“Kayaknya cintamu tidak sebesar cintaku padamu,” rajukmu. Sore itu kita duduk berdua di beranda belakang rumah, mengawasi jarum-jarum terjun bebas dari langit membasahi rerumputan. Aku hanya tersenyum. Kau langsung membuang muka.
“Kau hampir tidak
pernah lagi bilang cinta ke aku. Kamu gak kayak pacar Irene yang rajin
menghujaninya dengan ucapan dan rayuan cinta.” keluhmu lagi malam ini saat kita
duduk berhadapan di meja makan. Sup buatanmu masih mengepul di antara kita.
Malam ini kita merayakan satu dasawarsa kebersamaan kita.
Apakah kau lupa?
Aku selalu suka dengan parasmu yang sedang merajuk. Bibir ranum yang sedikit
mengerucut saat menyendokkan sup ke dalam mangkuk-mangkuk kita. Kerling kesal
yang menurutku semakin menambah kilau mata indahmu.
Dalam hening kita
menyendok sup lalu menyuapkannya ke dalam mulut. Rasa asin yang teramat sangat
menyapa kuncup perasa di lidahku. Membuat mereka seketika blingsatan.
”Supnya keasinan
banget, yah? Pasti tadi aku kelupaan jadi masukin garam lagi.” Rasa bersalah
meredupkan matamu. Kau buru-buru bangkit untuk menyingkirkan sup itu, tapi aku
menahanmu.
”The soup is fine...
I like it.” kataku
lalu menambahkan, “Aku ingin meminum sup yang sama satu dasawarsa lagi. Seperti
sekarang. Bersamamu.”
Apakah kau lupa?
Titik-titik air mata yang menggenangi pelupuk matamu jauh lebih indah daripada
kilau berlian yang melingkari jemari kita. Dan keheningan saat kau terbenam di
dalam pelukku bernilai jutaan kali kata dan rayuan cinta.
Cintaku hening.
Tanpa gemerlap apalagi
hingar bingar.
Dan kau tahu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar