Triiing…
“Nol delapan!”
Aku bergegas menghampiri counter
lalu memindahkan hidangan di piring itu ke nampan. Tanpa buang waktu
langsung melaju menuju ke meja nol delapan. Langkah-langkahku ringan
seperti terbang, sesekali berselisih dengan food runner lain.
Suasana memang lumayan ramai malam ini. Aku bahkan harus lembur. Maklum
saja, hari ini sabtu. Hari wajib untuk para pasangan. Terbukti, tamu
malam ini rata-rata pasangan.
Kecuali di sana. Hanya di
satu tempat itu saja yang lain suasananya. Tempat yang menjadi koordinat
pendaratanku. Aku mendarat mulus di lokasi tujuan. Meletakkan pesanan
di nampanku dengan mulus dan sempurna.
”Fetucinni spesial extra jamur satu porsi...” ucapku. Sedikit bergetar tapi aku langsung menutupinya dengan senyum ramah.
”Terima kasih...” sahutnya. Tersenyum. Kakiku rasanya lumer seketika.
Bibir tipis yang basah itu.
Mata yang berkilau itu.
Gigi putih yang berbaris rapi itu.
Lesung pipi itu...
Oh, gosh... Lembur bukan masalah lagi.
Triiiinggg....
Radarku
kembali menangkap sinyal darurat. Maka dengan sangat berat hati aku pun
berlalu meninggalkan makhluk berkilauan itu. Dengan langkah yang terasa
jauh lebih ringan sekarang. Seringan kupu-kupu.
Nol delapan.
Aku
meletakkan nampan lalu melirik ke koordinat itu. Sepasang muda mudi
sedang cekikikan berdua. Yah, pastinya bukan dia. Dia tidak pernah
muncul di jam-jam seperti ini. Dia biasanya akan muncul kira-kira satu
jam lagi. Tapi tidak mengapalah. Aku toh tidak sedang terburu-buru.
”Shift malem lagi?” tegur Heru. Dia juga sedang beristirahat menunggu pesanan. Aku mengangguk.
”Iya nih. Lagi pengen ajah.” sahutku.
”Lagi pengen? Tapi keseringan malem gituh. Emang pagi lagi sibuk apa?” Duh, cerewet amat sih nih anak.
”Ya
gak kenapa-kenapa. Partnerku pengen masuk pagi ya gak apa-apa aku
ngalah.” tandasku. Dia ber-oh singkat. Suara bel menyelamatkanku. Aku
bergegas menghampiri counter dan mengambil pesanan yang tersedia.
Entah
sejak kapan. Aku juga tidak bisa mengingat dengan pasti. Dia muncul
tiba-tiba di suatu malam. Di luar sedang hujan dan dia berlari kecil
berteduh di depan kafe kami. Waktu itu suasana di dalam tidak terlalu
ramai dan aku belum memenuhi service target hari itu. Aku lihat
dia sesekali melirik ke dalam kafe dan entah didorong oleh kekuatan apa
aku nekad keluar menghampirinya. Mengajaknya masuk ke dalam kafe dan
dia mendarat di koordinat itu.
Nol Delapan.
Dan
sejak saat itu aku selalu menanti-nantinya. Hatiku pasti kebat-kebit
kecewa jika ternyata dia tidak muncul. Dan selalu melonjak seperti
anak-anak yang dikasih balon gratis ketika dia muncul dan mengerling ke
arahku untuk memesan. Seolah ada perjanjian aneh yang tidak diucapkan di
antara kami. Dan lucunya seisi kafe juga tahu hal itu.
”Fans
kamu nongol.” tegur Siska. Aku tersadar dan benar saja. Dia mengerling
ke arahku, yang langsung membawa buku menu ke koordinatnya.
”Selamat malam, Mbak...” sapaku seraya menyerahkan buku menu.
”Malam.” sahutnya ramah. ”Gimana hari ini? Udah target?”
Aku mengangguk dengan penuh semangat.
”Wah,
hebat. Hm... Kalo gituh aku pesen apa yah...” Dia membolak-balik buku
menu itu lalu kembali menutupnya. ”Pesankan apa ajah deh. Terserah
kamu.”
Aku berguling gelisah di ranjang. Pagi sudah mulai
merayap menghampiri, tapi mataku seperti tidak mau terpejam. Jantungku
bergemuruh seolah habis sprint. Ranjangku yang sempit juga
mulai membuatku gerah. Akhirnya aku bangkit dari ranjang. Berjalan
menghampiri meja tulisku lalu meraih botol minuman yang selalu
kusediakan. Meneguk isinya setengah lalu duduk diam di kursi.
Aku
masih bisa mengingat dengan jelas pembicaraan singkat di kafe enam jam
yang lalu. Setelah selesai dia memintaku untuk menemuinya. Teman-temanku
langsung kasak-kusuk soal tips yang besar. Tapi bukan tips. Ini bahkan
lebih bagus dari tips sebesar apa pun. Dia menanyakan kapan aku off-duty karena dia ingin mengajakku pergi makan siang.
Hah...
Aku memang tidak bisa melihat tampangku saat itu, tapi yang pasti bukan
paras yang normal karena dia bahkan tertawa melihatnya. Tawa lepas yang
membuat seisi perutku menari-nari kegirangan.
Besok. Eit,
nanti siang. Dia mengajakku makan siang bersama. Aku sudah menyiapkan
pakaian yang akan kukenakan. Semuanya sudah siap. Tinggal mata ini saja
yang terus memberontak tidak mau terpejam. Tapi tidak mengapa. Semua
akan baik-baik saja. Kami akan menikmati waktu yang menyenangkan
bersama. Ber du a.
Aku berdiri manis di depan kafe tempat
kami akan bertemu. Aku sudah mengenakan gaunku yang paling manis.
Berdandan dengan manis. Diriku yang sekarang pastinya mengalahkan
manisnya keik warna-warni yang terpajang rapi di etalase itu. Aku
melirik arloji. Aku memang terlalu awal. Masih lima belas menit lagi.
Tapi tidak mengapa. Akhirnya aku melihatnya. Dia melambai ramah. Aku
membalas lambaiannya.
Dia... datang... berdua?
Mereka menghampiriku. Aku mengamati temannya yang juga tersenyum ke arahku.
”Hei, sudah lama nungguin?” sapanya ramah.
”Nggak kok, mbak. Aku ajah yang datang lebih awal.” sahutku.
”Kenalin.
Ini temenku Biyan. Biyan, ini nih Beth yang sering aku ceritain.” Aku
dan Biyan bersalaman. Dan entah kenapa sekarang aku tidak merasa manis
lagi. Sekarang aku sudah berubah menjadi kecut, pahit, asam. Ah entah
apa.
Bukankan makan siang ini harusnya menjadi saat-saat
yang menyenangkan? Bukankah seharusnya hanya ada aku dan dia? Kenapa
harus ada orang lain? Yang dengan kehadirannya membuat perhatiannya
tidak lagi tertuju kepadaku sedikit pun. Aku menjadi orang luar di sini.
Aku hanya penonton canggung di pojok panggung sekarang.
Aku
menatap kosong ke koordinat itu. Dia memang tetap setia di sana. Tetap
setia dengan perjanjian itu. Meski kali ini ada sedikit perubahan di
salah satu ayatnya. Aku sekarang tidak lagi hanya melayaninya. Aku juga
harus melayani orang yang sedang bersamanya.
Triiinggg....
Aku
tahu itu pasti menu pesanan mereka. Tapi tidak seperti
sebelum-sebelumnya. Kakiku terasa amat sangat berat. Seberat jantungku
yang perlahan tapi pasti merobek dadaku. Jatuh berkeping ke lantai.
”Nol delapan...!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar