Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : Nol Delapan

Triiing…

“Nol delapan!”

Aku bergegas menghampiri counter lalu memindahkan hidangan di piring itu ke nampan. Tanpa buang waktu langsung melaju menuju ke meja nol delapan. Langkah-langkahku ringan seperti terbang, sesekali berselisih dengan food runner lain. Suasana memang lumayan ramai malam ini. Aku bahkan harus lembur. Maklum saja, hari ini sabtu. Hari wajib untuk para pasangan. Terbukti, tamu malam ini rata-rata pasangan.

Kecuali di sana. Hanya di satu tempat itu saja yang lain suasananya. Tempat yang menjadi koordinat pendaratanku. Aku mendarat mulus di lokasi tujuan. Meletakkan pesanan di nampanku dengan mulus dan sempurna.
”Fetucinni spesial extra jamur satu porsi...” ucapku. Sedikit bergetar tapi aku langsung menutupinya dengan senyum ramah.
”Terima kasih...” sahutnya. Tersenyum. Kakiku rasanya lumer seketika.

Bibir tipis yang basah itu.
Mata yang berkilau itu.
Gigi putih yang berbaris rapi itu.
Lesung pipi itu...

Oh, gosh... Lembur bukan masalah lagi.

Triiiinggg....

Radarku kembali menangkap sinyal darurat. Maka dengan sangat berat hati aku pun berlalu meninggalkan makhluk berkilauan itu. Dengan langkah yang terasa jauh lebih ringan sekarang. Seringan kupu-kupu.

Nol delapan.

Aku meletakkan nampan lalu melirik ke koordinat itu. Sepasang muda mudi sedang cekikikan berdua. Yah, pastinya bukan dia. Dia tidak pernah muncul di jam-jam seperti ini. Dia biasanya akan muncul kira-kira satu jam lagi. Tapi tidak mengapalah. Aku toh tidak sedang terburu-buru.

”Shift malem lagi?” tegur Heru. Dia juga sedang beristirahat menunggu pesanan. Aku mengangguk.
”Iya nih. Lagi pengen ajah.” sahutku.
”Lagi pengen? Tapi keseringan malem gituh. Emang pagi lagi sibuk apa?” Duh, cerewet amat sih nih anak.
”Ya gak kenapa-kenapa. Partnerku pengen masuk pagi ya gak apa-apa aku ngalah.” tandasku. Dia ber-oh singkat. Suara bel menyelamatkanku. Aku bergegas menghampiri counter dan mengambil pesanan yang tersedia.

Entah sejak kapan. Aku juga tidak bisa mengingat dengan pasti. Dia muncul tiba-tiba di suatu malam. Di luar sedang hujan dan dia berlari kecil berteduh di depan kafe kami. Waktu itu suasana di dalam tidak terlalu ramai dan aku belum memenuhi service target hari itu. Aku lihat dia sesekali melirik ke dalam kafe dan entah didorong oleh kekuatan apa aku nekad keluar menghampirinya. Mengajaknya masuk ke dalam kafe dan dia mendarat di koordinat itu.

Nol Delapan.

Dan sejak saat itu aku selalu menanti-nantinya. Hatiku pasti kebat-kebit kecewa jika ternyata dia tidak muncul. Dan selalu melonjak seperti anak-anak yang dikasih balon gratis ketika dia muncul dan mengerling ke arahku untuk memesan. Seolah ada perjanjian aneh yang tidak diucapkan di antara kami. Dan lucunya seisi kafe juga tahu hal itu.

”Fans kamu nongol.” tegur Siska. Aku tersadar dan benar saja. Dia mengerling ke arahku, yang langsung membawa buku menu ke koordinatnya.
”Selamat malam, Mbak...” sapaku seraya menyerahkan buku menu.
”Malam.” sahutnya ramah. ”Gimana hari ini? Udah target?”
Aku mengangguk dengan penuh semangat.
”Wah, hebat. Hm... Kalo gituh aku pesen apa yah...” Dia membolak-balik buku menu itu lalu kembali menutupnya. ”Pesankan apa ajah deh. Terserah kamu.”

Aku berguling gelisah di ranjang. Pagi sudah mulai merayap menghampiri, tapi mataku seperti tidak mau terpejam. Jantungku bergemuruh seolah habis sprint. Ranjangku yang sempit juga mulai membuatku gerah. Akhirnya aku bangkit dari ranjang. Berjalan menghampiri meja tulisku lalu meraih botol minuman yang selalu kusediakan. Meneguk isinya setengah lalu duduk diam di kursi.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas pembicaraan singkat di kafe enam jam yang lalu. Setelah selesai dia memintaku untuk menemuinya. Teman-temanku langsung kasak-kusuk soal tips yang besar. Tapi bukan tips. Ini bahkan lebih bagus dari tips sebesar apa pun. Dia menanyakan kapan aku off-duty karena dia ingin mengajakku pergi makan siang.

Hah... Aku memang tidak bisa melihat tampangku saat itu, tapi yang pasti bukan paras yang normal karena dia bahkan tertawa melihatnya. Tawa lepas yang membuat seisi perutku menari-nari kegirangan.

Besok. Eit, nanti siang. Dia mengajakku makan siang bersama. Aku sudah menyiapkan pakaian yang akan kukenakan. Semuanya sudah siap. Tinggal mata ini saja yang terus memberontak tidak mau terpejam. Tapi tidak mengapa. Semua akan baik-baik saja. Kami akan menikmati waktu yang menyenangkan bersama. Ber du a.

Aku berdiri manis di depan kafe tempat kami akan bertemu. Aku sudah mengenakan gaunku yang paling manis. Berdandan dengan manis. Diriku yang sekarang pastinya mengalahkan manisnya keik warna-warni yang terpajang rapi di etalase itu. Aku melirik arloji. Aku memang terlalu awal. Masih lima belas menit lagi. Tapi tidak mengapa. Akhirnya aku melihatnya. Dia melambai ramah. Aku membalas lambaiannya.

Dia... datang... berdua?

Mereka menghampiriku. Aku mengamati temannya yang juga tersenyum ke arahku.
”Hei, sudah lama nungguin?” sapanya ramah.
”Nggak kok, mbak. Aku ajah yang datang lebih awal.” sahutku.
”Kenalin. Ini temenku Biyan. Biyan, ini nih Beth yang sering aku ceritain.” Aku dan Biyan bersalaman. Dan entah kenapa sekarang aku tidak merasa manis lagi. Sekarang aku sudah berubah menjadi kecut, pahit, asam. Ah entah apa.

Bukankan makan siang ini harusnya menjadi saat-saat yang menyenangkan? Bukankah seharusnya hanya ada aku dan dia? Kenapa harus ada orang lain? Yang dengan kehadirannya membuat perhatiannya tidak lagi tertuju kepadaku sedikit pun. Aku menjadi orang luar di sini. Aku hanya penonton canggung di pojok panggung sekarang.

Aku menatap kosong ke koordinat itu. Dia memang tetap setia di sana. Tetap setia dengan perjanjian itu. Meski kali ini ada sedikit perubahan di salah satu ayatnya. Aku sekarang tidak lagi hanya melayaninya. Aku juga harus melayani orang yang sedang bersamanya.

Triiinggg....

Aku tahu itu pasti menu pesanan mereka. Tapi tidak seperti sebelum-sebelumnya. Kakiku terasa amat sangat berat. Seberat jantungku yang perlahan tapi pasti merobek dadaku. Jatuh berkeping ke lantai.

”Nol delapan...!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar