengan kesibukan itu dan
entah kenapa mataku seperti lampu sorot yang terus mengarah ke sosoknya.
Sosoknya yang seolah memiliki sayap-sayap berwarna putih di
punggungnya. Sayap-sayap itu ikut bergerak-gerak seiring kesibukan
tangannya mengusap-usap bagian tubuhnya yang masih basah. Sayap yang
memancarkan cahaya lembut mengelilingi tubuhnya. Cahaya yang menyerap
segala keriuhan di sekelilingku.
Hening.
"Beth, kamu lagi ngapain?!"
Teguran
gusar itu mendadak memecah keheninganku. Bukan temanku, karena aku di
halte ini sendirian. Hanya seorang ibu yang sedang menegur anaknya yang
bermain hujan. Namun teguran itu berhasil membuatku mematung dengan
tanganku sedang terulur ke arah sosok bersayap itu. Teguran itu membuat
si sosok bersayap ikut menoleh. Untuk sesaat aku seperti kehilangan
kata-kata.
"Oh, ini...Sapu tanganmu sudah basah..."
Akhirnya aku mendapatkan suaraku kembali. Dan lega ketika menemukan
handuk kecil yang memang selalu kubawa tergenggam di tanganku. Entah
kapan aku mengambilnya dari dalam tas. Tapi itu tidak penting. Sosok
bersayap itu tersenyum lalu menerimanya.
"Trims." ujarnya. Aku
hanya tersenyum sembari mengangguk. Senyum yang mungkin hanya menyerupai
seringai. Berbeda dengan senyumnya yang begitu ramah dan hangat.
"Namaku Angel." ujarnya seraya mengembalikan handuk milikku.
"Jess." balasku sembari menerima kembali handuk milikku.
Kebetulan
pasangan yang sedari tadi duduk di bangku pergi karena bus yang mereka
nantikan sudah muncul. Maka aku dan Angel yang menempati tempat itu.
Tidak lama kemudian dua orang yang tadi bersamanya juga berlalu.
"Aku nggak kenal mereka, kok." ujarnya seolah menjawab keherananku. Aku hanya ber-oh seraya mengangguk.
Hujan
masih belum reda meski sudah tidak serapat sebelumnya. Jalanan mulai
dibanjiri curahannya dan seluruh kendaraan harus merayap.
"Baru pulang kuliah?" sapanya. Aku langsung mengangguk.
"Iya. Kalo mbak?" balasku sopan.
"Panggil Angel saja. Umur kita pasti gak terlalu jauh kan? Aku lagi nunggu jemputan suami." ujarnya ringan.
Ternyata dia sudah menikah. Tidak terlalu kelihatan. Aku malah sempat berpikir dia itu juniorku di kampus.
"Akhir-akhir ini memang selalu hujan kalo sore. Agak merepotkan yah?" cetusnya lagi.
Aku
hanya menjawab dengan anggukan. Yah sejujurnya aku memang orang yang
cukup payah untuk urusan beramah-tamah. Sebagian besar komunikasi aku
lakukan dengan anggukan atau gelengan. Kata-kata yang keluar dari
mulutku sangat terbatas. Sudah banyak yang mengeluhkan hal itu, tapi mau
gimana lagi? Berbeda dengan perempuan yang baru beberapa menit kukenal
ini. Dia begitu alami dan menikmati keakraban yang ada seolah kami ini
sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ah, andai aku tidak sekikuk ini.
Pasti pembicaraan kami bisa lebih seru.
"Kamu nunggu
jemputan juga?" Seolah tersadar dia langsung mengakhiri ceritanya.
Langit sudah mulai gelap dan hujan sudah reda. Dan hanya tinggal kami
berdua di halte itu.
"Nggak sih. Nunggu bus kok."
"Bus yang mana?"
"Ya
gak apa-apa. Banyak kok yang lewat kawasan rumahku. Suami kamu juga
belum datang." Untuk sesaat matanya terlihat sendu. Tapi mungkin hanya
perasaanku saja.
"Dia ada kerjaan tambahan. Agak telat menjemput."
Bersamaan dengan itu sebuah bus muncul. Bus yang sudah untuk ke sekian
kalinya lewat sedari tadi.
"Itu busku." ujarku lalu membereskan barang-barangku. Dia mengikutiku dengan matanya. "Aku duluan ya."
Dia
mengangguk. Aku segera menyetop bus itu lalu naik. Meninggalkan halte
dan Angel di sana. Semoga jemputannya segera datang, doaku.
***
Angel
melambai ke arahku. Wah, kok sepertinya kami jadi janjian di halte ini
yah? Aku tersenyum lalu menghampirinya. Dia bahkan sudah menyediakan
tempat untukku duduk di sisinya. Sudah hari ke tiga kami menghabiskan
waktu di halte. Berbincang, meski tetap lebih banyak dia yang berbicara.
Dan sayap-sayap itu entah kenapa rasanya semakin terlihat jelas.
Membuatnya semakin terlihat berkilau.
Dan seperti
sebelum-sebelumnya, aku memilih untuk membiarkan bus yang seharusnya
kunaiki berlalu berkali-kali. Hanya untuk menemaninya. Menikmati
suaranya yang merdu dan tawanya yang riang. Dia seperti pelipur buatku
yang selalu didera kesepian. Belum pernah ada orang yang bersedia
menghabiskan banyak waktunya denganku seperti dirinya. Dia seperti harta
yang tanpa sengaja berhasil kutemukan. Aku menemaninya hingga senja
merayap pergi dan halte kosong. Dan lagi-lagi aku dengan berat hati
harus meninggalkannya sendirian di halte. Dia tersenyum ramah saat aku
melambai ke arahnya.
***
Angel baru selesai
menceritakan pekerjaan suaminya ketika matanya berpaling ke belakangku.
Senyumnya mengembang. Aku mengikuti arah pandangannya. Seorang pria
dengan mengendarai sepeda motor berhenti tepat di depan halte. Angel
langsung menghampirinya lalu merangkul lengan pria itu, mengajaknya
menghampiriku.
"Jess, kenalkan. Ini suamiku. Mas Raynold." Aku mengangguk sopan.
Syukurlah kali ini Angel tidak harus menunggu lama seorang diri di halte.
"Jess selalu menemani saat nungguin kamu, Mas." ujarnya ke pria itu yang langsung tersenyum ramah.
"Terima kasih. Angel jadi nggak kesepian dan bosan."
"Nggak apa-apa." ujarku.
"Kalo begitu, kami duluan ya, Jess."
Aku
langsung mengiyakan. Ikut tersenyum melihat binar-binar kebahagiaan
terpancar di wajah pasangan itu. Angel menerima helm yang diangsurkan
suaminya lalu naik ke boncengan. Aku membalas lambaiannya ketika sepeda
motor yang dikendarai suaminya bergerak meninggalkan halte. Meninggalkan
aku sendirian. Yah, tidak apa-apa. Toh sebentar lagi bus yang kutunggu
pasti muncul.
Sepeninggal mereka aku kembali duduk di
bangku halte. Seorang diri menunggu bus. Langit cukup cerah.
Bintang-bintang mulai menggeliat malu-malu dari balik awan. Saat aku
sedang asik memandang langit mendadak angin yang cukup kencang
berhembus. Hanya sesaat menerbangkan beberapa helai kertas dan koran ke
halte. Salah satunya mendarat di bangku, tepat di sebelahku.
Berkibar-kibar lembut seolah memanggilku.
Tanganku terulur
lalu meraihnya. Hm, koran itu sudah cukup lusuh tapi tidak apa-apalah
untuk menemaniku sesaat. Aku membaca tanggal yang tertera. Oh, ternyata
koran empat hari yang lalu. Aku mulai membaca-baca berita yang masih
cukup jelas. Semua aku lahap, namun sebuah berita kecil di pojokan
membuatku terhenyak. Berita tentang kecelakaan maut yang dialami
sepasang suami istri tepat di depan halte ini. Sepeda motor yang mereka
tumpangi ditabrak mobil yang menerobos lampu merah. Istri langsung tewas
di tempat sementara suaminya dalam keadaan yang sangat kritis.
Tanganku gemetar ketika membaca nama korban kecelakaan itu. Angel dan Raynold.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar