Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : Di Halte

Langit mendung. Gemuruh yang mulanya sayup-sayup sekarang semakin dekat. Aku mempercepat langkahku. Tinggal sedkit lagi aku akan mencapai halte. Bulir hujan pertama mencium pundakku tepat ketika sebelah kakiku sudah menginjak halte. Fiuh, tepat waktu.
Bulir-bulir hujan turun lebih rapat sesaat setelahnya. Langsung mengaburkan pandanganku ke jalanan. Ke mobil-mobil yang sekarang bergerak lebih perlahan. Suara riuh mengaburkan suara-suara lain di sekitarku. Beberapa orang masih berlari-lari menembus panah-panah hujan untuk berlindung di halte. Aku mundur untuk memberi mereka tempat.

"Hah... Untunglah..." ujar salah seorang dari mereka yang kebetulan berhenti di dekatku. Dia menatapku dengan mata coklatnya yang tersenyum ramah. Aku balas tersenyum seraya mengangguk. Yah, itu hal yang wajar jika orang lain bersikap demikian kepada kita, kan?

Dia mengeluarkan sapu tangan dari tasnya lalu mulai mengusap-usapnya ke wajah dan lehernya yang basah. Dua orang yang tadi bersama-samanya juga melakukan hal yang sama. Mereka asik sendiri di pojokan dengan kesibukan itu dan entah kenapa mataku seperti lampu sorot yang terus mengarah ke sosoknya. Sosoknya yang seolah memiliki sayap-sayap berwarna putih di punggungnya. Sayap-sayap itu ikut bergerak-gerak seiring kesibukan tangannya mengusap-usap bagian tubuhnya yang masih basah. Sayap yang memancarkan cahaya lembut mengelilingi tubuhnya. Cahaya yang menyerap segala keriuhan di sekelilingku.

Hening.

"Beth, kamu lagi ngapain?!"

Teguran gusar itu mendadak memecah keheninganku. Bukan temanku, karena aku di halte ini sendirian. Hanya seorang ibu yang sedang menegur anaknya yang bermain hujan. Namun teguran itu berhasil membuatku mematung dengan tanganku sedang terulur ke arah sosok bersayap itu. Teguran itu membuat si sosok bersayap ikut menoleh. Untuk sesaat aku seperti kehilangan kata-kata.

"Oh, ini...Sapu tanganmu sudah basah..." Akhirnya aku mendapatkan suaraku kembali. Dan lega ketika menemukan handuk kecil yang memang selalu kubawa tergenggam di tanganku. Entah kapan aku mengambilnya dari dalam tas. Tapi itu tidak penting. Sosok bersayap itu tersenyum lalu menerimanya.
"Trims." ujarnya. Aku hanya tersenyum sembari mengangguk. Senyum yang mungkin hanya menyerupai seringai. Berbeda dengan senyumnya yang begitu ramah dan hangat.

"Namaku Angel." ujarnya seraya mengembalikan handuk milikku.
"Jess." balasku sembari menerima kembali handuk milikku.
Kebetulan pasangan yang sedari tadi duduk di bangku pergi karena bus yang mereka nantikan sudah muncul. Maka aku dan Angel yang menempati tempat itu. Tidak lama kemudian dua orang yang tadi bersamanya juga berlalu.
"Aku nggak kenal mereka, kok." ujarnya seolah menjawab keherananku. Aku hanya ber-oh seraya mengangguk.

Hujan masih belum reda meski sudah tidak serapat sebelumnya. Jalanan mulai dibanjiri curahannya dan seluruh kendaraan harus merayap.
"Baru pulang kuliah?" sapanya. Aku langsung mengangguk.
"Iya. Kalo mbak?" balasku sopan.
"Panggil Angel saja. Umur kita pasti gak terlalu jauh kan? Aku lagi nunggu jemputan suami." ujarnya ringan.
Ternyata dia sudah menikah. Tidak terlalu kelihatan. Aku malah sempat berpikir dia itu juniorku di kampus.
"Akhir-akhir ini memang selalu hujan kalo sore. Agak merepotkan yah?" cetusnya lagi.

Aku hanya menjawab dengan anggukan. Yah sejujurnya aku memang orang yang cukup payah untuk urusan beramah-tamah. Sebagian besar komunikasi aku lakukan dengan anggukan atau gelengan. Kata-kata yang keluar dari mulutku sangat terbatas. Sudah banyak yang mengeluhkan hal itu, tapi mau gimana lagi? Berbeda dengan perempuan yang baru beberapa menit kukenal ini. Dia begitu alami dan menikmati keakraban yang ada seolah kami ini sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ah, andai aku tidak sekikuk ini. Pasti pembicaraan kami bisa lebih seru.

"Kamu nunggu jemputan juga?" Seolah tersadar dia langsung mengakhiri ceritanya. Langit sudah mulai gelap dan hujan sudah reda. Dan hanya tinggal kami berdua di halte itu.
"Nggak sih. Nunggu bus kok."
"Bus yang mana?"
"Ya gak apa-apa. Banyak kok yang lewat kawasan rumahku. Suami kamu juga belum datang." Untuk sesaat matanya terlihat sendu. Tapi mungkin hanya perasaanku saja.
"Dia ada kerjaan tambahan. Agak telat menjemput." Bersamaan dengan itu sebuah bus muncul. Bus yang  sudah untuk ke sekian kalinya lewat sedari tadi.
"Itu busku." ujarku lalu membereskan barang-barangku. Dia mengikutiku dengan matanya. "Aku duluan ya."
Dia mengangguk. Aku segera menyetop bus itu lalu naik. Meninggalkan halte dan Angel di sana. Semoga jemputannya segera datang, doaku.

***
Angel melambai ke arahku. Wah, kok sepertinya kami jadi janjian di halte ini yah? Aku tersenyum lalu menghampirinya. Dia bahkan sudah menyediakan tempat untukku duduk di sisinya. Sudah hari ke tiga kami menghabiskan waktu di halte. Berbincang, meski tetap lebih banyak dia yang berbicara. Dan sayap-sayap itu entah kenapa rasanya semakin terlihat jelas. Membuatnya semakin terlihat berkilau.

Dan seperti sebelum-sebelumnya, aku memilih untuk membiarkan bus yang seharusnya kunaiki berlalu berkali-kali. Hanya untuk menemaninya. Menikmati suaranya yang merdu dan tawanya yang riang. Dia seperti pelipur buatku yang selalu didera kesepian. Belum pernah ada orang yang bersedia menghabiskan banyak waktunya denganku seperti dirinya. Dia seperti harta yang tanpa sengaja berhasil kutemukan. Aku menemaninya hingga senja merayap pergi dan halte kosong. Dan lagi-lagi aku dengan berat hati harus meninggalkannya sendirian di halte. Dia tersenyum ramah saat aku melambai ke arahnya.

***
Angel baru selesai menceritakan pekerjaan suaminya ketika matanya berpaling ke belakangku. Senyumnya mengembang. Aku mengikuti arah pandangannya. Seorang pria dengan mengendarai sepeda motor berhenti tepat di depan halte. Angel langsung menghampirinya lalu merangkul lengan pria itu, mengajaknya menghampiriku.
"Jess, kenalkan. Ini suamiku. Mas Raynold." Aku mengangguk sopan.
Syukurlah kali ini Angel tidak harus menunggu lama seorang diri di halte.
"Jess selalu menemani saat nungguin kamu, Mas." ujarnya ke pria itu yang langsung tersenyum ramah.
"Terima kasih. Angel jadi nggak kesepian dan bosan."
"Nggak apa-apa." ujarku.
"Kalo begitu, kami duluan ya, Jess."

Aku langsung mengiyakan. Ikut tersenyum melihat binar-binar kebahagiaan terpancar di wajah pasangan itu. Angel menerima helm yang diangsurkan suaminya lalu naik ke boncengan. Aku membalas lambaiannya ketika sepeda motor yang dikendarai suaminya bergerak meninggalkan halte. Meninggalkan aku sendirian. Yah, tidak apa-apa. Toh sebentar lagi bus yang kutunggu pasti muncul.

Sepeninggal mereka aku kembali duduk di bangku halte. Seorang diri menunggu bus. Langit cukup cerah. Bintang-bintang mulai menggeliat malu-malu dari balik awan. Saat aku sedang asik memandang langit mendadak angin yang cukup kencang berhembus. Hanya sesaat menerbangkan beberapa helai kertas dan koran ke halte. Salah satunya mendarat di bangku, tepat di sebelahku. Berkibar-kibar lembut seolah memanggilku.

Tanganku terulur lalu meraihnya. Hm, koran itu sudah cukup lusuh tapi tidak apa-apalah untuk menemaniku sesaat. Aku membaca tanggal yang tertera. Oh, ternyata koran empat hari yang lalu. Aku mulai membaca-baca berita yang masih cukup jelas. Semua aku lahap, namun sebuah berita kecil di pojokan membuatku terhenyak. Berita tentang kecelakaan maut yang dialami sepasang suami istri tepat di depan halte ini. Sepeda motor yang mereka tumpangi ditabrak mobil yang menerobos lampu merah. Istri langsung tewas di tempat sementara suaminya dalam keadaan yang sangat kritis.

Tanganku gemetar ketika membaca nama korban kecelakaan itu. Angel  dan Raynold.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar