Sabtu, 26 Mei 2012

Cerpen : mantan Mantan

Ruangan minimalis modern itu terlihat kosong. Hanya ada dua buah kursi di tengah ruangan yang dipisahkan oleh sebuah meja mungil. Seorang perempuan sudah duduk di salah satunya. Sesekali dia melirik arloji di pergelangan tangannya sementara jarinya sesekali mengetuk cepat lengan kursi yang didudukinya.

Pintu di sisinya terbuka dan seorang perempuan lain masuk. Mengenakan setelan pantalon yang dijahit rapi. Perempuan pertama tadi langsung bangkit dan mereka bersalaman. Saling melempar senyum formal lalu keduanya duduk berhadapan. Perempuan yang terakhir masuk membuka-buka map yang sedari tadi tergeletak di meja.

”Saya sudah mempelajari kasus Anda. Sekarang tinggal keputusan final dari anda.” ucapnya tenang seraya membenarkan posisi kaca matanya. Karena yang ditanya tidak langsung menjawab dia melanjutkan, ”Saya tidak keberatan jika anda masih butuh waktu...”

Perempuan pertama tadi langsung menggeleng cepat. ”Keputusan saya sudah final. Saya hanya ingin mengakhiri semuanya, tapi tidak ingin jadi penjahatnya.” ujarnya tegas yang disambut anggukan mengerti. Setelahnya mereka kembali berdiri, bersalaman, dan sekarang yang tinggal di ruangan hanya perempuan berpantalon. Setelahnya dia menekan tombol di meja dan sebuah kertas muncul dengan tulisan di atasnya.

'Assigned to Dian'

***
Ruby mengedarkan pandangan. Hm, dia memang datang terlalu awal. Dan saat itu dia melihat Dian melambai di kejauhan. Dia balas melambai seraya tersenyum. Dian berlari kecil menghampirinya. Baru mereka berdua yang tiba di bioskop. Siska dan partnernya masih belum kelihatan.

”Udah lama?” tanya Dian. Ruby menggeleng. ”Mau minum? Aku beliin yah?” Sebelum dijawab dia sudah langsung bergegas ke stand makanan. Membeli dua botol air mineral dan sekantung popcorn. Ruby menerima minumannya. Masih belum ada tanda-tanda kehadiran Siska dan partnernya.
”Siska...” Belum sempat Ruby menyelesaikan kalimat, ponselnya bergetar. Dari Siska. Dia segera menjawab, ”Sis, kami udah di bioskop. Kalian...”
”Ruby, maaf banget. Kayaknya kami gak bisa nonton. Ponakanku mendadak demam, jadi harus nganter ke klinik. Maaf yah...” Panggilan diakhiri dan Ruby hanya bisa mendongkol.
”Mereka gak datang?” Ruby menggeleng. ”Trus gimana? Masih mau nonton?” Entah kenapa dia mengangguk.

Acara nonton berlangsung menyenangkan. Ruby yang semula kesal akhirnya juga menikmati. Dian juga cukup menyenangkan meskipun belum lama Ruby mengenalnya. Mereka memutuskan mampir di food court untuk mengisi perut sebelum pulang. Mereka sedang asik tertawa-tawa ketika Ruby bisa merasakan hunjaman tidak jauh dari tempat duduk mereka dan tawanya langsung sirna.

Manda.

***
Manda menghela napas lalu menghenyakkan tubuhnya lebih dalam ke kursi bacanya. Sendirian di rumahnya. Masih jelas tergambar di matanya kejadian sebulan yang lalu. Air mata yang meleleh membanjiri wajah Ruby diikuti kata-kata penjelasan yang tersendat oleh tangis.

Setelahnya Ruby masih berusaha menghubunginya hingga seminggu sesudahnya, tapi dia tetap mengeraskan hati untuk menolak keinginannya kembali. Keputusannya sudah bulat dan final. Hubungan mereka memang harus berakhir. Dia masih bisa mengingat sosok perempuan yang sedang bersama Ruby saat itu. Pastilah dia orang yang dikirim untuk tugas itu karena seseorang dari agensi itu menghubunginya. Bukan kebetulan dia ada di food court saat itu.

Ah, andai saja dia punya keberanian lebih, dia tidak perlu menggunakan orang lain untuk menyampaikan keinginannya untuk mengakhiri semuanya. Andai saja dia masih bisa bersabar untuk menunggu tunas-tunas cinta yang baru muncul kembali. Tapi dia sudah cukup bersabar. Lima tahun bukan waktu yang singkat dan semakin hari dia merasa semakin jahat karena tidak kunjung mengambil sikap. Dan sikap yang dipilih ternyata adalah menjadi seorang pengecut.

Tapi hanya itu pilihannya. Dia tidak punya cara lain. Ruby tidak akan menginginkan perpisahan ini. Dan dia sadar tidak punya kemampuan untuk menolak keinginannya. Apa dia harus terus bertahan sementara hatinya sudah sangat tidak rela? Sudahlah, ini yang terbaik buat mereka. Setidaknya buat dirinya.

Manda menghenyakkan tubuhnya lebih dalam lagi.

***
Dian menarik kursi dan mempersilakan Ruby duduk. Setelah hampir sebulan memutuskan untuk mengurung diri di rumah, akhirnya Ruby memutuskan untuk menghirup udara segar. Selain itu dia sudah sangat tidak enak jika harus menolak ajakan Dian untuk yang kesekian kalinya. Dian yang bukan siapa-siapanya, malah rela menghabiskan begitu banyak waktu untuk mendampinginya.

”Aku yang pesan untuk kamu ya? Kamu rada kurusan, jadi harus makan yang banyak. Kangen ama pipi bulat kamu.” Ruby hanya tersenyum tipis menanggapi. Dian lalu memanggil waiter lalu menyebutkan pesanan mereka berdua. Dia terlihat segar, berbeda dengan Ruby yang masih agak kuyu. Setelah menerima pesanan waiter pun berlalu.
”Terima kasih.” ujarnya pelan. Dian mengulurkan tangannya. Meremas tangannya lembut dan Ruby tidak melarangnya. Kenapa harus melarangnya? Dian bisa melakukan itu sekarang. Setelah...
”Masih mikirin mantan kamu?” cetus Dian memecah lamunannya. Ruby buru-buru menggeleng pelan. ”Baguslah. Berarti sudah waktunya kamu move on.”
”Entahlah...” Dian meremas tangannya lebih keras.
”Kamu masih punya aku, By... Ada aku di sini.”

Ruby menatap mata perempuan di hadapannya. Perempuan yang sudah menemaninya melewati saat-saat beratnya hampir sebulan ini. Ya, masih ada Dian...

***
Manda tercekat lalu buru-buru memalingkan wajahnya. Pertemuan ini begitu tiba-tiba dan dia tidak mempersiapkan dirinya. Ruby dan perempuan itu duduk di sudut kafe. Mereka terlihat... Bahagia. Ruby terlihat begitu berbinar dan serasi dengan perempuan itu. Perempuan yang waktu itu. Jika memang demikian, apa itu artinya perempuan itu bukan utusan agensi itu? Jika memang demikian, kenapa dia masih bersama Ruby meski tugasnya sudah usai? Jangan-jangan...

Ruby dan perempuan itu sudah selesai lalu keluar sembari bergandengan tangan. Manda hanya bisa menyaksikan semua itu dengan perasaan berkecamuk. Ruby. Ruby-nya. Sekarang terlihat begitu menawan bersama perempuan lain? Dan kenapa sekarang dia merasa sangat tidak nyaman? Apa sekarang dia sedang cemburu? Bukankah mereka sudah bukan siapa-siapa lagi? Hubungan mereka sudah usai. Itu kan kemauannya sendiri? Tapi kenapa sekarang...

”Bu Amanda, lalu bagaimana dengan pembahasan proyek yang tadi ingin Anda kemukakan?” Manda tersadar kembali menemukan tatapan heran kedua klien yang duduk di hadapannya.

Lunch-meeting berlangsung sangat lambat dan Manda merasa tercekik di setiap detiknya. Otaknya terus berkecamuk tentang Ruby dan perempuan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang terus bermunculan dan jawabannya yang berputar-putar membuat kepalanya akan segera pecah. Jika memang akhirnya Ruby bersama perempuan itu, lalu apa artinya air mata, rengekan dan penjelasan-penjelasan itu? Apakah sebenarnya bukan hanya dia yang menginginkan hubungan ini berakhir? Dan Ruby melakukannya dengan begitu indah. Mencampakkannya tanpa dia sadari.

Meeting akhirnya usai dan dengan penuh emosi Manda memacu mobilnya langsung menuju ke rumah mantannya itu. Sebelum mendapatkan penjelasan yang jujur, dia tidak akan puas. Dia akan terus penasaran. Ketika tiba di rumah yang pernah mereka tempati berdua, Manda tercekat ketika melihat mobil lain terparkir di sana. Tanpa buang waktu dia langsung menepikan mobilnya dan dengan kunci duplikat yang masih dimilikinya dia membuka pagar lalu menghambur masuk.

”Apa yang kau lakukan?!” pekiknya. Ruby dan Dian yang sedang duduk berdampingan melihat-lihat album foto terdiam sebelum akhirnya memandang heran ke arah Manda.
”Kamu sendiri? Ada apa datang kemari? Bukankah barang-barangmu sudah tidak ada lagi di sini?” tantang Ruby yang sekarang bangkit sehingga mereka berhadap-hadapan. Manda bisa merasakan pembuluh darah di sekujur tubuhnya akan pecah dan amarahnya akan berhamburan.
”Kau...” Dia menunjuk Dian dengan amarah tertahan. ”Keluar... Keluar!!” Dian yang memang tidak ingin memancing amarahnya pun bangkit dari sofa lalu berjalan melewatinya langsung keluar.

Sepeninggalnya, hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Manda berusaha bernapas. Dia tidak ingin mati sesak oleh kemarahannya sementara Ruby masih berdiri menantang di hadapannya.

”Katakan apa maumu.” cetus Ruby tenang. ”Apa yang membuatmu nekad menerobos ke rumah ini? Kau yang sudah memutuskan keluar, bukan aku yang mengusirmu.” Manda hanya diam. Matanya terpejam. Ruby benar. Dia yang ingin keluar, bahkan dengan cara yang sangat pengecut. Tapi bukan berarti harus secepat ini dia...
”Jadi kau dan perempuan itu... Kalian...”
”Bukan urusanmu.” tukas Ruby lagi. Kali ini hatinya berkeping. Kakinya goyah dan Ruby sigap menahannya. Sentuhan yang tidak diduganya itu malah menghancurkan benteng pertahanannya.
”Jangan lakukan itu, By... Aku... Aku...”

Ruby hanya terdiam terpana menyaksikan pemandangan di depannya. Manda terlihat bagitu rapuh di dalam kekalahannya. Dia menghela napas lalu menarik lembut tubuh yang gemetar oleh tangis itu ke dalam pelukannya. Air matanya ikut menitik, tapi kali ini diiringi perasaan lega. Manda akhirnya kembali.

”Selamat pulang kembali...” bisiknya dan Manda mempererat pelukannya. Album foto yang menampilkan kenangan manis mereka berdua masih terpampang di sofa.

***
Ruby melipat jemarinya dengan rapi mendengarkan perempuan di hadapannya bicara. Membacakan beberapa klausul dari map di hadapannya Dia datang ke tempat ini untuk menutup kesepakatan yang sudah mereka lakukan. Kontrak kerja sudah berakhir. Perempuan itu akhirnya selesai lalu menyerahkan pena kepadanya. Ruby menerima lalu membubuhkan tanda tangan di tempat yang tersedia.

”Terima kasih.” ujarnya. Perempuan di hadapannya hanya tersenyum.
”Bukan masalah. Sudah tugas kami untuk melakukan sesuai yang diinginkan klien. Dan semoga anda puas dengan hasilnya.” Ruby mengangguk. Setelahnya mereka menyudahi pertemuan. Perempuan itu membetulkan letak kaca matanya lalu menekan tombol dan pintu lain terbuka. Perempuan lain muncul. Berjalan tenang ke arahnya.

”Kerja bagus.” ujarnya puas. Tidak menolak ketika kedua lengan itu merangkulnya diikuti kecupan di tengkuk.
”Bukan masalah. Hanya sebuah tugas kecil untuk masalah kecil. Yang satu ingin putus, yang satu tidak ingin. What’s the big deal?” sahutnya. Sekarang mereka berhadapan. Begitu dekat.
”ID Dian sudah dihapus...”
Approved. Setelah ini ada proyek apa lagi?”

Pertanyaannya dijawab dengan kerling singkat, diakhiri kecupan di bibirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar